• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI

5.1. Penyimpangan Nilai Bushido

Penyimpangan nilai bushido yang terdapat di dalam dwilogi novel Samurai

terjadi terutama pada tokoh utama Daimyo Akaoka, Lord Genji Okumichi. Genji adalah seorang samurai yang memiliki pemikiran-pemikiran moderat yang diakibatkan dari masuknya bangsa asing ke Jepang. Pemikiran-pemikiran yang moderat tersebut sangat bertentangan dengan ajaran bushido yang bersifat tradisonal. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan di bawah ini.

Kiyori menarik napas dalam-dalam, dan membungkuk kepadanya. “Terima kasih telah memberi tahu aku, Lady Shizuka. Aku merasa beban berat telah terangkat dari pundakku. Aku telah berhasil mempertahankan perilaku sebagai orang normal, tetapi hanya karena aku seorang samurai kuno dan ketinggalan zaman, yang mampu berpura-pura meskipun semua bukti menunjukkan sebaliknya. Genji tidak punya kecenderungan ataupun pelatihan untuk berperilaku seperti itu. Dia mengkaji, mempertanyakan, dan berpikir sendiri, tak

66

peduli apa kata tradisi. Itu kebiasaan buruk yang pasti ditimbulkan oleh kesukaannya mempelajari cara-cara orang asing secara berlebihan. Jika kau muncul di hadapannya, dia akan kehilangan dirinya dalam pusaran kebingungan tanpa akhir yang pasti timbul karena kehadiranmu.” (S2: 179)

Kutipan di atas menggambarkan Genji sebagai orang yang modern, yang tidak memperdulikan apa kata tradisi. Hal ini disebabkan karena pergaulan Genji dengan orang – orang asing yaitu para misionaris dari Amerika.

“Suatu keanehan terjadi pada pertemuan pagi ini,” kata Lord Saemon kepada kepala rumah tangganya. “Lord Genji mengajukan pemberlakuan sebuah hukum baru.” “Satu lagi?” ujar ajudannya. “Dia jelas sudah ketularan penyakit membuat hukum dari orang asing. Mereka menginginkan banyak hukum karena mereka tidak punya prinsip sebagai pedoman. Karena ingin benar menyerupai mereka, dia telah mengabaikan jalan leluhur yang kita puja.” “Kau benar sekali. Tetapi terlepas dari itu, hukum yang diusulkannya sangat menarik.” “Oh?” “Dia ingin menghapus peraturan-peraturan yang menekan masyarakat buangan. Lebih jauh, dia juga ingin melarang penggunaa istilah eta.” “Apa?” wajah ajudan itu menjadi gelap, seakan bendungan di balik kulitnya tiba-tiba jebol. Eta berarti penuh kotoran, masyarakat sampah. Pekerjaan mereka biasanya berhubungan dengan kematian, membuang bangkai binatang. Jadi sudah sepantasnya mereka hidup terpisah, dilarang menikah dengan orang-orang di luar kelas mereka, dan dianggap melakukan kejahatan jika mereke menyembunyikan status. “Ya, dan menggantinya dengan istilah

burakumin.’Penduduk desa’. Menarik tetapi aneh, bukan?” “Tuanku, apakah dia benar-benar berbicara tentang hal itu di hadapan semua bangasawan agung yang berkumpul?” (S2: 183).

Kutipan di atas merupakan dialog antara Lord Saemon kepada kepala rumah tangganya. Dari dialog di atas terlihat bahwa Lord Genji mengajukan usul pemberlakuan sebuah hukum baru yaitu mengubah sebutan kaum Eta menjadi

burakumin. Kaum Eta dalam masyarakat feodal Jepang adalah kaum yang menempati strata paling rendah dalam masyarakat. Bahkan mereka dianggap tidak layak menempati salah satu kasta yang ada. Hal ini disebabkan karena dalam agama

68

logika untuk setiap tindakan yang diambil dan Genji sama sekali tidak memegang teguh tradisi.

