• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Desain Industri

BAB II TINJAUAN UMUM DESAIN INDUSTRI

D. Penyelesaian Sengketa Desain Industri

Pada dasarnya, penyebab timbulnya sengketa di bidang desain industri meliputi hal sebagai berikut:84

1. Pengguna desain secara tanpa hak, yaitu adanya kegiatan seseorang secara tanpa hak atau tanpa kewenangan untuk menggunakan desain dalam proses produksi barangnya tanpa dilandasi suatu alas hukum yang sah. Pelanggaran seperti ini bentuknya dapat berupa peniruan dari aslinya, yaitu peniruan desain produk tertentu sehingga produk yang bersangkutan mempunyai esensi yang sama dengan desain

54 yang asli atau juga berupa esensi produksi barangnya hampir sama dengan penampilan seolah-olah asli;

2. Persengketaan desain industri juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di antara pihak-pihak yang terkait dengan perikatan;

3. Bantahan atau Permohonan Pencoretan Pendaftaran Desain.

Pasal 46 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Desain Industri menyebutkan bahwa pemegang hak desain industri atau penerima lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan membuat, memakai, menjual, atau mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industri melalui gugatan ganti kerugi, atau penghentian semua perbuatan yang merupakan pelanggaran yang diajukan ke Pengadilan Niaga.85

Sementara itu, materi yang boleh digugat pihak yang dirugikan, yaitu pemegang hak desain industri atau penerima desain industri dapat berupa gugatan ganti kerugian atau penghentian perbuatan membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industri. Dengan demikian, gugatan tidak hanya sebatas pada penghentian, tetapi juga dimaksudkan untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian-kerugian materi atau kerugian-kerugian yang sifatnya yang dilakukan oleh pelanggar.86

85 Ibid.

55 Penegasan ini penting dilakukan mengingat pemegang hak desain industri/penerima lisensi sering kali dirugikan secara ekonomis akibat pelanggar hak desain meskipun produksi barang-barang tersebut telah dihentikan. Adalah wajar baginya untuk tetap memperoleh keuntungan ekonomi dalam jangka waktu tertentu tetapi tidak dapat menerimanya akibat adanya produksi berdasarkan desain yang dimilikinya secara melawan hukum. Sebaliknya, pelanggar yang jelas beritikat tidak baik adalah setimpal untuk juga diberi hukuman akibat perbuatan tersebut yang menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi pemegang hak desain industri atau penerima lisensi.87

Proses penyelesain sengketa, pihak yang dirugikan dapat meminta Hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan Surat Penetapan Sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Desain Industri yang meliputi pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran hak desain industri dan penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak desain industri. Berdasarkan pemintaan tersebut, Hakim Pengadilan Niaga dapat melaksanakan penetapan yang menyangkut hal-hal tersebut dan dengan segera kepada pihak yang dikenai tindakan dengan catatan pihak yang dikenai tindakan tersebut diberi kesempatan untuk didengar keterangannya.88

87 Ibid.

56 Pasal 51 Undang-Undang Desain Industri, menentukan bahwa jika Hakim Pengadilan Niaga tetap menerbitkan Surat Penetapan Sementara, Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan:89

a. Mengubah;

b. Membatalkan, atau

c. Menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dalam jangka waktu maksimal 30 hari sejak dikeluarkannya surat penetapan.

Jika ditelaah secara lebih mendalam, Undang-Undang Desain Industri tampaknya secara seimbang juga melindungi pihak-pihak yang dituntut secara adil.90 Pasal 52 Undang-Undang Desain Industri, menyebutkan:

“Dalam hal penetapan sementara Pengadilan Niaga dibatalkan, pihaknyangnmerasandirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara pengadilan atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh penetapan sementara pengadilan tersebut”.

Kesimpulan dari Pasal 52 Undang-Undang Disain Industri ini adalah bahwa pihak yang merasa dirugikan akibat dibatalkannya penetapan penetapan sementara Pengadilan Niaga dapat menuntut ganti rugi terhadap pihak yang meminta penetapan sementara pengadilan berupa kompensasi atas kerugian-kerugian yang ditimbulkan penetapan sementara pengadilan tersebut.

Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud, di atas sengketa desain industri dapat juga diselesaikan melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang

89 Ibid.

57 diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai Alternatif Penyelessaian Sengketa.91 Di indonesia, peraturan tentang ini termuat dalam Udang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, dan dinyatakan berlaku tanggal 12 Agustus 1999.

Ada beberapa keuntungan yang diperoleh jika penyelesaian sengketa itu dilakukan melalui arbitrase, yaitu:92

1. Dijamin kerahasian sengketa para pihak;

2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serrta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

4. Para pihak dapat menentukan pilihan untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

5. Putusaan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan langsung dapat dilaksanakan.

Dikalangan pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dari pada melalui pengadilan karena:93

91 Ibid.

92

OK Saidin, op cit, hal.507.

93 Erman Rajagukguk, Penyelesaian Sengketa Alternatif; Negoisasi, Mediasi, Arbitrase, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal.39.

