• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaru- Pembaru-an Hukum Islam

Dalam dokumen Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam (Halaman 99-128)

KAIDAH FIQHIYYAH DAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

B. Peran Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaru- Pembaru-an Hukum Islam

Adat atau ‘urf,29 sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardawi, merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan.30 Dalam pembinaan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam sangat

memperhatikan adat (‘Urf) masyarakat setempat, misalnya mengenai larangan minuman keras (khamr). Peluang adat (‘urf) untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum secara implisit disyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam al-Qur’an, antara lain:

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (al-Baqarah:

233).

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaknya diberi oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf.

(al-Baqarah: 241).

Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai macam, jenis atau bentuk dan batasan banyak sedikitnya nafkah yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya dan oleh suami kepada istrinya yang dicerai. Hal ini karena Islam memahami bahwa tingkat kehidupan, kemampuan dan adat (‘urf) masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Syari’at Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan ketentuan hukumnya sesuai adat (‘urf) setempat. Oleh karena itu ketentuan hukum mengenai kewajiban memberi nafkah bagi suami atau orang tua yang ada dalam berbagai kitab fiqh (dari berbagai macam madzhab) berbeda-beda, disebabkan oleh perbedaan tradisi di mana ulama tersebut berada.

...

ﻰﻠﻋﻭ

ﺩﻮﻟﻮﳌﺍ

ﻪﻟ

ﻦﻬﻗﺯﺭ

ﻦﻮﺴﻛﻭ

ﻑﻭﺮﻌﳌﺎﺑ

...

ﺕﺎﻘﻠﻄﻤﻠﻟﻭ

ﻉﺎﺘﻣ

ﻑﻭﺮﻌﳌﺎﺑ

ﺎﻘﺣ

ﻰﻠﻋ

ﲔﻘﺘﳌﺍ

Berkaitan dengan itu, dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan:

Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum.

Qaidah yang lain:

Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash.

Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan di terapkan sesuai dengan keadaan suatu masyarakat. Sifat al-Qur’an dan as-Sunnah yang hanya memberikan prinsi-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam dapat dijabarkan dan terealisir dalam dan oleh kaidah ini. Lebih jauh, senada dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), kaidah fiqhiyyah memberikan keluasan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:

“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang belaku di antara mereka”.

Qaidah-qaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan

31 32

ﺓﺩﺎﻌﻟ

ﺔﻤﻜﳏ

.

ﲔﻴﻌﺘﻟﺍ

ﻑﺮﻌﻟﺎﺑ

ﲔﻴﻌﺘﻟﺎﻛ

ﺺﻨﻟﺎﺑ

.

33

.ﻢﻬﻨﻴﺑ ﻁﻭﺮﺸﳌﺎﻛ ﺭﺎﺠﺘﻟﺍ ﲔﺑ ﻑﻭﺮﻌﳌﺍ

ketentuan hukumnya. 34 Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk menjadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.35 Akan tetapi, idak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar hukum. Yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu sendiri. Karena itu para ulama mengklasifikasikan adat (‘urf) ini menjadi dua macam yaitu:

1. Al-‘Urf al-Shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di

tengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ada dalam nash (al-qur’an dan as-sunnah).

2. Al-‘Urf al-Fasid, yaitu kebiasaan yang telah berlaku

di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan tersebut bertentangan dengan nash atau ajaran-ajaran syari’at secara umum.36

Adat (‘urf) yang dapat dijadikan hukum adalah

al-‘urf al-shahih. Oleh karena itu selama kebiasaan

masyarakat tidak bertentangan dengan syari’at Islam, dapat dijadikan dasar pertimbangan hukum. Dengan demikian sifat akomodatif hukum Islam dapat terealisir tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.

Memperhatikan keadaan suatu masyarakat merupakan suatu hal yang mendasar dalam syari’at Islam. Oleh karena itu syari’at Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya selalu disertai penjelasan tentang ‘illat (‘illah) yaitu alasan yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum, sekalipun tidak semua ketentuan

hukum dijelaskan ‘illatnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap ketetapan hukum, berpijak dari alasan-alasan yang logis.

