• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI BUDAYA

3.2 Biografi Pengarang

3.3.1 Penyebab Transformasi Budaya

3.3.1.1 Faktor Internal

Salah satu sebab terjadinya transformasi budaya adalah faktor internal. Faktor ini timbul dari dalam masyarakat. Sebagai pemilik kebudayaan, hal tersebut merupakan realitas yang tentu tidak dapat dihindari. Mempertahankan budaya dari zaman ke zaman apalagi di era serba modern seperti ini merupakan sebuah kebosanan dan pastinya masyarakat membutuhkan perubahan. Kemunduran kearifan lokal atau tradisional ini terjadi di tanah leluhur sendiri.

Dalam antologi puisi Pukeng Moe, Lamalera dengan judul “Lamalera - 2”(Bruno, 2011: 6) terungkap penyair meluapkan kekecewaan dan pertanyaan

(Lamalera,/Masihkah identitas dan tugas seperti itu kau emban?/ Masih adakah keindahanmu dan aromah jiwamu?/ Masih adakah sinar mataharimu?/ Masih adakah diri gurumu?/Masih adakah imanmu akan matahari sejati?/). Semua pertanyaan yang dilontarkan itu merupakan pertanyaan yang keluar dengan sendirinya tanpa disadari penyair karena timbul dari dalam hati nurani penyair yang paling dalam sebab keadaan saat sekarang dan dulu (ketika ia masih sangat kecil) berbeda. Setiap orang menjadi individualistis (cenderung memikirkan dirinya sendiri). Sikap kebersamaan untuk melestarikan budaya sendiri semakin pudar.

Kemunduran yang dilontarkannya dengan berbagai pertanyaan dalam puisi “Lamalera-2” tentang identitas dan tugas, keindahan dan aromah, sinar mataharimu, diri gurumu, serta imanmu, semuanya hampir terjawab dalam beberapa puisi yang ditulis penyair. Namun, perlu digarisbawahi yaitu berkaitan dengan identitas dan tugas karena begitu penting dalam masyarakat, khususnya putra-putri Lamalera. Identitas masyarakat menandakan bahwa masyarakat tersebut berbudaya. Dimana identitas itu berkembang karena tugas itu. Identitas serta tugas tidak boleh dipisahkan dalam sebuah masyarakat manapun. Masyarakat Lamalera mempunyai identitas dan tugas yang harus dikerjakan, salah satunya setiap hari pergi melaut. Sebagai pelaut, setiap hari ke tengah laut untuk mencari nafkah. Apa yang didapat dari laut, semisal ikanlah sumber hidup bagi masyarakat setempat. Apabila hasil laut tidak ada, mereka tidak dapat menghidupi keluarga mereka. Artinya masyarakat bergantung pada hasil laut. Terlepas dari

masyarakat Lamalera sebagian besar bergantung hidup pada laut masyarakat juga secara tidak langsung mempertahankan identitas yang diturunkan dari leluhur.

Puisi “Mari Kita ke Laut” (Bruno, 2011:112) ini menunjukan (memperjelas) soal identitas dan tugas. Identitas dari masyarakat Lamalera adalah nelayan (sebutan yang lebih spesifik agar membedakan dengan nelayan dari daerah yang lain, yaitu nelayan dengan tradisi berburu paus). Di sini penyair mengungkapkan kekecewaan karena tugas sebagai pelaut mulai diabaikan, maka ia menggunakan kalimat seruan di awal baris pertama dan bahasa persuasif diakhir baris puisi bahwa semuanya adalah warisan dari leluhur maka harus dijalankan. Betapa penyair sangat berharap dan juga berdoa agar semua tradisi, adat-istiadat serta kebiasaan terus dipertahankan.

Wahai orang Lamalera!

Jangan kita lupa akan perahu dan kerja kita di laut. Biar zaman berganti zaman

Mari jaga dan piara laut, taman kehidupan.

Angin timur berhembus, arus mengalir, matahari perlahan terbit Dengan cahaya bagai kobaran api.