Jalan para kesatria,” kata Lord Genji waktu itu, “Bushido. Tentunya, kau tidak berpikir leluhur kita benar-benar mempercayai omong kosong itu.?” Taro begitu terkejut sampai ternganga. Kesetiaan kepada seorang junjungan,” kata Genji,” tak peduli betapapun tolol atau bejatnya dia. Mengorbankan diri, istri, orangtua, bahkan anak-anak sendiri demi kehormatan sang junjungan. Mungkinkah kejahatan seperti itu bisa menjadi fondasi filosofi mulia? Jika aku pernah memintamu mengorbankan anak-anakmu untukku, Taro, kau mendapatkan izinku untuk membunuhku di tempat.” “Saya tak punya anak tuan.” “Kalau begitu, dapatkan beberapa segera. Kata kakekku, pria tanpa anak tidak memahami apa pun yang layak dipahami.” (S2: 194).

Kutipan di atas merupakan dialog antara Genji dengan anak buahnya Taro. Pertentangan pemikiran Genji terhadap jalan para kesatria atau bushido dapat dilihat pada kutipan di atas. Pemikiran Genji terhadap bushido ini membuat Taro menjadi terkejut. Genji menganggap bahwa kesetiaan mutlak kepada Tuan dengan cara mengorbankan diri dan keluarga demi kehormatan merupakan sebuah tindakan yang tidak masuk di akal. Di sini dapat terlihat bahwa Genji telah menggunakan akal dan logikanya untuk berpikir.

“Anda juga tak punya anak, Tuan.” “Aku sedang berpikir dengan serius untuk mengobati kekurangan itu. Sekarang, sampai di mana aku tadi? Oh ya, tentu saja, balas dendam. Jangan sekali-kali melupakan pembalasan yang salah, sekecil apa pun, dan setimpal, sekalipun perlu sepuluh generasi untuk melakukannya. Ini bukan ajaran leluhur, Taro. Ini karangan para Shogun Tokugawa. Mereka menciptakan mitos ini untuk memastikan bahwa mereka akan selalu berkuasa selamanya, dengan memastikan tak ada orang lain yang akan berpikir untuk melakukan apa yang mereka lakukan, yaitu bersumpah palsu kepada junjungan mereka, mengkhianati ahli waris junjungan mereka, berbuat hanya demi perluasan kekuasaan mereka, dan mengarahkan perhatian

67

Buddha dan Shinto (di Jepang) pekerjaan mereka termasuk dalam pekerjaan yang menjijikkan. Pekerjaan kaum Eta adalah segala yang berkaitan dengan penyembelihan hewan dan urusan kematian. Penyembelih hewan, pengurus pemakaman, algojo, penyamakan kulit adalah pekerjaan umum dari kaum Eta.

Lord Saemon, yang merupakan seorang samurai berpikiran tradisional menganggap bahwa Genji sudah mulai terpengaruh oleh pola pemikiran bangsa asing. Saemon menganggap bahwa orang asing tidak mempunyai prinsip sebagai pedoman hidup seperti samurai yang memiliki pedoman hidup berupa bushido. Dan ia juga menganggap bahwa Genji telah mengabaikan bushido yang telah menjadi pedoman hidup bagi para samurai.

Sejak awal, keraguan sudah menjangkitinya. Dia bersumpah sebagai samurai untuk mengikuti Lord Genji. Namun, Genji, yang paling tidak bersikap sebagaimana samurai sejati dari semua bangsawan agung seluruh wilayah di kekaisaran ini, tampak tak pernah memegang teguh kode kesatriaan yang menjadi fondasi kewenangannya. Sesuatu yang telah berlaku semenjak zaman leluhur tidak cukup bagi Genji. Dia menginginkan fondasi logika untuk tindakan-tindakannya. Logika alih-alih tradisi. Betapa miripnya dia dengan orang asing. Samurai sejati tidak bertanya mengapa. Dia bertindak sebagaimana leluhurnya bertindak, dan tanpa ragu mengikuti rambu-rambu jalan para kesatria. Ketika Taro mengemukakan hal itu, Genji tertawa. (S2: 193)

Kutipan di atas merupakan pemikiran dari Taro yang menganggap bahwa Genji merupakan seorang samurai yang menyimpang dari nilai bushido karena tampak tidak pernah memegang teguh nilai-nilai bushido. Penyimpangan Genji adalah pola berpikir yang mirip dengan orang asing, yang selalu mengandalkan

69

orang lain ke masa lalu sehingga masa depan menjadi milik mereka sendiri.” (S2: 194-195).

Kutipan di atas merupakan dialog antara Genji dengan anak buahnya, Taro. Genji memiliki pemikiran bahwa balas dendam samurai kepada musuh tuannya sebagai wujud dari aspek kesetiaan dan pengabdian diri dalam bushido merupakan propaganda dari keshogunan Tokugawa. Genji menganggap bahwa balas dendam hanyalah sebuah mitos yang diciptakan oleh para Shogun Tokugawa untuk melanggengkan kekuasaannya sebagai penguasa Jepang.

