• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

B. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam

Konsep al-sulh merupakan doktrin utama dalam hukum Islam di bidang muamalat untuk menyelesaikan sengketa, dan ini sudah merupakan condition sine qua non dalam masyarakat manapun, karena pada hakikatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa

fitrah manusia. Keberadaan perdamaian juga diakui sebagai salah satu

alternatif penyelesaian sengketa, sebagaimana termuat dalam pasal 1851

sampai dengan pasal 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III KUHPerdata.30

30

Definisi perdamaian menurut KUHPerdata adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Lihat Pasal 1851 KUHPerdata.

Ajaran Islam memerintahkan agar penyelesaian setiap perselisihan yang

terjadi diantara manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian,

firman Allah Surat Al-Hujurat ayat 9:















Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya...” (Q.S. Al -Hujurat: 9).

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang

umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian

dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu

harus mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat deselenggarakan secara

seksama dalam masyarakat. Dalam konteks ini tugas hakim yang paling berat

adalah menjawab kebutuhan manusia akan keadilan tersebut selain melakukan

pendekatan kedua belah pihak untuk merumuskan sendiri apa yang mereka

kehendaki dan upaya ini dapat dilakukan pada tahap perdamaian.31 a. Pengertian al-sulh

Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan

istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan.

31

Lailatul Arofah, “Perdamaian dan Bentuk Lembaga Damai di Pengadilan Agama Sebuah Tawaran Alternatif”, dalam Mimbar Hukum, No. 63, h. 43.

53

Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu

persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.32

Islah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila

berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal

yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan

sebab-sebab serta menguatkannya adalah persatuan dan persetujuan, hal itu

merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.33

Dalam bahasa Indonesia perdamaian diartikan sebagai perhentian

permusuhan. Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif

sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP Perdata adalah suatu

perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan,

menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang

sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.34 Kemudian dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu

perkara.35 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan sebuah

32

As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz III, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1977), h. 305.

33

Alauddin at-Tharablisi, Muin Al-Hukkam: Fi Ma Yataraddadu baina al-Khasamaini min al-Ahkami, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), h., 123.

34

Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989).

35

perdamaian adalah untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau

mencegah timbulnya suatu perkara.

b. Dasar Hukum al-sulh

Sedangkan dasar hukum perdamaian dalam hukum Islam adalah

sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Hujurat ayat 10 dan al-Baqarah ayat

224 sebagai berikut:                

Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-Hujurat: 10).                        

Artinya: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah: 224).

Penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian adalah sangat cocok dan

dianggap paling baik, karena dengan jalan musyawarah akan ditemukan jalan

55

dikalahkan sehingga para pihak sama-sama puas dan terhindar dari rasa

permusuhan. Oleh karena itu para pelaku bisnis lebih cenderung memilih

lembaga perdamaian dan alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan

daripada melalui peradilan atau arbitrase seperti BANI (Badan Arbitrase

Nasional Indonesia).36 Sehubungan dengan hal tersebut, maka Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Peraturan yang dikenal PERMA Nomor 2

Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan PERMA Nomor 1 tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan Intinya dalam mengadili perkara

perdata atau bisnis, hakim wajib melakukan perdamaian dengan menempuh

mediasi.

Mengupayakan perdamaian bagi semua muslim yang sedang mengalami

perselisihan dan pertengkaran dinilai ibadah oleh Allah. Namun tidak

dianjurkan perdamaian dilakukan dengan paksaan, perdamaian harus karena

kesepakatan para pihak. Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata bahwa dia

tidak sependapat jika hakim memaksa salah satu pihak yang berperkara atau

mengenyampingkan permusuhan salah satu pihak, karena semata-mata hanya

menginginkan perdamaian.37

36

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 82.

37

Salam Mazkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahasa Imron AM., (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), Cet ke 4, h. 19-20.

2. Lembaga Al-tahkiim (Arbitrase)

Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkiim”. Tahkiim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi,

tahkiim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.38 Secara umum, tahkiim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang

dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit

oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan

mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”. Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad39 pengertian tahkiim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang yang bertikai kepada

seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian

para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al

Munawar40 pengertian “tahkiim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan

hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak

yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum.

Sedangkan pengertian “tahkiim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafiiyah yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih

38Liwis Ma’luf, Al-Munjid al- Lughoh wa al-A‟lam, (Bairut: Daar al-Masyriq, t.th.), h.146.

39

Abu al-Ainain Fatah Muhammad, Al-Qadha wa al-Itsbat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Darr Al Fikr, 1976), h.84.

40

Said Agil Husin al-Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam, Dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, (Jakarta: t.p., 1994), h. 48-49.

57

dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’

terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.

Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu

meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada

persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya seringkali

diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang

bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan

sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah

berlaku pada masa pra Islam. Tradisi arbitrase ini lebih berkembang pada

masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan

sengketa bisnis diantara mereka. Ada juga yang berkembang di Madinah,

tetapi lebih banyak dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pertanian,

sebab daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris. Nabi Muhammad SAW.

sendiri sering mejadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi baik di

Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah berkembang lebih luas,

mediator ditunjuk dari kalangan shahabat dan dalam menjalan tugasnya tetap

berpedoman pada al-Qur‟an, al-Hadis dan ijtihad menurut kemampuannya. Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut

huququl Ibad” (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta

telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai dalam

pemeliharaannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa dan

hutang piutang. Oleh karena tujuan dari Arbitrase itu hanya menyelesaikan

sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang bisa diselesaikan dengan

jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya menerima untuk didamaikan

yaitu sengketa yang menyangkut dengan harta benda dan yang sama sifatnya

dengan itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas.41

Menurut Wahbah Az-Zuhaili,42 para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tahkiim berlaku dalam masalah harta

benda, qisas, hudud, nikah, li’an baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad al-Qadhi Abu Ya’la (salah seorang mazhab ini) bahwa tahkiim dapat dilakukan dalam segala hal,

kecuali dalam bidang nikah, li’an, qazdaf, dan qisas. Sebaliknya ahli hukum dikalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tahkiim itu dibenarkan

dalam segala hal kecuali dalam bidang hudud dan qisas, Sedangkan dalam

bidang ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang muamalah, nikah dan talak

saja. Ahli hukum Islam dikalangan mazhab Malikiyah mengatakan bahwa

tahkiim dibenarkan dalam syariat Islam hanya dalam bidang harta benda saja

41Abdul Manan, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru

Peradilan Agama,” dalam Mimbar Hukum, Edisi No. 73 tahun 2011, h. 11-12.

42

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus Syiria: Dar El Fikr, 2005), Juz IV, h.752.

59

tetapi tidak dibenarkan dalam bidang hudud, qisas dan lian, karena masalah

ini merupakan urusan Peradilan.

Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh

kalangan ahli hukum Islam. Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam

kehidupan masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syari‟ah. Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu

Farhum43 bahwa wilayah tahkiim itu hanya yang berhubungan dengan harta benda saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qisas.

43

Muhammad Ibnu Farhum, Tabsirah Hukkam fi Ushul Qhadhiyah wa Manahij al-Ahkam, (Bairut,Libanon: Darr al Maktabah al Ilmiah,1031), Jilid I, h. 19.

60

Dokumen terkait