• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM

PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DI SEKOLAH DASAR

Dalam rangka melaksanakan tugas profesionalnya, guru sekolah dasar dituntut untuk memiliki kemampuan yang baik. Sebab hanya dengan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas yang baiklah keberhasilan pendidikan di sekolah dapat tercapai dengan baik. Guru merupakan komponen sentral yang menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Pengembangan guru tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan pengembangan profesional guru.

Bila ditelaah dari sisi historis, perkembangan kegiatan pengembangan guru berkaitan erat dengan perkembangan ilmu manajemen. Ada tiga tahap perkembangan ilmu manajemen yang mewarnai perkembangan kegiatan pengembangan guru, yaitu scientific management yang berkembang mulai awal tahun 1900 sampai dengan tahun 1936, human relation management, yang berkembang mulai tahun 1937 sampai dengan tahun 1959, dan behavior research management, yang berkembang mulai tahun 1960 sampai dengan tahun 1970 (Owens, 1991). Dewasa ini, yang sedang banyak dikembangkan adalah human resources management.

Ditinjau dari teknik yang digunakan, kegiatan pengembangan profesional guru, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengembangan intensif (intensive development), pengembangan kooperatif (cooperative development), dan pengembangan mandiri (self directed development) (Glatthorm, 1991).

Pengembangan intensif (intensive development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan secara intensif berdasarkan kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan melalui

langkah-langkah yang sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan yang digunakan antara lain melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan sejenisnya.

Pengembangan kooperatif (cooperative development) adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui kerja sama dengan teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara sistematis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru melalui pemberian masukan, saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik pengembangan yang digunakan bisa melalui pertemuan kelompok kerja guru (KKG). Teknik ini disebut juga dengan istilah peer supervision atau collaborative supervision.

Pengembangan mandiri (self directed development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri. Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada guru. Guru berusaha untuk merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan menganalisis balikan untuk pengembangan diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian tindakan (action research).

Di sisi lain, hasil penelitian Raudenbush (1993) menunjukkan bahwa

internal supervision yang termasuk kegiatan pengembangan guru, memiliki dampak terhadap pengajaran guru. Hasil penelitian Bisset dan Nichol (1998) juga menunjukkan bahwa pengembangan profesional guru melalui kegiatan supervisi yang menekankan action research bisa meningkatkan kemampuan profesional guru. Hasil penelitian Horn (1992) juga menunjukkan bahwa pengalaman guru berpengaruh terhadap pertumbuhan personal dan jabatan guru. Lebih lanjut, berdasarkan hasil telaah Neagley dan Evans (1980), Glickman (1981) atau Sergiovanni (1991) menunjukkan bahwa kegiatan supervisi yang termasuk pada kegiatan pengembangan guru dapat meningkatkan kemampuan profesional guru dalam melaksanakan tugas, khususnya tugas di bidang pengajaran.

Di sisi lain, hasil penelitian White (1992) menunjukkan bahwa kesempatan guru untuk terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah berpengaruh terhadap pertumbuhan jabatan guru. Hasil penelitian Berends (2000) juga menunjukkan bahwa karakteristik program sekolah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan profesio-nalisme guru.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang ada, dapat digarisbawahi kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas. Kepemimpinan kepala sekolah yang baik, akan memberikan kesempatan kepada anggotanya, terutama gurunya, untuk selalu meningkatkan diri. Demikian juga kepemimpinan kepala sekolah yang baik, juga akan berusaha untuk selalu mengembangkan kemampuan anggotanya, terutama para gurunya, baik melalui pengembangan dari atas, pengembangan teman sejawat, atau pengembangan diri sendiri. Dengan meningkatnya kemampuan anggota, khususnya guru, akan meningkatkan kinerja anggota. Dengan meningkatnya kinerja anggota, pada akhirnya akan bisa meningkatkan ketercapaian tujuan organisasi sekolah.

Tujuan akhir dari program peningkatan sumber daya manusia dalam suatu organisasi adalah pencapaian profesionalisme personel dalam menjalankan tugas. Peningkatan kemampuan personel pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme personel dalam melaksanakan tugas. Demikian juga, peningkatan semangat kerja personel dalam organisasi, pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme personel dalam melaksanakan tugas. Dengan demikian, peningkatan semangat kerja ataupun kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas-tugas sebagai guru.

Istilah profesionalisme guru bukan merupakan istilah asing dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif.

Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan guru.

