• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. FUNGSI DAN PERAN DK PBB DALAM PEMELIHARAAN

C. Peranan Dewan Keamanan PBB dalam Pemeliharaan

5. Menentukan adanya suatu ancaman terhada

agresi dan mengusulkan tindakan apa yang harus diambil

6. Menyerukan untuk mengadakan sanksi

yang bukan perang untuk mencegah atau menghentikan agresor

7. Mengadaka

8. Mengusulkan pemasukan anggota-anggota baru dan syarat-syarat dengan

negara-negara mana yang dapat menjadi pihak dalam status mahkamah internasional

9. Melaksanakan fungsi-fungsi perwakilan PBB di daerah “strategis”.

10.Mengusulkan kepada majelis umum pengangkatan seora

hakim da

11.Menyampaikan laporan tahunan kepada

C. Peranan Dewan Keamanan PBB dalam Pemeliharaan Keamanan dan Perdamaian Negara-Negara di Dunia

Seperti yang dicantumkan dalam Piagam, salah satu tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Untuk itu PBB dapat mengambil tindakan-tindakan kolektif yang diperlukan untuk mencegah dan menyingkirkan ancaman terhadap perdamaian serta menyelesaikan sengketa-sengketa secara damai. Sehubungan dengan itu para pendiri PBB menciptakan sistem yang memberikan peranan utama kepada Dewan Keamanan bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, Dewan Keamanan telah dijadikan suatu organ eksekutif yang dilengkapi dengan wewenang-wewenang untuk memutuskan terutama di bidang pelaksanaan Bab VII Piagam. Sejumlah pasal dibuat khusus untuk Dewan yang

memungkinkannya bertindak secara cepat dan efisien untuk mencegah maupun menghentikan sengketa-sengketa bersenjata. Dewan Keamanan mengkonstatir adanya ancaman terhadap perdamaian atau terjadinya suatu agresi. Dewan Keamanan pulalah yang mengambil semua tindakan-tindakan yang diperlukan mulai dari yang tidak menggunakan kekerasan sampai pada penggunaan pasukan bersenjata bila perdamaian dunia sudah terancam. Sehubungan dengan itu Dewan Keamanan akan dilengkapi dengan pasukan-pasukan bersenjata yang sebelumnya sudah disiapkan oleh negara-negara anggota untuk keperluan Organ tersebut, yang intinya terdiri dari kesatuan-kesatuan dari negara-negara anggota tetap Dewan. Namun ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam piagam, dengan cepat ditinggalkan realita politik dan pasukan-pasuka bersenjata tersebut tidak pernah dapat dibentuk. Selanjutnya bagaimana caranya Dewan Keamanan harus bertindak bila suatu negara anggota menjadi korban suatu agresi? Dengan apa Dewan Keamanan mencegah suatu ancaman perang tanpa adanya sarana yang konkrit dan memadai?

Diwaktu terjadi Perang Korea pada tahun 1950, walaupun dibentuk angkatan bersenjata internasional yang menghadang agresi Korea Utara, itu sama sekali bukanlah pelaksanaan sistem keamanan kolektif yang dirancang oleh Piagam. Memang benar ada suatu Angkatan Bersenjata Internasional yang dibentuk Dewan Keamanan untuk menghadapi agresi Korea Utara, tetapi pembentukan angkatan bersenjata tersebut terjadi dalam keadaan yang tidak normal. Intervensi militer tersebut dapat terjadi karena tidak adanya wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan sehingga Organ tersebut mempunyai peluang untuk memutuskan pembentukan suatu pasukan bersenjata internasional. Karena tidak hadir, tentu saja wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan tidak dapat menggunakan hak vetonya untuk menentang pembentukan angkatan bersenjata tersebut. Dalam peristiwa itu suatu operasi militer dalam arti kata Piagam memang telah dilakukan tetapi bertentangan dengan kehendak salah satu dari anggota tetap Dewan, suatu hal yang sama sekali di luar ketentuan Piagam dan tidak mungkin lagi terjadi di masa selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa operasi militer PBB di Korea ini

dengan sekitar 500.000 pasukan hampir seluruhnya terdiri dari kesatuan-kesatuan dan dibawah komando Amerika Serikat, walaupun ada partisipasi dari negara-negara lain terutama dari Barat. Meskipun operasi militer tersebut bernaung di bawah bendera PBB namun panglima tertingginya diangkat oleh Amerika Serikat. Setelah wakil Uni Soviet menduduki kembali kursinya di Dewan, dia langsung menentang semua resolusi yang tidak sesuai dengan kepentingan negaranya.

