• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

5. Kerangka Teori

5.3 Teori Ketahanan Pangan

5.3.2 Penyediaan Pangan

Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui :

a. Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA), manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.

b. Impor dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.16

Ketahanan pangan atau aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan dan kebijakan tata niaga, atau distribusi pangan dari sentral produksi sampai

16

ketangan konsumen. Akses individu dapat juga ditopang dengan oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Intervensi pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih nampak relevan, terutama untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim panen, dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga kebutuhan pokok pada musim tanam atau musim paceklik.17

Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung.

Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi.

17

5.3.3 Kebijakan Perberasan

Kebijakan beras adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai instansi/lembaga pemerintah untuk mempengaruhi keputusan tiga pelaku distribusi/pemasaran padi/beras dan konsumen beras. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan ditingkat nasional dan rumah tangga serta mampu meredam laju inflasi.

Kebijakan perberasan diantaranya sebagai berikut:

1. Kualitas SDM atau tingkat pendidikan/keterampilan petani harus ditingkatkan, termasuk tingkat penguasaan teknologi dan informasi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksivitas dan kualitas produk.

2. Perbaikan basis kelompok – kelompok petani pada setiap areal sentra produksi termasuk pemberdayaan jaringan – jaringan kerja antara sentra – sentra tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki komunikasi antar petani pada masing – masing sentra, sehingga mereka bisa menangani dengan cepat dan baik berbagai hal yang menyangkut tentang sistem produksi, manajemen usaha tani, penenganan pascapanen, dan potensi pemasaran.

3. kebijakan pemerintah mengenai perkreditan harus memprioritaskan sektor pertanian, dan untuk mendukung kebijakan tersebut harus ada komitmen yang besar dari sektor perbankan.

4. Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana , seperti jalan desa, gudang – gudang tempat penyimpanan gabah/beras, pabrik –

pabrik produksi beras, pusat – pusat informasi, irigasi, penerangan, listrik, telekomunikasi. Pembangunan dan perbaikan ini tidak hanya di Jawa, tetapi lebih penting lagi di luar Jawa.

5. Pengembangan teknologi tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas, tetapi juga untuk mengatasi keterbatasan tanah dan pengembangan teknologi biologis-kimiawi. Untuk tujuan ini harus ada kerja sama yang erat antara petani (pihak produsen) dengan lembaga – lembaga penelitian dan pengembangan dan perguruan – perguruan tinggi, baik dari pemerintah maupun swasta. Departemen pertanian juga harus kembali aktif melakukan penelitian dan pengembangan misalnya, mengembangkan bibit yang dapat ditanam diladang, bukan hanya persawahan yang memerlukan banyak air.18

6.1 Metodologi Penelitian 6.1.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian tersebut adalah metode deskriptif. Metode penelitian deskripif dilakukan dengan menganalisa data dan fakta. Metode penelitian deskripstif sebagai sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diteliti dengan menerangkan keadaan sebuah objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.19

18

Budi Winarno. Ibid , Hal. 209 19

Hadar Nawawi. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987, Hal. 63

Berdasarkan itu, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memberikan kesempatan ekspresi dan penjelasan lebih besar dari orang yang melakukan penelitian.20 Pendekatan ini juga lebih menekankan analisisnya pada proses pengambilan keputusan secara induktif dan juga deduktif serta analisis pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah.21

6.1.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mencapai penelitian yang baik, dalam kelengkapan data penelitian maka peneliti menggunakan sistem kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data yang bersumber dari kepustakaan. Sumber tersebut diperoleh dengan membaca serta memahami data-data yang bersumber dari buku, majalah, jurnal dan sumber lainnya yang masih berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti dalam karya ilmiah tersebut.

6.1.3 Teknik Analisa data

Setelah data-data terkumpulkan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Teknik analisis penelitian ini bersifat deskriptif kearah tujuan untuk memberikan gambaran mengenai situasi dan kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul akan dieksplorasi secara mendalam dan selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

20

Lisa Harrison. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, Hal. 86

21

7.1 Sistematika Penulisan

Adapun Sistematika Penulisan ini adalah :

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari : Latarbelakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sitematika penulisan

Bab II Deskripsi Umun Objek Penelitian

Pada Bab ini menguraikan gambaran umum Pemerintahan SBY –JK.

