• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran NAA terhadap peningkatan pembungaan dan produksi biji bawang merah di Dataran tinggi.

Umbi bibit yang diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 merupakan

perlakuan terbaik yang diperoleh pada percobaan I kemudian dikombinasikan dengan beberapa konsentrasi NAA (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm) pada percobaan II. Pemberian auksin bertujuan untuk perkembangan bunga dan buah pada bawang merah. Menurut Leopold dan Kriedemann (1979), auksin dapat merangsang pembungaan, mengatur pembentukan buah dan perkembangannya serta mencegah gugur bunga dan bakal buah.

Aplikasi NAA dengan berbagai taraf konsentrasi pada tanaman yang sebelumnya diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 pada umbi bibitnya

menghasilkan persentase tanaman yang berbunga yaitu sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian NAA dapat meningkatkan pembungaan bawang merah.

Tabel 6 Pengaruh NAA terhadap persentase pembentukan bunga (%), waktu muncul kuncup bunga (HST),waktu bunga mekar (HST), waktu panen biji (HST) di Cipanas Perlakuan Persentase pembentukan bunga (%) Waktu muncul Kuncup bunga (HST) Waktu bunga Mekar (HST) Waktu panen Biji (HST) NAA 0 ppm 100.00 14.47 b 36.95 b 96.85 a NAA 50 ppm 100.00 14.20 b 35.83 b 95.35 b NAA 100 ppm 100.00 16.97 a 38.30 a 96.55 a NAA 200 ppm 100.00 16.33 a 36.93 b 96.33 a

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji jarak berganda dari (DMRT) 5%.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan NAA pada tanaman berpengaruh nyata terhadap waktu muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar, serta waktu panen biji bawang merah (Tabel 6). Perlakuan 50 ppm NAA mempercepat waktu muncul kuncup bunga , waktu mekar bunga dan waktu panen

40

 

   

biji bawang merah. Jika dilihat secara visual pada Tabel 6, perlakuan NAA tidak mempercepat waktu bunga mekar dan waktu panen biji bawang merah, karena jarak munculnya kuncup bunga, mekar bunga serta pemanenan biji bawang merah antar tiap perlakuan yang diberikan hanya berbeda 1 hari. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan NAA tidak mempercepat waktu muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar serta panen biji bawang merah.

Aplikasi NAA dengan berbagai konsentrasi berpengaruh terhadap jumlah umbel per rumpun dan jumlah umbel per m2 (Tabel 7). Perlakuan 50 ppm NAA pada tanaman meningkatkan jumlah umbel per rumpun yang lebih banyak yaitu 4 umbel per rumpunnya jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang rata-rata hanya menghasilkan sebanyak 3 umbel per rumpun. Jumlah umbel per m2 meningkat dengan pemberian 50 ppm NAA yaitu sebanyak 40.00 umbel per m2 atau meningkat sebesar 32% jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi NAA yang diberikan maka terjadi penurunan sebesar 30% terhadap jumlah umbel per m2.

Tabel 7 PengaruhNAA terhadap jumlah umbel per rumpun dan jumlah umbel per m2 di Cipanas

Perlakuan Jumlah umbel per rumpun Jumlah umbel per m2 NAA 0 ppm 3.63 b 30.12 b NAA 50 ppm 4.13 a 40.00 a NAA 100 ppm 3.65 b 39.87 b NAA 200 ppm 3.53 b 27.87 b

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji jarak berganda dari (DMRT) 5%.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan NAA berpengaruh terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah bunga per m2 dan persentase pembentukan buah (%) (Tabel 8). Perlakuan NAA 50 ppm meningkatkan jumlah bunga per umbel sebanyak 104.93 bunga per umbelnya atau hanya meningkat sebesar 6% dari perlakuan kontrol, jumlah bunga per m2 yang dihasilkan sebanyak 4176.77 bunga per m2 lebih banyak dibandingkan perlakuan lain atau meningkat sebesar 41% dari perlakuan kontrol (Tabel 8). Peningkatan konsentrasi NAA diatas 50 ppm akan menurunkan jumlah bunga per umbel dan per m2 yang dihasilkan.

