IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4. Penyelarasan Sistem Knowledge Management dengan Strateg
untuk menjadi organisasi pembelajar, yaitu kondisi sosial, kondisi organisasi dan kondisi teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor Kondisi Organisasi menjadi prioritas pertama dengan bobot nilai 0,668, kemudian disusul oleh Kondisi Sosial/SDM (budaya) dengan bobot nilai 0,188 dan Kondisi Teknologi pada urutan ketiga dengan bobot 0,145. Hal ini menunjukkan bahwa faktor Kondisi Organisasi menjadi prioritas RMI untuk dipenuhi sebagai prasyarat guna mencapai organisasi sebagai learning organization. Pengalaman yang cukup banyak sebagai ORNOP yang memiliki keahlian dalam proses pendampingan masyarakat di kawasan hutan
tentunya harus berbanding lurus dengan informasi dan pengetahuan yang dimiliki organisasi. Namun sepanjang tidak terkelola dengan baik, pengetahuan yang ada akan pergi bersamaan dengan staf yang keluar dari organisasi. Penting bagi RMI membangun iklim keterbukaan diantara staf dengan mekanisme-mekanisme yang disepakati bersama.
Berdasarkan pada catatan notulensi pada kegiatan in house training RMI pada 5-6 Desember 2013, bahwa RMI belum memiliki mekanisme dan sistem yang jelas secara tertulis atas lalu lintas data dan informasi serta pengetahuan yang dimiliki. Seluruh staf pada dasarnya memahami alur tersebut, namun semua bergerak secara spontanitas. Strategi personalisasi lebih banyak dibangun di lembaga ini, dan ORNOP pada umumnya. Sementara strategi kodifikasi belum dilakukan dengan baik yang mengakibatkan staf menjadi ketergantungan tinggi pada divisi KM karena merasa sulit mencari data dan informasi yang dibutuhkan. Ini berpotensi pada mudahnya kehilangan pengetahuan organisasi selama RMI berdiri. Oleh karena itu penting bagi RMI untuk memprioritaskan faktor Kondisi Organisasi sebagai enabler condition. Salah satunya adalah menyusun road map pengetahuan dengan lebih jelas dan sistematis.
Sistem KM yang mampu berjalan dengan baik dan konsisten serta selaras juga dipengaruhi oleh aktor-aktor yang berperan di dalam organisasi tersebut serta pilihan bentuk strategi organisasi, baik hard variables maupun soft variables, seperti yang tergambarkan pada Gambar 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Direktur Eksekutif menjadi prioritas dalam pengelolaan pengetahuan di RMI dengan bobot 0,376. Selanjutnya diikuti oleh peran Deputi Keuangan dan SDM dengan bobot 0,283 menempati prioritas kedua. Peran Manager Knowledge Management berada pada prioritas ketiga dengan bobot 0,270. Sementara peran pakar independen belum prioritas bagi RMI dengan bobot 0,071. Peran masing-masing aktor tentunya akan sangat berbeda namun saling mendukung. Keputusan yang diambil Direktur Eksekutif dan dituangkan dalam bentuk SOP tentu akan memudahkan peran Manager KM dalam mengimplementasikan strategi pengelolaan pengetahuan RMI. Sementara pakar independen akan sangat membantu dalam pengembangan wacana KM dalam
49
industri NGO. Jika membandingkan faktor-faktor pada kondisi pemungkin dengan aktor penting yang berperan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada faktor Sosial/SDM dan faktor Organisasi, peran Direktur Eksekutif menjadi penting dalam mencapai kondisi pemungkin tersebut degan bobot mencapai 0,452. Namun untuk faktor Teknologi, peran Manager Knowledge Management memiliki peran penting dalam mengoptimalkan teknologi yang digunakan dengan bobot 0,441. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Hubungan faktor danaktor dalam pengelolaan pengetahuan Aktor Faktor Direktur Eksekutif Deputi SDM Manager Knowledge Management Pakar Independen Sosial/SDM (Budaya) 0,452 0,273 0,194 0,018 Organisasi 0,412 0,278 0,254 0,055 Teknologi 0,107 0,319 0,441 0,133
Tabel 16 Prioritas alternatif strategi pengelolaan pengetahuan RMI Tingkat 4 (Alternatif) Bobot Prioritas
Hard Variables System 0,245 1 Strategy 0,151 2 Structure 0,036 3 Soft Variables Skill 0,271 1 Staff 0,156 2 Share Values 0,140 3 Style 0,034 4
Menyelaraskan Sistem Knowledge Management dalam Organisasi RMI Sosial/SDM (Budaya) (0.188) Organisasi (0.688) Teknologi (0.145) Direktur Eksekutif (0.376) Deputi Kantor dan Sumberdaya (0.283) Manager Knowledge Management (0.270) Pakar Independen (0.071) Strategy (0.151) Stucture (0.036) System (0.245) Style (0.034 ) Staff (0.156) Skill (0.271) Share Values (0.140) Hard Variables Soft Variables
Gambar 7. Stuktur AHP penyelarasan sistem KM dalam organisasi RMI Model 7s McKinsey menyebutkan bahwa keberhasilan organisasi dalam pencapaian pengelolaan pengetahuan terbagi menjadi hard variable dan soft variable.
