• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Penyelesaian Sengketa

2. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal yang Timbul antara Pemerintah dengan Investor Asing

Dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dikatakan bahwa:122

“Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.123

121Ibid., hal. 357.

122Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Psl. 32 ayat (4).

Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.124 Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja, hanya berisi 5 Pasal.125

Dengan telah diratifikasinya konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).126

International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) terdiri atas 9 bab (chapter) dan 75 pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini, meliputi:127

1. Chapter I International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) (Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);

2. Chapter II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai dengan Artikel 27);

124Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 162. 125 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 322.

126Aminudin Ilmar, op. cit., hal. 157.

3. Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengan Artikel 35); 4. Chapter IV Arbitration (Artikel 36 sampai dengan Artikel 55);

5. Chapter V Replacement and Disqualification of Conciliators and Arbitrator (Artikel 56 sampai dengan Artikel 58);

6. Chapter VI Cost of Procedings (Artikel 59 sampai dengan Artikel 63); 7. Chapter VII Disputes between Contracting States (Artikel 64);

8. Chapter VIII Amandment (Artikel 65 sampai dengan Artikel 66); 9. Chapter IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan Artikel 75).

Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan Artikel 55 ICSID. Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan pengambilan putusan disajikan berikut ini:128

i. Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase

Dalam Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata cara pengajuan permohonan penyelesaian sengketa kepada Centre, melalui forum Arbitrase (Arbitral tribunals). Dalam ketentuan itu, ditentukan tata cara sebagai berikut:

a) Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre.

b) Permohonan diajukan secara tertulis, c) Permohonan membuat penjelasan tentang:

1) pokok-pokok perselisihan; 2) identitas para pihak; dan

3) mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang timbul menurut ketentuan Centre.

Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan, kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbul nyata-nyata berada di luar yuridiksi Centre, Dalam hal perselisihan yang diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Sekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan permohonan kepada pihak lain.

ii.Pembentukan Tribunal Arbitrase

Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan yang diajukan salah satu pihak, Centre harus sesegera mungkin membentuk Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitral).

Menurut Artikel 37 ayat (2) ICSID, telah ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre. Mahkamah Arbitrase:

a) boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja;

b) tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil (any uneven number of arbitrator).

Jika para pihak menyetujui jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat menerima tata cara penunjukkan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan arbiter merujuk kepada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan acuan penerapan:

a) anggota harus terdiri dari tiga orang arbiter; b) masing-masing menunjuk seorang arbiter; dan

c) anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari tribunal arbitrase yang bersangkutan.

Para pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian, pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk mengangkat masing-masing seorang arbiter. Sementara itu, pengangkatan atau penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama dari semua pihak. Dan anggota yang ketiga ini langsung akan bertindak sebagai Ketua (Presiden).

Selanjutnya menurut Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua Dewan Administratif Centre (Chairman of the Administratif Council) berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan yang demikian ada pada diri Ketua Dewan Administratif apabila telah ada permohonan

dari salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukkan arbiter yang seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta konvensi yang sedang berselisih.

Satu hal lagi yang perlu diketahui dalam komposisi anggota arbiter, yaitu mayoritas anggota arbitrase harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang sedang berselisih. Hal itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun demikian, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila para pihak menyetujui bahwa arbiter tunggal ditunjuk dari salah satu negara para pihak atau mereka setuju mayoritas anggota arbiter dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.

iii.Kewenangan dan Fungsi Tribunal Arbitrase

Arbitrase Centre merupakan mahkamah yang bersifat internasional. Kewenangan dari Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau memutus perselisihan sesuai dengan kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti, selama apa yang disengketakan para pihak masih termasauk yuridiksi yang ditentukan Pasal 32 dan Artikel 25 ICSID. Para anggota arbiter sepenuhnya berwenang untuk memutus perselisihan.

Dalam hal ada bantahan (objection) dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang diperselisihkan adalah diluar yuridiksi Centre atau berdasar alasan lain yang memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan lebih dahulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi,

bisa juga hal itu dipertimbangkan dan diputus bersamaan dengan pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.

Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi memutus perselisihan yang terjadi, lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal di bawah ini:

a) Memutus sengketa menurut hukum

Menurut Artikel 42 Konvensi, arbitrase Centre terikat pada ketentuan hukum (rules of law) dalam memutus perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan patokan utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara ringkas, sebagai berikut.

1) Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian.

2) Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan, Centre menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang berselisih. 3) Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak-pihak

yang berselisih.

4) Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ex aequo et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.

b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat

Dalam Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu meliputi:

1) memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat bukti yang dianggap penting,

2) melakukan pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung barang, orang, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam penyelesaian perselisihan.

Kewenangan itu akan gugur jika hal para pihak menentukan lain dalam perjanjian.

c) Putusan Provisi

Dalam Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah menjatuhkan:

1) putusan pendahuluan; atau 2) putusan provisi; maupun 3) tindakan sementara.

Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau putusan sementara, dapat dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar gugatannya tidak mengalami illusoir dikemudian hari. Bisa juga pelarangan penjualan atau pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek yang langsung terlibat dalam persetujuan.

Tujuan utama arbitrase Centre ialah memutus perselisihan yang timbul apabila perselisihan itu telah diajukan kepadanya. Dalam Artikel 48 ICSID telah ditentukan tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan oleh Arbitrase Centre disajikan berikut ini

a) Putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter. b) Putusan arbiter yang sah ialah:

1) dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan

2) ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.

c) Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan.

d) Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi (individual opinion) dalam putusan, meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan suatu pernyataan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter.

e) Centre tidak boleh memublikasi putusan, tanpa persetujuan para pihak.

Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Putusan dianggap memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan kesalahan pengetikan, perhitungan atau kekeliruan lain yang sejenis.

Walaupun putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau salah satu pihak diperkenankan melakukan:

a) interprestasi putusan; b) revisi putusan; atau c) pembatalan putusan.

Dokumen terkait