Tabel 8 Pengaruh NAA terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah bunga per m2 dan persentase pembentukan buah (%) di Cipanas

Perlakuan Jumlah bunga per umbel Jumlah bunga per m2 Persentase pembentukan buah (%) NAA 0 ppm 98.18 b 2958.17 b 72.43 b NAA 50 ppm 104.93 a 4176.77 a 80.67 a NAA 100 ppm 97.28 b 2882.64 b 70.64 c NAA 200 ppm 90.45 c 2521.90 b 70.16 c

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji jarak berganda dari (DMRT) 5%.

Perlakuan 50 ppm NAA menghasilkan persentase pembentukan buah sebesar 80.67% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 8). Semakin tinggi konsentrasi NAA yang diberikan cenderung menurunkan jumlah bunga yang terbentuk tiap umbelnya, sehingga akan menurunkan persentase pembentukan buah yang dihasilkan.

Bobot umbel per rumpun dan bobot umbel per m2 tertinggi diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan 50 ppm NAA(Tabel 9). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan 50 ppm NAA menghasilkan bobot umbel per rumpun sebesar 2.67 g dan bobot umbel per m2 sebesar 29.56 g atau meningkat sebesar 13% dari tanaman kontrol. Semakin tinggi konsentrasi NAA yang diberikan maka bobot umbel per rumpun serta bobot umbel per m2 semakin rendah.

Tabel 9 Pengaruh NAA terhadap bobot umbel per rumpun (g) dan bobot umbel per m2 (g) dan bobot biji per umbel (g) di Cipanas

Perlakuan Bobot umbel per rumpun (g) Bobot umbel per m2 (g) Bobot biji per umbel (g) NAA 0 ppm 2.40 b 25.96 b 0.10 a NAA 50 ppm 2.67 a 29.56 a 0.10 a NAA 100 ppm 2.40 b 22.70 bc 0.08 b NAA 200 ppm 2.33 b 20.70 c 0.08 b

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji jarak berganda dari (DMRT) 5%.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan NAA berpengaruh terhadap bobot biji per umbelnya. perlakuan NAA dengan konsentrasi 50 ppm NAA meningkatkan bobot biji per umbelnya sebesar 0.10 g jika dibandingkan

42

 

   

dengan perlakuan 100 ppm dan 200 ppm NAA, namun secara statistik aplikasi 50 ppm NAA tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dalam meningkatkan bobot biji per umbel.

Perlakuan 50 ppm NAA menghasilkan bobot biji per rumpun sebesar 0.23 g lebih berat jika dibandingkan dengan perlakuan NAA perlakuan lain (Tabel 10). Perlakuan 50 ppm NAA meningkatkan bobot biji per m2 sebesar 4.80 g atau setara dengan 48.00 kg/ha. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi NAA yang diberikan maka akan menurunkan bobot biji per m2 sebesar 43%.

Tabel 10 Pengaruh NAA terhadap bobot biji per rumpun (g) dan bobot biji per m2 (g) dan daya kecambah biji (%) di Cipanas

Perlakuan Bobot biji per rumpun (g) Bobot biji per m2 (g) Daya kecambah biji (%) NAA 0 ppm 0.21 b 3.45 b 87.00 a NAA 50 ppm 0.23 a 4.80 a 87.00 a NAA 100 ppm 0.18 c 3.02 bc 78.00 b NAA 200 ppm 0.16 d 2.71 c 78.50 b

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji jarak berganda dari (DMRT) 5%.

Perkecambahan merupakan suatu proses awal dari pertumbuhan awal tanaman yang dimulai dari aktivitas embrio sampai terbentuknya tanaman baru (Khan 1977). Persentase daya kecambah untuk biji bawang merah dipengaruhi oleh perlakuan NAA yang diberikan. Namun demikian hasil terbaik diperoleh pada perlakuan 50 ppm NAA yang tidak berbeda nyata dengan hasil perlakuan kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada percobaan ke II perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3, baik tanpa maupun dengan penambahan

perlakuan 50 ppm NAA, dapat digunakan sebagai metode produksi TSS di dataran rendah dan di dataran tinggi. Biji yang dihasilkan layak dijadikan benih karena memiliki daya kecambah > 75%. Hasil penelitian pada percobaan ke II menunjukkan bahwa aplikasi 50 ppm NAA pada tanaman bawang merah yang sebelumnya diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 meningkatkan

pembungaan dan produksi TSS, namun Semakin tinggi konsentrasi NAA yang diberikan maka semakin rendah bunga yang terbentuk dan produksi TSS yang dihasilkan.