Sahabat, dorong perahu, dirikan tiang dan angkat layar Kayulah perahu itu dalam irama

Hilibe, hilibe, hilibe…. Mari kita ke laut. Sebab, ini tugas dan warisan leluhur, Kita harus pergi

Faktor internal lainnya juga dalam “Kosong” (Bruno, 2011:109). Secara lugas digambarkan bahwa masyarakat mulai menunjukan perubahan perilaku karena sifat kikir dengan menipu diri sendiri. Secara adat masyarakat Lamalera, apabila pulang melaut yang dilakukan adalah membagi hasil tangkapan ketika ada orang yang membantu secara sukarela mendorong perahu ke pesisir (ke bangsal perahu). Kebiasaan ini sudah dilakukan oleh leluhur. Mereka mengajarkan agar kita tidak boleh kikir, biar sedikit pun kita harus berbagi. Artinya susah dan senang kita harus tanggung dan merasakannya bersama. Hal ini pun tidak jauh beda dengan puisi yang berjudul “Berok” (sampan mengajarkan kita menjadi kikir/berok mengajarkan kita untuk saling membantu/). Sedangkan dalam puisi “Bisikan Ombak” (Bruno, 2011:51) menggambarkan keperihatinan penyair atas anak-anak zaman sekarang yang tidak lagi mandi di pantai, mencebur diri ke laut ataupun bermain ombak. Dari situ timbul pertanyaan penyair dengan imajinasinya terhadap ombak, “barangkali ia sedang mencari dimanakah anak-anak Lamalera?”

Transformasi internal akhirnya menjalar juga dalam kearifan leluhur. Dalam masyarakat, kearifan leluhur patut dijaga dan dilestarikan sebagaimana yang telah diwariskan. Apabila dilanggar maka itu penodaan dan percaya atau tidak, akan berlanjut ke generasi selanjutnya. Dalam “Tempat Suci” (Bruno, 2011:40) mengandung pesan agar kita tidak boleh merusak lingkungan sekitarnya. Tempat suci yang ada di Lamalera dan dipercayai masyarakat karena keramat adalah: Hutan suci Lelaone, Tufaone, Gereja Lama, dan tempat suci pantai Lamalera. Sekarang masyarakat setempat mulai mengabaikan dan dengan sengaja

melanggarnya padahal tempat suci itu dipercayai bahwa ada Tuhan melindungi hutan, dan roh-roh leluhur yang menyertai masyarakat setempat.

Rumah yang tidak beremperan juga salah satu perubahan yang dialami penyair di tanah kelahirannya sendiri. Rumah-rumah di Lamalera dahulu dibuatkan dengan emperan sebagai tempat bersantai atau tempat bersilahturami. Berbeda dengan sekarang. Rumah-rumah mereka dibuat dalam ukuran yang besar tapi tidak beremperan. Bangunan nenek moyang puluhan tahun lalu sangat sederhana seperti gubuk tapi selalu dibuatkan emperan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa nenek moyang zaman dahulu sangat menjunjung tinggi kebersamaan daripada individualistis yang membawa mereka pada sikap kikir dan angkuh.

Perubahan perilaku pun terjadi dalam masyarakat Lamalera. Dalam“Dalle”, sebagian masyarakat yang menganggap dan menyoraki bahwa Dalle yang bernama lengkap Teresia Dalle ini adalah “orang gila” yang selalu bertempat tinggal di sebuah kuburan kosong di desa tetangga, Lefotalla. Namun faktanya “Meskipun ia gila tetapi dia menaruh hormat pada orang./ Dia lihat dan memilah orang, mana yang baik dan tidak baik./ Dia hormat imam,/ dia hormat orang tua-tua./ Lebih daripada itu,/ dia sembah sujud di hadapan Allah./ Di dalam Gereja dia duduk penuh kidmad menghadiri misa suci/ berdoa dan memuji Allah.//” Hal ini terbukti bahwa orang yang menilai bahwa Dalle gila itu sebenarnya salah, sebetulnya yang gila itu yang menganggapnya (menyoraki) gila. Penyair heran dengan perilaku seperti itu dan bertanya “siapa sebenarnya yang

gila?/ Dalle?/ Ataukah kita sendiri, manusia yang tak beradat yang tidak tahu menghormati Allah dan manusia?/”