“Jika kita benar-benar menjadi orang sebagaimana leluhur kita dahulu,” Genji berkata, “kita akan mempelajari semua yang kita bisa dari orang-orang asing secepat yang kita bisa, dan kita akan meninggalkan tanpa ragu atau sesal segalanya yang menghalangi kemajuan kita. Segalanya.” Taro, terlalu ngeri dan marah untuk memercayai dirinya berbicara, hanya menunduk dalam-dalam. Lord Genji barangkali menganggapnya sebagai tanda persetujuan. Padahal, dia tidak pernah sependapat. Tidakkah pengkhianatan Genji jauh lebih buruk ketimbang yang sedang dipertimbangkan Taro? Pengkhianatannya melawan jalan samurai itu sendiri. Genji bertekad bermoral, tidak terhormat. Apa gunanya kesetiaan ketika nilai yang tersisa hanyalah keuntungan? Apa gunanya keberanian ketika seseorang membunuh musuh, bukan dengan saling berhadapan dalam jarak dua pedang, melainkan tanpa terlihat dan tanpa melihat, dari kejauhan berkilo-kilometer, dan dengan mesin-mesin yang meledak berisik dan licik? Taro melirik dua wanita yang dipercayakan kepadanya untuk dilindungi. Dia adalah komandan kavaleri paling terhormat di kerajaan ini, tetapi berapa lama kavaleri akan bertahan di dunia yang hendak diciptakan Genji? (S2: 196-197).

Pada kutipan di atas dapat dilihat pemikiran Taro yang kontradiksi terhadap pemikiran Genji. Genji menganggap bahwa bangsa asing lebih maju dari Jepang dan Jepang harus mengejar ketertinggalan dengan bangsa asing dengan cara mempelajari ilmu yang dimiliki oleh bangsa asing. Sementara, Taro merupakan seorang samurai

70

yang memegang teguh tradisi. Taro beranggapan bahwa Genji telah mengkhianati

bushido. Dan di sini dapat terlihat pertentangan pemikiran Taro mengenai nilai-nilai pandangan hidup orang barat dengan nilai-nilai pandangan hidup orang Jepang.

… Para samurai selalu membenarkan eksistensi mereka sebagai pelindung bangsa ini. Akan tetapi, kedatangan orang asing dengan kekuatan sedikit lebih besar ketimbang sepuluh tahun lalu membuktikan kebohongannya, bukan? Para kesatria besar itu bahkan tidak mengusir orang-orang Belanda atau Portugis yang Tsuda tahu hanyalah penduduk negeri-negeri sangat kecil di Eropa. Di depan bangsa yang benar-benar kuat, seperti Inggris, Prancis, Rusia, dan Amerika, mereka menggigil dan gemetar seperti semak di tengah badai. Mereka jelas telah hidup lama melewati masa kegunaannya. Namun, bagaimana menyingkirkan mereka? Itulah pertanyaannya. Mereka memonopoli senjata. Atau lebih tepatnya, mereka memonopoli hak membunuh tanpa hukuman. (S2: 202)

Kutipan di atas merupakan pemikiran dari Tsuda mengenai samurai. Para

samurai selalu membenarkan eksistensi mereka sebagai pelindung bangsa Jepang. Akan tetapi, Jepang tidak memiliki kekuatan untuk membendung masuknya bangsa-bangsa asing yang memiliki kekuatan lebih dari Jepang. Namun mereka tetap memiliki kekuasaan karena merekalah yang memonopoli senjata, dan mereka juga mempunyai hak membunuh tanpa mendapatkan hukuman.