Pada percobaan ke II, pengamatan tanaman bawang merah di dataran rendah dilakukan pada pertumbuhan vegetatif dan jumlah anakan per rumpun yang terbentuk, hal ini disebabkan karena pada bulan Desember (344.60 mm/bulan) dan Februari (548.90 mm/bulan), berlangsung hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan generatif bawang merah. Tanaman yang sudah terinduksi untuk berbunga, gagal membentuk bunga dan menyebabkan tunas bunga kembali ke fase vegetatif. Karena tanaman tidak memasuki fase generatif maka tanaman akan terus melanjutkan pembentukan fase vegetatifnya. Hal ini bisa dilihat pada lampiran 10 dan 11 bahwa di dataran rendah Dramaga tinggi tanaman yang dihasilkan lebih tinggi dan jumlah daun yang terbentuk lebih banyak dibandingkan tinggi tanaman dan jumlah daun di dataran tinggi Cipanas. Hal ini sesuai dengan pendapat Lovelees (1991), bila fase vegetatif tanaman lebih dominan daripada fase reproduktifnya, maka banyak karbohidrat yang digunakan daripada yang disimpan dan akan tersisa sedikit karbohidrat untuk perkembangan kuncup bunga, bunga, buah, dan biji. Tanaman tersebut lebih terkonsentrasi pada perkembangan vegetatif tanaman.

Rekapitulasi sidik ragam (lampiran 10 & 11) menunjukkan bahwa NAA berpengaruh nyata pada tinggi tanaman umur 24-31 HST, jumlah daun umur 24- 31 HST dan jumlah anakan per rumpun di Dramaga, namun penanaman yang dilakukan di dataran tinggi Cipanas menunjukkan bahwa perlakuan NAA tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif bawang merah, panjang tangkai bunga dan jumlah anakan per rumpun yang terbentuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi NAA pada berbagai konsentrasi yang sebelumnya diberikan perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3

pada umbi bibitnya berpengaruh nyata rmeningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 24 dan31 HST di Dramaga namun tidak untuk pertumbuhan vegetatif bawang merah di Cipanas (Lampiran 10 & 11). Pertumbuhan vegetatif bawang merah jika digambarkan dalam grafik akan membentuk kurva sigmoid dimana pada awal pertumbuhan tanaman mula-mula lambat kemudian berangsur sangat cepat sehingga mencapai pertumbuhan maksimum kemudian menurun. Diduga tanaman yang diberi perlakuan auksin berperan dalam meningkatkan

44

 

   

pembelahan dan pembesaran sel, sehingga tanaman menjadi lebih tinggi danmenghasilkan jumlah daun yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi NAA (kontrol). Semakin bertambah umur tanaman maka akan semakin tinggi pertumbuhannya dan semakin banyak jumlah daun yang dihasilkan. Pada pengamatan jumlah daun pada umur 31 HST baik di Dramaga dan Cipanas (Lampiran 10 & 11) terjadi penurunan jumlah daun. Penurunan jumlah daun pada umur 31 HST di Cipanas dikarenakan tanaman memasuki fase generatif dimana di lapangan tampak terjadi pengguguran daun. Marschner (1995) menyatakan bahwa proses senescence pada daun mengindikasikan terjadinya ekspor mineral nutrisi (remobilisasi) dari daun tua ke bagian sink tanaman. Biji merupakan sink yang kuat, sehingga remobilisasi mineral dan nutrisi lebih diarahkan pada pengisian biji. Hasil rekapitulasi sidik ragam dan data hasil penelitian untuk percobaan II disajikan pada Lampiran.

Pembahasan

Penggunaan benih yang bermutu baik merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman bawang merah. Rendahnya produksi tanaman bawang merah khususnya di daerah sentra produksi, antara lain akibat kualitas benih yang rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi bawang merah dapat dimulai dengan menjamin ketersediaan benih dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat.

