Agama Islam hadir dengan aturan yang jelas antara laki-laki maupun perempuan Seperti dalam Qs. An-Nisa:32
ءاَسِّْيِى َو ْاىُبَسَخْما اٍََِّّ ٌبُ ِصَّ ِهاَج ِّشيِّى ٍطْؼَب ًَيَػ ٌُْنَعْؼَب ِهِب ُ ّاللّ َوَّعَف اٍَ ْا ْىََََّْخَح َلا َو اًَُِيَػ ٍءٍَْش ِّوُنِب َُاَم َ ّاللّ َُِّإ ِهِيْعَف ٍِِ َ ّاللّ ْاىُىَأْسا َو َِْبَسَخْما اٍََِّّ ٌبُ ِصَّ ﴾٣٢﴿
Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs. An-Nisa:32).
Islam telah memberikan perempuan hak yang sama dengan hak-hak yang dimiliki laki-laki. Islam juga mengizinkan wanita untuk berdagang, bertani serta mengurus usaha yang dimilikinya. Meski demikian islam juga tidak mengabaikan kodrat perempuan sebagai ibu dan istri didalam rumah tangga (Al-Hasany, 2000).
Tidak ada perbedaan laki-laki dengan perempuan dalam hal perbuatan. Semuanya diberi Allah ganjaran yang sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Seperti dalam Qs.Al-Ahzab ayat 35 :
ََِ ِشِباَّصىا َو ِثاَقِداَّصىا َو َُِِقِداَّصىا َو ِثاَخِّاَقْىا َو َُِِخِّاَقْىا َو ِثاٍَِْْؤَُْىا َو ٍَُِِِْْؤَُْىا َو ِثاََِيْسَُْىا َو ََُِِِيْسَُْىا َُِّإ ٌُْهَجو ُشُف َُِِظِفاَحْىا َو ِثاََِئاَّصىا َو ََُِِِئاَّصىا َو ِثاَقِّذَصَخَُْىا َو َُِِقِّذَصَخَُْىا َو ِثاَؼِشاَخْىا َو َُِِؼِشاَخْىا َو ِثا َشِباَّصىا َو ا ًشْجَأ َو ًة َشِفْغٍَ ٌُْهَى ُ َّاللّ َّذَػَأ ِثا َشِماَّزىا َو ا ًشُِثَم َ َّاللّ ََِ ِشِماَّزىا َو ِثاَظِفاَحْىا َو ٌاًَُِظَػ ﴿ ٣٥ ﴾
Artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Sebagai istri dan seorang perempuan yang taat, perempuan diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah seperti firman Allah SWT dalam Qs. Al-Ahzab :
اَََِّّإ ُهَىىُس َس َو َ َّاللّ َِْؼِغَأ َو َةاَم َّضىا َُِِحآ َو َة َلََّصىا ََِِْقَأ َو ًَىوُ ْلأا ِتَُِّيِهاَجْىا َج ُّشَبَح َِْج َّشَبَح َلا َو َُِّنِحىُُُب ٍِف َُ ْشَق َو ًاشُِهْطَح ٌُْم َشِّهَطَُ َو ِجَُْبْىا َوْهَأ َ ْج ِّشىا ٌُُنَْػ َبِهْزُُِى ُ َّاللّ ُذَ ِشَُ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna dari ayat { َُِّنِحىُُُب ٍِف َُ ْشَق َو} yaitu menetaplah kalian di rumah kalian sebab hal itu lebih selamat dan lebih memelihara diri kalian. Sedangkan makna
ayat { ًَىولأا ِتَُِّيِهاَجْىا َج ُّشَبَح َِْج َّشَبَح لا َو } yaitu janganlah banyak keluar dengan bersolek atau memakai parfum sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliyah sebelum Islam yang tidak memiliki ilmu dan agama (Mianoki, 2012).
Kendati demikian islam tidak sepenuhnya melarang perempuan untuk memiliki pekerjaan diluar rumah selama pekerjaan tersebut mampu dilakukan tanpa harus mempertaruhkan martabat, tidak melanggar syariat serta mengganggu tugasnya didalam rumah tangga. Pada masa awal Islam, wanita ikut membantu suami dalam mengerjakan pekerjaan diluar rumah seperti halnya Asma putrid Abu Bakar sahabat Rasulullah SAW, kerap ikut membantu suaminya dalam menyelesaikan pekerjaan di ladang.