Hasil olahan data yang diperoleh menyebutkan bahwa RMI memandang kombinasi
soft variable dan hard variable menjadi prioritas. Pada hard variables, system
menjadi prioritas pertama sebagai alternatif strategi yang dijalankan RMI. Sedangkan pada soft variable, skill menjadi prioritas sebagai alternatif strategi yang perlu dijalankan. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 16.
Alternatif strategi pada hard variable, RMI menganggap system sebagai prioritas pertama sebagai variabel keberhasilan organisasi. Standar Operasional Prosedur (SOP) menjadi acuan dalam pelaksanaan organisasi, baik formal maupun informal, seperti sistem kompensasi, sistem alokasi pembiayaan program yang berjalan, sistem monitoring dan evaluasi organisasi. Namun untuk sistem informasi manajemen belum diketemukan dokumen utuh terkait hal tersebut.
Selanjutya prioritas kedua pada hard variables dalam pengelolaan pengetahuan RMI adalah strategy, dimana RMI selalu mensortir jalan atau cara terbaik sesuai
51
Sumber: Nasution (2013)
dengan code of conduct organisasi sebagai bentuk pertahanan dan keberlanjutan organisasi. Seperti yang tercantum dalam hasil Rencana Strategis RMI tahun 2011, terdapat perubahan strategi yang dipilih dalam mewujudkan self finance organisasi, yaitu dengan mulai mempromosikan hasil pengalaman dan pembelajarannya dalam bentuk pelayanan pelatihan bagi masyarakat untuk issu tertentu. Sedangkan prioritas ketiga pada hard variables adalah stucture, dimana RMI hingga tahun 2013 memiliki 13 board (7 orang Dewan Pembina, 3 orang Dewan Pengawas dan 3 orang Dewan Pengurus) dengan latar belakang yang berbeda yang tentunya berkewajiban menjalankan organisasi melalui penguatan kapasitas badan pelaksana eksekutif baik secara formal maupun informal. Hal ini juga mendukung keterwakilan RMI pada jaringan kerja yang lain dalam mengkampanyekan issu-issu yang sedang dijalankan organisasi. Pada tahun 2013 RMI telah memiliki 120 relawan aktif yang ikut membantu dalam pelaksanaan kegiatan RMI, yang secara formal maupun informal pengetahuan staf mengalir kepada relawan.
Pada soft variables, variabel skill menjadi prioritas utama yang dipilih RMI sebagai alternatif strategi untuk mencapai keberhasilan organisasi RMI sebagai organisasi pembelajar. Pada variabel
ini RMI perlu merumuskan core crucial untuk mendapatkan keunikan tersendiri dengan organisasi lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Nasution (2013) dalam presentasinya yang mengutip Boersma (2006) dengan
memperkenalkan Model van
kennissoorten. Tidak banyak NGO
yang bekerja secara langsung dengan
masyarakat di kawasan hutan konservasi dengan metode-metode yang atraktif. RMI memiliki keterampilan kuat dalam mengembangkan model-model pendidikan alternatif bagi komunitas sebagai bentuk penguatan kapasitas petani (laki-laki dan perempuan) serta kelompok anak muda di sekitar DAS Cisadane. Staff merupakan
prioritas kedua sebagai alternatif strategi pada soft variables. Pengelolaan informasi dan pengetahuan di RMI baru berjalan secara spontan diantara staf dan jaringan kerjanya. Dokumen hasil in house training RMI (2013) mengakui bahwa RMI tidak melakukan perencanaan yang jelas bagi staf. RMI masih mengandalkan undangan jaringan kerja untuk peningkatan kapasitas staf sesuai dengan kebutuhan divisi. Sedangkan sharevalues dan style organisasi menjadi priroitas alternatif straegi ketiga dan keempat pada soft variables.
Hasil penelitian pada RMI ini mendukung dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho dan Amalia (2010) bahwa CSO atau ORNOP memerlukan strategi pengelolaan pengetahuan dengan mengubah strategi personalisasi menjadi kodifikasi, dimana pengetahuan tacit individu harus dirancang untuk menjadi pengetahuan organisasi.