Berkaitan dengan masalah ‘illat ini, Syekh Abdul Fatah mengatakan bahwa semua tindakan kontroversial Umar (yang sepintas melanggar ketentuan nash), karena Umar memandang bahwa hukum agama itu mengandung alasan-alasan tertentu.

“Ketetapan suatu hukum itu didasarkan atas ada atau tidak adanya ‘illat.”

Dan kaidah:

Pada dasarnya suatu ketetapan hukum dapat dihapus (berubah) dengan hilangnya (berubah) nya ‘illat.

Kaidah yang lain menyebutkan:

Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat, maka hukum tersebut dapat diganti (dirubah) dengan hilangnya ‘illat tersebut.

Kaidah-kaidah tersebut memberikan suatu prinsip dasar bahwa dalam menerapkan atau menetapkan kebijakan hukum tidak boleh hanya berpegang kepada makna lahiriyah atau bunyi lafaz dari suatu teks nash, akan tetapi harus dengan sungguh-sungguh menggunakan pemikiran dan penggunaan intelektual, yaitu dengan menggali dan mencermati ‘illat dan hikmah yang terkandung dalam suatu ketetapan

ﻞﺻﻷﺍ

ﻥﺃ

ﻝﻭﺰﺗ

ﻡﺎﻜﺣﻷﺍ

ﺍﻭﺰﺑ

ﺎﻬﻴﻠﻋ

.

37 38

. ﺎﳍﺍﻭﺰﺑ ﻝﺍﺯ ﺔﻠﻌﺑ ﺖﺒﺛ ﺍﺫﺇ ﻢﻜﳊﺍ

hukum, sehingga benar-benar rasional dan relevan. Suatu ketentuan hukum yang berbeda dan perubahan-perubahan hukum yang terjadi dari waktu ke waktu, tidak selalu dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dari syari’at, tetapi sebaliknya hal itu harus dipandang sebagai dinamika dan nilai kontekstualitas hukum Islam itu sendiri.

Penetapan hukum yang didasarkan kepada analisis ‘illat sebagaimana dilakukan oleh Umar, yang terformulasikan dalam tiga ka’idah di atas merupakan tahapan yang penting dalam pengembangan analisis sosiologi hukum. Perbedaan di seputar aspek normatif hukum Islam dan aspek sosiologis manusia (masyarakat) akan selalu dijumpai dalam realitas keseharian. Di saat terjadi tarik-menarik antara pendekatan normatif dan sosiologis, Umar menjatuh-kan pilihannya pada faktor sosiologis dengan pertimbangan rasionalistis kemaslahatan demi untuk memaknakan (hukum) Islam dalam realita kehidupan tanpa meninggalkan semangat yang dipesankan dalam teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Karenanya sangatlah penting untuk dipahami bahwa suatu sistem kepercayaan (agama) dalam suatu komunitas sosial jangan sampai ajaran-ajarannya termasuk dalam bidang hukum terjadi kehampaan nilai. Pergumulan dan perbenturan dengan nilai-nilai sosial selalu terjadi dan dapat mempengaruhi intensitas pengalaman keagamaan. Dalam keadaan yang demikian, tentunya Islam harus arif agar kehadirannya dapat bermakna.

Memperhatikan faktor sosiologis sangat penting bila melihat hukum Islam dengan segala dinamikanya

antara lain bukanlah semata-mata sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek spiritual, tetapi juga merupakan sistem sosial yang utuh bagi masyarakat yang didatanginya. Oleh karena itu hukum Islam harus tetap eksis dalam masyarakat sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dalam waktu dan ruang tertentu. Dari sudut pandang inilah nilai kontekstualitas dan peran penting kaidah di atas dapat dilihat. Kaidah tersebut memberikan prinsip dasar terhadap kemungkinan adanya perubahan penerapan hukum dengan mempertimbangkan ‘illat sebagai landasan filosofisnya. Ketidakterlepasan perhatian hukum Islam terhadap kondisi sosial masyarakat, sebenarnya telah nampak sejak awal proses pembentukan hukum Islam itu sendiri. Adanya asbab al-nuzul dari suatu ayat hukum dan asbab al-wurud dari suatu hadits hukum merupakan contoh kongkrit bahwa ketetapan hukum dalam Islam merupakan refleksi sosial masyarakat yang mengelilinginya. Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, para imam mujtahid atau para imam mazhab dalam menetapkan suatu hukum selalu memperhatikan kondisi sosial masyarakat. Perbedaan ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh imam Syafi’i yang kemudian memunculkan qaul qadim (pada waktu berbeda di Baghdad, Irak) dan qaul jadid (pada waktu ia berada di Kairo Mesir) adalah contoh kongkrit bahwa ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad, faktor kondisi lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi terhadap ketentuan-ketentuan hukum.