58 1. Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui arbitrase di luar negeri karena menganggap sistim hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka;

2. Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim negara berkembang tidak mengusai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit;

3. Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai Makamah Agung;

4. Keenganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan pengadilan bertolak dari anggapan bahwa pengadilan akan bersikap subjektif kepada mereka, karena sengketa diperiksa dan diadili berdasarkan hukum negara mereka oleh hakim bukan dari negara mereka;

5. Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan dagang diantara mereka;

6. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tertutup sifatnya, sehingga tidak publikasi mengenai sengketa yang timbul.

Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa HaKI termasuk desaian industri yang memiliki kopentensi absolut setara dengan pengadilan.94 Putusan-putusannya

94 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Badan Arbitrase Nasional, menyebutkan bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

59 bersifat final dan mengikat (final and binding) karena para pihak telah sepakat tanpa adanya banding dan kasasi serta memiliki kekuatan hukum seperti layaknya putusan pengadilan.

Bentuk-bentuk ADR meliputi negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dalam negosiasi, penyelesaian sengketa pada dasarnya diupayakan oleh para pihak sendiri. Mediasi dan konsiliasi saling menggantikan karena pada hakekatnya adalah sama, yaitu penyelesaian sengketa dimana para pihak

secara sukarela mencari penyelesaian dengan jalan merundingkan suatu kesepakatan tentang penyelesaian yang mengikat dengan batuan pihak ketiga dengan tidak memihak.95

Selanjutnya samapailah kepada proses tahapan-tahapan/prosedur dalam penyelesaian sengketa melaui arbitrase, secara garis besar adalah sebagai berikut:96 1. Permohonan diajukan oleh pemohon sendiri melalui kuasa hukumnya secara

tertulis dengan melampirkan perjanjian lisensi yang dimaksud, yang memuat klausula arbitrase dalam bahasa Indonesia;

2. Permohonan tersebut dikirim kepada termohon disertai permintaan agar dalam waktu 14 hari termohon memberikan jawaban atau tanggapan;

penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya dalam ayat 2 nya menyebutkan, bahwa Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

95 Ranti Fauza Mayana, op cit, hal.178.

60 3. Pihak pemohon sekaligus mengajukan permohonan tentang pilihan arbiter secara tertulis dan pihak arbiter yang bersangkutan memberi pernyataan menerima atau menolak. Demikian juga pihak termohon bersamaan dengan jawabannya harus mengajukan arbiter pilihan;

4. Pihak ketiga dapat turut campur serta menggabungkan diri berdasar kepentingannya. Keikutsertaan harus disetujui oleh kedua pihak dan Majelis Arbiter;

5. Arbiter atau Majelis Arbiter menentukan tanggal dan tempat sidang dengan tidak mengurangi hak para pemohon dan termohon untuk menentukan tempat sidang lain. Hari sidang pertama telah ditetapkan paling lama 14 hari terhitung mulai perintah untuk hadir kepada pihak atau kuasanya dikeluarkan;

6. Rekonvensi dapat diajukan oleh pihak termohon dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama yang diperiksa dan diputus oleh Majelis Arbiter bersama pokok perkara;

7. Kalau pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, maka tuntutannya dinyatakan gugur dan dianggap telah selesai;

8. Permohonan dapat dicabut sebelum ada jawaban termohon dan apabila sudah ada jawaban termohon maka perubahan atau penambahan pada tuntutan harus disetujui oleh pihak termohon sepanjang tidak mengubah dasar hukum permohonan;

61 9. Pemeriksaan perkara arbitrase harus selesai dalam waktu paling lama 180 hari dihitung sejak arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk dan dapat diperpanjang atas persetujuan para pihak;

10. Kesaksian dilakukan sebagaimana pada peradilan umum;

11. Lembaga arbitrase dapat memberikan pendapat yang mengikat (binding-option) atas suatu hubungan hukum tertentu yang tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apa pun;

12. Putusan harus memuat syarat-syarat normatif, yang terutama harus memuat kepala putusan (irah-irah) “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; 13. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 3 hari setelah pemeriksaan ditutup.

Putusan dapat dikoreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau mengurangi atau menambah suatu tuntutan putusan dalam waktu paling lama 14 hari setelah diterima, namun tidak mengubah substansi putusan.

Dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, meliputi dua (2) bagian yang harus diperhatikan, yaitu:97

1. bagian pertama yaitu tentang eksekusi terhadap putusan arbitrase nasional;

2. bagian kedua tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Terhadap kedua putusan tersebut berlaku ketentuang universal, bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat, tidak dapat dibanding atau dikasasi.98

97 Ibid.

62 Disamping ketentuan di atas, Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, juga mengatur kemungkinan pembatalan putusan arbitrase dengan batasan sebagai berikut:99 1. Surat atau dokumen yang dijadikan dasar permohonan setelah putusan dijatuhkan

ternyata diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2. Setelah putusan diambil diketemukan dokumen yang menentukan yang disembunyikan pihak lawan; atau

3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

63

Dokumen terkait