• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Bahan Galian di Indonesia

Dalam dokumen Proses Terbentuknya Endapan Bahan Galian (Halaman 22-39)

Penyebaran Bahan galian di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran batuan, penyebaran bahan galian sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia yang rumit. Mineral logam yang termasuk golongan ini adalah tembaga, besi, emas, perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non logam yang termasuk golongan ini adalah fosfat, mika, belerang, fluorit, mangan. Mineral industri adalah mineral bahan baku dan bahan penolong dalam industri, misalnya felspar, ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak, gas dan batubara atau bituminus lainnya. Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam golongan ini walaupun cara pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999).

Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini memiliki peran sekitar 80% dari total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di Indonesia. Berdasarkan perkembangan ilmu yang didasari penelitian Asal minyak dan Gas bumi tidak hanya dari plankton tetapi ada yang dari tumbuh-tumbuhan bahkan ada yang dari anorganik. Teori anorganik merupakan teori yang beranggapan bahwa minyak dan gas bumi berasal dari proses anorganik. Salah satu teorinya adalah Karbon (C) dan Hidrogen (H) dapat membentuk minyak dan gas bumi apabila kondisi temperatur dan tekanan yang ekstrim.

Minyak bumi berasal dari lapisan batuan induk, kemudian bergerak ke batuan reservoir yang dapat memungkinkan minyak bumi terakumulasi didalamnya. Proses migrasi ini merupakan perpindahan minyak bumi dari lapisan batuan induk menuju ke lapisan batuan reservoir untuk dikonsentrasikan didalamnya. Namun dalam studi perminyakan diketahui bahwa tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi akan lebih banyak menghasilkan gas ketimbang menghasilkan minyak bumi. Hal ini disebabkan karena rangkaian karbonnya juga semakinkompleks.

Setelah ganggang-ganggang maka akan teredapkan di dasar cekungan sedimen. Keberadaan ganggang ini bisa juga dilaut maupun di sebuah danau. Jadi ganggang ini bisa saja ganggang air tawar, maupun ganggang air laut. Tentusaja batuan yang mengandung karbon ini bisa batuan hasil pengendapan di danau, di delta, maupun di dasar laut. Batuan yang mengandung banyak karbonnya ini yang disebut Source Rock (batuan Induk) yang kaya mengandung unsur Carbon (high TOC-Total Organic Carbon).

Proses pembentukan carbon dari ganggang menjadi batuan induk ini sangat spesifik. Itulah sebabnya tidak semua cekungan sedimen akan mengandung minyak atau gasbumi. Kalau saja carbon ini teroksidasi maka akan terurai dan bahkan menjadi rantai carbon yang

tidak mungkin dimasak.Proses pengendapan batuan ini berlangsung terus menerus. Kalau saja daerah ini terus tenggelam dan terus ditumpuki oleh batuan-batuan lain diatasnya, maka batuan yang mengandung karbon ini akan terpanaskan. Tentusaja kita tahu bahwa semakin kedalam atau masuk amblas ke bumi, akan bertambah suhunya. Ketika proses penimbunan ini berlangsung tentusaja banyak jenis batuan yang menimbunnya. Salah satu batuan yang nantinya akan menjadi batuan reservoiratau batuan sarang Pada prinsipnya segala jenis batuan dapat menjadi batuan sarang, yang penting ada ruang pori-pori didalamnya. Batuan sarang ini dapat berupa batupasir, batugamping bahkan batuan volkanik.

Minyak yang dihasilkan oleh batuan induk yang termatangkan berupa minyak mentah. Namun meskipun berupa cairan, minyakbumi yang mentah ciri fisiknya berbeda dengan air. Dalam hal ini sifat fisik yang terpenting yaitu berat-jenis dan kekentalan. Kekentalan minyak Bumi lebih tinggi dari air, namun berat jenis minyakbumi ini lebih kecil.

Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat dengan elemen-elemen tektonik yang ada. Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui ada sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial. Diantaranya basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.

Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-lapangan minyak paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat flow dari proses penurunan cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya kompresi telah menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi

perangkap struktur sebagai tempat akumulasi hidrokarbon (Barber, 1985). Secara lebih rinci, perkembangan sistem cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh tatanan struktur geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin menentukan perkembangan sistem cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984).

Pembentukan cekungan terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan cekungan dan sedimentasi yang bersifat transgresif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen Tengah (Barber, 1985). Pola-pola ini menjadiken pembentukan delta berjalan efektif sebagai pembentuk perangkap minyak bumi maupun batubara. Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan dengan kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula, Seram, Bituni dan Salawati di sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi, serta Buton, merupakan cekungan yang masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985).