Bila ditinjau secara lebih detail,ada beberapa karakteristik profesionalisme guru. Rebore (1991) mengemukakan bahwa karakteristik profesionalisme guru bisa ditinjau dari enam komponen, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam melaksanakan tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara efektif dengan siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi dan pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan pola perilaku siswa, serta (6) melaksanakan kode etik jabatan.

Di sisi lain, Glickman (1981) memberikan ciri profesionalisme guru dari dua sisi, yaitu kemampuan berpikir abstrak (abstraction) dan komitmen (commitment) guru. Guru yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab.

Lebih lanjut, Welker (1992) mengemukakan bahwa profesionalisme guru dapat dicapai bila guru ahli (expert), dalam melakasanakan tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth). Lebih lanjut, Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru, disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy).

Berdasarkan berbagai kajian teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa secara umum ada empat karakteristik profesionalisme guru, yaitu (1) ahli dalam melaksanakan tugas (expert), (2) memiliki rasa tanggung jawab (responsibility), (3) memiliki kemandirian (autonomy), dan (4) selalu berusaha untuk mengembangkan diri (professional growth). Profesionalisme guru dalam

melaksanakan tugas tercermin pada keahlian, tanggung jawab, kemandirian, dan kemauan guru untuk terus mengembangkan diri secara terus-menerus dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan guru.

Bila ditelaah dari unsur-unsurnya, pada dasarnya ada dua aspek yang menentukan tingkat profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, yaitu aspek kemampuan dan kemauan. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan kemauan yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan. Dengan kata lain, memiliki kemampuan dan semangat kerja yang baik dalam melaksanakan tugas. Untuk itu, dalam meningkatkan profesionalisme guru, perlu didukung dengan kemampuan yang baik dan semangat kerja yang baik. Dan semua itu, bisa berkembang dengan baik, bila kepala sekolah menerapkan kepemimpinan yang baik. Kontribusi kepemimpinan kepala sekolah terhadap kemampuan dan semangat kerja, serta profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6.1 Gambaran Profesionalisme Guru

Berdasarkan gambar tersebut di atas, dapat digarisbawahi bahwa peranan kepemimpinan sangat besar dalam meningkatkan kemampuan guru, semangat kerja guru, dan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Bahkan dapat dikatakan kepemimpinan kepala sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan terhadap peningkatan kemampuan, semangat kerja, dan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Guru akan bisa berkembang, bila kepala sekolah menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan guru

bisa berkembang dengan baik. Guru juga akan memiliki semangat kerja yang baik, bila kepala sekolah mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif. Dengan meningkatnya kemampuan dan semangat kerja guru yang berkelanjutan merupakan kunci tercapainya profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, akan menjadi sarana tercapainya keefektifan kerja organisasi sekolah, yang secara langsung akan menjadi sarana utama tercapainya tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara optimal.

BAB VII

PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEEFEKTIFAN KERJA TIM GURU DI SEKOLAH DASAR

Motivasi kerja, kemampuan, dan profesionalisme melaksanakan tugas cenderung mengacu pada perilaku individu dalam organisasi. Untuk melihat keberhasilan kepemimpinan, juga perlu dilihat pengaruhnya terhadap anggota secara kelompok. Adanya kerja sama yang baik di antara anggota secara kelompok akan lebih menunjang terhadap pencapaian tujuan organisasi sekolah, dibandingkan bekerja secara sendiri-sendiri. Bahkan dari beberapa kajian teori yang ada, perilaku kepemimpinan yang utama bisa diarahkan pada dua fungsi, yaitu perilaku yang berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan, dan perilaku yang berkaitan dengan hubungan dalam kerja kelompok dengan bawahan. Salah satu komponen yang menunjukkan keberhasilan anggota secara kelompok adalah keefektifan kerja tim.

Kelompok dalam organisasi secara sederhana dapat diartikan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam suatu cara tertentu (Hughes, Ginnet & Curphy, 1999). White dan Bednar (1991) mengemukakan bahwa kelompok adalah dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi, memiliki keterikatan masa lalu atau masa depan, dan memiliki fungsi saling bergantung dalam rangka mencapai tujuan bersama. Di sudut lain, Robbins (2001) mengemukakan bahwa kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai tujuan. Tim merupakan kelompok yang efektif.

Ada empat komponen yang membedakan tim dengan kelompok, yaitu memiliki rasa identifikasi yang lebih kuat, memiliki konsensus terhadap tujuan yang lebih kuat, memiliki saling ketergantungan yang lebih kuat, dan memiliki peranan yang lebih khusus dalam mencapai tujuan. (Hughes, Ginnet, & Curphy,

1999). Tim kerja menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi (Robbin, 2001).

