• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan UU Desa dan peraturan turunannya

Awal bab ini akan memberikan latar belakang penyusunan peraturan yang telah ada. Tujuannya untuk memberikan konteks bagi kontradiksi yang sudah terlihat jelas pada saat ini, yang kemudian akan dijelaskan di bagian kedua seksi ini. Ketidakkonsistenan akan meramaikan transisi awal ke UU Desa dimana akan berdampak secara signifikan pada transfer mekanisme dan prinsip PNPM dan praktik yang baik kepada penerapan UU Desa.

Penyusunan UU Desa dan peraturan turunannya

Dua perspektif tentang pemerintahan desa telah mendominasi di berbagai tahap perumusan UU Desa, masing-masing unggul di berbagai sisi. Kedua perspektif ini dapat disederhanakan sebagai perspektif yang lebih condong untuk melanjutkan kendali oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi mengenai urusan desa (prokontrol pemerintah (GC)) dan yang mendorong pemerintahan tersendiri di desa (prootonomi desa (VA)).24 Mereka yang berpegangan pada perspektif yang berpusat pada pemerintah menunjukkan preferensi dalam hal keseragaman, kepahaman, dan penekanan konflik dengan cara melanjutkan dominasi pemerintah di dalam Transisi

pemerintahan desa (Antlöv 2003; Evers 2000). Para pendukung ini tidak selalu mendorong untuk dilakukannya kembali sentralisasi—karena pemerintah daerah adalah lembaga negara utama yang mereka anggap sebagai pengendali—tapi mereka enggan untuk melepaskan kekuasaan atas pengambilan keputusan dan proses tata kelola desa ke tingkat dan pelaku pemerintahan lokal. Mereka tetap menyerahkan kendali kepada para pemimpin administratif dan terpilih, yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Sebaliknya, para pendukung otonomi desa percaya bahwa UU Desa harus mengalihkan kekuasaan atas pemerintahan desa kepada masyarakat. Pada dasarnya, desa harus menjadi subjek dari pembangunan (daripada menjadi objek, seperti yang dilihat dari sudut pandang pro-GC) (TNP2K 2014a). Berdasarkan prinsip subsidiaritas, masyarakat desa dipandang sebagai pihak yang paling tepat untuk mengidentifikasi dan menangani masalah utama, serta mampu memberikan kontribusi dan mengatur pekerjaan pejabat lokal untuk memastikan bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, UU harus disusun untuk mendukung upaya tersebut (Antlöv & Eko 2012).

Perdebatan antara dua sudut pandang pada akhirnya akan merujuk kepada siapa kepala desa dan pemerintah desa bertanggungjawab: penduduk desa atau pejabat pemerintah daerah. Perlu dicatat, hasil penelitian terhadap pemerintahan desa selama dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa posisi kepala desa telah menjadi sangat kuat, dikarenakan kontrol penduduk desa terhadap kepala desa telah dilemahkan oleh UU yang relevan (Tabel 4), namun pemerintah kabupaten telah gagal dalam menjalankan fungsi pemantauan (Wetterberg, Dharmawan, et al. 2013; Wollenberg 2009). Sebagai efeknya, kepala desa jarang sekali bertanggung jawab kepada pemerintah daerah atau masyarakat desa.

Konteks politiknya bervariasi pada setiap tahap perumusan dan pendefinisian UU Desa serta peraturan yang menyertainya. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan dalam proses yang dimandatkan dan kesepakatan yang dicapai—serta pendukung pelaku utama—terkait dengan setiap tahapan dan dengan peristiwa politik eksternal yang terjadi bersamaan pada tahap tertentu. Akibatnya, kumpulan aktor yang berbeda telah mendominasi formulasi undang-undang di setiap tahap.

Selama penyusunan naskah akademis pada 2007, tahap pertama pembuatan UU Desa, perspektif pro-VA mendominasi. Proses penyusunan, yang diketuai oleh Direktur Jenderal PMD (Kemendagri), cukup terbuka untuk menerima masukan dari pelaku di luar pemerintah, seperti OSM dan organisasi pembangunan, serta masyarakat melalui konsultasi publik.

Transisi di Bawah UU Desa

Berlawanan dengan konsep awal, Rancangan Undang-Undang Desa mencerminkan perspektif pro-GC. Tahap ini (2007–2011) juga relatif lebih tertutup terhadap masukan dari masyarakat dan para ahli nonpemerintah dibandingkan dengan tahap sebelumnya. Perwakilan masyarakat sipil secara resmi disertakan di dalam tim ahli dan diberi kesempatan untuk memberikan kontribusi berbasis penelitian selama proses konsultasi. Para ahli ini secara khusus menggunakan serangkaian studi untuk menguji pendekatan pemberdayaan di dua puluh kabupaten terpinggirkan25

dan pada tahap selanjutnya, menyalurkan informasi dan penelitian tentang PNPM ke dalam proses ini.