Bab III Analisa Hasil Penelitian

Pada Bab ini akan menyajikan analisa dari penelitian mengenai Kebijakan Pemerintahan SBY –JK dalam Konteks Politik Pangan Tahun 2004.

Bab IV Penutup

Bab ini merupakan ulasan terakhir yang berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian serta saran-saran di dalamnya.

BAB II

Gambaran Umum Pemerintahan SBY –JK

2.1 Pemilihan Presiden Secara Langsung Pada Masa Pemerinahan SBY-JK

Indonesia yang diproklamasikan pada 1945, telah berusia 65 tahun pada 2010 ini. Sepanjang usia tersebut telah terjadi beberapa kali pergantian kepala negara (presiden). Berakhirnya masa orde baru yang ditandai dengan gerakan reformasi diiringi oleh berbagai tuntutan-tuntutan reformasi. Salah satu tuntutan reformasi adalah demokratisasi. Di setiap sektor kehidupan termasuk kepemimpinan seorang pemimpin dalam hal ini presiden sebagai kepala negara. Maka gaya-gaya kepemimpinan pada masa orde baru yang cenderung bergaya otoriter dan militeristik di bawah komando Soeharto sulit untuk diterapkan kembali di era reformasi saat ini karena adanya peningkatan liberalisasi/kebebasan rakyat dan kebebasan pers yang luas. Oleh sebab itu, kepemimpinan SBY jika dilihat dari indikator-indikator gaya-gaya kepemimpinan yang ada. Kepemimpinan sifatnya spesifik dan khas diperlukan bagi situasi khusus, situasi dan zamannya.

Tokoh-tokoh yang pernah menjadi kepala negara adalah Soekarno (1946-1965), Soeharto (1965-1997), BJ. Habibie (1998-1999), KH. Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Keseluruhan kepala negara tersebut dipilih secara tidak langsung oleh rakyat.

Tahun 2004 merupakan pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hasil pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dengan wakil presiden M Jusuf Kalla (JK). Pemerintahan SBY-

JK berlangsung sejak 2004 hingga 2009. Ini bukti bahwa karakteristik presidensialisme pada pemerintahan SBY-JK telah terpenuhi dalam pemilihan langsung oleh rakyat. Dimana pada pemerintahan sebelumnya pemilihan presiden dilakukan oleh parlemen.

Adapun gambaran pemilihan presiden secara langsung ini yang merupakan hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bentuk penyempurnaan sistem pemerintahan presidensial yaitu petama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Kedua, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketiga, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, selanjutnya dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Dalam pemilihan presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat dukungan 69.266.350 (60.62%) suara sah. Sementara itu, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 (39,38%) suara sah..

Sistem ini kebalikan dari sistem perlementer, sistem pemerintahan presidensial berbasis pada legitimasi presiden yang bersumber dari rakyat, bukan dari parlemen. Oleh karena itu, sistem pemerintahan presidensial ditandai dengan penerapan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.

Basis legitimasi pemerintahan SBY-JK dalam sistem presidensial secara politik berasal dari rakyat. Sehingga basis legitimasi ini diperoleh melalui mekanisme pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan bersifat tetap. Oleh karena itu, secara politik presiden bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada parlemen. Maksud dari masa jabatan yang bersifat tetap yang disebutkan tadi yaitu bahwa presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan pada saat masa jabatan sedang berlangsung dikarenakan ini menyangkut perpolitikan Bangsa Indonesia.

Menurut saya, Strategi pemenangan Partai Demokrat dan SBY terletak pada kedisiplinan solidnya tim dan keseragaman, stabilitas organisasi politiknya serta tindakan-tindakan yang terukur dengan baik. Hal ini yang menjadikan masyarakat memilih SBY-JK terpilih sebagai Presiden dan Wapres.

Selain itu figur seorang SBY-JK yang memiliki sosok yang kharismatik sehingga rakyat merasa sosok nya dianggap mampu menjalankan kepentingan rakyat dan peduli akan rakyatnya.

