• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN

G. Penyelesaian Sengketa Konsumen

UUPK memberikan 2 (dua) macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.

Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

      

131

M.Sadar dkk, op.cit. hal. 33-34.

132

Janus Sidabalok, op.cit. hal. 85.

133

Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Penjelasan Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa, bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 UUPK tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika; dan

2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Dengan demikian, terbuka 3 (tiga) cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu:

a. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan;

b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui tuntutan seketika; dan

c. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian

dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan sebaliknya.134

      

134

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDUSTRI FARMASI DAN PRODUK FARMASI

A. Syarat Pendirian Industri Farmasi

Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 (selanjutnya disebut dengan Permenkes), yang dimaksud dengan Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri Farmasi memegang peranan yang besar dalam peningkatan kesehatan masyarakat, oleh karena itu pemerintah wajib untuk mengatur regulasi pendiriannya guna menjaga keamanan masyarakat.

Industri farmasi memiliki fungsi pembuatan obat dan atau bahan obat, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Industri farmasi yang memproduksi obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan industri farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi dan instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan atau bahan obat untuk semua tahapan dan atau sebagian tahapan.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Permenkes dinyatakan bahwa setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan di bawah naungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Permenkes dinyatakan bahwa syarat untuk memperoleh izin farmasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Permenkes adalah sebagai berikut:

1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas;

2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat; 3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia, masing-masing sebagai penanggung jawab kepastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu; dan

5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik secara langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

Syarat-syarat yang telah disebutkan diatas bersifat kumulatif, artinya jika satu saja syarat tidak terpenuhi, maka izin farmasi tidak akan diberikan kepada pemohon izin farmasi tersebut, dengan kata lain semua syarat tersebut harus dipenuhi, kecuali bagi pemohon izin industri farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dapat mengkesampingkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Permenkes sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Permenkes.

Persyaratan lainnya mengenai pendirian industri farmasi, bahwa selain pemohon wajib memenuhi syarat-syarat yang diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) Permenkes, juga harus memperhatikan dan memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diatur di bidang tata ruang dan lingkungan hidup. Ketentuan ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 7 Permenkes.

Menurut Pasal 16 ayat (1) Permenkes, izin yang telah diberikan kepada suatu industri farmasi berlaku untuk sepanjang industri farmasi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dengan perpanjangan izin setiap lima tahun sekali. Sedangkan untuk industri farmasi yang modalnya berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA), izin masa berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan Peraturan Pelaksananya. Tetapi setiap perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan penanggung jawab atau nama industri harus melakukan perubahan izin sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Permenkes. Demikian halnya juga jika terjadi perubahan terhadap akte pendirian Perseroan Terbatas, harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, demikian menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat (2) Permenkes.

Menurut ketentuan Pasal 23 Permenkes, setelah mendapat izin industri farmasi, juga berkewajiban untuk membuat menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan usahanya yang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sekali dan 1 (satu) tahun sekali yang meliputi laporan mengenai jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan selama jangka waktu

tersebut. Laporan tersebut disampaikan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam tempo waktu paling lambat tanggal 15 Januari dan 15 Juli untuk laporan per semester ( 6 bulan) dan 15 Januari untuk laporan pertahunnya. Laporan juga dapat dilaporkan secara elektronik melalui media internet.

Pasal 26 ayat (1) Permenkes, mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran Permenkes tersebut, berupa:

a. Peringatan secara tertulis;

b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi pesyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

d. Penghentian sementara kegiatan; e. Pembekuan izin industri farmasi; atau f. Pencabutan izin industri farmasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijabarkan bahwa landasan hukum atau dasar hukum dari pendirian industri farmasi harus memperhatikan beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:

1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah.

6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. 7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

B. Profil PT. Mutiara Mukti Farma Medan.

PT. Mutiara Mukti Farma Medan merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang industri farmasi selama lebih kurang 35 (tiga puluh lima) tahun. PT. Mutiara Mukti Farma sudah berdiri sejak tahun 1975 tetapi tidak menggunakan nama PT. Mutiara Mukti Farma, melainkan Industri Farmasi Sejati yang didirikan oleh Bapak Panggabean dengan jumlah pegawai sekitar 20 (dua puluh) orang dengan hanya satu orang apoteker dan memproduksi sekitar 30 (tiga puluh) produk obat-obatan, seperti sirup obat, serbuk obat dan salep obat.