Kasus Perang Korea ini merupakan bukti bahwa sistem keamanan kolektif yang dirancang para pendiri Piagam langsung macet karena dunia pasca Perang Dunia II segera diracuni konflik ideologi Timur-Barat dan suasana Perang Dingin. Sebagai akibatnya banyak ketentuan dalam Piagam yang berhubungan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan tidak dapat dilaksanakan karena kurang atau tidak adanya kerjasama antara negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan.

Sebaliknya sebagai suatu Organisasi internasional yang dinamis dan yang selalu berusaha memecahkan berbagai permasalahan keamanan yang dihadapi, PBB dengan segala kelemahan dan kekurangannya, telah dapat mencegah terjadinya suatu perang dunia baru seperti yang sudah dua kali membawa kesengsaraan pada umat manusia pada bagian pertama abad XX. Dengan segala ketidaksempurnaannya sebagai organisasi yang bervokasi universal, PBB telah dapat dengan selamat mengantarkan dunia ke abad XXI dengan dasar-dasar kerjasama yang lebih kokoh dan erat yang akan lebih memperkecil kemungkinan terjadinya perang antara bangsa.

Sehubungan dengan perkembangan PBB ini, Prof. Virally, pakar Hukum Organisasi Internasional Perancis kenamaan pada tahun 1961 pernah mengatakan:

PBB dewasa ini bukan hanya suatu Piagam, lebih dari itu adalah pengalaman sejarah 15 tahun.31

31

Michel Virally, L’ONU, d’hier a demain, Seuil, 1961, hal. 27

Dengan demikian sekarang ini kita juga dapat mengatakan bahwa untuk mempelajari PBB tidak cukuphanya dengan membaca ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam, lebih penting lagi adalah mempelajari

sejarah perkembangannya selama 60 tahun terakhir. Semenjak semula banyak ketentuan-ketentuan Piagam yang tidak lagi memadai, sudah ketinggalan, tidak sesuai dengan realita politik yang ada, dan bahkan ada yang sama sekali tidak dipakai lagi.

Demikianlah pembentukan dan peranan menonjol pasukan pemeliharaan keamanan PBB dalam banyak situasi konflik baik bersifat antar negara ataupun internal suatu negara merupakan suatu lembaga yang berkembang pesat di luar Piagam yang telah banyak memberikan sumbangan penting bagi pencegahan sengketa, pembentukan, pemeliharaan, pengukuhan stabilitas dan keamanan di berbagai pelosok dunia.

1. Kegagalan Sistem Keamanan Bersama

Sistem keamanan bersama yang dirancang Piagam dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan yang merupakan tulang punggung sistem keamanan PBB hanya tinggal di atas kertas karena dunia setelah Perang Dunia II langsung ditandai dengan suasana saling tidak percaya dan mencurigai antara Blok Timur dan Barat terutama antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Oleh karena itu pembentukan pasukan bersenjata yang merupakan instrumen militer PBB tidak pernah dapat terlaksana karena tidak adanya kesepakatan antara negara-negara besar Dewan Keamanan. Perumusan kesepakatan-kesepakatan khusus seperti yang tercantum dalam pasal 43 Piagam yang harus menentukan cara dan modalitas pengadaan pasukan-pasukan bersenjata dari negara-negara anggota untuk Dewan Keamanan bagi pelaksanaan tugasnya tidak dapat terwujud.

1) Tidak Dibuatnya Kesepakatan-kesepakatan Sesuai Pasal 43

Segera mulai pertengahan bulan Februari 1946, Dewan Keamanan menginstruksikan Komite Kepala-kepala Stafnya yang terdiri dari Kepala-kepala Staf kelima negara anggota tetap untuk mempelajari ketentuan-ketentuan pasal 43 Piagam dari segi militer dan pada waktunya menyampaikan hasil-hasil dari

