• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM PEKERJA LOKAL YANG TELAH DIPAKSA PEMIMPIN PERUSAHAAN UNTUK BERBAHASA ASING

3.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

perusahaannya mengingat bahwa TKA memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan tenaga kerja lokal sendiri36. Dengan demikian, sanksi perdata berperan penting untuk melindungi para tenaga kerja lokal dari tindakan pemberi kerja atau pengusaha yang bersifat sewenang-wenang. Apabila terjadi suatu perselisihan antara pengusaha dengan pekerja, dalam penyelesaiannya pada umumnya tidak langsung menggunakan hukum yang berlaku, tetapi mencari penyelesaian perselisihan secara damai dengan melalui perundingan terlebih dahulu agar tidak berlanjut pada pengadilan37.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum administrasi ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara serta bagaimana perannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara terdapat 3 (tiga) hal yaitu pejabat, lembaga, dan warga negara. Pejabat yang dimaksud yaitu pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi. Kemudian terkait perannya berkaitan dengan menjalankan fungsi negara dalam pembuatan peraturan atau pemberian izin (bestuur), bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat terjadi (politie), serta bagaimana upaya hukumnya (rechtspraak). Pemerintah sebagai penyelenggara negara di bidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan ketiga fungsi tersebut dengan baik38.

3.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

36Ibid, h.48. 37Ibid, h.49.

38 Asri Wiajayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h.13.

Dalam sebuah perusahaan, baik itu pemimpin maupun pekerja keduanya memiliki kepentingan atas keberhasilan suatu perusahaan dan atas kelangsungan usahanya, meskipun keduanya memiliki kepentingan akan tetapi tidak dapat dipungkiri akan terjadi suatu konflik atau perselisihan yang terjadi antara pemimpin dan pekerjanya. Kewajiban adanya bahasa asing bagi pekerja lokal dapat menimbulkan suatu perselisihan, dimana pekerja lokal itu tidak dapat dipaksa untuk berbahasa asing. Apabila hal itu terjadi maka terjadilah suatu perbedaan pendapat, yang mana perbedaan pendapat itu terdapat suatu unsur perselisihan, perselisihan terkait dengan kewajiban adanya bahasa asing ini, maka dapat diselesaikan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Di dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Insustrial (yang selanjutnya disebut UU PPHI), perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Perselisihan hak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU PPHI adalah perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk didalamnya

hal-hal yang sudah ditentukan dalam perusahaan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku39.

Perselisihan kepentingan berdasarkan pasal 1 angka 3 UU PPHI adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dari kedua pengertian tersebut terdapat perbedaan antara perselisihan hak dengan perselisihan kepentingan. Yakni, tentang perselisihan hak, objek sengketanya adalah tidak dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena adanya perbedaan dalam implementasi atau penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang melandasi hak yang disengketakan. Sedangkan dalam perselisihan kepentingan objek sengketanya karena tidak adanya kesesuaian paham/pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama40. Perselisihan pemutusan hubungan kerja berdasarkan pasal 1 angka 4 UU PPHI adalah perselisihaan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Apabila seseorang pengusaha mempunyai hak untuk mengakhiri hubungan kerja, maka pekerja juga mempunyai hak yang sama untuk minta berhenti kerja, perjanjian kerja dibuat secara sukarela, oleh karena itu pekerja tidak boleh dipaksa

39 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan diluar Pengadilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h.43.

untuk bekerja pada orang atau perusahaan tertentu di luar ikatan dinas yang disepakati sebelumnya41.

Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh berdasarkan pasal 1 anka 5 UU PPHI adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Berdasarkan pengertian keempat jenis perselisihan tersebut, perselisihan yang mungkin terjadi kepada pemimpin perusahaan TKA dengan tenaga kerja lokal yaitu perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/buruh. Akan tetapi yang lebih tepat adalah perselisihan kepentingan karena pemimpin perusahaan TKA mensyaratkan pekerja lokal untuk berbahasa asing. Sesuai dengan kategori perselisihannya, upaya hukum tenaga kerja lokal berkaitan dengan penghilangan hak-hak yang dimiliki oleh tenaga kerja lokal. Apabila seorang tenaga kerja lokal telah bekerja dengan baik di perusahaan yang dipimpin oleh TKA kemudian ia tidak diberikan haknya, maka tenaga kerja dapat melakukan upaya hukum.