Berdasarkan fakta perkembangan hukum Islam itu, Ahmad Mustafa al-Maraghi menyatakan bahwa

suatu kebijakan hukum dapat saja berubah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Apabila suatu ketentuan hukum dirasakan sudah tidak maslahat, dikarenakan terjadi perubahan kondisi sosial, maka dapat diganti dengan ketetapan baru yang lebih sesuai dengan kemaslahatan dan kondisi sosial yang ada.39 Hal yang sama juga dinyatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha, bahwa suatu ketetapan hukum dapat berubah-ubah karena perberubah-ubahan tempat, waktu, kondisi, dan situasi sosial masyarakat. Jika suatu ketentuan hukum itu tidak dibutuhkan lagi dapat digantikan dengan ketentuan hukum baru yang sesuai dengan waktu dan situasi terakhir.40

Terhadap kemungkinan adanya perubahan hukum tersebut dalam Kaidah Fiqhiyyah disebutkan:

Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat dan situasi (kondisi).

Kaidah ini menetapkan suatu prinsip bahwa seseorang harus mempunyai kemampuan melihat fenomena sosial yang mungkin berubah dan berbeda karena perubahan zaman dan perbedaan tempat. Ini juga berarti menuntut kemampuan membuat generalisasi atau abstraksi dari ketentuan hukum yang ada menjadi prinsip umum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Berlakunya setiap prinsip untuk segala zaman dan tempat berarti keharusan memberi peluang pada prinsip itu untuk dilaksanakan secara teknis dan kongkrit menurut tuntutan ruang dan waktu. 41

. ﻝﺍﻮﺣﻷﺍﻭ ﺔﻨﻜﻣﻷﺍﻭ ﺔﻨﻣﺯﻷﺍ ﲑﻐﺘﺑ ( ﻢﻜﳊﺍ) ﻯﻮﺘﻔﻟﺍ ﲑﻐﺗ

Karena ruang dan waktu berubah, tentu spesifikasinya pun berubah dan ini membawa perubahan hukum.42

Berarti kaidah ini memberikan peluang kepada seseorang dalam menetapkan sesuatu ketentuan hukum untuk menjawab persoalan-persoalan baru, sesuai dengan perkembangan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kaidah tersebut sangat berperan mewujudkan nilai kontekstualitas hukum Islam.

Perubahan kondisi sosial adalah suatu perubahan di sekitar institusi kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Masyarakat muslim adalah sekelompok masyarakat yang hidup dalam sebuah sistem dengan memegang al-Qur’an sebagai sumber ajarannya yang diyakini benar dan kekal. Karena kekekalannya itulah al-Qur’an justru harus dipahami sesuai perkembangan dan perubahan manusia di berbagai bidang sosial, budaya, sains dan teknologi. Dengan berpegang pada prinsip yang demikian, hukum Islam tidak hanya sebagai aturan normatif, tetapi juga operatif, sehingga hukum Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat, bukan sebagai ancaman.43 Dengan demikian ka’idah di atas sangat berperan dalam mewujudkan konsep perubahan sosial yang selalu terkait dengan perubahan hukum.