pengkajiannya serta rekomendasi yang dianggap perlu. Beberapa waktu kemudian, Komite menyampaikan laporannya yang berisi sejumlah kesepakatan antara lain mengenai besarnya jumlah pasukan yang harus disediakan oleh anggota-anggota tetap dan kontribusi negara-negara lain. Disamping itu laporan juga berisi perbedaan-perbedaan pandangan atas sejumlah aspek terutama mengenai jumlah keseluruhan pasukan yang harus dimiliki Dewan Keamanan, komposisi pasukan-pasukan kontribusi masing-masing negara anggota tetap disamping modalitas penggunaannya bila terjadi ketidaksepakatan antara kelima negara besar di saat sedang berlangsungnya operasi militer. Dalam perdebatan-perdebatan yang terjadi kemudian di Dewan Keamanan ternyata perbedaan-perbedaan tersebut tidak dapat diatasi. Walaupun diskusi-diskusi tetap dilanjutkan dalam komite, nyatalah bahwa semenjak bulan Juli 1947 kesalingcurigaan yang mewarnai hubungan Uni Soviet dan negara-negara Barat telah menyebabkan perundingan-perundingan tidak berguna lagi. Tampil dan meruncingnya secara cepat Perang Dingin yang juga ditandai dengan gagalnya perundingan antara menteri-menteri luar negeri yang dijadwalkan oleh Konferensi Potsdam, juga menyebabkan ketentuan-ketentuan pasal 106 Piagam yang bertujuan untuk memberlakukan sementara pasal 43 tidak terlaksana karena tidak adanya kesepakatan antara anggota-anggota tetap. Demikianlah sengketa Timur Barat telah menggagalkan sistem keamanan kolektif PBB. Sistem ini bukan gagal dalam pelaksanaannya tetapi gagal sebelum lahir sebagai akibat suasana Perang Dingin yang langsung menandai hubungan internasional pasca Perang Dunia II.

2) Sistem Keamanan Melalui Cara Lain

Gagalnya sistem keamanan bersama dalam kerangka PBB ini telah mendorong negara-negara blok Timur dan Barat mengembangkan zona-zona pengaruh dan blok-blok militer. Terhadap politik zona pengaruh yang dilakukan secara aktif oleh Uni Soviet di eropa Timur dengan segera diimbangi negara-negara Barat, dengan Amerika Serikat sebagai intinya, mendirikan Pakta Persekutuan Atlantik Utara (NATO) pada tanggal 4 April 1949. Pembentukan suatu persekutuan pertahanan seperti NATO ini secara resmi dapat dianggap

sesuai dengan pasal 51 Piagam. Menurut pasal tersebut negara-negara anggota PBB baik secara individual maupun kolektif dapat melaksanakan hak bela diri bila mendapat serangan bersenjata dari negara lain sambil menunggu Dewan Keamanan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pembentukan NATO ini mendapat reaksi dari negara-negara komunis Eropa Timur. Dengan berintikan Uni Soviet sebagai kekuatan militer utama, mereka juga membentuk pakta pertahanan bersama pada tanggal 14 Mei 1955 yang dikenal dengan Pakta Warsawa.

Pembentukan pakta-pakta pertahanan ini merupakan bukti bahwa negara-negara tidak mungkin lagi mengharapkan sistem keamanan bersama PBB, dan karena itu mereka mencari sendiri cara-cara lain untuk melindungi mereka melalui sistem aliansi tradisional yang dilengkapi dengan teknik-teknik organisasi internasional dan integrasi militer. Pembentukan kedua sistem pertahanan ini juga merupakan pengukuhan dari suasana Perang Dingin yang berdampak negatif terhadap kerjasama negara-negara terutama di Dewan Keamanan di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Kurangnya kerjasama tersebut terbukti dengan penggunaan hak veto yang berlebih-lebihan dari negara-negara anggota tetap, terutama Uni Soviet sehingga melumpuhkan kegiatan-kegiatan operasional perdamaian Dewan Keamanan. Sebagai contoh, Uni Soviet

telah menggunakan sebanyak 100 veto antara tahun 1946-1962.32

Sebagaimana yang telah disinggung sebelum ini, tidak adanya wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan di waktu meletusnya Perang Korea pada bulan Juni 1950 telah memungkinkan Organ tersebut membentuk suatu pasukan militer

Veto ini pada umumnya digunakan untuk melindungi kepentingan negara besar bersangkutan dan negara-negara yang dilindunginya. Lumpuhnya Dewan Keamanan karena penggunaan hak veto yang berlebih-lebihan telah menyebabkan peranan Majelis Umum lebih menonjol selama beberapa waktu.