Para pihak dapat melakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dengan dua mekanisme yakni penyelesaian secara sukarela (voluntary) dan penyelesaian wajib (compulsory). Penyelesaian secara sukarela dapat dilakukan melalui mekanisme Konsiliasi dan Arbitrase. Sedangkan penyelesaian wajib dilakukan melalui perundingan bipartit, mediasi dan Pengadilan

41 H.P. Panggabean, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Jala Permata, Jakarta, 2007, h.30.

Perselisihan Hubungan Industial (Pengadilan PHI) yang dibentuk pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung (MA)42.

Penyelesaian secara sukarela (voluntary) dapat menempuh 2 (dua) upaya hukum yaitu:

1. Konsiliasi

Penyelesaian melalui konsiliasi (conciliation) ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan secara damai43. Dalam UU PPHI Pasal 1 angka 13 dijelaskan bahwa konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Sedangkan konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seseorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaiakan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

42 Marsen Sinaga, Pengadilan Perburuhan di Indonesia, Perhimpunan Solidaritas Buruh, Yogyakarta,2006, h.84.

Dengan demikian jelaslah bahwa konsiliator penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini berasal dari pihak ketiga, di luar pegawai instansi yang bertanggungjawab pada bidang ketenagakerjaan dan perselisihan hak tidak dapat ditangani oleh konsiliator. Berbeda dengan mediator yang berasal dari pegawai instansi yang bertanggungjawab pada bidang ketenagakerjaan dan perselisihan hak dapat ditangani oleh mediator. Dalam pasal 19 ayat (1) UU PPHI bahwa seorang konsiliator harus memenuhi syarat antara lain sebagai berikut:

a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Warga negara Indonesia;

c. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; d. Pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1); e. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

g. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;

h. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan

i. Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Dalam UU PPHI telah diatur cara untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, yang mana dalam pasal 17 (tujuh belas) sampai dengan pasal 28 (dua puluh delapan) sebagai berikut:

1) Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.

2) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 8 (delapan) harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.

3) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.

4) Apabila penyelesaian melalui konsiliasi tercapai kesepakatan, maka akan dibuat perjanjian bersama yang ditandangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

5) Apabila konsiliasi tidak tercapai kesepakatan, maka: a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. Anjuran tertulis yang telah dikeluarkan oleh konsiliator dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada

dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;

d. jika para pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis;

e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

f. apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

g. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

h. apabila anjuran tertulis yang dibuat oleh konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

i. Konsiliator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.

2. Arbitrase

Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbistrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999) yang berlaku dalam bidang bisnis, sedangkan penyelesaian hubungan industrial yang diatur dalam UU PPHI ini merupakan pengaturan khusus untuk penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial, yang mana sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi

generali, yang artinya peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

mengesampingkan peraturan yang bersifat umum.

Sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus UU PPHI menjelaskan pengertian Arbiter Hubungan Industrial dalam Pasal 1 angka 15 yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih

untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Sedangkan Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final, yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 UU PPHI.

Dengan pengertian diatas bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter wajib dilakukan melalui kesepakatan tertulis para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihannya dan putusannya mengikat para pihak serta bersifat final kepada arbiter. Seorang arbiter dapat ditetapkan sebagai arbiter harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Cakap melakukan tindakan hukum;

c. Warga negara Indonesia;

d. Pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);

e. Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; f. Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;

g. Menguasai peraturaan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan

h. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.

Dalam UU PPHI mensyaratkan bahwa penyelesaian melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan tertulis oleh para pihak yang berselisih dan dituangkan dalam surat perjanjian arbitrase. Berdasarkan Pasal 32 ayat (3) UU PPHI surat perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya memuat:

1) nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;

2) pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;

3) jumlah arbiter yang disepakati;

4) pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan

5) tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.

Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.

Dengan demikian, apabila dalam hal pekerja lokal dipaksa oleh pemimpin perusahaan TKA untuk berbahasa asing, maka pekerja lokal tersebut dapat mengajukan penyelesaian dengan sukarela yaitu Konsiliasi dimana pemimpin perusahaan TKA dengan tenaga kerja lokal dipertemukan untuk menyelesaikan perselisihan secara damai yang dibantu oleh penengah/konsiliator karena adanya perselisihan kepentingan yang mana pekerja lokal di mutasi karena tidak berbahasa asing dan adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mana pekerja lokal tersebut tidak mematuhi aturan dari pemimpin perusahaan yang mewajibkan untuk berbahasa asing, sehingga pekerja lokal kemudian di PHK, karena di dalam peraturan tidak terdapat suatu alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK karena tidak berbahasa asing di suatu perusahaan. PHK tidak dapat dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang, PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi, menurut UU Ketenagakerjaan alasan-alasan perusahaan dapat melakukan PHK yaitu:

a. Pekerja melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan);

b. Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan);

c. Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri (Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan);

d. Perubahan status, penggabungan, pelemburan atau perubahan kepemilikan pada perusahaan (Pasal 163 UU Ketenagakerjaan);

e. Perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian (Pasal 164 UU Ketenagakerjaan);

f. Perusahaan pailit (Pasal 165 UU Ketenagakerjaan);

g. Pekerja meninggal dunia (Pasal 166 UU Ketenagakerjaan);

h. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun (Pasal 167 UU Ketenagakerjaan);

i. Pekerja mangkir secara terus menerus (Pasal 168 UU Ketenagakerjaan); j. PHK karena alasan efisiensi;

