• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Konsep Pondok Pesantren

2. Peranan Pondok Pesantren

Tujuan pokok pesantren tidak lain adalah mencetak ulama, yaitu orang yang mutafaqqih fi ad-din atau mendalam ilmu agamanya. Tujuan itu sedemikian berat dicapai oleh umumnya pesantren dewasa ini, karena tradisi yang dijadikan acuan dimasa lalu telah berdampingan dengan berbagai kenyataan seperti munculnya lembaga-lembaga baru berikut aliran-aliran pemikiran dan metode pendidikan yang dipergunakan untuk memasyarakatkannya.31

Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, pelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren. Biasanya peran-peran itu tidak langsung

30

Zubaidi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 15

31

berbentuk, melainkan melewati tahap demi tahap. Setelah sukses sebagai lembaga pendidikan pesantren bisa pula menjadi lembaga keilmuan, kepelatihan, dan pemberdayaan masyarakat. Keberhasilannya membangun integrasi dengan masyarakat barulah memberinya mandat sebagai lembaga bimbingan keagamaan dan simpul budaya.

a. Lembaga Pendidikan

Pengembangan apapun yang dilakukan dan dijalani oleh pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga pendidikan dalam arti luas. Ciri inilah yang menjadikannya tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Disebut dalam arti luas, karena tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah, dan kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Keteraturan pendidikan di dalamnya terbentuk karena pengajian yang bahannya diatur sesuai urutan perjenjangan kitab. Perjenjangan itu diterapkan secara turun-temurun membentuk tradisi kurikuler yang terlihat dari segi standar-standar isi, kualifikasi pengajar, dan santri lulusannya.32

b. Lembaga keilmuan

Pola itu membuka peluang bagi pesantren untuk menghadirkan diri juga sebgai lembaga keilmuan. Modusnya adalah kitab-kitab produk para guru pesantren kemudian dipakai

32

juga di pesantren lainnya. Luas sempitnya pengakuan atas kitab-kitab itu bisa dilihat dari banyaknya pesantren yang ikut mempergunkannya. Jarang terjadi kritik terbuka atas suatu kitab seperti itu dalam bentuk pidato atau selebran. Yang lebih sering terjadi adalah ketidak setujuan akan dituangkan ke dalam bentuk buku juga. Dan akhirnya masyarakat akan ikut menilai bobot karya-karya itu.33

c. Lembaga pelatihan

Pelatihan awal yang dijalani para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri. Sejak makan, minum, mandi, pengelolaan barang-barang pribadi, sampai ke urusan merancang jadwal belajar dan mengatur hal-hal yang berpengaruh kepada pembelajarannya, seperti jadwal kunjungan orang tua atau pulang menjenguk keluarga. Pada tahap ini kebutuhan pembelajarannya masih dibimbing oleh santri yang senior sampai si santri mampu mengurusnya sendiri, sejak menyusun jadwal, pengadaan buku pelajaran, pembuatan catatan belajar pribadi, sampai merancang kegiatan belajar tambahan di pesantren lain pada waktu- waktu tertentu. Jika tahapan ini dapat dikuasai dengan baik, maka santri akan menjalani pelatihan berikutnya untuk dapat menjadi anggota komunitas yang aktif dalam rombongan belajarnya. Di situ santri berlatih bermusyawarah,

33

menyampaikan khithabah (pidato), mengelola suara saat pemillhan organisasi santri, mengelola tugas organisasi santri jika terpilih, mengelola urusan operasional di pondok, dan mengelola tugas membimbing santri yuniornya. Pelatihan-pelatihan itu bisa berlanjut hingga santri dapat menjadi dirinya sendiri suatu hari. d. Lembaga pemberdayaan masyarakat

Dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat itu pesantren pada umumnya benar-benar mandiri dan lebih selektif pada lembaga penyandang dana dari luar masyarakat sendiri. Hal itu terutama setelah tahun 1980-an banyak kegiatan pengembangan mayarakat tidak menubuh ke dalam perkembangan pesantren sendiri, sehingga dirasakan menempel saja tanpa pembaruan dari dalam pesantren. Inovasi teknis terjadi di banyak masyarakat pesantren tetapi inovasi sosialnya tidaklah begitu memenuhi harapan.