3) Sistem Union untuk Pemeliharaan Perdamaian

32

internasional untuk menghadang agresi yang datang dari Korea Utara. Setelah wakil Uni Soviet tersebut menduduki kembali kursinya di Dewan Keamanan, tidak mungkin lagi dibuat resolusi-resolusi mengenai intervensi militer PBB mengenai Perang Korea tersebut. Untuk keluar dari jalan buntu, atas prakarsa AS, Majelis Umum PBB pada tanggal 3 Nopember 1950 menerima resolusi yang

dikenal dengan nama Uniting for Peace Resolution (Res. No. 377 V), yang

dikenal juga dengan nama resolusi Dean Acheson yang memberikan wewenang

kepada Majelis Umum untuk bertindak bila Dewan Keamanan menjadi lumpuh karena penggunaan hak veto.

Memang benar resolusi Uniting for Peace ini dirancang untuk

memungkinkan Majelis Umum menangani masalah Korea, namun dalam pemikiran para pemrakarsa, resolusi tersebut juga dimaksudkan untuk membuat suatu sistem permanen yang dapat terus berfungsi apabila PBB berada dalam situasi yang sama. Ketentuan sentral resolusi tersebut memberikan kemungkinan

kepada Majelis untuk membahas semua keadaan di mana terjadi ancaman

terhadap perdamaian atau suatu agresi dan membuat rekomendasi-rekomendasi yang sesuai mengenai tindakan-tindakan kolektif termasuk penggunaan senjata bila diperlukan sekiranya Dewan Keamanan tidak dapat melaksanakan tugas pokoknya. Dengan kata lain, Majelis merasa berkewajiban untuk menggantikan Dewan bila Dewan tersebut gagal melaksanakan tugasnya kendatipun terdapat pembatasan-pembatasan yang diberikan kepada Majelis sesuai pasal 11 ayat 2 Piagam. Dalam keadaan ini Majelis sebagai ganti Dewan dapat mengambil tindakan-tindakan kolektif seperti yang tercantum dalam Bab VII Piagam. Sesuai

resolusi Uniting for Peace tersebut Dewan dapat mengambil Majelis Umum untuk

mengadakan sidang khusus darurat dalam waktu 24 jam bila Majelis sedang tidak bersidang di saat terjadinya ancaman terhadap perdamaian yang memerlukan intervensi PBB. Tentu saja Majelis Umum hanya dapat membuat rekomendasi namun seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Perang Korea hal tersebut tidak menjadi kendala bila paling tidak ada satu negara adidaya yang siap memberikan pasukan bersenjatanya kepada PBB bila diminta oleh Organisasi dunia tersebut.

Untuk melengkapi mekanisme yang baru ini, Majelis Umum membentuk dua komisi antara pemerintah yang masing-masingnya terdiri dari 14 negara. Komisi pertama bernama Komisi Observasi untuk Perdamaian yang bertugas memantau situasi di kawasan di mana terdapat ancaman terhadap perdamaian. Komisi kedua bertugas untuk mempelajari tindakan-tindakan kolektif dan cara-cara penggunaannya untuk memelihara dan memperkokoh perdamaian termasuk pembentukan unsur militer dari negara-negara anggota. Jadi misi Komisi kedua adalah untuk menggantikan misi komite Kepala Staf seperti yang dicantumkan dalam pasal 43 Piagam. Kepada negara-negara anggota diminta untuk menyiapkan dalam angkatan bersenjata mereka kesatuan-kesatuan militer yang terlatih, terorganisir dan dilengkapi sebegitu rupa sehingga dapat dengan cepat bertugas sebagai kesatuan-kesatuan dari PBB. Juga diminta agar negara-negara anggota memberitahu secepat mungkin komposisi dan besarnya kesatuan-kesatuan militer tersebut kepada komisi. Di atas kertas sistem baru ini cukup menarik dan secara nyata bertujuan untuk menggantikan sistem kesepakatan-kesepakatan khusus sesuai pasal 43 Piagam yang gagal terlaksana. Namun sistem pengganti yang dirancang Majelis Umum ini juga mengalami kegagalan. Sebabnya ialah karena tidak adanya reaksi dari negara-negara anggota atas permintaan untuk menyediakan pasukan-pasukan yang dengan cepat dapat digunakan oleh PBB. Seperti juga halnya dengan upaya pembentukan pasukan PBB sesuai dengan pasal 43, tidak satupun negara yang bersedia memberikan komitmen sebelumnya, melalui pengadaan pasukan, terhadap suatu sengketa yang belum jelas bentuknya dengan kemungkinan melibatkan kepentingan kedua negara adidaya. Akhirnya pada tahun 1956 gagasan ini secara definitif ditinggalkan karena tidak sesuai dengan realita politik dunia yang ada.