Produksi bawang merah umumnya diusahakan dengan menggunakan umbi bibit. Kendalanya, biaya penyediaan umbi bibit cukup tinggi, yaitu sekitar 40% dari total biaya produksi (Suherman & Basuki 1990). Disamping itu, mutu umbi bibit kurang terjamin karena hampir selalu membawa patogen penyakit seperti Fusarium sp., Colletotrichum sp., Alternaria sp. dan virus dari tanaman asalnya yang terserang, sehingga menurunkan produktivitasnya (Permadi 1993). Oleh karena itu, penggunaan benih botani bawang merah atau true shallot seed

(TSS) menjadi salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada umumnya bawang merah dapat berbunga dan menghasilkan biji di dataran tinggi, namun tidak semua bawang merah dapat berbunga di dataran rendah. Oleh karena itu penelitian terkait produksi TSS di dataran rendah perlu dikembangkan, karena luas areal penanaman yang lebih besar serta sentra produksi bawang merah di Indonesia berada di dataran rendah. Masalah dalam produksi TSS adalah pembungaan dan produksi benih yang masih rendah. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan pembungaan dan pembentukan biji bawang merah. Perlakuan vernalisasi pada umbi bibit dengan suhu 10 0C selama 3 minggu pada umbi bibit dapat menghasilkan persentase tanaman yang berbunga sebesar 51.33% dan 51.67% dengan kombinasi perlakuan vernalisasi dan penyemprotan 200 ppm GA3 pada tanaman umur 3 dan 5 minggu

setelah tanam. Produksi TSS yang diperoleh pada penelitian tersebut sebesar 1.02 g atau setara dengan 6.89 kg/ha jika diberi perlakuan vernalisasi saja, dan sebesar 3.36 g atau setara dengan 18.59 kg/ha dengan mengkombinasikan perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 (Sumarni & Sumiati 2001). Dari hasil penelitian

46

 

   

ini menunjukkan bahwa masih ada potensi untuk meningkatkan pembungaan dan produksi TSS yang lebih tinggi lagi baik di dataran tinggi terutama di dataran rendah. Selain itu, Sumarni & Soetiarso (1998) serta Rosliani et al (2005) melaporkan bahwa pembungaan dan hasil biji bawang merah dapat ditingkatkan lagi dengan mengkombinasikan perlakuan vernalisasi (10 0C) selama 4 minggu pada umbi bibit, waktu tanam yang tepat (musim kemarau), dan penggunaan umbi bibit berukuran besar (> 5 g/umbi).

Gambar 3. Tanaman tanpa GA3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA3 (b)

Bawang merah termasuk ke dalam tanaman yang membutuhkan vernalisasi untuk pembungaannya (Rabinowitch & Kamenetsky 2002). Perlakuan vernalisasi (t=10 0C) pada umbi bibit bawang merah selama 30 hari dapat meningkatkan tanaman yang berbunga (Satjadiputra 1990). Hal ini disebabkan karena perlakuan vernalisasi dapat merangsang sintesis prekursor giberelin yaitu asam mevelonat. Giberelin yang terbentuk selanjutnya menstimulasi sistem molekul mRNA dan DNA templat, dan selanjutnya terjadi transkripsi sintesis asam amino, protein dan enzim de novo. Protein serta enzim yang baru terbentuk diperlukan untuk mendukung peningkatan pembelahan dan pembentukan sel-sel baru yang mengarah pada inisiasi primordium bunga pada meristem apeks (Galston & Davies 1970).

Peningkatan pembungaan dan produksi biji TSS dapat dilakukan dengan cara pemberian zat pengatur tumbuh seperti Giberelin (GA3). Giberelin

merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat mendorong terjadinya pembungaan. Giberelin dapat menggantikan sebagian atau seluruh fungsi suhu

rendah dan hari panjang untuk menstimulasi pembungaan. Hasil penelitian di Dramaga menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan vernalisasi dan perendaman umbi dalam larutan GA3 dengan konsentrasi 200 ppm meningkatkan jumlah

umbel per m2 233 kali lipat dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan meningkat 1.5 kali lipat dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa GA3. Jumlah

bunga per umbel meningkat 11 kali lipat dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan meningkat 1.5 kali lipat dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa GA3.