Pengalaman ini menjadi latar belakang kritik atas wacana pengembangan masyarakat di pesantren. Jenis pengembanan masyarakat yang lebih menjadikan masyarakat pesantren sebagai pasar bagi produk asing menjadi sorotan tajam. Konsep pengembangan masyarakatpun diganti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam konsep ini termuat pendekatan yang lebih memampukan masyarakat yaitu yang dapat memperbaiki tata kuasa, tata kelola, dan tata guna sumber

daya yang ada pada masyarakat pesantren. Di dalam pemberdayaan masyarakat itu pesantren berteguh pada lima asas, yaitu:

1) Menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif bukan sarana pasif

2) Penguatan potensi lokal baik yang berupa karakteristik, tokoh, pranata, dan jejaring

3) Peran serta warga masyarakat sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pamantauan, refleksi, dan evaluasi

4) Terjadinya peningkatan kesadaran dari kesadaran semu dan kesadaran naif kekesadran kritis

5) Kesinambungan setelah program berakhir

Kekritisan pesantren terbangun oleh wataknya yang merekam banyak hal sekaligus bahakan dalam rentang pewarisan yang panjang. Perubahan-perubahan sosial dan juga pasang surut penghidupan warga masyarakat tidak luput dari perhatiannya karena memang pesantren hidup di dalam masyarakat itu. Tidak heran banyak kyai dan kalangan pesantren peka akan “tanda-tanda zaman” sebagai buah dari keterikatan dengan denyut dinamika masyarakat itu.

e. Lembaga bimbingan keagamaan

Tidak jarang pula pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh masyarakat pendukungnya. Setidaknya pesantren menjadi tempat bertanya masyarakat dalam hal keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini tampak sama kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di beberapa daerah, identifikasi lulusan pesantren kali pertama adalah kemampuannya menjadi pendamping masyarakat untuk urusan ritual keagamaan sebelum mandat lain yang berkaitan dengan keilmuan, kepelatihan, dan pemberdayaan masyarakat.

Faktor-faktor yang mendukung pesantren sabagai lembaga bimbingan keagamaan adalah kualifikasi kyai dan jaringan kyai yang memiliki kesamaan panduan keagamaan, terutama di bidang fiqh, dan kesamaan pendekatan dalam merespon masalah-masalah yang berkembang di masyarakat. Aliran pemikiran keagamaan pesantren sering menjadi acuan bagi masyarakat sekitarnya.

f. Simpul budaya

Pesantren dan simpul budaya itu sudah seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Bidang garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai luhur menempatkannya dalam peran itu baik yang berada di daerah

pengaruh kerajaan Islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang budaya di sekitarnya. Yang jelas pesantren selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis dengan kehidupan disekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sub-kultur, budaya sandingan, yang bisa selaras dengan budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prinsip syariat. Di situlah pesantren melaksanakan tugas dan memperoleh tempat.

Ukuran baik buruk dan beragam rujukan seni yang berkembang di masyarakat bisa dikenali hubungannya dengan yang dikembangkan oleh pesantren, meskipun terdapat perlapisan dilihat dari kedekatannya dengan ajaran agama Islam. Dalam perlapisan itu pesantren menempatkan diri di bagian tengah, sebagai pelaku yang paling banyak bergumul dengan ajaran-ajaran agama, dengan kesenian yang lebih bercita-rasa kekhusyukan, sementara paling jauh dari pusaran pesantren cita-rasanya bergeser ke arah yang lebih populer.

Perlapiran ukuran nilai-nilai ditampilkan oleh konfigurasi itu ke dalam teritori yang bertandakan jarak kepada pendalaman ajaran agama Islam. Masing-masing dengan tugasnya. Yang dilingkari paling dalam berkisar pada kesemua ranah pendidikan Islam, baik faqahah, thabi’ah, dan kafa’ah yang harus searah dengan ajaran Islam. Yang ditepiannya mungkin tidak harus kuat faqahah-nya tapi cukup bertabiatkan

yang selaras dengan ajaran agama Islam. Artinya, orang tidak harus paham dalil ajaran agama, tetapi yang paling penting mengamalkannya. Dan ditepian luarnya adalah menggugah semangat para pemuda untuk setia pada komunitas muslimnya.

Simpul budaya dalam konfigurasi seperti ini mudah dituding sebagai gejala religio feodalism atau feodalisme berbaju keagamaan, karena adanya perilaku menghormat kepada para kyai yang memegang otoritas di pusat lingkaran itu. Penghormatan itu sering juga kepada keluarganya. Penghormatan itu sesungguhnya merupakan bentuk kepercayaan dan mandat agar kyai dan keluarganya teguh dalam perannya sebagai moderator dinamika nilai- nilai kultural yang terbentuk di sekelilingnya.

Dalam status itu kyai bertindak sebagai salah satu pengatur arus dari masyarakat pesantren dan luarnya atau sebaliknya. Peran itu menempatkannya pada keharusan berposisi tengah, menerima lebih banyak informasi, memiliki tingkat keterhubungan individual yang lebih tinggi dari pada warga lainnya, merekam lebih banyak opsi yang diajukan dalam berbagai pertemuan, dan memudahkan masyarakat untuk membangun kembali pengetahuan mereka dalam menjawab persoalan-persoalan yang kadangkala belum ada contoh pemecahannya. Dengan demikian tudingan akan adanya

kurang disertai tilikan mendalam atas mandat masyarakat kepada para kyai pesantren sebagai pemuka pendapat.34

Dokumen terkait