• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Lingkup Penyelenggaraan Pasal 56

Ruang lingkup penyelenggaraan perhubungan laut terdiri dari penyelenggaraan:

a. angkutan laut;

b. usaha jasa terkait angkutan; c. perizinan angkutan;

d. kepelabuhanan; dan

e. keselamatan dan keamanan pelayaran. Bagian Kedua Angkutan Laut

Pasal 57 Angkutan laut tediri dari:

a. angkutan laut dalam negeri; b. angkutan laut luar negeri; c. angkutan laut khusus; dan d. angkutan laut pelayaran rakyat.

Pasal 58

Kegiatan angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah adalah angkutan laut dalam negeri dan angkutan laut pelayaran rakyat.

Paragraf 1

Angkutan Laut Dalam Negeri Pasal 59

(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).

(3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek yang telah ditetapkan.

(4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri disusun dengan memperhatikan:

a. pengembangan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata;

b. pengembangan wilayah dan/atau daerah; c. rencana umum tata ruang;

d. keterpaduan intra dan antarmoda transportasi; dan e. perwujudan wawasan nusantara.

(5) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan asosiasi pengguna jasa angkutan laut.

(6) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikoordinasikan oleh Menteri.

(7) Jaringan trayek tetap dan teratur disusun berdasarkan rencana trayek tetap dan teratur yang disampaikan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional kepada Menteri dan usulan trayek dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Asosiasi Perusahaan Angkutan Laut Nasional.

(8) Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional dengan mempertimbangkan:

a. kelaiklautan kapal;

b. menggunakan kapal berbendera indonesia dan diawaki oleh warga negara indonesia;

c. keseimbangan permintaan tersedianya ruangan;

d. kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan e. tipe dan ukuran kapal yang sesuai dengan kebutuhan.

Paragraf 2

Angkutan Laut Luar Negeri Pasal 60

(1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.

(2) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari:

a. pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri; atau b. pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus

yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. Paragraf 3

Angkutan Laut Khusus Pasal 61

(1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan usaha pokok di bidang:

a. industri; b. kehutanan; c. pariwisata; d. pertambangan; e. pertanian; f. perikanan;

g. salvage dan pekerjaan bawah air; h. pengerukan;

i. jasa konstruksi; dan

j. kegiatan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyelenggaraan kegiatan sosial lainnya.

Paragraf 4

Angkutan Laut Pelayaran Rakyat Pasal 62

(1) Kegiatan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat sebagai usaha masyarakat yang bersifat tradisional, dilakukan oleh orang perseorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Usaha

dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Penggunaan Kapal Angkutan Laut Pelayaran Rakyat berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. kapal layar tradisional yang digerakan sepenuhnya oleh tenaga angin;

b. kapal layar motor berukuran tertentu dengan tenaga mesin dan luas layar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

c. kapal motor dengan ukuran tertentu.

(3) Pengembangan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat dilaksanakan untuk:

a. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;

b. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan

c. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut nasional.

(4) Armada Angkutan Laut Pelayaran Rakyat dapat dioperasikan di dalam negeri dan lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur.

Bagian Ketiga

Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan Pasal 63

(1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan.

(2) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dapat berupa:

a. bongkar muat barang; b. tally mandiri; dan

c. ekspedisi/freight forwarder.

(3) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan.

Bagian Keempat

Izin Usaha Angkutan di Perairan Pasal 64

(1) Badan Usaha atau perseorangan yang akan melakukan kegiatan usaha angkutan di perairan wajib memiliki izin.

(2) Izin sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari: a. izin usaha angkutan di perairan;

b. izin usaha bongkar muat; c. izin usaha tally mandiri; dan

d. izin usaha ekspedisi/freight forwarder.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Bupati.

(4) Izin usaha angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:

a. izin usaha perusahaan angkutan laut yang berdomisili dalam wilayah kabupaten dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat; dan b. izin usaha pelayaran rakyat yang berdomisili dan

beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten / kota.