2.2 Pemerintahan SBY – JK

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan pemerintahan pertama produk pemilu hasil amandemen UUD 1945. Pemerintahan ini dapat dikatakan sebagai laboraturium politik pertama bagi berhasil atau gagalnya penerapan sistem presidensial di Indonesia yang relatif telah mengalami purifikasi. Instutisionalisasi sistem presidensial murni ini terbentuk sejak amandemen ketiga dan keempat UUD 1945 dan mulai diterapkan secara utuh pada Pemilu 2004. Praktis sejak itu, sistem pemerintahan presidensial di Indonesia secara konstitusional mengalami purifikasi.22

Dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sangat jelas ada kompromi politik antara SBY dan partai politik pendukung pemerintah. SBY-JK mengakomodasi kepentingan partai tersebut dengan menempatkan kader-kader partai tersebut di kabinetnya. Partai Persatuan Pembangunan menempatkan dua kadernya di kabinet yaitu Suryadarma Ali sebagai Menteri Koprasi dan Usaha Menengah dan Bachtiar Chamsah sebagai menteri sosial. Partai Amanat Nasional

Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menamanatkan bahwa sistem pemerintahan kita adalah presidensial. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Perlu kita telaah lagi karakter sistem pemerintahan presidensial tersebut bagaimana sebenarnya pelaksanaannya pada masa pemerinahan SBY-JK.

22

Penegasan purifikasi system presidensial di Indonesia ditandai institusionalisasi system pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dengan system satu paket pencalonan, pembatasan masa jabatan presiden, dan penguatan mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif, serta pelembagaan impeachment presiden melalui mekanisme hukum, sebelumnya sudah ada pelembagaan hak prerogatif presiden untuk menyusun kabinet serta kedudukan persiden sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan (single chief executive).

juga menempatkan dua kadernya di kabinet yaitu Hatta Radjasa sebagai Menteri Perhubungan dan Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Demikian juga dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang yang masing-masing menempatkan kadernya 2 orang di kabinet serta PKPI mendapatkan 1 kursi kabinet.

Kompromi politik dalam penyusunan dan perombakan kabinet selama pemerintahan SBY-JK selalu disertai maneuver dan intervensi partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah. Intervensi partai politik terhadap presiden terlihat bila Presiden Yudhoyono berencana mencopot seorang menteri dari partai politik. Partai politik tersebut mengancam akan mencabut dukungannya kepada pemerintah. Model lain, apabila ada menteri tidak loyal kepada partainya, partai itu mendesak presiden agar menteri tersebut dicopot dari kabinet. Jika tidak diganti, partai tersebut mengancam menarik dukungannya kepada presiden.23

23

Ibid, hal. 153

Kompromi ini bias berbentuk akomodasi kepentingan partai politik oleh Presiden atau kompromi diakibatkan karena adanya intervensi partai politik terhadap Presiden itu sendiri. Sehingga, keputusan akhir dari pembentukan dan reshuffle kabinet tetap dipegang oleh Presiden. Dan meskipun dipegang oleh Presiden, pola relasi kompromi ini telah memiliki kekuasaan dalam mengangkat dan memberhentikan menteri.

Dengan demikian kekuasaan Presiden Yudhoyono tersandera oleh kepentingan pragmatis partai politik yang ingin mendapatkan jatah kekuasaan. Dan hal ini tidak dapat diabaikan oleh presiden karena hal itu menjadi keharusan dalam sistem pemerintahan yang menganut paham multi partai.

Pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif dari presiden. Dalam pembentukan kabinet, presiden memiliki kekuasaan tunggal dalam menyususn kabinetnya. Presiden terbebas dari intervensi partai politik dan lebih mengedepankan profesionalisme dan kemampuan daripada akomodatif terhadapa kepentingan partai politik. Namun dalam kenyataannya, pembentukan kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK sangat kental dengan pembentukan kabinet dalam sistem pemerintahan parlementer.