Industri Farmasi Sejati kemudian diambil alih oleh Drs. W.H Siahaan pada tanggal 13 Januari 1980. Kemudian di tahun yang sama terjadi merger antara Industri Farmasi Sejati dengan Industri Farmasi Garu dan kemudian nama dari perusahaan tersebut berubah menjadi PT. Mutiara Mukti Farma atau yang lebih dikenal dengan PT. Mutifa. Pada saat itu, PT. Mutifa berkedudukan di Jalan. Brig. Jend. Katamso No. 200, Medan. Jumlah pegawai meningkat menjadi 60 (enam puluh) orang dan dua apoteker, satu bertanggung jawab di bagian produksi dan satunya lagi bertanggung jawab sebagai Quality Control (QC).

Pada tanggal 29 November 1988, akta perusahaan diganti untuk para pesero (pemegang saham) dan manajemen perusahaan., kemudian pada tanggal 31 Januari 1989, dirubah dengan persetujuan dari Menteri Kehakiman Indonesia (sekarang Menteri Hukum dan HAM) dengan Surat Keputusan Menteri Nomor C2-1134.HT.01.04.th89, Pak Jacob dan keluarga terdaftar sebagai pesero atau pemegang saham. Seiring dengan perkembangan perusahaan, pada tanggal 27 Juli 1994, PT. Mutifa pindah ke lokasi baru di Jalan. Besar Namorambe No. 68 Pasar V Kecamatan Deli Tua, Medan, di sebuah lahan dengan luas 25.000 M2 dan luas area bangunan perusahaan 6259 M2. Dua tahun kemudian, pada tanggal 31 Januari 1996, PT. Mutifa mendapat penghargaan sertifikat produksi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Jenis dari produksi obat-obatan meningkat sampai 120 jenis, termasuk tablet, kapsul, kapsul berlapis, obat cair, serbuk atau bedak dan seterusnya. Jumlah pegawai juga terus bertambah menjadi 115 pegawai dengan lima orang Apoteker.

PT. Mutifa juga memasarkan produk obat-obatannya secara nasional, meliputi Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Irian Jaya. Bahan baku obat di dapat dari Amerika Serikat, Jerman, China, Belanda, India, Jepang dan Swedia melalui distributor mereka masing-masing.135

Berikut adalah Profil Singkat PT. Mutiara Mukti Farma per tanggal 1 Januari 2014:136

Nama : PT. Mutiara Mukti Farma.

Alamat : Jalan Besar Namorambe Pasar V No. 68 Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Pengurus : 1. Komisaris Utama : Drs. W.H. Siahaan. 2. Direkur Utama : Jacob Lie

3. Manager yang terbagi menjadi sub divisi masing-masing. Izin : 1. Izin mendirikan Perseroan Terbatas;

2. Nomor Pokok Wajib Pajak; 3. Surat Izin Usaha Perdagangan;

4. Surat Izin Usaha Industri; 5. Surat Izin HO (gangguan);

6. Izin-izin lainnya yang terkait dengan Industri Farmasi.

      

135

http://mutifa.com/companyprofile.html, diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 11:32 WIB.

136

Hasil wawancara dengan Amiruddin Pinem, HRD Manager PT. Mutiara Mukti Farma Medan, tanggal 10 Februari 2014.

C. Pengertian dan Penggolongan Obat menurut Peraturan Farmasi.

Definisi obat, ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose pengobatan, melunakkan, menyembuhkan atau mencegah penyakit pada manusia atau pada hewan.137

Pengertian lain dari obat, yaitu obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk obat tradisional.138

Menurut Pasal 1 angka 1 Permenkes, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengertian yang sama tentang obat dengan Pasal 1 angka 1 Permenkes, yaitu obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.       

137

Moh. Anief, Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat, (Yogyakarta: UGM Press, 2007), hal. 3.

138

http://id.wikipedia.org/wiki/Obat, diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 12.22 WIB.