Bagian Kelima Kepelabuhanan

Paragraf 1

Kewenangan dan Peran Pemerintah Daerah Pasal 65

Kewenangan Pemerintah Daerah di wilayah laut adalah 4 mil diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 66

(1) Penyelenggaraan pelabuhan yang berada di Daerah dilaksanakan untuk memberikan manfaat bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah. (2) Dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna

pelaksanaan peran pelabuhan, Pemerintah Daerah mempunyai peran, tugas dan wewenang sebagai berikut:

a. mendorong pengembangan kawasan perdagangan, kawasan industri dan pusat kegiatan perekonomian lainnya;

b. mengawasi terjaminnya kelestarian lingkungan di pelabuhan;

c. ikut menjamin keselamatan dan keamanan pelabuhan; d. menyediakan dan memelihara infrastruktur yang

menghubungkan pelabuhan dengan kawasan perdagangan, kawasan industri dan pusat kegiatan perekonomian lainnya;

e. membina masyarakat disekitar pelabuhan dan memfasilitasi masyarakat di wilayahnya untuk dapat berperan serta secara positif terselenggaranya kegiatan pelabuhan;

f. menyediakan pusat informasi muatan di tingkat wilayah; g. memberikan izin mendirikan bangunan di sisi daratan;

dan

h. memberikan rekomendasi dalam penetapan lokasi pelabuhan dan terminal khusus di wilayahnya.

Paragraf 2

Peran, Fungsi, Jenis dan Hierarki Pelabuhan Pasal 67

Pelabuhan memiliki peran sebagai:

a. simpul dalam jaringan transportrasi sesuai dengan hierarkinya; b. pintu gerbang kegiatan perekonomian daerah dan

internasional;

c. tempat kegiatan alih moda dan transportrasi;

d. penunjang kegiatan industri dan atau perdagangan;

e. tempat distribusi, produksi dan konsolidasi muatan atau barang; dan

f. mewujudkan Wawasan Nusantara dan Kedaulatan Negara. Pasal 68

(1) Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan: a. pemerintahan; dan

b. pengusahaan.

Pasal 69

(1) Pelabuhan menurut jenisnya terdiri dari: a. pelabuhan laut; dan

b. pelabuhan sungai dan danau.

(2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, digunakan untuk melayani:

a. angkutan laut; dan

b. angkutan penyeberangan. Pasal 70

Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a, secara hierarki terdiri atas:

a. pelabuhan utama;

b. pelabuhan pengumpul; dan c. pelabuhan pengumpan.

Paragraf 3 Lokasi Pelabuhan

Pasal 71

(1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional berdasarkan permohonan dari Pemerintah Daerah.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi persyaratan yang terdiri dari:

a. Rencana Induk Kepelabuhan Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;

d. Rencana Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan; dan

e. Hasil studi kelayakan mengenai: 1. kelayakan teknis.

2. kelayakan ekonomi. 3. kelayakan lingkungan.

4. pertumbuhan ekonomi dan perkembagan sosial daerah setempat.

5. keterpaduan intra-dan antarmoda.

6. adanya aksesibilitas terhadap hinterland.

7. keamanan dan keselamatan pelayaran; dan pertahanan dan keamanan.

Paragraf 4

Rencana Induk Pelabuhan Pasal 72

(1) Bupati menetapkan rencana induk pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a, untuk pelabuhan laut pengumpan serta pelabuhan sungai dan danau sebagai pedoman penetapan lokasi pembangunan, pengoperasian dan pengembangan pelabuhan.

(2) Bupati memberikan rekomendasi terkait kesesuaian dengan tata ruang wilayah Kabupaten terhadap Rencana Induk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul.

(3) Rencana Induk pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun dengan memperhatikan :

a. rencana tata ruang wilayah nasional, propinsi dan kabupaten;

b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi daerah; c. potensi sumber daya alam; dan

d. perkembangan lingkungan strategis baik nasional maupun lokal.

(4) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 2), meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan rencana peruntukan wilayah perairan.

(5) Rencana peruntukan wilayah daratan dan perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berdasar pada kriteria kebutuhan :

a. fasilitas pokok; dan b. fasilitas penunjang.

(6) Ketentuan mengenai kriteria kebutuhan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 5

Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan

Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan Pasal 73

Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Pelabuhan terdiri dari:

a. wilayah daratan yang digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang; dan

b. wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur pelayaran, tempat labuh, tempat alih muat antar kapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 74

Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan merupakan Perairan Pelabuhan diluar Daerah Lingkungan Kerja Perairan yang digunakan untuk alur pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan darurat, pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati, percobaan berlayar, kegiatan pemanduan, fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal.

Pasal 75

(1) Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan lokal dan Pelabuhan Sungai dan Danau ditetapkan oleh Bupati

(2) Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp) untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul diajukan kepada Menteri terkait setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati.

Paragraf 6

Penyelenggara Pelabuhan Pasal 76

(1) Penyelenggara pelabuhan terdiri atas: a. otoritas pelabuhan; dan

(2) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial.

(3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.

.

