• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Serta Masyarakat

Dalam dokumen PELEPASLIARAN KEPITING BAKAU (Halaman 43-48)

III. PROSEDUR PELEPASLIARAN

3.6. Peran Serta Masyarakat

3. Kepiting sehat dengan tubuh tidak lengkap kaki jalan: dilepaskan seperti kepiting sehat utuh.

4. Kepiting sehat dengan tubuh tidak lengkap kaki renang atau capitnya, dilakukan perawatan lebih lanjut atau diserahterimakan ke instansi yang berwenang.

Dari beberapa kategori tersebut, kepiting tidak dilepaskan di perairan dengan kedalaman lebih dari 2 m. Melepaskan kepiting langsung di badan air yang dalam dapat menyebabkan autotomi (terlepasnya bagian tubuh dari karapas). Autotomi disebabkan karena dua hal berikut ini:

1) Suhu air yang jauh lebih rendah dari suhu kotak pengemasan. 2) Salinitas air yang kemungkinan lebih tinggi dibandingkan

salinitas saat penahanan.

3.6. Peran Serta Masyarakat

3.6.1. Peningkatan Kesadaran Masyarakat Melalui Publikasi

Masyarakat sekitar pesisir umumnya memiliki mata pencarian sebagai nelayan. Pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem masih kurang. Oleh karena itu perlu dilakukan publikasi melalui sosialisasi, penyuluhan dan kegiatan lainnya mengenai arti penting kepiting bakau dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Publikasi dilakukan sebelum dan setelah pelepasliaran. Beberapa hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah:

1) Peran kepiting bakau dalam ekosistem, yaitu membantu menyuburkan tanah karena aktifitas meliang, memangsa beberapa jenis kepiting Sesarmid yang menjadi hama pohon mangrove, dan merupakan sumber pakan bagi kera ekor panjang. Jika populasi kepiting bakau di alam menurun drastis akibat panen berlebih, maka kepiting sesarmid dan kera ekor panjang akan menjadi hama yang menggangu kepentingan manusia.

34

2) Kepiting memiliki ratusan bahkan ribuan telur yang akan menetas menjadi larva plankton. Namun tingkat survival larva di perairan terbuka tidak lebih dari 20% karena adanya predasi oleh ikan dan fauna akuatik lainnya. Jika kepiting bakau dipanen tanpa adanya klasifikasi, maka populasi kepiting bakau di alam akan menurun drastis dan berakibat penghasilan masyrakat pesisir akan menurun.

3) Kepiting bertelur merupakan sumber utama bagi kelangsungan populasi kepiting bakau. Umumnya kepiting ini menjadi sasaran utama para nelayan karena harganya lebih mahal di pasar. Jika kepiting bertelur terus menerus ditangkap untuk konsumsi, maka calon kepiting baru tidak akan ada di kawasan tersebut dan besar kemungkinan populasi kepiting bakau akan mengalami kepunahan lokal.

4) Kepiting matang ovary merupakan calon kepiting bertelur. Kepiting ini memiliki peran yang sama pentingnya dengan kepiting bertelur. Oleh karena itu, perlu dipahami ciri-ciri fisik kepiting matang ovary agar ketika tertangkap dapat langsung dilepaskan kembali ke habitat asalnya.

5) Penangkapan kepiting sebaiknya tidak dilakukan terus menerus tanpa ada jeda waktu agar kepiting dapat berkembang biak dan tumbuh membentuk populasi baru.

3.6.2. Pengelolaan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat (POKMASWAS)

Setiap daerah memiliki kearifan lokal yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Sumberdaya alam terbarukan memiliki batasan dalam hal jumlah di alam dan membutuhkan waktu untuk regenerasi. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan kepada masyarakat pencari kepiting mengenai penangkapan kepiting yang memperhatikan aspek keberlanjutan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain:

35

1) Menerapkan pengaturan penangkapan kepiting bakau melalui ukuran, kondisi (bertelur atau tidak) dan jadwal penangkapan pada bulan tertentu dalam satu tahun;

2) Membuat tambak berbasis pasang surut untuk tempat pembesaran kepiting;

3) Melakukan budidaya penggemukan kepiting bakau menggunakan sistem keramba di muara sungai;

4) Mengenal dan memahami kepiting berukuran besar yang berpotensi ekonomi seperti kepongok (Cardisoma) sebagai sumber protein alternatif untuk memberi jeda waktu panen kepiting bakau;

5) Menjaga kelestarian vegetasi mangrove yang menjadi habitat fauna dan mencegah penebangan berlebih untuk pembukaan lahan ataupun pengambilan kayu untuk kebutuhan indutri dan rumah tangga; dan

6) Menjaga kebersihan kawasan pesisir agar ekosistem mangrove terhindar dari polusi berlebih.