3.3.1.2 Faktor Eksternal

Faktor Eksternal juga merupakan salah satu faktor perubahan masyarakat. Hal ini datangnya bukan dari masyarakat sendiri tapi dari luar masyarakat, namun mempengaruhi masyarakat. Prosesnya memang agak lambat tetapi lambat laun tetap bersarang dalam masyarakat. Bagaimanapun kekuatan di zaman sekarang memang sering menggoda masyarakat dan akhirnya tanpa disadari segala kebiasaan tradisional pun perlahan akan pudar.

Faktor eksternal mempengaruhi pola prilaku masyarakat. Dalam“Bau Busuk” (Bruno, 2011:23), penyair bisa menggambarkan bahwa setiap orang yang tinggal di kota besar maka akan “busuk” seperti keadaan kotanya. Penyair membayangkan apabila orang –orang dikampung kelahirannya pergi ke kota, maka hatinya ikut hancur. Keadaan lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Dalam puisi “Manusia Kota Besar”, “Paket Kiriman”, “Keringat” (Bruno, 2011:25, 28, 33) adalah gambaran secara detail dari puisi “Bau Busuk”. Ketiga puisi ini sebagai dampak dari pengaruh luar (kota besar) dan pengaruh tersebut mempengaruhi pola pikir dan prilaku yang disebut dengan pembual, sombong, angkuh, dan sebagainya.

Dalam “Perantau” (Bruno, 2011:35), penyair memperlihatkan fakta-fakta yang dilihat dari mata kepala sendiri yaitu beberapa perantau ketika kembali ke kampung halamannya memamerkan berbagai barang berharga yang dimiliki, seperti celana dan jaket jeans, topi, handuk putih, kaca mata rayben, cincin emas,

Konsumsi simbolis dan estetisasi merupakan tanda dari transformasi sosial perkotaan (Abdullah, 2006:33). Kedua hal itulah dianggap sangat mempengaruhi masyarakat lokal. Mengapa bisa terjadi demikian karena fasilitas yang dianggap komplit di kota sehingga masyarakat tertarik mengais nafkah di sana. Namun berjalannya waktu dan situasi perkotaan yang berbeda terkait tingkah-laku dan kebiasaan lokal, ketika kembali ke masyarakat pola pikir menjadi individualistis, pamer-pamer harta masih melekat. Akibatnya dalam bermasyarakat apa yang sudah menjadi kebiasaan lokal mulai dihilangkan atau dilupakan dan mengubahnya dengan gaya hidup kekotaan.

Aksi pamer-pameran hampir terjadi di seluruh daerah yang ada di Lembata, salah satunya di kampung halaman penyair sendiri (ketika hari mulai senja/ sambil menjinjing tape dengan musik bervolume tinggi/mereka pergi mengunjungi tempat-tempat minum tuak/. Yang terjadi kemudian adalah harta milik yang melekat di badan mereka mulai dijual satu demi satu,,/“Paling akhir, mereka menggade arloji, cincin, tape/Bahkan gigi emasnya pun dicungkil dan dijual/ Dan kembalilah mereka ke tanah rantau/Oh, perantau yang kurang bijaksana, mengapa merantau hanya untuk menjadi miskin-merana?/). Di akhir baris puisi tersebut penyair begitu kesal dengan perilaku mereka menyebut orang perantau dengan orang yang kurang bijaksana yang hanya menjadi miskin dan merana.