Ada beberapa hadis yang menyatakan bahwasanya hukumnya mubah wanita berkarier. ٌيسو الله ًيص ٍبْىا ًىإ جحأ اَهْػ الله ٍظس دىؼسٍ ِب الله ذبػ جْب تطَس ِػ . جىاقف : ٍّإ الله هىسس اَ ئُش ٍىىى لاو ٍجوضى لاو ٍى ُىو اهٍْ غُبأ تؼْص ثار ةأشٍا . هاقف ٌهُيػ تقفْىا ِػ هخىأسو : لىر ٍف لى ٌهُيػ جقفّأ اٍ شجأ . ذؼس ِبا هجشخأ .
Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra. ia pernah mendatangi Nabi Saw dan bertutur, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apapun.” Ia juga bertanya mengenai nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka,” kata Nabi Saw. (Thabaqat Ibn Sa’d)
Selain diriwayatkan oleh Imam Ibnu Sa’d, hadis di atas juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Imam Ahmad, dan Imam Ibnu Hibban. Berdasarkan hadis di
atas, Dr. Faquhuddin Abdul Kodir menuliskan dalam bukunya yang berjudul 60
Hadis; Hak-hak Perempuan dalam Islam, mengatakan ketika kesempatan kerja
terbuka bagi keduanya sebagaimana yang terjadi sekarang. Maka tanggungjawab mencari nafkah menjadi tanggungjawab bersama bagi siapa pun yang memiliki kapasitas dan kemampuan (Maghfiro, 2018).
Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
a. Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium. Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.
Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181),
Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan
wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
b. Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara. Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
c. Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
d. Dalam bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dan sebagainya.
e. Bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang. Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
f. Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
g. Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri (Sa'id, 2013).
Rasulullah Saw., dalam sebuah hadisnya juga memuji orang yang memakan rizki dari hasil usahanya sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhâri:
Terjemahnya:
"Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan itu lebih baik daripada mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerjanya sendiri, sebab Nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya." (H.R. al-Bukhari).
Namun meski seorang wanita diperbolehkan untuk menjadi wanita karier, ia tetap harus mendapatkan ijin dari suaminya untuk bekerja(Asriaty, 2014). Di antara petunjuk Rasulullah Saw tentang keharusan seorang istri untuk meminta izin ketika ingin keluar rumah yaitu :
Diriwayatkan dari Sâlim bin `Abdullah dari ayahnya dari Nabi Saw bersabda : "Apabila istri salah seorang di antara kamu minta izin (untuk pergi ke masjid), maka janganlah dicegah". (H.R.Bukhari).
Bahkan beberapa dari istri-istri Rasulullah SAW juga memiliki kematangan professional, sebagai berikut;
1. Aisyah r.a. adalah perempuan yang memiliki kemampuan luar biasa pada bidang ilmu pengobatan bahkan merupakan guru kedoteran, beliau juga memiliki keahlian dalam bidang sejarah dan sastra, agama, ilmu politik, dan memiliki kemampuan perang hingga menjadi panglima dalam sebuah perang yaitu perang jamal. Sepeninggalan Rasulullah, beliau memanfaatkan rumahnya untuk kegiatan belajar mengajar. Dengan rekam jejak yang dimiliki oleh beliau dapat dikategorikan sebagai cendekiawan, ulama dan budayawan.
2. Hafsahmerupakan pakar dalam ulumul Al-Qur’an dan pengetahuan umum. Hafsah memiliki kecerdasan yang membuatnya terkenal dan keikut sertaannya didalam bidang politik.
3. Ummu Salamah adalah wanita yang mampu menguasai ilmu politik dan hubungan internasional.
4. Zainab binti Zahsy merupakan pakar dalam bidang kesenian.
Ada beberapa tokoh dalam islam yang memperbolehkan wanita bekerja, salah satunya adalah tokoh yang bernama al-Sakhawi beliau berpendapat bahwa wanita yang memiliki potensi seharusnya diperbolehkan untuk mengabdi di antara masyarakat agar bermanfaat bagi sesama (Suparjono, 2010).
Dalam bidang perdagangan salah satu istri Rasulullah SAW, yakni Khadijah binti Khuwailid adalah pedagang yang masyur dan begitu sukses. Kemudian ada juga Ummu Salim Binti Malhan yang bekerja menjadi perias pengantin di masa Nabi Muhammad SAW (Rusli, 2016).
Fenomena kiprah para istri Rosulullah SAW menunjukkan perempuan boleh ikut serta dalam kehidupan secara luas dalam konteks bekerja atau memiliki peran secara sosial.