• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagaimana diketahui, pada fakta di lapangan, tidak sering terjadi perselisihan atau persengketaan pada benda wakaf.Ini timbul karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan benda wakaf, tidak atau kurang amanah, atau bahwa sekiranya pengelola sudah berubah, tidak ada informasi yang jelas bahwa benda tersebut adalah benda wakaf. Karena itulah, perlu diatur bagaimana solusi atau jalan keluarnya, manakala timbul dan terjadi perselisihan dan persengketaan terhadap benda wakaf, yang jelas-jelas dapat merugikan kepentingan umum.

Pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan: “Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ini sejalan dengan Pasal 49 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 198964. Pada hal ini, peran pengadilan

Agama tidak lepas begitu saja tetapi pengadilan agama menjalanankan tugas dengan baik yang mana dijelaskan “Pengadilan Agama bertugas

dan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan;

b. Waris, wasiat dan hibah; c. Wakaf dan sedekah

Dalam penjelasannya di dalam Pasal 49 tersebut, pihak yang berperkara, seolah-olah diberi peluang apabila merasa di dalamnya terdapat sengketa tentang status dan kepemilikan benda wakaf, dan dapat mengajukan persoalannya langsung ke Pengadilan Negeri. Hal ini, harus diwaspadai dan diantisipasi oleh wakif dan nadzir yang diberi amanat mengelola benda wakaf.

Pada pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Pasal 17 menyatakan: Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syariat Islam yang antara lain mengenai:

a. Wakaf, wakif, Nadzir, Ikrar dan saksi.

b. Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf). c. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.

1. Pengadilan Agama dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara pada Pengadilan Agama. Tidak hanya sedikit kasus-kasus yang mengemuka melainkan banyaknya yang terjadi kasus di Pengadilan Negeri,

pihak-pihak yang berusaha untuk “menarik kembali” wakaf yang sudah dilakukan oleh orang tuanya, karena merasa apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Yang tidak disetujuinya yaitu atau sebagai anak-anak dari orang tua yang diamanati sebagai Nadzir, bahwa benda yang dikelola oleh orang tuanya sebagai Nadzir, adalah miliknya. Selain itu juga memang ada sifat “serakah” dari anak-anak atau kerabat wakif, yang “tidak ingin memahami” bahwa benda tersebut adalah benda wakaf yang sudah menjadi milik publik atau milik Allah SWT.

Pasal 62 UU Nomor 41 Tahun 2004 menegaskan:

1. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

2. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau Pengadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa. Seiring dengan perkembangan masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah membentuk Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang sudah cukup lama

berpengalaman di dalam menangani sengketa perbankan syariah.65

65

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013

Dalam perspektif sejarah, di Indonesia dicatat ada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk pada tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Dalam melakukan tugasnya, BANI adalah bebas (otonom) dan tidak dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain.

Tahun 1992 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, telah diperkenalkan perbankan dengan system bagi hasil yang tidak dikenal dalam UU Perbankan sebelumnya. UU ini kemudian diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992. Setelah melakukan perjuangan panjang dan kerja keras semua komponen 2008 setelah mendapatkan persetujuan DPR-RI, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Dengan tumbuh dan berkembangnya Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, menuntut adanya Badan yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan sengketa dengan lebih mengedepankan perdamaian atau win-win solution. Akhirnya pada tanggal 21 Oktober 1994 diresmikan terbentuknya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI).

Menteri Agama Tarmizi Taher mengemukakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Merupakan pelengkap sistem ekonomi kita, maka sengketa-sengketa yang timbul di dalam perdagangan perlu diselesaikan secara yang dianjurkan oleh agama kita, yaitu Hakam.

2. Sengketa-sengketa diselesaikan secara ishlah, sebab ishlah itu menurut sabda Nabi pahalanya lebih besar daripada shalat.

3. Nilai-nilai Islam yang makin lama makin kita gali dapatmenimbulkan masyarakat yang dinamis tapi sekaligus tidak destruktif.

4. Hingga saat ini Hukum Arbitrase masih merupakan warisan Hindia Belanda.

5. Adanya pengaruh globalisasi Internasional.

6. Pengaruh keberadaan Bank Muamalat Indonesia bersifat nasional dan internasional.

Perubahan nama dari BAMUI menjadi Basyarnas diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2003 yang kemudian dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/ 2003 tanggal 24 Desember 2003.Basyarnas sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan MUI ialah lembaga hakam yang bebas. Otonom, dan independen, tidak dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak mana pun.

1. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara

tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada

Basyarnas sesuai dengan prosedur Basyarnas.

2. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan

berkenaan dengan suatu perjanjian. 66

Selama ini perselisihan dan persengketaan tentang benda wakaf, diselesaikan melalui oleh Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU Nomor 7 Tahun 1989 tersebut diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006. Dalam ketentuan Pasal 49 diubah sebagai berikut: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan; 2. Waris;

66

MUI, 35Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa,

3. Wasiat; 4. Hibah; 5. Wakaf; 6. Zakat; 7. Infaq; 8. shadaqah; dan 9. ekonomi syariah Pasal 50:

(1) Dalam hal sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Demikianlah penjelasan terkait penanganan sengketa yang mungkin masih terjadi di dalam pengelolaan benda wakaf, yang dianjurkan dengan melakukan perdamaian, musyawarah untuk mufakat, melalui Basyarnas atau Pengadilan Agama.

Dokumen terkait