2. Pemeliharaan Perdamaian Sesuai Sistem Piagam

Pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sejak semula merupakan tugas utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lahirnya PBB pada tahun 1945 disambut oleh Presiden Roosevelt sebagai permulaan orde baru

internasional.33 Memang benar itulah maksud pendiri PBB, mendirikan suatu sistem kolektif untuk mencegah agar jangan terulang lagi perang dunia yang telah dua kali membawa bencana terhadap umat manusia. Sehubungan dengan itu pada bulan Nopember 1943 di waktu masih berkecamuknya Perang, wakil-wakil dari

Inggris, AS, Uni Soviet dan Cina mengumumkan Declaration on General

Security yang menyepakati keharusan untuk secepat mungkin mendirikan suatu organisasi internasional umum bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Waktu Piagam dirumuskan, mukadimahnya mengajak negara-negara penanda-tangan menyatukan kekuatan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan memastikan bahwa kekuatan bersenjata tidak akan digunakan kecuali bagi kepentingan bersama. Selanjutnya pasal 1 ayat 1 Piagam

menguraikan tujuan utama PBB yaitu memelihara perdamaian dan keamanan

internasional untuk itu mengambil tindakan-tindakan kolektif yang efektif untuk pencegahan dan panghapusan ancaman terhadap perdamaian, untuk penindasan tindakan agresi atau pelanggaran-pelanggaran lainnya terhadap perdamaian, dan menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa internasional atau keadaan yang dapat melanggar perdamaian. Walaupun tidak ada istilah keamanan bersama karena kegagalan sistem tersebut dalam Liga Bangsa-Bangsa namun

niatnya tetap ada seperti digunakannya kata-kata menyatukan kekuatan untuk

memelihara perdamaian dan keamanan internasional.34

Dewan Keamanan dalam sistem Piagam ini pada dasarnya merupakan suatu forum dari negara-negara besar yang menang perang dan secara bersama memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Majelis Umum dapat melakukan perdebatan dan membuat rekomendasi dan meminta perhatian Dewan tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan. Sebaliknya pasal 39 dari Piagam memberikan wewenang untuk bertindak kepada Dewan. Dengan jelas dinyatakan bahwa Dewan Keamanan berwenang menentukan adanya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian dan membuat rekomendasi atau

33 Lihat Brian Urquhart, The Role of the UN in Maintaining and Improving International Security,

Survival, 28, No.5 September-Oktober 1986, p.338.

34

memutuskan tindakan-tindakan yang akan diambil untuk memelihara dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.

Ini Piagam terletak pada Bab VII yaitu: Tindakan yang berhubungan

dengan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi. Dewan Keamanan mempunyai wewenang, bila dianggap perlu, untuk meminta negara-negara anggota menjatuhkan sanksi dan bila kebijaksanaan ini gagal, Dewan dapat mengambil tindakan-tindakan melalui angkatan udara, laut dan pasukan darat yang diperlukan untuk memelihara atau memulihkan keadaan. Sebagaimana disinggung sebelum ini Dewan Keamanan dapat membentuk Komite Kepala-kepala Staf untuk membantu dan memerikan nasehat kepada Dewan.

Kalau kita perhatikan, Dewan Keamanan memang merupakan suatu badan eksekutif yang dilengkapi dengan segala macam wewenang dan kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan kekerasan demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan dunia. Namun pelaksanaan prinsip tersebut tergantung dari kemauan baik negara-negara anggota. Sekiranya kemauan ini tidak ada atau hanya datang dari sejumlah negara saja tentu tidak banyak yang dapat dilakukan Organisasi dunia tersebut. Sebaliknya banyak yang dapat dicapai sekiranya kegiatan-kegiatan yang dilakukan mendapat dukungan dari negara-negara terutama anggota-anggota tetap Dewan Keamanan. Dalam kehidupan masyarakat internasional bukan hanya mekanisme yuridis yang dapat menjamin perdamaian dan keamanan internasional. Mekanisme yuridis betapapun sempurnanya hanya dapat berfungsi dalam situasi politik di mana paling tidak terdapat semacam konsensus tentang tingkat kekerasan yang tidak dapat lagi ditolelir.