Sebenarnya di dalam sistem presidensial, presiden dari partai minoritas dapat saja membentuk pemerintahan tanpa koalisi. Namun dia dapat menghadapi masalah dalam menjalankan proses pemerintahan karena ia memerlukan dukungan dari legislatif. Di sini ada keperluan yang jelas untuk membentuk koalisi. Hanya saja tujuan utamanya bukan pada terbentuknya pemerintahan, melainkan untuk mengamankan jalannya pemerintahan.24 Presiden SBY-JK sangat jelas terlihat kompromi dengan partai-partai politik yang memiliki kursi di DPR dalam membentuk kabinet. Ini dilakukan karena bagaimanapun pemerintahan SBY-JK sangat membutuhkan koalisi di parlemen. Kalau melihat jumlah kursi yang mendukung pemerintahan SBY-JK sejak awal hanya 113 kursi atau 20,5% dari keseluruhan jumlah kursi, maka sangat rawan sekali pemerintahan tersebut apabila tidak mengakomodasi kekuatan lain di parlemen.25

24

Djayadi Hanan. Koalisi Sistem Pesidensial, Kompas 11 Mei 2010 hal 7 25

Hanta yuda. Op cit hal 157

Jika kita merujuk terhadap semua karakter sistem tersebut, maka kita dengan yakin akan mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem presidensialisme murni. Namun itu semua tidak bisa lepas dari kompromi politik karena berkaitan dengan sistem multi partai yang kita anut.

Indikasi presidensialisme yang kompromis di era pemerintahan SBY tergolong dalam presidensialisme setengah hati terlihat dari beberapa aspek kompromi eksternal berikut ini: Pertama, kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet yang tidak terlepas dari intervensi partai-partai politik mitra koalisi pemerintahan SBY-JK dan akomdasi pemerintah terhadap kepentingan partai politik tersebut berupa kursi di kabinet. Kedua, rapuhnya ikatan koalisi partai pendukung pemerintah. Koalisi yang terbangun sangat cair dan sarat dengan kepentingan sesaat partai anggota koalisi. Ketiga, adanya kontrol parlemen terhadap pemerintah secara berlebihan yang mengakibatkan jalannya pemerintahan kurang efektif. Dan keempat, perjalanan pemerintahan SBY-JK rentan dengan ancaman pemakzulan dari DPR. Pemerintah masih sangat rentan pemakzulan oleh DPR karena alasan politis atau disebabkan kebijakan pemerintah yang ditentang DPR.26

Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi

Dari empat indikasi presidensialisme yang kompromis pada era pemerintahan SBY-JK tersebut dapat kita lihat kenyataannya.

(coalition)

26

Ibid. hal 134

dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar pendukung awal, tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. Sulit dibantah dan secara jujur

harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi SBY-JK.27

27

http://saldiisra.web.id

Rapuhnya ikatan koalisi juga terlihat dalam pemerintahan SBY-JK terutama dalam hal menyangkut kebijakan pemerintah. Banyaknya hak interpelasi yang digunakan DPR menandakan ikatan koalisi sangat cair dan tidak dapat mengamankan jalannya kebijakan pemerintahan. Akan tetapi mereka sebaliknya mengabaikan ikatan koalisi dan melakukan tekanan terhadapa pemerintah. Dan yang paling memojokkan pemerintah adalah lolosnya hak angket DPR terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Ini juga menandakan terjadinya kontrol DPR terhadap pemerintah yang terlalu kuat yang membuat pemerintahan SBY-JK berjalan tidak efektif.

2.3 Gambaran Pemerintahan SBY – JK Di Bidang Pertanian

Setelah satu tahun Pemerintahan SBY-JK berjalan, mulai muncul suara dari kalangan partai politik akan perlunya perombakan (reshuffle) kabinet. Kemunculan tuntutan reshuffle kabinet ini didorong janji Presiden SBY untuk mengevaluasi kinerja para menteri setelah satu tahun memerintah.

Presiden SBY melakukan perombakan kabinet yang bertujuan mengevaluasi kinerja para menteri, dikarenakan mereka dinilai tidak mencapai standar yang diinginkan SBY dalam kontrak politik atau menteri tersebut tidak cocok pada posisi yang dijalani. Selain itu dalam beberapa waktu sebelum mengumumkan reshuffle SBY membuat pernyataan bahwa penggantian menteri mempertimbangkan faktor kesehatan.