Pasal 77

(1) Penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan yang dikelola Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah.

(2) Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah bertanggungjawab kepada Bupati.

Pasal 78

Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), mempunyai tugas dan tanggungjawab: a. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam

pelabuhan;

b. meyediakan dan memelihara sarana bantu navigasi pelayaran; c. menjamin keselamatan dan ketertiban di pelabuhan;

d. memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;

e. menyusun rencana induk pelabuhan, DLKr dan DLKp pelabuhan;

f. menjamin kelancaran arus barang; dan g. menyediakan fasilitas pelabuhan.

Pasal 79

(1) Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan di pelabuhan pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau.

(2) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan di pelabuhan pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan dengan terlebih dahulu mendapatkan konsesi dari Unit Penyelenggara Pelabuhan. (3) Pemberian konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui mekanisme tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 7

Pembangunan, Pengembangan dan Pengoperasian Pelabuhan Pasal 80

(1) Pembangunan dan pengembangan pelabuhan pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau harus berdasarkan rencana induk pelabuhan.

(2) Pembangunan dan pengembangan pelabuhan pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah setelah mendapat izin dari Bupati.

(3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan, serta memperhatikan keterpaduan intra dan antar moda transportasi.

(4) Ketentuan mengenai Perizinan, Persyaratan Teknis dan Kelestarian Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Pasal 81

(1) Izin pengoperasian pelabuhan pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh Bupati.

(2) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. pembangunan pelabuhan telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan pelabuhan;

b. keselamatan dan keamanan pelayaran;

c. tersedianya fasilitas untuk menjamin arus penumpang dan barang;

d. memiliki sistem pengelolaan lingkungan

e. tersedianya pelaksana kegiatan kepelabuhanan f. memiliki sistem dan prosedur pelayaran; dan

g. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat.

(3) Ketentuan mengenai Tata Cara dan Mekanisme Pengajuan Izin dan Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 8

Terminal Khusus dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 82

(1) Untuk menunjang kegiatan tertentu diluar Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan, dapat dibangun terminal khusus guna menunjang kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.

(2) Lokasi terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Belitung Timur.

(3) Bupati memberikan rekomendasi dalam penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 9

Tarif Pelayanan Kepelabuhanan Pasal 83

Tarif pelayanan kepelabuhanan di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah tersendiri.

Bagian Ketujuh Kelaiklautan Kapal

Pasal 84

(1) Setiap pengadaan, pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal. (2) Persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), meliputi : a. material;

b. konstruksi; bangunan; c. permesinan dan pelistrikan; d. stabilitas;

e. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio; dan

f. elektronika kapal.

(3) Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta data kelengkapannya.

Pasal 85

(1) Keselamatan kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (tujuh) GT harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal dengan pemberian sertifikat.

(2) Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas :

a. sertifikat keselamatan kapal penumpang; b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan

(3) Keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian.

(4) Terhadap kapal yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan penilikan secara terus-menerus sampai kapal tidak digunakan lagi.

(5) Pemeriksaan, pengujian dan penilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan oleh Dinas.

(6) Ketentuan mengenai Tata Cara Penerbitan Sertifikat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 86

(1) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83.

(2) Pengawasan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Dinas.

(3) Pengawasan meliputi: a. pengukuran kapal;

b. pemeriksaan konstruksi kapal; c. pemeriksaan permesinan kapal; dan d. pemeriksaan perlengkapan kapal.

(4) Ketentuan mengenai Pengawasan Keselamatan Kapal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Pasal 87

(1) Setiap kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (tujuh) GT yang berlayar di perairan sungai dan danau dan yang berlayar di laut sebelum dioperasikan wajib status hukum kapal.

(2) Status hukum kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui proses:

a. pengukuran kapal; b. pendaftaran kapal; dan

c. penetapan kebangsaan kapal. Pasal 88

(1) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf a, dilakukan untuk kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 GT yang berlayar di perairan daratan (sungai dan danau) dan kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 GT yang berlayar di laut.

(2) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Dinas.

(3) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal (Pas Kecil) sebagai pengganti surat ukur kapal.

(4) Pada kapal yang telah mendapatkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal (Pas Kecil) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipasang cap bakar dengan baik dan mudah dibaca.

Pasal 89

Kapal yang telah diukur dan mendapatkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal (Pas Kecil) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) didaftarkan kepada Dinas dan dicatat dalam Buku Register Pas Kecil.

Pasal 90

(1) Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) wajib diawaki oleh awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.

(2) Awak kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas kapal sesuai dengan jabatannya.

