• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

F. Penyelesaian Sengketa Bisnis

Penyelesaian Sengketa merupakan hal yang bagi sebagian orang kadang kala tabu dibicarakan, namun sering kali menjadi perdebatan yang hangat dan sengit. Dikatakan tabu, karena secara alamiah tidak ada seorangpun yang menghendaki terjadinya sengketa, apapun bentuk dan macamnya. Walaupun demikian kenyataannya bahwa sengketa, bagaimanapun orang berusaha menghindarinya pasti akan selalu muncul meski dengan kadar keseriusan yang berbeda-beda.

Majunya perdagangan dunia, disatu sisi memang memberikan dampak positif, namun di sisi lain dapat menimbulkan perbedaan paham, perselisihan pendapat maupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat adanya salah satu yang melakukan wanprestasi terhadap kontrak dagang tersebut. Perbedaan paham, perselisihan pendapat maupun pertentangan atau sengketa tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak.

Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, namun demikian perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa homogen, menguntungkan dan memberikan rasa aman dan keadilan bagi para pihak.22

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara utuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu perkara tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi tersebut, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa-sengketa yang paling tepat bagi para pihak yang bersengketa.

22

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), halaman 1.

Penyelesaian sengketa di Indonesia dapat dilakukan dengan dua (2) mekanisme yaitu: melalui jalur Litigasi dan melalui jalur Non-Litigasi. Secara lebih Spesifik mekanisme tersebut dapat dilihat dalam Gambar dibawah ini :

Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-Undang ini tidak hanya mengatur mengenai Arbitrase sebagai salah satu Alternatif penyelesaian sengketa yang telah cukup dikenal di Indonesia, melainkan juga Alternatif penyelesaian sengketa lainnya yang dapat dilakukan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, atau Konsiliasi atau pendapat ahli.

Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh Undang-Undang No.30 tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 6 terdiri dari:

Non Litigasi Litigasi Pengadilan Niaga Arbitrase -Mediasi -Negosiasi -Konsultasi -Konsiliasi Internasional Pengadilan Negeri Nasional ( BANI ) Wewenang lainnya. Sengketa Bisnis Gugatan WanPrestasi Kepailitan & PKPU

a. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk

“Negosiasi” (sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.30 tahun 1999);

b. Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan)

pihak ketiga yang netral diluar para pihak yaitu dalam bentuk Mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No.30 tahun 1999;

c. Penyelesaian melalui Arbitrase (Pasal 6 ayat (9) Undang-Undang No.30

tahun 199923.

Undang-Undang ini juga mengatur ( secara bersama-sama) suatu proses pelaksanaan perjanjian, yang diterjemahkan oleh Undang-Undang ini dalam bentuk pemberian pendapat “Konsultasi” atau penilaian oleh ahli-ahli, atas hal-hal atau penafsiran-penafsiran terhadap satu atau lebih ketentuan yang belum atau tidak jelas, yang antara lain bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa diantara para pihak dalam perjanjian.

Penyelesaian Sengketa melalui jalur Litigasi dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri atau dapat pula melalui Pengadilan Niaga dengan cara mengajukan permohonan Pailit maupun permohonan PKPU. Pengadilan Niaga merupakan suatu pengkhususan Pengadilan dibidang perniagaan yang terbentuk dalam lingkungan Peradilan Umum, yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 280 ayat

23

(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu pada Pasal 300 ayat (1) yang berbunyi :

“Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang”.

Proses penyelesaian sengketa melalui Litigasi di Pengadilan Negeri dianggap tidak efektif dan efisien. Kritik yang paling umum dilontarkan kepada Pengadilan Negeri diantaranya:

ƒ Penyelesaian Sengketa melalui Litigasi sangat lambat, hal ini merupakan kenyataan yang dihadapi masyarakat di Indonesia. Penyelesaian perkara mulai dari Tingkat Pertama sampai dengan Kasasi rata-rata antara 7 sampai 12 tahun. Keterlambatan tersebut sulit dihilangkan sebab semua perkara diajukan Banding dan Kasasi, bahkan permohonan Peninjauan Kembali sudah menjadi mode dikalangan masyarakat Indonesia;