Sebagian besar masyarakat pesisir memahami fungsi hutan mangrove sebagai pelindung area pesisir agar daratan tidak tergerus akibat arus air laut. Pemahaman hutan mangrove sebagai tempat tinggal berbagai organisme hanya sebatas pengetahuan saja, sedangkan secara implementasi masih rendah. Berbagai sumber daya alam yang ada di dalam hutan mangrove di eksploitasi secara besar, namun pemulihannya kurang menjadi perhatian. Oleh karena itu, keberadaan kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) dan pemimpin adat sangat penting dalam memantau dan menerapkan aturan secara tegas. Kedua komponen masyarakat ini juga berperan dalam memberikan pemahaman mengenai fungsi setiap bagian penyusun hutan mangrove, mulai dari mikroorganisme hingga vegetasi dan fauna berukuran besar. Pada akhirnya, kelestarian hutan mangrove dan isinya menentukan kelangsungan perputaran ekonomi masyarakat pesisir.

36

DAFTAR PUSTAKA

Agus M. 2008. Analisis Carring Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla sp.)di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro, Semarang.

Avianto I, Sulistiono, I Setyobudiandi. 2013. Karakteristik Habitatdan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata,

S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako,

Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya perairan. Aquasains. 97-106 p. Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. The Living Marine

Resources Of The Western Central Pacific Volume 2:

Cephalopods, crustaceans, holothurians and shark. Food And

Agriculture Organization of the United States. Roma.

Dell, Johann D., J.E. Johnson & A.J. Hobday. 2011. Vulnerability of Tropical Pacific Fisheries and Aquaculture to Climate

Change. Secretariat of the Pacific Community. Auckland. 386

pages.

Estampador, E. P. 1949. "Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae)

I. Revision of the genus. Philipp. J. Sci.78(1): 95-108. pls.1-3.

Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015. Life-history, movement, and Habitat use of Scylla serrata (Decapoda, Portunidae): Current Knowledge

and Future Challenges. Journal of Hydrobiologia (2016)

763:5-21.

http://rajakepiting.com/cara-pengiriman/

Ikhwanuddin, M., G. Azmie, H.M. Juariah, M.Z. Zakaria & M.A. Ambak. 2011. Biological information and population features of mud crab, genus Scylla from mangrove areas of Sarawak, Malaysia. Fisheries Research 108(2011): 299-306.

Indonesian Wetlands. http://indonesia.wetlands.org/ Infolahanbasah/SpesiesMangrove/tabid/2835/language/id-ID/Default.aspx. Retrieved on October 21, 2016

Islam, M.S., K. Kodama & H. Kurokura. 2010. Ovarian development of the mud crab Scylla paramamosain in a tropical mangrove swamps, Thailand. Journal of Scientific

Research 2(2): 380-389.

Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau: Pembenihan dan Pembesaran. Kanisius. Yogyakarta

37

Keenan, C.P., P.J.F. Davie & D.L. Mann. 1998. A revision of the genus Scylla De Haan, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). Raffles Bulletin of Zoology 46(1): 217-245.

Keenan, C.P. 1999. The fourth species of Scylla. In Keenan, C.P. and Blackshaw, A. (eds.), Mud Crab Aquaculture and Biology: Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin, Australia, 21–24 April 1997. ACIAR Proceedings No. 78. Australian

Centre for International Agricultural Research, Canberra, pp. 48–

58.

Moosa, M. K. 1980. Systematical and zoogeographical observation

the Indo-West Pasific Portunidae. LON - LIPI. Jakarta. Hal

1-138.

Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimango, Genus Scylla.

Quart. Res. Rep. SEAFDEC. 3 : 136-157.

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Species Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Shelley, C. and A. Lovatelli. 2011. Mud Crab Aquaculture. FAO. Rome. 78 pages.

Stephenson, W., B. Campbell. 1959. ‘The Australians Portunids (Crustacea: Portunidae) III, The genus Portunus’, Aust J.mar. Freshwat. Res. 10: 84 – 124.

Sunarto, 2015. Hubungan Antara Keberadaan Kepiting Bakau

(Scylla spp.) Dengan Kondisi Mangrove Dan Substrat

DiKawasan Tambak Silvofishery, Eretan Indramayu. Tesis

Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Warner, G. F. 1977. The Biology of crab. Elek Scientific Book Ltd. London.

Dalam dokumen PELEPASLIARAN KEPITING BAKAU (Halaman 43-48)

Dokumen terkait