Perbedaan pendapat tentang wali mujbir44 di kalangan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah adalah sebagai contoh bahwa suatu ketetapan hukum (yang dihasilkan melalui ijtihad) tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat. Lingkungan masyarakat Hanafiyah wanita-wanitanya sudah terbiasa ikut serta dalam

pergaulan kemasyarakatan dalam berbagai bidang, sehingga ia dianggap mengetahui terhadap laki-laki yang cocok bagi dirinya. Sebaliknya lingkungan masyarakat Syafi’iyah kaum wanitanya tidak terbiasa keluar rumah, sehingga dalam menentukan calon suami, orang tua (wali) lebih mengetahui laki-laki yang baik dan maslahat bagi anaknya. Qai’dah fiqhiyyah sebagai metode yang mampu berperan dalam menetapkan hukum secara kontekstual karena adanya perubahan waktu (zaman) diungkapkan oleh Kaidah:

Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena

berubahnya waktu (zaman).

Ka’idah di atas menunjukkan bahwa seseorang dapat menetapkan hukum atau mengeluarkan fatwa dan sekaligus melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemuka-kan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapmengemuka-kan oleh seorang mujtahid, mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan dan adat.46 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Marshall Hodgson, bahwa suatu ketentuan hukum sangat mungkin berubah karena pertimbangan lingkungan yaitu lingkungan tempat (dhraf al-makan) dan lingkungan waktu (dhraf al-zaman).47 Berarti kaidah tersebut sangat relevan sebagai metode penetapan untuk sesuai dengan konteks waktu.

Peran lain yang dapat dilakukan oleh kaidah fiqhiyyah dalam merealisasikan nilai kontekstualitas hukum Islam juga terdapat dalam kaidah:

45

ﺮﻜﻨﻳ

ﲑﻐﺗ

ﻡﺎﻜﺣﻷﺍ

ﲑﻐﺘﺑ

ﻥﺎﻣﺯﻷﺍ

.

Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.

Kaidah lain menyebutkan:

Segala sesuatu (selain ibadah) pada dasarnya adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.

Kaidah di atas menunjukkan adanya kebebasan dasar yang diberikan oleh Islam untuk mengembangkan dan menerapkan berbagai kebijakan hukum dengan segala teknisnya sesuai dengan konteks yang ada. Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa umat Islam dalam aktivitas kultural (selain masalah ibadah) seperti politik, kenegaraan, perekonomian, diberi kebebasan yang luas untuk melakukan kreativitas dan inovasi untuk mencari yang paling relevan dengan kondisi yang ada.

Berkaitan dengan prinsip Kaidah tersebut patut diperhatikan ungkapan Ahmad Zaki Yamani:50

“Banyak orang keliru memahami syari’ah yaitu tidak dapat membedakan antara yang murni agama dan yang merupakan prinsip-prinsip transaksi keduniaan. Meskipun kedua-duanya diambil dari sumber yang sama (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi prinsip-prinsip yang kedua didasarkan kepada kepentingan dan manfaat umum dan karenanya

48

ﻞﺻﻷﺍ

ﺀﺎﻴﺷﻷﺍ

ﺔﺣﺎﺑﻹﺍ

.

49

ﻞﺻﻷﺍ

ﺀﺎﻴﺷﻷﺍ

)

ﲑﻏ

ﺓﺩﺎﺒﻌﻟﺍ

(

ﺔﺣﺎﺑﻹﺍ

ﱴﺣ

ﻝﺪﻳ

ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ

ﻰﻠﻋ

ﱘﺮﺤﺘﻟﺍ

.

dapat berubah-ubah (sesuai dengan konteksnya) menuju yang terbaik dan ideal.”

Ungkapan di atas memberikan pengertian tentang perlunya dibedakan (tetapi tidak terpisahkan, karena berasal dari sumber yang sama) antara yang bersifat agama murni dan yang bersifat keduniaan. Sesuai dengan ka’idah dan ungkapan Ahmad Zaki Yamani di atas, dalam urusan mu’amalah boleh melakukan kreatifitas, tetapi dalam ibadah tidak diperbolehkan ada “kreativitas”, sebab meng-creat suatu bentuk ibadah adalah bid’ah, sebagaimana diungkapkan oleh kaidah:

Pada dasarnya dalam masalah ibadah adalah tidak boleh sehingga ada dalil (petunjuk) yang membolehkan.