Selanjutnya marilah kita teliti ketentuan-ketentuan yang mengatur organ-organ utama PBB dalam kaitannya dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan, batas-batas kemampuan, kendala-kendala yang dihadapi serta hasil-hasil yang telah dapat dicapainya.

1) Peranan Utama Dewan Keamanan

Bab VII Piagam PBB yang terdiri dari 13 pasal berisikan ketentuan-ketentuan yang menyangkut tindakan-tindakan yang akan diambil PBB bila terdapat ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian ataupun suatu tindakan agresi. Terhadap suatu keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia terdapat tahap-tahap yang harus ditempuh sebelum PBB mengambil tindakan dalam bentuk kekerasan.

Sesuai pasal 39 Piagam, mula-mula Dewan Keamanan akan menentukan apakah memang ada ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian ataupun suatu agresi. Selanjutnya Dewan membuat rekomendasi yang diperlukan bagi pemeliharaan ataupun pemulihan perdamaian dan keamanan. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas atas keadaan yang terjadi, Dewan juga, sesuai pasal 34 Piagam, dapat melakukan investigasi. Setelah mendapatkan data-data yang diperlukan, selanjutnya Dewan menetapkan apakah peristiwa yang terjadi merupakan ancaman atau tidak terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Selanjutnya, sesuai Pasal 40, dan sebelum membuat rekomendasi, Dewan dapat memutuskan tindakan-tindakan sementara yang dianggap perlu untuk mencegah memburuknya keadaan. Sekiranya tindakan-tindakan sementara ini tidak dilaksanakan maka Dewan, sesuai Pasal 41, dapat memutuskan tindakan-tindakan yang tidak melibatkan kekuatan bersenjata seperti pemutusan hubungan ekonomi, laut, udara, radio atau alat-alat komunikasi lainnya ataupun juga pemutusan hubungan diplomatik. Akhirnya bila tindakan-tindakan tersebut di atas tidak dilaksanakan, Dewan, sesuai Pasal 42, dapat menggunakan pasukan udara, laut, dan darat yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan keadaan. Jelaslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab VII Piagam, intervensi Dewan mempunyai urutan-urutan mulai dari mengkonstatasi suatu keadaan sampai pada penggunaan pasukan bersenjata untuk pemeliharaan dan pemulihan keamanan. Namun, dalam praktiknya seperti kita lihat kemudian intervensi sesuai piagam ini

jarang terlaksana. Disamping itu, mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi terutama selama era Perang Dingin, ditambah dengan aneka ragamnya kepentingan yang terlibat, negara-negara anggota tetap Dewan terutama Uni Soviet dan AS sering menggunakan hak vetonya sehingga permasalahan yang dibahas sering tidak ada kelanjutannya. Sampai tahun 1999, tidak kurang dari 247 veto yang telah digunakan, 120 oleh Uni Soviet, 72 oleh Amerika Serikat, 32

Inggris, 18 Perancis dan 5 Cina.35

Setelah berakhirnya Perang Dingin, membaiknya hubungan Timur-Barat, penggunaan hak veto menjadi sangat berkurang. Sebagai bukti setelah berakhirnya Perang Dingin sampai tahun 2004 hanya 17 kali veto yang telah

digunakan yaitu 12 oleh AS, 3 oleh Rusia dan 2 oleh Cina.36

Dalam sengketa negara bekas Yugoslavia dan selanjutnya Bosnia-Herzegovina, Dewan Keamanan selalu menyebutkan keadaan sebagai ancaman

terhadap perdamaian sedangkan yang terjadi lebih gawat lagi, yaitu pelanggaran

terhadap perdamaian.

Sebagai akibatnya terjadilah peningkatan yang cepat kegiatan-kegiatan Dewan. Kegiatan ini antara lain diwujudkan dalam banyaknya resolusi yang membentuk pasukan pemeliharaan perdamaian. Disamping itu, dalam banyak resolusi Dewan mencatat adanya ancaman terhadap perdamaian. Namun, Dewan kelihatannya sangat

Dokumen terkait