Keefektifan kerja tim bisa dilihat dari beberapa aspek. Hal itu bisa dikaji dari teori keefektifan tim. Banyak ahli yang mengemukakan karakteristik tim kerja yang efektif dari beberapa sudut pandang. Secara sederhana, White dan Bednar (1991) mengemukakan tiga karakteristik keefektifan tim, yaitu (1) hasil kerja tim dapat mencapai tujuan, yakni sesuai dengan harapan pengguna, (2) kemampuan anggota dalam bekerja sama dapat dipertahankan dan di- tingkatkan, dan (3) anggota memiliki kepuasan terhadap hasil kerja tim.

Di sisi lain, Jenk (1990) mengemukakan karakteristik tim kerja yang efektif dari tujuh komponen. Dari sisi interaksi, ada kejujuran, keterbukaan, dan komunikasi dua arah di antara anggota dalam mencapai tujuan organisasi. Dari sisi tujuan, setiap anggota memahami dengan jelas, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Dari sisi keanggotaan, antara anggota satu dengan lainnya saling mengenal dan saling mempertahankan tim yang efektif. Dari sisi kekohesifan, masing-masing anggota saling menerima dan memberikan dukungan. Dari sisi norma, setiap anggota memahami dan mematuhi aturan yang telah disepakati. Dari sisi dinamika, keputusan yang penting selalu ditetapkan bersama, bila ada konflik tidak ditekan atau dibiarkan, tetapi dianggap sebagai aspek komunikasi yang terbuka.

Di sisi lain, Kreitner dan Kinicki (1992) mengemukakan dua kriteria keefektifan tim kerja, yaitu: (1) dari sisi performansi, hasil kerja dapat mencapai tujuan, yakni sesuai dengan pengguna, dan (2) dari sisi keberlangsungan, anggota memiliki kepuasan terhadap kerja tim, serta berkemauan untuk mempertahankan kelompok.

Menurut Kreitner dan Kinicki (1992) ada tiga komponen utama yang menentukan keefektifan kerja tim, yaitu kooperatif, kepercayaan dan kekohesifan. Kooperatif mengacu pada keterpaduan dalam melaksanakan kerja sama yang baik di antara anggota. Hal tersebut mencakup kolaborasi dan

koordinasi. Tiap anggota memiliki tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan, dan terdapat koordinasi yang baik di antara anggota dalam melaksanakan tugas. Kepercayaan memiliki makna antara anggota saling memiliki kepercayaan dalam melaksanakan tugas, baik yang berkaitan dengan niat, tujuan atau perilaku untuk untuk mencapai tujuan organisasi. Kekohesifan mengacu pada tingkat keharmonisan dan keeratan hubungan di antara anggota melebihi perbedaan yang dimiliki masing-masing anggota.

Di sisi lain, Gordon, Mondy dan Sharphin (1990) mengemukakan delapan karakteristik keefektifan kerja tim, yaitu: (1) semua anggota memahami dan berusaha mencapai tujuan, (2) semua anggota saling mendengarkan dan berpartisipasi, (3) semua anggota bebas mengekspresikan dan menerima respon, (4) bila ada masalah yang muncul, didiagnosa dengan hati-hati dan dipecahkan bersama, (5) semua anggota memiliki kesempatan sama dalam mendukung organisasi sesuai dengan kemampuannya, (6) semua anggota mendukung terhadap konsensus yang telah dibuat, (7) antara anggota satu dengan lainnya saling memiliki kepercayaan, dan (8) memiliki fleksibilitas dalam menemukan cara baru yang lebih baik.

Secara singkat Wagner dan Hollenbeck (1998) mengemukakan tiga kreteria keefektifan kerja tim, yaitu: (1) hasil kerja tim sesuai dengan standar yang ditetapkan, (2) kepuasan anggota terpenuhi, dan (3) meningkatkan kerja sama anggota.

Berdasarkan beberapa landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa ada beberapa komponen yang menunjukkan keefektifan kerja tim. Komponen- komponen tersebut bisa mencakup proses dan bisa juga mencakup hasil. Adanya kerja sama yang baik, koordinasi yang baik, komunikasi, interaksi, kejujuran, kepercayaan, dan kekohesifan di antara anggota dalam melaksanakan tugas merupakan komponen yang mengacu pada proses. Adanya kepuasan anggota, ketercapaian tujuan sesuai dengan harapan, meningkatnya kerja sama, dan fleksibilitas untuk mengembangkan diri, merupakan komponen yang mengacu pada hasil.