Oh, tidak! Baru saja keadaan menjadi lebih menjanjikan! Dan, bagaimana dia selama ini, kalau bukan sepenuhnya setia – kepada Lord Genji, kepada Lord Taro, dan kepada suami Lady Hanako yang sangat berpengaruh, Lord Hide. Tak peduli siapa pun yang berhasil dalam makar melawan makar ini – atau gagal, yang mungkin saja terjadi – jika memang ada di antara mereka yang terlibat, yang tentu saja dia tidak bisa mengetahuinya – dia tentunya tidak bersalah! Namun, tubuhnya yang hancurlah yang akan ditancapkan pada sebatang kayu! Dirinyalah yang akan mati menjerit-jerit dalam penyiksaan! Setiap anggotanya juga akan dihukum mati, dan semua

71

harta bendanya disita. Betapa tidak adilnya! Apakah tak ada batas dalam kekejaman dan keserakahan samurai ini? (S2: 206)

Kutipan di atas merupakan pemikiran dari Tsuda, seorang arsitek yang merancang pembuatan taman mawar di halaman tengah Kastel Awan Burung Gereja ketika ketakutan karena dipanggil menghadap para samurai bawahan Genji. Kehadiran para samurai biasanya ditakuti oleh rakyat biasa karena para samurai

memiliki hak prerogatif untuk membunuh orang yang dianggap bersalah oleh mereka.

“Aku senang kau benar,” kata Hanako. “Kami orang Jepang terlalu percaya takhayul. Kami telah mendengar terlalu banyak kisah lama sehingga mulai memercayainya dengan mengesampingkan penilaian kami yang lebih baik.” “Itu akan berubah,” kata Emily. ”Jepang sudah berada di ambang pintu untuk bergabung dengan masyarakat bangsa-bangsa beradab. Suatu hari nanti, dan hari itu tak akan lama lagi, Jepang akan menjadi modern dan ilmiah sebagaimana Amerika Serikat, Inggris, dan bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Logika, bukannya dongeng, yang akan membimbing kita semua.” (S2: 387). Kutipan di atas merupakan dialog yang terjadi antara Hanako dengan Emily. Di sini dapat terlihat pemikiran Hanako yang beranggapan bahwa orang Jepang terlalu percaya takhayul dan terlalu terikat dengan kisah-kisah dari masa lalu.

Hide menjawab, “Bukan masalah praktisnya. Mereka tidak percaya senjata api mengekspresikan semangat samurai dengan tepat.” “Mereka bisa mengekspresikan semangat mereka sebanyak yang mereka mau,” kata Genji, tetapi di medan perang, ekspresi spiritual tak banyak berpengaruh tanpa kekuatan fisik.” Taro berkata, Ada aspek perjuangan juga, Tuanku. Para prajurit menunjuk pertempuran di Kuil Mushindo sebagai contoh keabadian nilai pedang.” “Bagaimana bisa begitu?” Hasil perang ditentukan oleh senjata api. Apa yang dilakukan pedang kecuali menunjukkan ketidakefisienan total?” “Ketika musuh menyerbu posisi kita,” kata Taro, “kita melawan mereka dengan pedang kita, dan kita mengalahkan mereka.” “Ingatanmu tampaknya sudah sepenuhnya meninggalkanmu. Ingatkah kau, kita menggali lumpur berdarah untuk menghindari peluru? Ingatkah kau, kita

72

bersembunyi di belakang perut terburai kuda-kuda kita?” Hide berkata, “Taro tidak sepenuhnya salah, Tuan.” “Aku pasti mengingat pertempuran yang berbeda. Tolong, gambarkan perang yang kalian maksud.” “Ribuan peluru yang mereka tembakkan tidak membunuh kita, kata Hide. “Pada akhirnya, mereka harus mendatangi kita dengan pedang. (S2: 400).

Kutipan di atas merupakan percakapan antara Genji dengan anak buahnya Hide dan Taro. Dari kutipan ini dapat dilihat pertentangan pemikiran antara Genji dengan anak buahnya. Genji yang berpikiran moderat beranggapan bahwa senjata api merupakan senjata yang paling tepat untuk digunakan di dalam pertempuran. Genji berpendapat bahwa senjata api efisien sementara pedang tidak efisien. Sementara anak buahnya berpendapat bahwa pedanglah yang bias mengekspresikan semangat samurai dengan tepat.

Asistennya mendekatinya dan berbicara dengan suara rendah. “Pasukan mulai gugup, dan orang yang gugup tidak punya tekad. Tuan, mari kita selesaikan tugas ini dan kita lakukan misi kita yang sesungguhnya.” “Apa yang membuat kalian gugup?” Taro merasa sangat kesal hanya oleh kenyataan bahwa percakapan itu sampai terjadi. Ke mana perginya sifat samurai sejati berupa kepatuhan mutlak? Para samurai muda ini tidak seperti samurai pada masa muda Taro dahulu. Betapa berbedanya dia dan Hide dahulu ketika seusia asistennya itu! Tak ada berondongan pertanyaan, tak ada saran tanpa diminta, tak ada ketaksabaran dan kegugupan. Ya, Tuan, saya dengar dan saya patuh. Hanya itu, tak lebih, tak kurang. (S2: 437).