Tingginya hasil yang diperoleh pada penanaman di dataran rendah menunjukkan bahwa di dataran rendah sangat berpotensi untuk menghasilkan bunga bawang merah. Hasil percobaan di Cipanas menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 meningkatkan jumlah umbel per m2 sebesar 4 kali

lipat dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan 1.5 kali lipat dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa GA3. Jumlah bunga per umbel meningkat sebesar 2.3

kali lipat dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan meningkat sebesar 18% jika dibandingkan dengan vernalisasi tanpa GA3. Hasil penelitian ini lebih tinggi

dibandingkan dengan hasil penelitian Sumarni & Sumiati (2001), karena dengan penyemprotan 200 ppm GA3 pada tanaman bawang merah hanya meningkatkan

jumlah umbel per m2 5 kali lipat dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan meningkat 1% dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa GA3 di dataran tinggi.

Pembentukan bunga dan perkembangan bunga selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh perlakuan NAA. Perkembangan bunga lebih banyak diatur oleh auksin, dimana produksi auksin dalam bunga akan meningkat dengan pemberian GA3 dan meningkat dengan disertai pemberian NAA secara eksogen. Peningkatan

produksi auksin dalam bunga juga berperan dalam pengangkutan asimilat dari daun ke bunga. Hal ini diperlukan untuk perkembangan bunga menjadi buah dan biji. Sehubungan dengan itu, maka pemberian NAA dan GA3 selain dapat

memacu produksi auksin dalam bunga, juga dapat menghambat gugur bunga. Apabila kadar NAA dan GA3 yang diberikan tidak sesuai maka bunga yang

terbentuk akan banyak gugur dan fruitset serta hasil biji akan rendah (Leopold & Kriederman 1979).

Hasil penelitian di dataran tinggi menunjukkan bahwa penambahan 0-200 ppm NAA dengan cara penyemprotan pada tanaman umur 3 dan 5 minggu setelah

48

 

   

tanam menghasilkan 100% tanaman berbunga. Hal ini menunjukkan bahwa NAA dapat meningkatkan persentase tanaman yang berbunga, namun perlakuan 50 ppm NAA pada tanaman yang sebelumnya diberikan perlakuan vernalisasi dan perendaman umbi dalam larutan 200 ppm GA3 meningkatkan jumlah umbel per

m2 sebesar 32% dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Sumarni dan Sumiati (2001) yang hanya meningkat sebesar 1.97% dari tanaman yang diberi perlakuan vernalisasi dan penyemprotan 200 ppm GA3.

Perlakuan 100-200 ppm GA3 tanpa vernalisasi menghasilkan 100%

tanaman yang berbunga, namun jumlah umbel per m2 maupun produksi bijinya lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan vernalisasi saja. Semakin tinggi konsentrasi GA3 yang diberikan, maka semakin tinggi jumlah bunga serta

produksi biji yang dihasilkan. Perlakuan vernalisasi yang dikombinasikan dengan perendaman umbi pada larutan 200 ppm GA3 menghasilkan persentase tanaman

berbunga sebesar 100% di dataran rendah dan di dataran tinggi, dengan produksi biji bawang merah sebesar 3.93 g/m2 atau (39.3 kg/ha) di dataran rendah dan 4.41 g/m2 (44.1 kg/ha). Produksi biji yang dihasilkan dengan perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 di Dramaga maupun di Cipanas lebih tinggi jika dibandingkan

dengan perlakuan lain. Diduga karena konsentrasi tersebut optimum dalam meningkatkan jumlah bunga dan mengurangi keguguran bunga sehingga bunga yang menjadi buah lebih banyak, dan biji yang dihasilkan lebih banyak. Menurut Taiz dan Zeiger (1991), Giberelin berperan pada enzim-enzim yang melemahkan dinding-dinding sel dan mendorong enzim-enzim proteolitik yang diduga melepaskan triptotan yang merupakan prekursor auksin. Peningkatan kandungan auksin selanjutnya akan menghambat proses absisi bunga, sehingga buah yang dihasilkan lebih banyak yang secara tidak langsung meningkatkan produksi biji bawang merah. Hasil penelitian ini lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian Sumarni dan Sumiati (2001) yang hanya menghasilkan persentase tanaman berbunga sebesar 51.67% dengan produksi biji sebesar 18.59 kg/ha dengan cara penyemprotan GA3 pada tanaman umur 3 dan 5 minggu setelah tanam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi GA3 yang diberikan dengan

yang lebih tinggi baik di Dramaga dan Cipanas. Hasil penelitian ini lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarni dan Sumiati (2001) dengan aplikasi penyemprotan GA3 pada tanaman berumur 3 dan 5 minggu