Keberadaan endapan aspal di Buton berasosiasi dengan zona tumbukan antara mikro kontinen Tukang Besi dengan lengan timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono, 1999).Kehadiran minyak di Papua berasosiasi dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat dengan tepi benua Australia (Barber, 1985). Sumber dan reservoar hidrokarbon terperangkap struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal serta di bagian bawah hanging-wall sesar sungkup (Simanjuntak dkk, 1994).

b. Keberadaan Batubara dan Bituminus

Parameter yang mengendalikan bembentukan batubara adalah (1) sumber vegetasi, (2) posisi muka air tanah (3) penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, (4) penurunan yang terjadi setelah pengendapan, (5) kendali lingkungan geotektonik endapan batubara dan (6) lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. Batubara lazim terbentuk

di lingkungan (1) dataran sungai teranyam, (2) lembah aluvial, (3) dataran delta, (4) pantai berpenghalang dan (5) estuaria (Diessel, 1992).

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu yang lama ( puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara berbentuk dan faktor-faktor yang akan mempengaruhinya, serta bentuk lapisan batubara. Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara dikenal 2 macam teori:

a) Teori Insitu

Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya ditempat di mana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Eneem (Sumsel).

b) Teori drift

Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedemen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kwalitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama, selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat

sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara delta Mahakam Purba (Kaltim).

1. Proses terjadinya Batubara

a) Proses biokimia

Proses penghancuran oleh bakteri “Anaerobic” terhadap bahan kayu-kayuan (sisa tumbuhan) sehingga terbentuk “gel” (seperti agar-agar) yang disebut “Gelly” Bakteri “anaerob” adalah bakteri yang hidup pada tempat (air) yang kurang mengandung oksigen. Yaitu pada air kotor, misal : daerah rawa-rawa. Bakteri ini akan membusukkan / memakan bahan kayu-kayuan (sisa tumbuhan)

Hasil dari proses Biokimia adalah terbentuknya “gel” sebagai bahan pembentuk lapisan batubara. Bahan-bahan tersebut kemudian akan terendapkan/terkumpul sebagai suatu massa yang mampat, yang disebut PEAT (GAMBUT).

PEAT (GAMBUT) : merupakan hasil dari proses pengendapan pemanpatan dan pemadatan dari bahan-bahan pembentukan lapisan batubara.Untuk pembentukan PEAT setebal 1ft, dibutuhkan waktu ± 100 th. Kadang-kadang dalam suatu lapisan batubara dijumpai adanya struktur kayu yang masih tampak jelas dan utuh. Hal ini disebabkan karena pada proses pembentukannya, bakteri tidak bekerja secara sempurna (proses metabolisme bakteri tidak sempurna).Tidak aktifnya bakteri, karena bakteri tersebut terkena racun (toxin), sehingga bahan kayu-kayuan yang ada akan tetap utuh sampai pembentukan batubara

b) Proses termodinamik

Proses perubahan PEAT menjadi lapisan batubara oleh adanya panas dan tekanan, juga proses dari luar seperti proses geologi (pelipatan, dsb).Dari adanya panas dan tekanan (T dan P) ini, maka akan terbentuk lapisan batubara, dari PEAT menjadi LIGNIT sampai

ANTRASIT (dalam beberapa kelas atau “rank”). Adanya klasifikasi ini tergantung pada intensitas panas dan tekanan.

Batubara di Indonesia umumnya menyebar tidak merata, 60% terletak di Sumatera Selatan dan 30% di Kalimantan Timur dan Selatan. Sebagian besar batubara terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan delta, sedang beberapa terbentuk di lingkungan cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara umumnya berupa bituminous, termasuk dalam steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena pemanasan oleh intrusi ditemukan di Bukit Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan karena tekanan tektonik terbentuk di Ombilin, Sumatera Barat (Sudradjat, 1999). Urutan kualitas batubara cenderung menggambarkan umurnya.

c. Emas

Jebakan emas dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan fase akhir magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal sebagai proses epitermal, karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga dapat terjadi di lingkungan batuan vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen (sedimen hosted rock), yang lebih dikenal dengan skarn. Contoh cukup

baik atas skarn terdapat di Erstberg (Sudradjat, 1999). Skarn Erstberg berupa roofpendant batugamping yang diintrusi oleh granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh oleh struktur geologi setempat. Sebagai sebuah roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatik contact sampai metamorphic zone (Juharlan, 1993).

Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan signifikan pada potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini terdapat pada kedalaman kurang dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi muda berumur kurang dari 70 juta tahun. Sebagian besar host rock merupakan batuan vulkanik, dan hanya beberapa yang merupakan sediment hosted rock. Cebakan emas epitermal umumnya terbentuk pada bekas-bekas kaldera dan daerah retakan akibat sistem patahan.

Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai sistem porfiri (porphyry). Contoh baik atas porfiri terdapat di kompleks Grasberg di Papua, dengan mineralisasi utama bersifat disseminated sulfide dengan mineral bijih utama

kalkopirit yang banyak pada veinlet (MacDonald, 1994). Contoh lain terdapat di Pongkor dan Cikotok di Jawa Barat, Batu Hijau di Sumbawa, dan Ratotok di Minahasa.

d. Intan

Intan termasuk dalam kelompok bahan galian yang terbentuk secara alami di kedalaman tertentu dari permukaan bumi, termasuk dalam kelompok mineral Carbon sebagai mineral utama penyusun intan (diamond).

Mineral Carbon terdapat di alam dengan 3 bentuk dasar, yaitu sebagai :

1. Diamond (Intan)- Sangat Keras, dengan kristal (berwarna) jernih

2. Graphite- Lunak, berwarna hitam, tersusun dari (unsur) carbon murni, struktur

molekulernya tidak padat sekuat diamond (intan), hal tersebutlah yang menjadikan graphite lebih lunak dibandingkan diamond.

3. Fullerite, merupakan mineral yang terbuat dari molekul yang berbentuk bulat

sempurna yang tersusun dari 60 atom Carbon

Intan terbentuk pada kedalaman 100 mil (161 Km) di bawah permukaan bumi, pada batuan yang cair pada bagian mantel bumi yang memiliki temperature dan tekanan tertentu yang memungkinkan untuk merubah (mineral) carbon menjadi intan.

Kebanyakan intan yang kita temukan sekarang merupakan hasil pembentukan proses jutaan-milyar tahun yang lalu, erupsi magma yang sangat kuat membawa intan-intan tersebut ke permukaan, membentuk pipa kimberlite, penamaan kimberlite berasal dari penemuan pertama pipa tempat intan berada tersebut di daerah Kimberley, Afrika Selatan.

Intan juga dapat ditemukan di dasar sungai sebagai endapan yang kita sebut sebagai endapan intan alluvial, pada dasarnya intan type alluvial juga berasal dari pipa Kimberlite purba yang kemudian mengalami proses geologi lanjutan berupa pengangkutan oleh air

atau glacier yang berlangsung pada jutaan-milyar tahun yang lalu, sehingga intan-intan yang berasal dari pipa kimberlite tersebut terbawa bermil-mil jauhnya dari tempat asalnya dan kemudian terendapkan di dasar sungai.

Intan ditemukan di alam dalam bentuk batu yang masih kasar, sehingga harus melalui beberapa proses terlebih dahulu agar tercipta sebagai perhiasan yang berkilau untuk kemudian menjadi barang yang komersil.

Keterdapatan Intan di Kalimantan

plume tectonics dan pipa intan kimberlite: Kalimantan case

Melihat peta penyebaran intan di seluruh dunia (Evans, 1997), jelas tergambar di situ bahwa deposit intan yang besar selalu berasosiasi dengan daerah continental craton (> 1500 Ma old). Teori terbaru sekarang tentang origin of diamonds adalah bahwa intan bukanlah hasil kristalisasi magma di intrusi ultrabasa (akan in-situ), tetapi bahwa intan adalah ex-situ, mereka adalah mineral - mineral di upper mantle yang terbawa hot plume mantle yang sedang up-welling. Maka, intan bukanlah fenokris, tetapi xenokris.

Endapan intan di indonesia terdapat di kalimantan Barat ( Landak , Sangau ), Kalimantan Tengah ( Purukcau ) dan kalimantan selatan ( Martapura, plehari ) dan yang paling terkenal adalah yang dihasilkan di Kalimantan Selatan dimana penggaliannya sudah ada sejak lama. Raffles mengatakan pada tahun 1738 intan yang berasal dari kalimantan itu bernilai jutaan dolar.

e. Potash

Potash dinyatakan sebagai kalium oksida K2 O, dialam bahan ini dijumpai sebagai endapan garam potash yang dapat dilarutkan dan sebagai mineral – mineral potash yang tidak dapat larut. Endapan potash yang larut sebagai endapan laut , rawa – rawa dan danau,

mineral yang umum dan yang terpenting adalah Kyanite dan Carnallite. Sedangkan untuk mineral – mineral potash yang tidak larut ialah aluminite, leucite serta greensandmarl.