Kaidah ini memberikan prinsip bahwa manusia dilarang menciptakan sistem ibadat dan tata caranya, karena hal itu adalah hak mutlak Tuhan dan Rasul. Sebagaimana melakukan kreativitas terhadap ibadah adalah bid’ah (prinsip kaidah kedua), melarang melakukan kreativitas terhadap sesuatu yang dibolehkan (dalam urusan mu’amalah) juga berarti bid’ah (prinsip kaidah pertama).

Tiga kaidah di atas dipertegas lagi oleh kaidah: 51

. ﺔﺣﺎﺑﻹﺍﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍﻝﺪﻳ ﱴﺣ ﱘﺮﺤﺘﻟﺍ ﺓﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﰲ ﻞﺻﻷﺍ

52

ﻞﺻﻷﺍ

ﺩﻮﻘﻌﻟﺍ

ﺔﻠﻣﺎﻌﳌﺍﻭ

ﺔﺤﺻ

ﱴﺣ

ﻡﻮﻘﻳ

ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ

ﻰﻠﻋ

ﻥﻼﻄﺒﻟﺍ

ﱘﺮﺤﺘﻟﺍﻭ

.

Pada dasarnya dalam segala bentuk transaksi dan mu’amalah adalah diperbolehkan (sah) sampai ada dalil yang melarang dan mengharamkan.

Dari uraian tersebut terlihat bahwa nilai-nilai kontekstualitas hukum Islam dapat diwujudkan melalui konsep “ibahah” yang ada dalam kaidah di atas. Dari kaidah itu, seseorang diberi wewenang untuk mengembangkannya sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi.

Kaidah lain ialah:

Kebijakan pemimpin terhadap masyarakat harus didasarkan atas kemaslahatan.

Nilai-nilai kontekstualitas hukum Islam tergambar dalam kaidah tersebut. Dalam kaidah tersebut seorang pemimpin (dalam arti dan tingkat apapun) dapat mengembangkan berbagai teori sosial, perekonomian, pendidikan yang universal dan relevan. Kemaslahatan yang dijadikan sebagai tolak ukur utama dalam ka’idah tersebut dapat mengantarkan nilai-nilai kontekstualitas hukum Islam, karena kemaslahatan manusia (masyarakat) sifatnya selalu aktual, sangat mungkin berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, dan dapat berubah dari satu waktu ke waktu berikutnya. Apabila kemaslahatan dijadikan dasar dalam setiap kebijakan, maka hukum Islam dapat diterapkan dalam berbagai konteks, tanpa harus meninggalkan prinsip pokok yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam yaitu “kemaslahatan” itu sendiri. Dengan

53

ﻑﺮﺼﺗ

ﻡﺎﻣﻹﺍ

ﻰﻠﻋ

ﺔﻴﻋﺮﻟﺍ

ﻁﻮﻨﻣ

ﺔﺤﻠﺼﳌﺎﺑ

.

kata lain, kaidah tersebut cukup berperan sebagai metode penetapan hukum dalam merealisasikan keluwesan dan keluasan hukum Islam.

Kontekstualitas hukum Islam dalam pengertian ini mampu mengatasi berbagai persoalan-persoalan baru yang muncul antara lain diperlihatkan oleh kaidah:

Mencegah kerusakan harus diupayakan lebih dahulu dari pada upaya mendapatkan manfaat.

Kaidah ini secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa kepekaan dan wawasan sosial harus dimiliki oleh seseorang dalam menetapkan suatu ketentuan hukum. Ia harus cermat melihat fenomena-fenomena yang ada dalam masyarakat. Kaidah ini juga memberikan arahan apabila suatu kebijakan ditetapkan dan akan berdampak negatif di satu sisi, tetapi di sisi lain membawa manfaat, maka dampak negatif yang harus dihindari. Karena dampak negatif sangat mungkin akan berpengaruh lebih luas, yang pada akhirnya manfaat yang diperoleh menjadi tidak ada artinya.