setelah tanam. Perendaman yang dilakukan pada umbi bibit bawang merah dalam larutan GA3 dapat meningkatkan induksi bunga pada titik tumbuh karena GA3

menghasilkan hormon yang disebut florigen yang menginduksi kuncup untuk menginisiasi bunga. Pada tanaman yang diberikan dengan penyemprotan, GA3

akan merangsang pemanjangan sel sehingga tidak memiliki efek pada primordia bunga karena tunas generatif telah terbentuk sejak induksi dalam umbi. Selain itu aplikasi perendaman lebih efisien dan lebih baik dibandingkan dengan penyemprotan. Hasil uji t menunjukkan bahwa produksi biji bawang merah dengan kombinasi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 di Dramaga tidak

berbeda nyata dengan di Cipanas. Hal ini menunjukkan bahwa GA3 memberikan

pengaruh yang sangat kuat terhadap pembungaan di dataran rendah, sehingga dataran rendah sangat berpotensi untuk memproduksi biji bawang merah.

Pemberian GA3 di dataran rendah bertujuan untuk menggantikan

vernalisasi karena fungsi dari GA3 selain terhadap pembungaan juga berperan

menggantikan fungsi suhu dingin dan panjang hari di dalam merangsang pembungaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan GA3 tidak bisa menggantikan perlakuan vernalisasi. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarni dan Sumiati (2005) bahwa GA3

yang diberikan secara eksogen tidak dapat menggantikan peran vernalisasi dalam pembungaan. Begitupun sebaliknya perlakuan vernalisasi saja belum cukup untuk meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran rendah Dramaga. Bawang merah yang ditanam di dataran tinggi Cipanas menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan GA3 dapat menggantikan vernalisasi dan

sudah dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah, namun untuk meningkatkan pembungaan dan produksi TSS di Dramaga dan Cipanas, umbi bibit yang diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 memberikan hasil

yang lebih tinggi.

Hasil penelitian di dataran tinggi menunjukkan bahwa penambahan 50 ppm NAA dengan cara penyemprotan menghasilkan produksi biji bawang merah

50

 

   

sebesar 4.80 g/m2 (44.80 kg/ha) dan hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Sumarni dan Sumiati (2001) menghasilkan produksi biji sebesar 22.40 kg/ha. Wareing dan Philips (1978) serta Leopold dan Kriederman (1979) menyatakan bahwa setelah terjadi inisiasi pembungaan, pertumbuhan dan pembentukan bunga selanjutnya lebih lanjut sampai terbentuknya buah dan biji sangat ditentukan oleh faktor luar tanaman. Faktor dalam diantaranya adalah keseimbangan hormonal. Apabila keseimbangan hormonal tanaman itu baik, maka bunga yang terbentuk akan berkembang dan akan menghasilkan biji. Sehubungan dengan itu, pemberian NAA dan pada konsentrasi yang sesuai dapat menciptakan keseimbangan hormonal di dalam tanaman yang baik, sehingga menghasilkan jumlah bunga per umbel dan persentase pembentukan buah lebih banyak, dan dapat menghasilkan biji yang lebih banyak.

Pada umumnya tanaman bawang merah mulai berbunga pada umur 28 - 35 hari setelah tanam. Pembungaan berlangsung sampai tanaman berumur 75 hari setelah tanam. Bunga-bunga mulai mekar 90 hari setelah tanam. Hasil penelitian pada percobaan I di Dramaga dan Cipanas menunjukkan bahwa vernalisasi dan perendaman umbi dalam larutan 200 ppm GA3 mempercepat waktu muncul

kuncup bunga 21 hari lebih cepat, waktu bunga mekar 17 hari serta waktu panen biji 5 hari lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol. Penanaman di Cipanas menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3

mempercepat waktu muncul kuncup bunga 15 hari, waktu bunga mekar 13 hari serta waktu panen biji 8 hari lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol. Dengan adanya pemberian GA3 pada konsentrasi dan waktu atau interval pemberian yang

tepat, maka pembesaran sel dan aktivitas meristematik pada bagian bunga akan lebih cepat, sehingga pembukaan mahkota bunga akan semakin cepat pula, yang akibatnya dapat memperpendek umur panen bunga (Leopold & Kriedemann 1975). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa GA3 mendorong transfer

hasil asimilat ke bunga dan memacu fase perkembangan bunga ke arah anthesis.