Berdasarkan landasan tersebut, maka keefektifan kerja tim guru dapat ditelaah dari tiga sub dimensi, yaitu (1) kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, yang ditandai dengan adanya kebersamaan antar guru dalam melaksanakan tugas, saling jujur, saling percaya, saling terbuka, saling memberikan masukan, saling bekerja sama, dan saling bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, (2) keterpaduan guru dalam melaksanakan tugas, yang ditandai dengan adanya tanggung jawab bersama dalam melaksanakan tugas, ketahanan menjaga kesatuan dalam melaksanakan tugas, memecahkan masalah bersama secara efektif, dan memiliki fleksibiltas untuk mengembangkan cara-cara baru yang lebih baik dalam melaksanakan tugas, serta (3) keefektifan hasil, yang ditandai dengan ketercapaian hasil sesuai dengan standar yang ditetapkan, pemahaman terhadap tujuan semakin meningkat, kerja sama antar guru meningkat, kemampuan guru berkembang, dan kepuasan guru sebagai anggota kelompok juga berkembang.

Keefektifan kerja tim guru, juga dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan yang baik akan menekankan kerja sama tim dibandingkan kerja individual. Dengan menekankan kerja sama tim, dan didukung dengan pemberian perhatian secara adil terhadap semua anggota, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim anggota. Oleh karena itu, semakin tinggi kepala sekolah dasar menerapkan kepemimpinan secara tepat, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim guru dalam melaksanakan tugas-tugas sekolah. Keefektifan kerja tim guru bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, keterpaduan guru dalam melaksanakan tugas, dan keefektifan hasil yang dicapai guru Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Barnett, McCormick & Conners (1999) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan dengan keefektifan kerja anggota organisasi.

Keefektifan kerja tim guru akan berpengaruh terhadap peningkatan atau pembaharuan sekolah (school improvement). Untuk mencapai suatu perubahan atau pembaharuan organisasi, diperlukan adanya kerja tim yang efektif

(Thompson, 2004). Hasil review Joyce (Reynolds, 1996) menunjukkan bahwa hubungan kolaboratif antar personel dalam organisasi merupakan salah satu kunci peningkatan atau pembaharuan organisasi. Komponen tersebut merupakan karakteristik utama keefektifan kerja tim. Oleh karena itu, dapat digarisbawahi bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara keefektifan kerja tim guru dengan peningkatan atau pembaharuan sekolah. Semakin efektif kerja tim guru semakin tinggi tingkat peningkatan, pembaharuan atau kemajuan sekolah.

TUGAS

Untuk pencapaian kompetensi selama diklat fasilitator membimbing peserta untuk melakukan diskusi, bermain peran dan presentasi dengan aturan sebagai berikut :

1. Buatlah kelompok masing masing lima orang

2. masing masing kelompok menentukan ketua dan sekretarisnya

Tugas :

a. Masing masing anggota kelompok membahas studi kasus yang yang telah disiapkan fasilitator sesuai dengan topik : ( 90 menit )

 Peranan kepala sekolah dasar

 Konsep kepemimpinan kepala sekolah dasar

 Peran kepemimpinan kepala sekolah dasar di era desentralisasi

 Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan semangat kerja guru sekolah dasar

 Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme kerja guru

 Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan keefektifan kerja tim guru sekolah dasar

b. lakukan diskusi dan berikan tanggapan sesama anggota kelompok secara brainstorming. ( 45 menit)

c. lakukan presentasi maing masing kelompok dan kelompok lainnya menanggapinya.. ( 45 menit )

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I & Imron, A. (2004) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Malang: Kerjasama FIP UM dan Ditjen-Dikdasmen.

Beach, D.S., 1980. Personnel, The Management of People at Work. New York: McMillan Publishing Co, Inc.

Barnett, K., McCormick, J. & Conners, R. 2000. Leadership Behaviour of Scondary School Principals, Teacher Outcomes and School Culture. A paper presented at the Australian Association for Research in Education Annual Conference.

Bisset, R.T. and Nichol, J. 1998. Sense of Professionalism the Impact of 20- day Courses in Subject Knowledge on the Professional Development of Teachers, Teacher Development 2 (3). Hal. 433-451.

Campbell, R.F., Corbally, J.E., & Nystrand, R.O. 1983. Introduction to Educational Administration. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Daughtrey, G. and Lewis, E.C.G. 1979. Effective Teaching Strategies in Secondary Phisical Education. Philadelpia: Saunders Company.