Dapat juga pekerja lokal melakukan penyelesaian melalui arbitrase yang mana penyelesaian ini merupakan kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan perselisihannya kepada arbiter yang nantinya putusannya mengikat para pihak dan bersifat final, karena terdapat perselisihan kepentingan yaitu apabila pekerja lokal di mutasi karena tidak berbahasa asing yang diwajibkan oleh pemimpin perusahaan, perselisihan kepentingan ini dengan demikian merupakan syarat bekerja dalam perusahaan ini yang mana wajib untuk berbahasa asing bagi pekerja lokal, sehingga dapat diselesaikan melalui arbitrase.

Sedangkan penyelesaian secara wajib (compulsory) dapat menempuh beberapa upaya hukum, yaitu:

1. Bipartit

Sesuai dengan pasal 3 UU PPHI, perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit

secara musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian melalui bipartit ini merupakan penyelesaian terbaik karena penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih dengan cara musyawarah tanpa adanya campur tangan pihak lain, sehingga dapat memperoleh hasil yang memuaskan untuk kedua pihak.

Tata cara penyelesaian secara bipartit (negosiasi) telah diatur dalam UU PPHI Pasal 6 dan Pasal 7 yang pada intinya adalah:44

1) Perundingan untuk mencapai suatu mufakat yang dilakukan oleh para pihak harus memuat risalah yang ditanda tangani oleh para pihak. Risalah dimaksud antara lain memuat:

a. nama lengkap dan alamat para pihak; b. tanggal dan tempat perundingan;

c. pokok masalah atau alasan perselisihan; d. pendapat para pihak;

e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan

f.tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan. 2) Jika musyawarah yang dilakukan mencapai kesepakatan

penyelesaian, dibuat perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh para pihak.

3) Perjanjian Bersama tersebut bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.

44 Lalu Husni, Op.Cit., h.54.

4) Perjanjian Bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.

5) Apabila Perjanjian Bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi.

6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Insutrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan akan tetapi tidak mecapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Apabila perundingan melalui bipartit gagal, berdasarkan pasal 4 UU PPHI maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti tersebut tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

Dengan demikian, apabila dalam hal pekerja lokal dipaksa oleh pemimpin perusahaan TKA untuk berbahasa asing, maka pekerja lokal yang keberatan karena dipaksa untuk berbahasa asing dapat melakukan penyelesaian secara wajib yaitu melaui bipartit, yang mana bipartit ini merupakan penyelesaian yang wajib dilakukan terlebih dahulu oleh pemimpin perusahaan dan pekerja lokal secara musyawarah untuk mecapai mufakat tanpa adanya campur tangan pihak lain. Kemudian apabila bipartit gagal maka pekerja lokal dapat melakukan upaya hukum yang kedua yaitu mediasi, karena telah terjadi perselisihan kepentingan yang disebabkan pemimpin perusahaan memaksa pekerja lokal untuk berbahasa asing.

2. Mediasi

Mediasi berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU PPHI merupakan penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator dalam hal ini adalah pegawai

instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Dengan demikian, mediasi dilakukan oleh pihak ketiga yang netral, maksudnya tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini mediator hanya berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan atau diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pasal 9 UU PPHI telah diatur bahwa seorang mediator harus memenuhi syarat antara lain sebagai berikut:

a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Warga negera Indonesia;

c. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

d. Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; e. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; f. Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan g. Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi berdasarkan UU PPHI pasal 4, didahului dengan tahapan sebagai berikut:

1) Apabila perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan; 2) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi

yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase;

3) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

Sebagaimana ketentuan umum mengenai mediasi, hasil dari mediasi adalah sebuah anjuran tertulis, anjuran tersebut dapat ditolak ataupun diterima. Berdasarkan pasal 13 ayat (2) huruf e UU PPHI, apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, maka mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat penjanjian bersama untuk kemudian di daftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan

Dokumen terkait