• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Konflik Dalam Pelaksanaaan Pengadaan Tanah

4. Penyebab Timbulnya Konflik Dalam Pengadaan Tanah

Menteri Perindustrian RI di Kabinet Indonesia Bersatu ke-II, M. S. Hidayat mengemukakan adanya sejumlah masalah yang timbul dalam pengadaan

tanah, antara lain:56

a. Dalam bidang hukum sering terjadi tumpang tindih kepentingan antar sektor (industri dengan pertanian, kehutanan dengan pertambangan, pertanian dan kehutanan, dan sebagainya).

b. Dalam hal harga tanah, kadang-kadang dengan ditetapkannya peruntukan lokasi suatu proyek melalui keputusan bupati atau walikota, sering dimanfaatkan oleh spekulan tanah untuk menguasai sementara, yang kemudian akan dijual kembali dengan harga yang tinggi dan tidak wajar. c. Masalah pembebasan tanah masih kesulitan karena masyarakat sering

menolak wilayahnya dijadikan lokasi pembangunan pabrik, karena secara psikologis takut kehilangan tanah atau memiliki nilai historis dan budaya, serta sering adanya provokasi dari pihak-pihak yang mencari keuntungan. d. Di sisi lain sering terjadi adanya ketidaksepakatan harga yang dituntut pemilik

tanah dengan panitia pengadaan. Panitia mempunyai kecenderungan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai acuan, sementara pemilik tanah menggunakan harga pasar, bahkan sering menuntut harga tiga atau empat kali lebih besar dari NJOP.

e. Terkait dengan administrasi pertanahan dimana beragamnya status penggunaan tanah oleh masyarakat seperti ada yang bersertifikat, ada yang menggunakan tanah negara dalam kurun waktu yang lama, menggunakan tanah milik adat, tanah wakaf, yang dipandang masih menyulitkan pengadaan tanah, karena akan makan waktu lama dalam membuktikan status tanah tersebut.

Syafruddin Kalo menyatakan bahwa problem mendasar dari pengadaan tanah dapat diamati setidaknya dari keadaan sebagai berikut57:

a. masyarakat terkadang tidak mempunyai posisi runding (bargaining position) yang seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa.

b. Penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya.

c. Penggantian kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah, yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan

56

Sinauterus,Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “Antara

Regulasi danImplementasi”, http://sinaugeomatika.wordpress.com/2011/12/30/pengadaan-tanah- bagi-pembangunan-untuk-kepentingan-umum-antara-regulasi-dan-implementasi/, diakses pada tanggal 25 September 2014.

57

Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal 4-10.

perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.

d. Musyawarah untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut.

e. Pengaturan tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pembebasan dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya, bagi warga masyarakat yang sebelumnya tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini, karena mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru.

f. Setiap perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan tentang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi perlu adanya pemikiran bahwa penyelesaiannya yang paling utama harus dilakukan dengan penyelesaian ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu melalui musyawarah, negosiasi dan mediasi, jika cara ini tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian baru melalui proses yudisial ke pengadilan.

g. Panitia pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembebasan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah menimbulkan nuansa konflik antara masyarakat pemilik tanah dengan pemerintah. Pada umumnya penyebab pertama timbulnya konflik dalam pengadaan tanah adalah permasalahan yang terkait dengan nilai ganti rugi. Besarnya perhitungan nilai ganti rugi dari sudut pandang pihak pemerintah dan pemilik tanah sering tidak sama, dimana pemerintah pada umumnya memilih harga NJOP untuk dijadikan dasar perhitungan ganti rugi,

sedangkan pemilik tanah lebih memilih harga pasar yang ada pada saat itu. Hal tersebut sering terjadi karena adanya benturan kepentingan (conflict of interest)

antara pemilik tanah dengan pihak pemerintah sehingga tak jarang hal tersebut berujung pada ketegangan konflik.58

Lebih lanjut, pelaksanaan ganti rugi ternyata tidak layak dan adil, menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli tempat tinggal yang baru ataupun untuk mencari nafkah tidak sesuai lagi dengan keadaan semula. Dari sudut ekonomi sangat merugikan bagi rakyat. Meskipun pemerintah selalu menganggap penetapan ganti rugi tersebut diambil atas dasar musyawarah.

Dalam menghitung ganti rugi, pada umumnya Pemilik tanah mempertimbangkan atau dipengaruhi faktor-faktor antara lain cara pandang secara sosial, pengaruh adat atau nilai historis, nilai ekonomi dan kondisi fisik tanah yang dimilikinya, sedangkan pemerintah seringkali dihadapkan dengan kondisi terbatasnya anggaran dana alokasi pembebasan lahan yang disiapkan pemerintah.59Penetapan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi hanya dilakukan atas dasar kesepakatan antara anggota panitia, dengan memperhatikan kehendak dari pemegang hak atas tanah, tetapi pemegang hak atas tanah tidak ikut dalam kepanitiaan tersebut. Kenyataan ini tentunya meletakkan kedudukan pemilik hak atas tanah berada dalam posisi runding (bargaining position) yang lemah.