Di Indonesia potash bisa ditemukan di Jawa Timur ( Gunung Muria ), Pulau Bawean, gunung lurus, gunung ringgit, gunung besea ( Besuki ) adapun keadaannya berada dalam garam kusit analine dan feldspar.

f. Batu Gamping

Batu kapur (Gamping) dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, secara mekanik, atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan cangkang/rumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari kerangka binatang koral/kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu muda, abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya.

Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain. Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar cadangan batu kapur Indonesia terdapat di Sumatera Barat.Pada umumnya deposit batu gamping ditemukan dalam bentuk bukit. Oleh sebab itu teknik penambangan dilakukan dengan tambang terbuka dalam bentuk Quarry tipe sisi bukit (Side hill type).

g. Dolomit

Dolomite yang baru dikenal sejak tahun 1882, merupakan variasi batu gamping yang mengandung > 50% karbonat istilah dolomite pertama kali digunakan untuk batuan karbonat tertentu yang terdapat didaerah TYeolean Alpina (Pettijohn.F.J. 1956). Dolomit dapat terbentuk karena proses primer dan sekunder. Secara sekunder, dolomite umumnya terjadi kerena proses pelindian (leaching) tau peresapan unssur magnesium dari air laut kedalam batu gamping, atau yang lebih dikenal dengan proses dolomitisasi yaitu proses perubahan mineral kalsit menjadi dolomite. Selain itu dolomite sekunder dapat juga terbentuk karena diendapkan secara tersendiri sebagai endapan evaporit.

Pembentukan dolomite sekunder dapat terjadi karena berbeberapa factor diantaranya adalah tekanan air yang banyak mengandung unsure magnesium dan prosesnya berlangsung dalam waktu lama. Dengan semakin tua umur batu gamping, semakin besar kemungkinan nya untuk berubah menjadi dolomite. Dolomite primerterbentuk bersama-sama dalam cebakan bijih.

Penggunaan dolomit dalam industri tidak seluas penggunaan batugamping dan magnesit. Kadang-kadang penggunaan dolomit ini sejalan atau sama dengan penggunaan batugamping atau magnesit untuk suatu industri tertentu. Akan tetapi, biasanya dolomit lebih disukai karena banyak terdapat di alam. Madiapoera, T (1990) menyatakan bahwa

penyebaran dolomit yang cukup besar terdapat di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura dan Papua. Di beberapa daerah sebenarnya terdapat juga potensi dolomit, namun jumlahnya relatif jauh lebih kecil dan hanya berupa lensa-lensa pada endapan batugamping.Penambangan dolomit dilakukan sama dengan penambangan batu gamping. Dan potensi dolomit dengan kualitas yang paling baik berada di sedayu dan tuban , Jawa Timur.

h. Kalsit

Kalsit merupakan mineral utama pembentuk batugamping, dengan unsur kimia pembentuknya terdiri dari kalsium (Ca) dan karbonat (CO3), mempunyai sistem kristal Heksagonal dan belahan rhombohedral, tidak berwarna dan transparan. Sifat fisika dari kalsit adalah bobot isi 2,71; kekerasan 3 (skala Mohs); bentuk prismatik; tabular; pejal; berbutir halus sampai kasar; dapat terbentuk sebagai stalaktit, modul tubleros, koraloidal, oolitik atau pisolitik. Warna kalsit yang tidak murni adalah kuning, coklat, pink, biru, lavender, hijau pucat, abu-abu, dan hitam.

Penggunaan kalsit saat ini telah mencakup berbagai sektor yang didasarkan pada sifat fisik dan kimianya. Penggunaan tersebut, meliputi sektor pertanian, industri kimia, makanan, logam dan lainnya.

Kalsit terdapat di sepanjang pantai barat Sumatera, Jawa bagian selatan dan utara (sebagian kecil). Bentuk endapan dapat datar, bukit atau berupa lensa. Cadangan yang diketahui merupakan klasifikasi cadangan tereka di daerah Indarung (10,1 juta ton), Sumatera Barat (10 juta ton) dan Begelan di Kabupaten Purwokerto (0,1 Juta ton).Proses penambangan yang dilakukan dengan menggunakan peralatan secara sederhana antara lain gancu dan linggis.

i. Marmer

Marmer atau batu pualam merupakan batuan hasil proses metamorfosa atau malihan dari batu gamping. Pengaruh suhu dan tekanan yang dihasilkan oleh gaya endogen menyebabkan terjadi rekristalisasi pada batuan tersebut membentuk berbagai foliasi mapun non foliasi. Akibat rekristalisasi struktur asal batuan membentuk tekstur baru dan keteraturan butir. Marmer Indonesia diperkirakan berumur sekitar 30–60 juta tahun atau berumur Kuarter hingga Tersier.