Depdiknas. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdiknas. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:

Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Feldmon, C.D, & Arnold, H.J. 1983. Managing Individual and Group Behavioral in Organization. Auckland: Mc Graw Hill Book Company. Glatthorn, A.A. 1990. SupervisoryLeadership: Introduction to Instructional

Glickman, C.D. 1981. Developmental Supervision. Washington: Association for Supervision and Curriculum Development.

Gordon, J.R., Mondy, R.W., & Sharplin, A., et al. 1990. Management and Organizational Behavior. Boston: Allyn and Bacon.

Greenberg, J. & Baron, R.A. 1995. Behavior in Organizations: Understanding and Managing the Human Side of Work. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.

Gorton, R.A, & Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership, Challenges and Opportunities. Keeper Boulevard, Dubuque: Wm.C. Brown Publishers.

Horn, J. 1998. Personal Renewal and Professional Growth for Teachers: A Study of Meaningful Learning an Interdisiplinary Environment,

Teacher Development 2 (3). Hal. 263-289.

Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: Random House, Inc.

Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 2005. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw Hill Company, Inc.

Hughes, R.L., Ginnet, R.C., & Curphy, G.J. 1999. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience. Boston: McGraw-Hill Companies, Inc.

Indrafachrudi, S. 1983. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Jenks, V.O. 1990. Human Relation in Organizations. New York: McGraw Hill Company, Inc.

Kimbrough, R.B & Burkett, C.W. 1990. The Principalship: Concepts and Practices. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.

Kreitner, R. & Kinicki, A. 1992. Organizational Behavior. Boston: Richard D. Irwin, Inc.

Lunenburg, F.C., & Ornstein, A.C. 2000. Educational Administration: Concept and Practices. Belmont: Wardsworth, A Division of Thomson Learning. Nawawi, H. 1985. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Armas Duta Jaya.

Neagley, R.I. and Evan, N.D. 1980. Handbook for Effective Supervision of Instruction. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Newell, C.A. 1978. Human Behavior in Educational Administration. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. Boston: Allyn and Bacon.

Raka Joni, T. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Pokok-pokok Pikiran mengenai Pendidikan Guru. Jakarta: PT.Grasindo.

Raudenbush, S.W. et al. 1993. On the Job Improvements in Teacher Competence: Policy Options and Their Effect on Teaching and Learning in Thailand, Educational Evaluation and Policy Analysis 15 (3). Hal. 279-297.

Rebore, R.W. 1991. Personnel Administration in Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Reynolds, D., Bollen, R., Creemers, B., et al. 1996. Making Good Schools: Linking School Effectiveness and School Improvement. London: Routledge.

Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior. Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc.

Rossow, L.F. 1990. The Principalship, Dimension in Instructional Leadership. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Sahertian, P.A. & Sahertian, I.A. 1990. Supervisi Pendidikan dalam rangka Program Inservice Education. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.

Stoops, E., & Johnson, R.e., 1967. Elementary School Administration. New York: McGraw Hill Book Company.

Sutheja, M.W. 1987. Bagaimana Membangun Semangat Staf Pengantar.

Semarang: Satya Wacana.

Thompson, L.L. 2004. Making theTeam: A Guide for Managers. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Tiffin, J. 1952. Industrial Psychology. New York: Prentice Hall, Inc.

Usman, U. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remadja Rosda Karya.

Wagner, J.A. & Hollenbeck, J.R. 1998. Organizational Behavior: Securing Competitive Advantage. Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc.

Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. White, P.A. 1992. The Teacher Empowerment under “Ideal” School Site Autonomy, Educational Evaluation and Policy Analysis 14 (1). Hal. 69- 82.

White, D. & Bednar, D.A. 1991. Organizational Behavior: Understanding and Managing People at Work. Boston: Allyn and Bacon.

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Latihan Pencapaian Kompetensi

Untuk pencapaian kompetensi selama diklat fasilitator membimbing peserta untuk melakukan diskusi dan presentasi dengan aturan sebagai berikut : 1. Buatlah kelompok masing-masing lima orang

2. masing kelompok menentukan ketua dan sekretarisnya Tugas :

a. Masing masing anggota kelompok membahas studi kasus yang yang telah disiapkan fasilitator sesuai dengan tema tema/kasus kasus yang sering muncul di lingkup sekolah dasar ( 90 menit )

b. lakukan diskusi dan berikan tanggapan secara brainstorming. ( 45 menit) c. lakukan presentasi maing masing kelompok dan kelompok lainnya

Dokumen terkait