Zaman semakin modern, teknologi canggih, masyarakat Lamalera tidak kalah dengan zaman itu. Mungkin masyarakat nelayan beranggapan seandainya mereka menggunakan alat-alat tradisional atau dengan mengharapkan bantuan

dari angin dan arus hanya membuang-buang waktu dan menguras tenaga. Kenapa tidak menggunakan mesin yang sudah jelas cepat, efektif dalam hal waktu. Dalam“Angin dan Arus” (Bruno, 2011:54) pun menunjukan masyarakat mengubah pola melaut dengan alat yang modern “orang-orang kami tak lagi mengenal dayung/ mereka tak butuh lagi bantuanmmu, Arus/ Mereka sudah punya mesin ‘jhonson’ dan lainnya/. “

Dalam puisi “Kembalikan Lamalera-Ku” (Bruno ,2011:118) merupakan puisi yang bernada tegas kepada orang-orang dari sebrang lautan yang tidak bertanggung jawab. Penyair menganggap bahwa mereka hanya datang untuk merusak kampung kelahirannya dengan janji-janji kosong. Janji- janji kosong itu hanya untuk merusak identitas yang sudah diwariskan nenek moyang. Ketidakpuasan penyair kepada pendatang-pendatang sampai-sampai disebut (dijuluki) “pencuri, penipu dan orang yang tak tau adat”.

Wahai kalian semua,

Orang-orang Lamalera dan kalian semua yang datang Dari seberang lautan!

Aku minta padamu Kembalikan Lamaleraku

Wahai kalian para “pencuri!”

Demi uang, segelas tuakmanis dan sepotong daging enak

Kalian datang menggigit dan mencabik kampung halamanku, Lamalera Hingga sekujur tubuhnya penuh luka dan bilur.

Wahai kalian orang “pintar!”

Kalian datang mencambuk dan memukulikampung halamanku, Lamalera, hingga babak belur

Dengan ceritamu yang penuh tipuan. Kalian meludahinya dengan propaganda, Mengibulinya dengan janji kosong

Kalian mempengaruhi kampungku untuk melupakan Tena-Laja, Kalian merasuki hatinya agar melupakan koda pulo-kirri lema, Tuturan ibu, warisan bapa.

Wahai kalian semua yang “tak tahu adat!” Kalian datang untuk menginjak-injak Tanah tumpah darahku, Lamalera.

Kalian menanggalkan sarung dan kebaya dari wanita-wanitanya, Sarung putih dari kaum prianya,

Dan menggantikannya dengan busana-busana asing dan aneh.

Atau, kalian paksa pakaikan anak-anaknya pakaian bertuliskan

Nama-nama asing: AMERICA, ITALY, AUSTRALIA, WWF, WDWP, PHOTO’S VOICE, BALI, YOGYAKARTA, JAKARTA, dan lain lagi.

Kembalikan Lamalera-ku Kembalikan dia pada-ku

Agar aku megobati sakit dan luka-lukanya, Agar kuurut patah tulangnya hingga sembuh. Kembalikan! kembalikan! Ooo,

Kembalikan kampung-ku!

Agar kukenakan dia sarung dan kebaya buatan ibuku, Agar kupakaikan dia sarung putih tenunan saudariku.

Di lehernya kulingkari kalung emas,

Kepalanya kuliliti selendang bermotif pledang dan pari kecil. Kedua telinganya kugantungkan anting-anting perak murni. Bibirnya kurekahi dengan sirih-pinang,

Di rambutnya kusisipkan kembang Lerra.

Pergelangan tangannya kulingkari gelang perak berkepala ular Dikakinya kuikatkan giring-giring,

Seperti rajamuda perkasa, tangan kanannya menggenggam pedang Bagai ibu Somi Boladarren, tangan kirinya kugenggami

Kotak sirih-pinang keibuan.

Kubentangkan tikar pesta di tengah kampung

Dan kuhidangkan baginya santapan asli kampung halaman.

Kembalikan kampungku Lamalera! Kembalikan Neme –Fette!

Kembalikan Tena-Laja!

Kembalikan ajaran-ajarannya penuh kebajikan hidup! Kembalikan Kotoklema!

Kembalikan

Bawa dia kembali Lamalera ibu-ku! Kembalikan kepadaku Lamalera Bapa-ku!

Dokumen terkait