Penggunaan marmer atau batu pualam tersebut biasa dikategorikan kepada dua penampilan yaitu tipe ordinario dan tipe staturio. Tipe ordinario biasanya digunakan untuk pembuatan tempat mandi, meja-meja, dinding dan sebagainya, sedangka tipe staturio sering dipakai untuk seni pahat dan patung.Proses penambangan marmer dilakukan secara sederhana dengan peralatan sederhana seperti gergaji.Daerah penghasil marmer yang telah diketahui berpotensi dan sudah diitambang berada didaerah Jawa Timur (Tulungagung), Lampung, Makassar, Timor.

j. Oniks

Endapan oniks mempunyai komposisi kimia CaCO3 terdiri dari mineral kalsit yang berlapis dengan ketebalan dan pola yang bervariasi. Umumnya berwarna putih kekuningan dan agak bening sehingga tembus pandang. Oniks terjadi pada rongga atau tekanan batu gamping yang berasal dari larutan kalsium karbonat baik yang terjadi pada temperatur panas atau dingin. Bila oniks ini terkena proses metamorfose maka akan terbentuk oniks marmer. Seperti marmer, oniks tidak tahan terhadap larutan asam oleh sebab itu disarankan jangan sampai terkena air hujan. Oniks biasanya dimanfaatkan sebagai hiasan seperti asbak, vas, lampu duduk/ gantung atau bentuk dekorasi lainnya.

Endapan oniks yang sudah diketahui keberadaannya yaitu didaerah jawa barat (Ciniru, kabupaten kuningan), Jawa tengah (Daerah wirosari), dan beberapa daerah jawa timur. Proses penambangan yang dilakukan sama seperti penambangan marmer.

k. Rijang

Rijang (SiO2) Terbentuk sebagai hasil perubahan kimiawi pada pembentukan batuan endapan terkompresi, pada proses diagenesis. Ada teori yang menyebutkan bahwa bahan serupa gelatin yang mengisi rongga pada sedimen, misalnya lubang yang digali oleh mollusca, yang kemudian akan berubah menjadi silikat. Teori ini dapat menjelaskan bentuk kompleks yang ditemukan pada rijang.

Rijang banyak tersebar diwilayah indonesia diantaranya daerah Istimewa aceh, Jawa barat, Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan barat, Kalimantan selatan, Sulawesi selatan, Nusa tenggara timur. Rijang termasuk sebagai bahan batu setengah permata. Oleh sebab itu kebanyakan dibentuk sebagai hiasan (ornament).Proses penambangan yang dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti linggis.

m. Mangan

Mangan termasuk unsur terbesar yang terkandung dalam kerak bumi. Bijih mangan utama adalah pirolusit dan psilomelan, yang mempunyai komposisi oksida dan terbentuk dalam cebakan sedimenter dan residu. Mangan mempunyai warna abu-abu besi dengan kilap metalik sampai submetalik, kekerasan 2 – 6, berat jenis 4,8, massif, reniform, botriodal, stalaktit, serta kadang-kadang berstruktur fibrous dan radial. Mangan berkomposisi oksida lainnya namun berperan bukan sebagai mineral utama dalam cebakan bijih adalah bauxit, manganit, hausmanit, dan lithiofori, sedangkan yang berkomposisi karbonat adalah rhodokrosit, serta rhodonit yang berkomposisi silika.

Cebakan mangan dapat terjadi dalam beberapa tipe, seperti cebakan hidrotermal, cebakan sedimenter, cebakan yang berasosiasi dengan aliran lava bawah laut, cebakan metamorfosa, cebakan laterit dan akumulasi residu. Sekitar 90% mangan dunia digunakan untuk tujuan metalurgi, yaitu untuk proses produksi besi-baja, sedangkan penggunaan mangan untuk tujuan non-metalurgi antara lain untuk produksi baterai kering, keramik dan gelas, kimia, dan lain-lain.

Potensi cadangan bijih mangan di Indonesia cukup besar, namun terdapat di berbagai lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Potensi tersebut terdapat di Pulau Sumatera,

Dalam dokumen Proses Terbentuknya Endapan Bahan Galian (Halaman 22-39)

Dokumen terkait