Penyebab kedua timbulnya konflik pengadaan tanah untuk kepentingan 58

Ibid. 59

Melia Yusri, Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jurnal IPTEK Pertanahan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Vol 2, No.1, Mei 2012, hal 59-60.

umum adalah masyarakat menganggap bahwa kepentingannya tidak terlindungi dalam undang-undang dan telah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi dan hak- hak keperdataan masyarakat, yang pada akhirnya kebijakan dan keputusan pemerintah dianggap telah melanggar rasa keadilan masyarakat. Serta, berkurangnya rasa kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintahan akibat adanya penyalahgunaan dana pengadaan tanah oleh oknum panitia pengadaan tanah, sehingga masyarakat terkesan sensitif dan menolak apabila harga ganti rugi tanahnya tidak sesuai permintaan mereka.

Penyebab ketiga timbulnya konflik adalah musyawarah yang dilakukan dalam praktek pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip musyawarah yang dipahami oleh masyarakat. Musyawarah yang terjadi dalam praktek sering berubah makna menjadi pengarahan, briefing dan instruksi dari pemerintah dan sering merupakan pernyataan kehendak secara sepihak dari pihak yang membutuhkan tanah, serta adanya unsur-unsur paksaan yang terselubung yaitu dengan ikut campur tangan instansi keamanan/militer dalam proses musyawarah tersebut, sehingga masyarakat merasa khawatir dan takut apabila adanya unsur paksaan dan kekerasan yang akan menimpa mereka.

Penyebab keempat munculnya konflik dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah tentang pengertian kepentingan umum yang mengandung arti berbeda-beda dan tergantung pada penafsiran masing-masing dan tidak jarang hal ini banyak merugikan masyarakat. Terlebih lagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang pembangunannya dilakukan oleh pihak swasta, contohnya seperti pembangunan jalan tol, walaupun mencakup

kriteria kepentingan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi proyek tersebut lebih bersifat komersial atau mencari keuntungan, lain dari proyek untuk kepentingan umum yang tidak bersifat mencari keuntungan. Hal tersebut menimbulkan konflik kepentingan dikarenakan tidak semua masyarakat memiliki kendaraan roda empat yang dapat memanfaatkan jalan tol tersebut.

Lebih lanjut, nuansa konflik dapat terjadi dalam area antara perbedaan proyek pembangunan untuk kepentingan umum atau yang bersifat tidak mencari keuntungan/non komersil dengan proyek kepentingan umum yang bersifat mencari keuntungan/komersial (contohnya pembangunan jalan tol). Dengan adanya perbedaan yang hakiki, antara proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang bersifat mencari keuntungan dan tidak mencari keuntungan, maka prosedur untuk menempuh pengadaan tanah untuk proyek pembangunan seharusnya berbeda antara proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang non komersial dengan proyek pembangunan yang bersifat komersial.

Dalam praktek perbedaan tersebut tidak jelas sehingga pelaksanaan proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang bersifat non komersial dengan yang bersifat komersial tidak dibedakan, sehingga hal ini menimbulkan konflik dalam masyarakat. Proyek pembangunan yang bersifat komersial tersebut harus dilakukan dengan pelepasan hak secara biasa yaitu dengan kesepakatan jual beli antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pemilik tanah. Tetapi dalam praktek, hal ini dilakukan oleh pemerintah dengan cara prosedur pelepasan hak atas tanah, sehingga banyak masyarakat yang dirugikan.

Konflik dalam pengadaan tanah menjadi isu nasional karena jumlahnya yang tinggi dan banyaknya kendala dalam penyelesaiannya. Konflik pengadaan tanah yang rumit dan tak kunjung mereda dewasa ini disebabkan juga oleh karena kelemahan regulasi dan adanya kesalahan penerapan hukum pertanahan sehingga dalam pelaksanaannya kepentingan pemegang hak atas tanah tidak terlindungi dengan pasti.60Banyaknya tumpang tindih dan tidak sinkronnya regulasi di negara kita juga menjadi penyebab tidak efektifnya suatu peraturan sehingga menyebabkan timbulnya konflik kepentingan.

Selain dari yang sudah disebutkan diatas, penyebab lain konflik dalam pengadaan tanah antara lain karena proses pengadaan tanah tidak sesuai atau tidak dilakukan dengan berlandaskan pada ketentuan-ketentuan peraturan yang masih berlaku (ketidakpatuhan pada prosedur). Masih banyak aparat pelaksana pengadaan tanah dan masyarakat yang tidak mengetahui bahkan mengerti mengenai proses-proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, sehingga ketika terdapat pertanyaan atau permasalahan-permasalahan prosedural yang terjadi dalam praktek, aparat pelaksana tidak bisa menjelaskan dengan jawaban yang memuaskan kepada masyarakat, sehingga masyarakat terkadang hanya pasrah menerima pelaksanaan pengadaan tanah tersebut.61 Hal ini menyebabkan pelaksanaan pengadaan tanah di lapangan menjadi tidak efektif dan mencapai sasaran pengadaan tanah.

60

Bernhard Limbong,Op.Cit., hal 6. 61

Hasil wawancara dengan Thomas Sinuhaji, Ketua Tim Pembebasan Lahan Fly Over Jamin Ginting (Ketua Satgas Pengadaan Tanah), Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Pemerintah Kota Medan, pada tanggal 4 Desember 2014, pukul 16.00 WIB

C. Cara Menghindari Terjadinya Konflik Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Dokumen terkait