Kutipan di atas terjadi ketika Taro dan anak buahnya ingin melaksanakan pengkhianatan dengan cara membunuh Emily. Namun, para anak buah Taro merasa gugup dan ketakutan karena tempat yang mereka datangi, kuil Mushindo adalah tempat yang berdasarkan desas-desus orang-orang desa, menyeramkan karena berhantu. Berdasarkan cerita, orang-orang desa pernah melihat hantu Shigeru. Dan

73

karena percaya kepada desas-desus itu, mereka menjadi berhalusinasi mendengarkan bunyi-bunyian aneh dari bangunan tersebut. Namun Taro, tetap berpikir secara logika bahwa suara-suara tersebut merupakan suara aliran air di bawah tanah.

Taro membandingkan samurai anak buahnya dengan dirinya dan Hide ketika seusia mereka.Dari pemikiran Taro, dapat dilihat bahwa para samurai anak buahnya telah mengalami penyimpangan nilai falsafah bushido. Aspek-aspek yang menyimpang adalah aspek keberanian dan kepatuhan secara mutlak kepada atasan.

Betapa ajaibnya negeri Jepang ini, sampai-sampai seorang idiot berusaha sebaik mungkin untuk berperilaku sebagaimana seharusnya di hadapan seorang bangsawan agung. Genji tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. (S2: 517).

Kutipan di atas terjadi pada saat Kimi, seorang anak desa di wilayah kekuasaan Genji beserta temannya Goro, seorang idiot, telah membantu untuk mencegah pengkhianatan Taro dengan cara melemparkan batu ke Taro. Ketika Genji menemui mereka, Kimi berlutut dan Goro pun mengikuti perbuatannya dengan tepat. Di sini Genji tidak tahu apakah dia harus senang melihat ini atau malah menjadi sedih. Senang karena bahkan seorang idiot pun berusaha untuk berperilaku sebaik mungkin di hadapan seorang bangsawan agung, atau sedih karena tidak seharusnya ia mendapatkan perlakuan yang begitu berlebih-lebihan seperti itu.

Samurai sejati tidak setia membuta, berkorban penuh semangat, dan terikat oleh kehormatan di atas segalanya. Alih-alih, samurai sejati merupakan genius yang pragmatis, manipulatif, dan politis licin – dengan kata lain, seseorang yang menyerupai Saemon sendiri. (S2: 434).

74

Berdasarkan kutipan di atas, dapat terlihat penyimpangan pemikiran Saemon terhadap nilai falsafah bushido yaitu bahwa seorang samurai sejati bukanlah seorang

samurai yang setia dan pengabdian diri secara mutlak kepada tuan dengan penuh pengorbanan demi menjaga kehormatan tuannya, melainkan seorang samurai seperti dirinya yang bertentangan dengan nilai falsafah bushido itu sendiri.

Ini benar-benar lucu. Kebanggaan samurai terhadap tradisi mereka tentang kesetiaan dan kehormatan tak ada bedanya dengan dongeng, dan sama saja dengan dongeng orang asing tentang kebajikan Kristen. Perintah utama Tuhan mereka adalah, “Janganlah engkau membunuh”. Dengan panji itu, mereka telah membantai dan menghancurkan apa saja di seantero lima benua selama seribu tahun. Dia tidak mengutuk orang asing untuk itu. Kemunafikan merupakan sifat esensial semua mode kendali manusia. Beberapa gelintir orang dengan otak cemerlang melakukan apa yang mereka kehendaki, sambil meyakinkan banyak orang bodoh untuk mematuhi aturan yang mereka sendiri membencinya. Sama seperti fungsi Perintah Tuhan bagi para raja dan bangsawan Kristen, mitos bushido dan hara-kiri menutupi tradisi tua perluasan kekuasaan diri dan pengkhianatan bagi samurai. (S2: 434).