Ali Masykur Musa, Anggota DPR RI dalam harapannya sebelum dilakukannya reshuffle kabinet menyatakan : “Kabinet Indonesia Bersatu memiliki kelemahan pada dua bidang yakni pertanian dan ekonomi secara umum, Kebijakan di dua bidang ini kurang menukik dan tak memiliki paradigma yang jelas. Bayangkan saja, Indonesia kini terus mengimpor beras. Tidak ada langkah konkret pemerintah untuk memberdayakan petani. Target pertumbuhan ekonomi malah mengabaikan sektor pertanian, padahal ada puluhan juta warga Indonesia yang sangat tergantung pada maju tidaknya sektor pertanian. Karena itu SBY sebaiknya mengganti menteri di bidang pertanian dan ekonomi secara umum”28

Hal diatas menunjukkan kalau Ali Masykur Musa merasa dengan keadaan partanian dan ekonomi tersebut, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan bahkan pernah mengalami masa keemasan sebagai negara yang

28

mampu berswasembada beras, puncaknya pada tahun 1984 Presiden Soeharto ketika itu menerima penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO). posisi swasembada beras bangsa Indonesia tidak dapat dipertahankan dan berkelanjutan, tragisnya justru kondisi perberasan semakin merosot tajam. Hal ini ditandai dengan selain tidak mampu lagi berswasembada beras, Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor satu didunia serta penetapan harga gabah yang mengalami fluktuatif dan tidak berpihak pada petani dan tingkat kesejahteraan petani sangat minim.

Dapat kita lihat kebijakan-kebijakan sektor pertanian, hal ini telah disinggung sebelumnya saat mereka melakukan kampanye pemilihan presiden tahun 2004 Susilo Bambang Yudhoyuno dan Jusuf Kalla (SBY-JK) mengeluarkan buku putih, yang didalamnya terdapat program pembaruan agraria akan tetapi saya nantinya hanya memaparkan persoalan tetang pangan khususnya beras. Ketika pada akhirnya SBY –JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2004-2009, janji untuk melaksanakan pembaruan agraria itu diperkuat sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam sektor pertanian ada sejumlah keberhasilan SBY-JK yaitu prestasi paling membanggakan pemerintah adalah swasembada beras pada 2008. Menjelang pemilu presiden, opini tentang keberhasilan pemerintah SBY-JK semakin sering terdengar. Untuk itu kita bisa mencari janji SBY-JK saat kampanye lima tahun yang lalu. Janji-janji tersebut yaitu disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Untuk sektor pertanian, janji itu dituangkan

dalam dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Di dalamnya tertuang operasionalisasi strategi selama 2005-2009.

Dalam dokumen revitalisasi pertanian, ada 12 kebijakan yang ditempuh. Di antaranya, investasi dan pembiayaan, manajemen pertanahan dan tata ruang, infrastruktur, pengembangan SDM dan pemberdayaan petani, riset dan pengembangan, kebijakan pangan, kebijakan perdagangan, perpajakan dan retribusi, serta agroindustri pedesaan. Sedangkan manajemen pertanahan dan tata ruang, selain menyediakan lahan pertanian abadi 15 juta hektar lahan beririgasi dan 15 juta hektar lahan kering, lahan tersebut dilakukan untuk pencegahan alih fungsi lahan. Dengan berbagai upaya pemerintah, dalam jangka waktu tahun 2005-2008, produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian tumbuh mengesankan hingga sampai 3,34 persen.

Berdasarkan data kemiskinan 2005-2008 yang saya amati, tingkat kesejahteraan penduduk pedesaan dan perkotaan membaik. Sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar (66 persen) menurunkan jumlah penduduk miskin. Neraca perdagangan komoditas pertanian meningkat konsisten dengan rerata 29,29 persen per tahun. Pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian mencapai 1,56 persen per tahun, lebih tinggi dari rerata pertumbuhan total angkatan kerja (1,24 persen per tahun).

Dalam kurun waktu 2004-2008 produksi tanaman pangan meningkat secara konsisten. Produksi padi meningkat rerata 2,78 persen per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008). Jika produksi

Dokumen terkait