Peran kaidah fiqhiyyah sebagai metode penerapan hukum Islam yang mampu merealisasikan nilai-nilai kontekstualitas hukum Islam tidak hanya terbatas dalam kemampuannya menyelesaikan persoalan-persoalan hukum akibat perkembangan pemikiran dan kemajuan teknologi, tetapi kaidah fiqhiyyah juga mampu dijadikan sebagai rujukan yang representatif dalam memberikan solusi bagi kesulitan-kesulitan yang 54

. ﱀﺎﺼﳌﺍ ﺐﻠﺟ (ﻦﻣ ﱃﻭﺃ) ﻰﻠﻋ ﻡﺪﻘﻣ ﺪﺳﺎﻔﳌﺍ ﺀﺭﺩ

dialami seseorang, yaitu antara lain terdapat dalam kaidah:

Kondisi darurat dapat memperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang.

Kaidah yang merupakan induksi dari surat al-Baqarah ayat 286, al-Nisa’ ayat 38 dan al-Haj ayat 45 tersebut mempunyai nilai kontekstualitas yang tinggi.

Keadaan darurat (terpaksa) merupakan keadaan yang selalu ada dalam kehidupan ini. Islam sebagai syari’at yang universal, ketentuan hukumnya harus dapat mengantisipasi keadaan tersebut. Keadaan darurat adalah keadaan yang dialami manusia secara tidak wajar, sehingga ia tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya. Melalui kaidah tersebut, kesulitan-kesulitan tersebut dapat diselesaikan. Dengan demikian kaidah tersebut mempunyai nilai kontekstualitas yang tinggi.

Hal-hal yang dilarang oleh ketentuan hukum, kemudian diperbolehkan karena keadaan darurat tersebut, supaya dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang menyimpang dari prinsip-prinsip syari’ah, diatur oleh kaidah :

Standar keadaan darurat, ditentukan sesuai dengan

yang diperlukan. 55

ﺕﺍﺭﻭﺮﻀﻟﺍ

ﺢﻴﺒﺗ

ﺕﺍﺭﻮﻈﶈﺍ

.

56

ﺕﺍﺭﻭﺮﻀﻟﺍ

ﺭﺪﻘﺗ

ﺎﻫﺭﺪﻘﺑ

.

Dan kaidah :

Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat diukur menurut keadaan daruratnya.

Kaidah tersebut memberikan batasan tentang kebolehan melanggar ketentuan hukum karena darurat. Tetapi batasan tersebut tidak disebutkan secara kongkrit. Hal ini karena munculnya keadaan darurat merupakan kasus individual yang sangat mungkin berbeda antara seseorang dengan orang lain. Di sinilah letak nilai kontekstualitas kaidah tersebut, yaitu secara filosofis memberikan dasar-dasar yang tegas, secara praktis ketegasan itu dapat diterapkan dalam berbagai konteks dan sepanjang zaman. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kaidah tersebut cukup fleksibel dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam konteks yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan kaidah darurat ini, Muhammad Muslehuddin mengemukakan sebagai berikut:58

“Hukum Islam mengandung prinsip-prinsip luas yang memberi kemungkinan penafsiran untuk menampung kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip tersebut juga diperluas dengan qiyas untuk memecahkan masalah-masalah yang berkembang dalam kehidupan. Lebih lanjut ada kaidah darurat yang digunakan apabila masih ada sesuatu yang penting yang tidak dicakup oleh ketentuan hukum.”

57

ﺎﻣ

ﺢﻴﺑﺃ

ﺓﺭﻭﺮﻀﻠﻟ

ﺭﺪﻘﺘﻳ

ﺎﻫﺭﺪﻘﺑ

.

Selanjutnya di akhir tulisannya ia mengatakan bahwa metode ijtihad khususnya qiyas dan kaidah darurat merupakan metode yang representatif untuk menghadapi setiap kemungkinan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia.59 Kaidah lain yang senada dengan kaidah tersebut adalah kaidah:

Kemudharatan (kerusakan) harus dihindarkan semaksimal mungkin.

Kaidah ini apabila diterapkan dalam bidang pemerintahan, sosial, ekonomi (tidak hanya masalah ibadah praktis), merupakan dasar yang cukup fleksibel untuk menetapkan suatu kebijakan yang dianggap penting dan mendesak untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.