Penulisan RUU ini diserahkan kepada pelaku dari pemerintah yang mengandalkan informasi yang berasal dari pengetahuan mereka. Masyarakat sipil dan pembuat kebijakan memang berperan dalam meneruskan UU ini ke tahap berikutnya (2012–2013), karena mereka bekerja sama untuk menekan pelaku pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengirim draf UU Desa yang lengkap ke DPR.

Transisi di Bawah UU Desa

Dalam komite legislatif yang bertanggung jawab untuk penyusunan UU ini (Panitia Khusus, Pansus RUU Desa), pihak pro-VA kembali mendominasi, karena mayoritas kepemimpinan merupakan pendukung konsep ini. Pansus meminta tim ahli, serta akademisi lainnya, untuk memberikan masukan dan mengadakan konsultasi dengan masyarakat. Pada tahap ini, transfer langsung dana ke desa-desa dari APBN menjadi topik diskusi yang sangat substansial karena mekanisme tersebut belum didukung dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, transfer langsung dana hibah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi PNPM.

Pada 2013, tekanan politik untuk mensahkan UU Desa semakin meningkat. Setelah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah mengenai transfer APBN ke desa, tampak juga peningkatan minat dari para calon anggota legislatif dan presiden tahun 2014. Presiden juga berkomitmen untuk menyelesaikan dengan cepat proses penyusunan UU Desa, dan mengumumkan pada 18 Desember 2013, sebelum UU disahkan, bahwa beliau akan menandatanganinya sesegera mungkin. UU tersebut kemudian disahkan pada hari yang sama. Selama masa kampanye tahun 2014, para calon dari hampir semua partai mengklaim bawa mereka berperan dalam pengesahan undang-undang tersebut dan dalam peningkatan besaran alokasi dana untuk desa-desa.

Disahkannya UU Desa menandai pergeseran penting mengenai cara masyarakat perdesaan Indonesia akan diatur. Sejalan dengan mekanisme khusus yang kondusif untuk memfasilitasi transisi PNPM, UU ini memperkenalkan penyeimbangan umum kekuasaan di tingkat desa.Posisi kepala desa telah menjadi semakin kuat dengan perubahan hukum yang terjadi selama tahun 2000-an (Wetterberg, Dharmawan, et al. 2013; Wollenberg 2009) (Tabel 4). Meskipun telah terjadi perubahan radikal ke arah demokrasi dan pemerintahan yang dipimpin oleh masyarakat dengan adanya UU 22/1999, revisi Undang-undang Desentralisasi pada tahun 2004 dan 2005 telah mengembalikan lebih banyak kendali kepada kepala desa, sebagian besar akibat melemahnya perwakilan Badan Perwakilan Desa yang dipilih secara langsung (yang kemudian menjadi Badan Permusyawaratan Desa konsultatif yang ditunjuk). Undang-Undang Desa tahun 2014 melembagakan adanya pengawasan dan penyeimbang baru untuk kepala desa, menempatkan lebih banyak kontrol di tangan masyarakat umum dan khususnya di BPD.

Pada bulan Maret 2014, perhatian terhadap pelaksanaan UU semakin meningkat, ketika Presiden menetapkan batas waktu untuk penyusunan Peraturan Pemerintah. Meskipun UU itu sendiri mengalokasikan waktu selama dua tahun untuk penyusunan PP, Presiden mengumumkan pada tanggal 24 Maret bahwa PP akan selesai akhir Mei 2014 sehingga transfer dana desa dapat dilakukan sebelum akhir tahun. Birokrat yang bertanggung jawab menghadapi tekanan waktu dan politik serta ekspektasi

Transisi di Bawah UU Desa

yang tinggi dari masyarakat desa di seluruh Indonesia, untuk menyelesaikan proses penyusunan PP.

Dua PP tersebut disusun setelah Presiden meminta dilakukannya percepatan. Penyusunan PP 43/2014 tentang Desa (Peraturan Pemerintah tentang Desa, PP Desa) adalah tanggung jawab utama dari PMD/Kemendagri. PP 60/2014 tentang Dana Desa (Peraturan Pemerintah tentang Dana Desa, PP Dana Desa) dipimpin oleh Kementerian Keuangan.

PP Desa sekali lagi memperkenalkan perspektif pro-GC terhadap pemerintahan desa, bergeser dari substansi semangat prootonomi UU Desa. Perubahan ini bertentangan dengan prinsip dan mekanisme yang ditentukan dalam undang-undang dan beberapa perubahan ini akan menghambat transisi PNPM menjadi kebijakan nasional. PP Dana Desa terutama difokuskan pada proses tingkat supra desa dan karena itu tidak secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip CDD. Tapi memang merupakan kesempatan yang tidak dimanfaatkan untuk memperkuat pengawasan dana kuntabilitas penggunaan dana (Bagian F).

Tantangan dalam kerangka hukum untuk menggabungkan mekanisme