ƒ Mahalnya biaya Berperkara di pengadilan; ƒ Peradilan pada umumnya Tidak Reponsif24

Pembentukan Peradilan Khusus yang akan menyelesaikan masalah sengketa bisnis merupakan hasil dari inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan. Lembaga tersebut berupa Pengadilan Niaga, dengan hakim-hakim yang

24

M. Yahya Harahap, SH, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

dengan demikian juga akan bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah deferensiasi atas Peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kehadiran Pengadilan Niaga ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan dunia usaha yang mengharapkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat dan efektif, termasuk didalamnya masalah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.

Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara-perkara perniagaan dan akan diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara-perkara perniagaan lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penetapan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan atau perkara kepailitan semata-mata untuk mengefisienkan proses pemeriksaan permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pengertian Kepailitan yang terkandung dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 yaitu suatu sitaan umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Penyitaan dan eksekusi yang dimaksud dari pengertian tersebut merupakan penyitaan bersama untuk menjaga agar semua Kreditor memperoleh manfaat dari Boedel Pailit, yang dilakukan dengan jalan dibagi menurut perimbangan hak tagihan masing-masing. Dengan demikian secara prinsip semua Kreditor mempunyai hak

yang sama atas pembayaran, ini berarti bahwa hasil harta kepailitan akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan Kreditor.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan pemberian kesempatan kepada Debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruhnya atau sebagian utangnya kepada Kreditor Konkuren (Kreditor yang tidak memiliki agunan dan tidak mempunyai hak istimewa serta yang tagihannya tidak diakui atau diakui secara bersyarat).25

Dengan demikian sesungguhnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat dikatakan sebagai kesempatan atau peluang bagi perusahaan agar jangan sampai dinyatakan pailit, sehingga dengan didampingi Pengurus yang ditunjuk oleh Pengadilan, Debitor masih dapat menjalankan usahanya. Karena itu selama masa tengga waktu tersebut dapat diadakan dan diusahakan segala upaya pendekatan dan penyelesaian sengketa bisnis antara Kreditor dan Debitor misalkan dengan Restrukturisasi utang dan apabila berhasil dituangkan sebagai substansi perdamaian (Accord) yang merupakan sarana/upaya yang menjadi jaminan bagi Kreditor untuk mempailitkan Debitor apabila perdamaian itu tidak dilaksanakan atau gagal dipenuhi Debitor.

Pada prinsipnya, setiap debitor atau Kreditur yang menduga atau mengetahui dirinya (Debitur) tidak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran utang dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang. Permohonannya tersebut

25

Kartini Mulyani, Penyelesaian Utang Piutang melalui Kepailitan atau PKPU, (Bandung: Alumni, 2001), halaman 10.

diajukan ke pengadilan dengan harapan dapat menyelesaikan Utang-Piutang melalui Rencana Perdamaian yang telah diajukan pihak Debitur kepada para Krediturnya.

Dalam penyelesaian Utang-Piutang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), hak dan kewenangan debitor atas harta kekayaan tidak hilang, sehingga ia dapat tetap menjalankan usahanya dengan didampingi oleh pengurus. Dengan adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka dapat terjadi beberapa kemungkinan, yaitu :

a. Piutang-piutang para Kreditor akan dibayar/dapat dibayar seluruhnya oleh Debitor;

b. Pembayaran Piutang Kreditor itu dilunasi sebagian melalui pemberesan tahap demi tahap;

c. Suatu perdamaian dibawah tangan;

d. Pengesahan perdamaian apabila terjadi perdamaian yang lazim disebut gerchtelijke accord atau dwang accord;

e. Pernyataan pailit, apabila tujuan yang hendak dicapai dengan pengunduran pembayaran itu tidak tercapai.26

26

Lee A. Weng, Tinjauan Pasal Demi Pasal Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905 No. 217 Jo S. 1906 No. 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan Undang Undang No. 4 Tahun 1998, (Medan, 2001), halaman 373

BAB III

Dokumen terkait