Obat juga dapat dibagi menjadi beberapa golongan yang dibagi atas kebebasan pendistribusiannya dan efek dari obat itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 917/Menkes/Per/X /1993 yang kini telah diperbaiki dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000, penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi.

Penggolongan obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000, antara lain:139

1.Obat Narkotika, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetik maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran , hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan . peredaran produk jadi obat narkotik dikemas dalam wadah kemasan yang diberi tanda palang merah didalam lingkaran berwarna putih.

2.Obat Keras, yaitu obat yang termasuk dalam daftar obat yang boleh

diserahkan oleh apoteker ,dokter, dan dokter gigi. Apoteker menyerahkan obat keras tersebut hanya berdasarkan permintaan (resep) dari dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Sedangkan bila dokter atau dokter gigi hanya dapat menyerahkan obat jika obat tersebut diperoleh dari apotek. Adapun penandaannya diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoensia Nomor. 02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus

      

139

http://liesriyadhul.blogspot.com/2013/09/penggolongan-obat_18.html, diakses pada tanggal 11 Februari 2014 pukul 13.01 WIB.

Obat Keras daftar G adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan hurup K yang menyentuh garis tepi”.

3. Obat bebas Terbatas, yaitu Obat keras yang dapat diberikan dalam jumlah yang terbatas. Baik dosis maupun dalam jumlah sediaannya. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan kedalam

daftar obat “W” (Waarschuwing) memberikan pengertian obat bebas

terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau

pembuatnya.

b. Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan

tanda peringatan. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam,berukuran panjang 5 cm,lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih. 4. Obat bebas, yaitu obat yang tingkat keamanannya sudah terbukti tidak

membahayakan. Peratuan Daerah Tingkat II Tangerang yakni Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 1994 tentang izin Pedagang Eceran Obat memuat pengertian Obat Bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak termasuk dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas dan sudah terdaftar di Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

D. Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Produk Farmasi Agar Dapat Diedarkan.

Salah satu dari hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan salah satu kewajiban dari pelaku usaha adalah menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standard mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, oleh karena itu guna menjamin tercapainya hak konsumen tersebut dalam mengonsumsi produk farmasi (obat), industri farmasi selaku

pelaku usaha wajib untuk menjaga standard mutu produk yang dihasilkannya

berdasarkan ketentuan yang sudah berlaku.

Suatu produk farmasi (obat) yang hendak diproduksi oleh suatu Industri Farmasi, wajib mendapat persetujuan atau sertifikasi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) agar dapat diproduksi dan diedarkan di masyarakat sebagai bentuk pengawasan dari pemerintah terhadap keamanan konsumen dalam mengonsumsi obat yang bersangkutan.

Sertifikat yang sudah dikeluarkan oleh BPOM, hanya berlaku untuk jangka waktu lima tahun selama industri farmasi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masalah jangka waktu sertifikasi ini diatur dalam Pasal 13 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor. HK.04.1.33.12.11.09947 Tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara Pembuatan Obat Yang Baik.

CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), merupakan suatu pedoman yang harus diterapkan dalam seluruh rangkaian proses di industri farmasi dalam

pembuatan obat jadi, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik. Pedoman CPOB bertujuan untuk menghasilkan produk obat yang senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep dan persyaratan CPOB. Konsep CPOB bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan teknologi dibidang farmasi.

Pedoman CPOB merupakan suatu pedoman bagi industri farmasi mengenai semua aspek-aspek dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadi. Pedoman CPOB tahun 2006, meliputi 12 aspek antara lain: ketentuan umum, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi,pengawasan mutu, inspeksi diri, penanganan terhadap keluhan dan penarikan kembali obat dan obat kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisa berdasarkan kontrak, kulifikasi dan validasi.140

Menurut CPOB, setiap Industri Farmasi yang hendak memproduksi suatu obat, wajib untuk mendaftarkan obat yang hendak diproduksi ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) terkait dengan komposisi dan tata cara pembuatan obat sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh BPOM. Obat tersebut hanya boleh diproduksi dan diedarkan jika contoh dari obat yang telah didaftarkan ke BPOM tersebut sudah mendapat sertifikasi CPOB dari BPOM, dengan arti       