Perhatian kaidah fiqhiyyah tidak hanya terbatas pada keadaan darurat yang mungkin dialami manusia, tetapi kondisi “sulit” yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum secara wajar, juga mendapat perhatian. Hal ini terlihat dalam kaidah

Kondisi masyaqat (sulit) dapat menarik pada kemudahan.

Kaidah ini memberikan keluasan kepada seseorang untuk melaksanakan ketentuan hukum sesuai dengan kemampuannya (secara maksimal) karena

60

ﺭﺮﻀﻟﺍ

ﻊﻓﺪﻳ

ﺎﻫﺭﺪﻘﺑ

ﻥﺎﻜﻣﻹﺍ

.

61

. ﲑﺴﻴﺘﻟﺍ ﺐﻠﲡ ﺔﻘﺸﳌﺍ

adanya sebab-sebab alamiah (misalnya sakit), sehingga kesulitan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya. Dengan hukum Islam dapat dilaksanakan dalam berbagai kondisi, berdasarkan prinsip kaidah tersebut, menunjukkan bahwa hukum Islam itu fleksibel.

Tujuan dan prinsip dasar penetapan hukum Islam antara lain tidak menyulitkan. Konsep darurat (terpaksa) dan masyaqat (kesulitan) yang ada dalam kaidah tersebut cukup relevan dan sejalan dengan prinsip-prinsip dasar tersebut. Dengan kaidah itu seseorang tidak merasa kesulitan menjalankan ketentuan hukum dan mengatasi kesulitan yang ada. Dengan demikian kaidah tersebut cukup berperan dalam merealisasikan prinsip dasar dan tujuan hukum Islam. Dari beberapa kaidah yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa prinsip kaidah fiqhiyyah ialah memperhatikan adat (‘urf) dan kondisi masyarakat. Perhatiannya terhadap adat (‘urf) dan kondisi masyarakat itu memberikan nilai kontekstualitas yang tinggi terhadap kaidah fiqhiyyah dan sekaligus berperan untuk dijadikan metode penetapan hukum di tengah masyarakat yang mempunyai kultur dan adat yang berbeda-beda.

Dari beberapa contoh kaidah di atas menunjukkan bahwa kaidah fiqhiyyah dalam bidang mu’amalah menetapkan prinsip dasar “ibahah” (kebolehan) dan “kemaslahatan”. Prinsip ibahah merupakan konsekuensi dari karakteristik sumber hukum Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) yang bersifat global dan sebagian besar hanya menetapkan

konsep-konsep dasar, terutama dalam bidang mu’amalah. Adapun prinsip kemaslahatan merupakan tujuan pokok dari hukum Islam. Dua prinsip ini menunjukkan bahwa kaidah fiqhiyyah sangat fleksibel dan antisipatif terhadap perkembangan, perubahan dan kemungkinan permasalahan hukum yang muncul.

‘Illat juga merupakan prinsip yang ditetapkan dalam kaidah fiqhiyyah. Prinsip ‘illat ini sebagai pedoman untuk tetap berpegang kepada prinsip hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, meskipun terjadi perubahan hukum karena perubahan atau perbedaan kondisi masyarakat.

Prinsip lain yang ada dalam kaidah fiqhiyyah adalah prinsip masyaqat dan darurat. Nilai kontekstualitas kaidah fiqhiyyah dari dua prinsip ini ialah kemampuannya menyelesaikan persoalan hukum dan kesulitan yang dialami seseorang atau masyarakat. Prinsip hukum Islam tidak menyulitkan dan dapat dilaksanakan dalam berbagai kondisi, terimplementasi-kan dalam kaidah fiqhiyyah ini.

Endnote:

1 Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Intenasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 40.

2 Ibid., hlm: 39.

3 Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. XII, (ttp: tnp, 1978), hlm. 27-28.

4 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa: Agah Gunardi, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 40.

5 Fazlurrahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 45.

6 Amiur Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad: Suatu Kontroversi Antara

Dalam dokumen Kaidah Fiqhiyyah dan Pembaharuan Hukum Islam (Halaman 99-128)

Dokumen terkait