Kutipan di atas merupakan pemikiran dari Saemon yang sudah mengalami penyimpangan nilai bushido. Saemon membandingkan antara bushido yang dinilainya sangat bertentangan dengan falsafah orang asing tentang kebajikan Kristen. Di dalam ajaran agama Kristen, orang dilarang untuk membunuh. Sementara pada kenyataannya, ia melihat bahwa para orang asing tersebut menjajah bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Sementara itu, ia menganggap bahwa kebanggaan samurai terhadap tradisi mereka tentang kesetiaan dan kehormatan itu sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah, bahwa pemerintah yang berkuasa pada saat itu, yaitu pemerintahan militer keshogunana Tokugawa Bakufu yang membuat falsafah hidup

75

para samurai atau bushi (bushido) menjadi alat untuk tetap melanggengkan kekuasaannya sebagai pemerintah yang berkuasa pada saat itu.

Tekad Genji untuk memodernisasikan Jepang sepenuhnya masuk akal. Saemon tahu betul seperti Genji bahwa tak ada cara lain bagi Jepang untuk menyelamatkan diri dari serangan yang akan dilancarkan bangsa-bangsa asing cepat atau lambat. Namun, dia tidak akan pernah mengakuinya. Biarkan Genji dan orang-orang lain yang mendukungnya mengambil langkah-langkah penting dan menerima semua kebencian. Ketika para idealis seperti mereka sudah lenyap maka para realis seperti dirinya akan maju dan mengambil alih. Tradisi sudah hancur, tetapi untuk sementara, Saemon melihat manfaat yang besar dalam diri mereka yang masih setia mendukungnya. (S2: 433).

Kutipan di atas menunjukkan penyimpangan nilai bushido dengan pemikiran untuk melakukan modernisasi Jepang. Ini semua diakibatkan dari masuknya bangsa-bangsa asing ke Jepang. Pemikiran Saemon menganggap bahwa para samurai yang idealis akan segera lenyap dan digantikan oleh orang-orang yang berpikiran realis seperti Saemon. Dan Saemon melihat peluang untuk menghancurkan Genji dengan cara memperalat samurainya untuk melakukan pengkhianatan kepada Genji.

76

5.2. Pengkhianatan

Aspek pengkhianatan merupakan penyimpangan dari nilai kesetiaan bushido. Aspek inilah yang paling banyak terdapat di dalam dwilogi novel Samurai. Perhatikan kutipan-kutipan berikut ini.

Taro tidak memperhatikan percakapan kedua wanita itu. Pemikiran lain yang lebih serius membebaninya. Pembunuhan. Penculikan. Pengkhianatan. Mampukah dia melakukan tindakan-tindakan semacam itu dan masih menyebut dirinya seorang samurai? Dan, jika dia tidak bertindak, apakah pengkhianatannya akan menjadi lebih buruk? (S2: 191-192)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita lihat bahwa Taro mengalami pertentangan batin untuk melakukan pengkhianatan dengan cara membunuh Emily.

Seperti semua samurai sejati, dia membenci tindakan sembunyi-sembunyi, dan lebih memilih berdiri di tempat terbuka dalam postur yang menyatakan tujuannya. Caranya melaksanakan pengkhianatan ini menyakitkan dirinya hampir sama besar dengan pengkhianatan itu sendiri. Akan tetapi, Lord Saemon telah meyakinkan dirinya bahwa sekarang bukan waktunya untuk pamer keberanian tradisional. Penting bagi Taro untuk menutupi perubahan kesetiaannya sampai waktu yang tepat. Jadi dia tidak hanya membunuh seorang wanita dan melindungi wanita lain sesuai sumpahnya, tetapi dia akan membunuh wanita itu dari tempat tersembunyi, dan aib yang dirasakannya akan tiga kali lebih besar. Dia bertindak untuk melindungi tradisi kehormatan dan keberanian leluhur yang hampir ditinggalkan Lord Genji. Tidakkah ini aneh bahwa tindakan terbukanya karena alasan itu harus begitu luar biasa pengecut? Namun, ini konsisten dengan semua kontradiksi lain yang disebabkan oleh kehadiran orang asing. Kalau saja dia laki-laki yang mampu menghargai dengan lebih baik betapa menggelikannya hidup ini, pasti dia akan menertawakan dirinya saat ini juga. (S2: 395). Melakukan pengkhianatan ini sebenarnya menjadi pertentangan batin di dalam diri Taro. Karena seorang samurai sejati harus memiliki salah satu aspek dari

77

nilai bushido yaitu keberanian. Taro merasa malu pada dirinya sendiri karena berniat melakukan pembunuhan secara sembunyi-sembunyi.

Lady Hanako, yang juga dikhianatinya, telah kehilangan lengan

Dokumen terkait