140

http://rizkaemel.blogdetik.com/2013/04/20/cara-pembuatan-obat-yang-baik-cpob/, diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 13.46 WIB.

bahwa obat yang hendak diproduksi tersebut sudah memenuhi standard mutu dan keamanan yang ditentukan oleh BPOM agar tidak membahayakan konsumen yang akan mengonsumsi obat tersebut jika sudah diedarkan.141

Suatu produk farmasi atau obat yang tidak mendapat sertifikasi CPOB dari BPOM, atau yang belum pernah dicoba untuk didaftarkan, tidak boleh diproduksi terlebih dipasarkan ke masyarakat karena standard mutu dan keamanannya belum dijamin oleh BPOM, yang berarti obat tersebut belum terjamin aman bagi para konsumen yang akan mengonsumsinya, serta bagi Industri Farmasi yang mencoba memproduksi dan terlebih memasarkan obat yang belum mendapat sertifikasi CPOB dari BPOM, bisa terancam sanksi adminsitratif berupa peringatan, pencabutan izin usaha, izin pembuatan obat, dan juga izin pencabutan kerja Apoteker bagi Apoteker penanggung jawab bagian produksi. Selain sanksi administratif, juga dapat dikenakan sanksi pidana berupa denda dan hukuman penjara bagi pihak yang bertanggung jawab, yakni Apoteker dari perusahaan dan Direkturnya.142

CPOB juga tidak hanya terbatas pada komposisi dan tata cara pembuatan dari obat saja, tetapi juga mengenai kelengkapan dan kelayakan mesin produksi, kebersihan dan kelayakan sarana produksi: seperti kualitas air yang harus memenuhi standard yang telah ditentukan oleh BPOM, kebersihan ruangan produksi, suhu ruangan produksi agar sterilitas produk yang dihasilkan tetap terjaga kualitasnya, kualitas sirkulasi udara, penambahan gudang, kebersihan

      

141

Hasil wawancara dengan Amiruddin Pinem, HRD Manager PT. Mutiara Mukti Farma Medan, pada tanggal 10 Februari 2014. 

142

pekerja yang berkerja, serta faktor-faktor lainnya yang menunjang dalam proses produksi obat tersebut.143

Pelabelan kemasan dan katalog pada obat-obatan juga wajib dicantumkan dalam bahasa Indonesia. Ketentuan pelabelan ini juga mencakup semua obat- obatan yang diproduksi dalam negeri maupun obat-obatan yang diimpor dari luar negeri. UUPK juga sudah mengatur hal ini secara tegas dimana UUPK mewajibkan produsen/pelaku usaha untuk mencantumkan label pada produk yang mereka produksi dan/atau edarkan dalam label yang berbahasa Indonesia.

Pencantuman label berbahasa Indonesia pada obat-obatan juga merupakan hak dari konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan informasi yang terang dan benar, karena dikhawatirkan jika tidak dicantumkan dalam bahasa Indonesia, banyak masyarakat Indonesia yang tak paham dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang dapat mengakibatkan kesalahpahaman konsumen dalam memahami informasi tentang suatu produk obat-obatan.

Permendag No. 62/M-DAG/PER/12/2009 jo. No. 22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label Pada Barang menyatakan bahwa setiap pelaku usaha yang memproduksi atau mengimpor barang untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri mencantumkan label dalam Bahasa Indonesia. Dan kebijakan ini berlaku sejak 1 September 2010. Untuk yang telah teraktivasi, tapi label tersebut belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, produsen atau importir harus melakukan penyesuaian label secara benar dan bertahap paling lama enam bulan. Jika dalam tempo waktu enam bulan tidak dilakukan perubahan pada

      

pelabelan obat-obatan tersebut, maka obat-obatan tersebut akan ditarik dan dimusnahkan izin beredarnya.

E. Tata Cara Penentuan Harga Produk Farmasi Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen.

Menurut Pasal 4 huruf b, salah satu hak konsumen adalah untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar, diartikan untuk melindungi konsumen dari harga barang dan/atau jasa yang tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/atau jasa yang diperolehnya.144 Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan

Dokumen terkait