(3) Kapal dengan ukuran tonase kotor kurang dari 7 (tujuh) GT yang berlayar di laut diterbitkan dokumen pengawakan kapal. (4) Dokumen pengawakan kapal sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) diterbitkan oleh Dinas.

(5) Ketentuan mengenai Pengawakan Kapal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Bagian Kedelapan Kenavigasian

Paragraf 1 Umum Pasal 91

Untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran, diselenggarakan kenavigasian yang meliputi :

a. sarana bantu navigasi pelayaran; b. telekomunikasi pelayaran;

c. hidrografi dan meteorologi; d. alur dan perlintasan;

e. bangunan dan instalasi; f. pengerukan dan reklamasi; g. pemanduan;

h. kerangka kapal; dan

Pasal 92

Kegiatan sebagian penyelenggaraan kenavigasian yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah meliputi :

a. sarana bantu navigasi pelayaran; b. pengerukan dan reklamasi;

c. salvage dan pekerjaan bawah air. Paragraf 2

Sarana Bantu Navigasi Pelayaran Pasal 93

(1) Pemerintah Daerah menetapkan lokasi pemasangan dan pemeliharaan serta pengawasan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran pada wilayah perairan sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 63.

(2) Jenis Sarana Bantu Navigasi Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. visual yang terdiri dari: Menara Suar, Rambu Suar, Pelampung Suar, dan Tanda Siang;

b. elektronik yang terdiri dari: Global Positioning System (GPS), Differential Global Positioning System (DGPS), Radar Beacon, Radio Beacon, Radar Serveylance, dan Medium Wave Radio Beacon; dan

c. wilayah berkabut (audible).

(3) Sarana Bantu Navigasi Pelayaran berfungsi untuk: a. menentukan posisi dan/atau haluan kapal;

b. memberitahukan adanya bahaya/rintangan pelayaran; c. menunjukkan batas-batas alur pelayaran yang aman; d. menandai garis pemisah lalu lintas kapal; dan

e. menunjukkan kawasan dan/atau kegiatan khusus di perairan.

Paragraf 3

Pengerukan dan Reklamasi Pasal 94

(1) Untuk membangun dan memelihara alur pelayaran dan kolam pelabuhan serta kepentingan lain di wilayah perairan pelabuhan laut pengumpan lokal dan pelabuhan sungai dan danau di Kabupaten dilakukan pengerukan.

(2) Kepentingan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. pembangunan pelabuhan;

b. pembangunan penahan gelombang; c. penambangan; dan/atau

d. bangunan lain yang memerlukan pekerjaan pengerukan yang dapat mengakibatkan terganggunya pelayaran.

Pasal 95

(1) Pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi serta dibuktikan dengan sertifikat dari Pemerintah.

(2) Pelaksanaan pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan teknis, meliputi :

a. keselamatan dan keamanan berlayar; b. kelestarian lingkungan;

c. tata ruang perairan; dan

d. tata pengairan khusus untuk pekerjaan di sungai dan danau.

(3) Pekerjaan pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat izin dari Bupati.

(4) Ketentuan mengenai Persyaratan Teknis dan Tata Cara Perizinan Pengerukan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 96

Bupati memberikan rekomendasi untuk pekerjaan pengerukan di wilayah perairan di Daerah untuk pelabuhan guna kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan persyaratan teknis tata ruang perairan pada pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul.

Pasal 97

(1) Untuk membangun pelabuhan dan terminal khusus di pelabuhan laut pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau antar Kabupaten dilakukan reklamasi.

(2) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi serta dibuktikan dengan sertifikat dari Pemerintah.

(3) Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan teknis, meliputi :

a. kesesuaian dengan Rencana Induk Pelabuhan bagi kegiatan reklamasi yang lokasinya berada didalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan atau rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten yang bersangkutan bagi kegiatan pembangunan terminal khusus;

b. keselamatan dan keamanan berlayar; c. kelestarian lingkungan; dan

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan Teknis Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 98

(1) Pekerjaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapat izin dari Bupati. (2) Dalam hal pelaksaan reklamasi dilakukan di dalam daerah

lingkungan kerja (DLKr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan pengumpan dan pelabuhan sungai dan danau dalam Kabupaten, pengajuan izin dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 4

Salvage dan Pekerjaan Bawah Air Pasal 99

(1) Pemerintah Daerah memberikan rekomendasi untuk penerbitan izin usaha kegiatan salvage serta persetujuan pekerjaan bawah air dan pengawasannya.

(2) Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Dokumen terkait