BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP
B. Perangkat Hukum Internasional yang mengatur
Negara-negara pada umumnya dijadikan tujuan untuk human trafficking internasional untuk Indonesia adalah taiwan, korea selatan, malaysia, singapura, jepang dan sebagian besar negara timur tengah. Saat ini trafficking manusia menjadi bisnis global yang memberikan keuntungan terbesar ketiga setelah perdagangan senjata dan obat-obatan terlarang. Trafficking merupakan sindikat kriminal yang terorganisir dari hasil penelitian Universitas Udayana, Bali, diketahui bahwa jaringan tersebut telah menyusup pula di indonesia, diantaranya “ diidentifikasi” didaerah karang asem Bali hal ini merupakan masalah besar yang sangat serius bagi pemerintah maupun masyarakat.
1. Larangan Penyelundupan Manusia Baik melalui Darat, Laut, dan Udara (Protocol Against the Smuggling of Migrant by Land, Sea, and Air)
48
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang, (Trafficking in Persons) di Indonesia, 2003
49
Irwanto, dkk. Perdagangan Anak Di Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional, Program Internasional, Penghapusan Perburuhan Anak Kerja-sama FISIP-UI, Jakarta, 2001, hal 87
Tujuan dari protokol ini adalah mencegah mengurangi penyelundupan migrant dengan cara meningkatkan kerja sama antar negara peserta dengan melindungi hak-hak dari migran yang diselundupkan (The purpose of this Protocol is to prevent and combat the smuggling of migrant, as well as to promote coorperation among State Parties to that end, while protecting the rights of smuggled migrants)
Tujuan ini diatur dalam Pasal 2 protokol menentang penyelundupan manusia melalui darat, laut, dan udara.
Pasal 3 Protokol ini menyebutkan bahwa :
a. “Penyelundupan migran “ berarti pengadaan dalam rangka memperoleh, secara langsung atau secara tidak langsung, suatu keuangan atau mamfaat materil lain, dengan memasukkan secara tidak sah seseorang kedalam suatu negara dimana dia bukanlah warga negara atau penduduk dari negara itu ; (“Smuggling Person” shall mean the procurement, in other to obtain, directly or indirectly, a financial, or other material benefit, of the illegal entry of a person into a State Party of which the person is not a national or a Permanent resident )
b. ” Memasukkan tidak sah” berarti melewati perbatasan tanpa melengkapi persyaratan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dari suatu negara ; (Illegal entry” shall mean crossing borders without complying with the necessary requirements for legal entry into the receiving State )
c. ” Dokumen Identitas Palsu” derati dokumen identitas yang :
1. Dibuat dengan cara mengubah dokumen asli ( That has been falsely made or altered in some material way by anyone other than a person or agency
lawfully authorized to make or issue the travel or identity document on behalf of a State ); atau
2. Dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak berhak untuk mengeluarkan (That has been improperly issued or obtained through misrespresentation, corruption or duress or duress or in any other unlawfull manner); atau 3. Digunakan oleh seseorang yang bukan pemilik sah (That is being used by
a person other than the rightful holder)
d. “Kapal” berarti berbagai jenis kenderaan air, mencakup pesawat amphibi, perahu, yang dapat digunakan sebagai transportasi di air, kecuali suatu kapal perang, alat bantu kelautan atau lain kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu pemerintahan dan menggunakan untuk kepentingan pemerintah; ( “Vessel” shall mean any type of water craft, including non- displacement craft and seaplanes, used or capable of being used as means of transportation on water,except a warship, naval auxiliary or other vessel owned or operated by a government non- commercial service )
Dalam mengatasi terjadinya penyelundupan migran, setiap negara peserta harus dapat bekerja-sama dalam mengatasi dan mencegah terjadinya penyelundupan migran baik melalui darat, laut, dan udara.50
1. Negara anggota mempunyai alasan-alasan untuk mencurigai setiap kapal Mengenai kerja-sama ini, diatur dalam Pasal 8, yang menyebutkan : Kerja- sama dalama mengatasi penyelundupan yakni (Measures against the smuggling oe migrant by sea):
50
Protocol Against The Smugglingt of Migrant By land, Sea, and Air( Mengenai Penyelundupan Manusia Melalui Darat, Laut dan Udara
yang sedang memasuki daerahnya yang merupakan kapal yang berkebangsaan asing atau menolak untuk menunjukkan identitasnya sedang melakukan penyelundupan migran ke wilayahnya dan Negara Peserta tersebut dapat meminta bantuan dari negara peserta lainnya untuk mencegah kapal asing tersebut memasuki wilayahnya.
2. Negara anggota mempunyai alasan-alasan untuk mencurigai setiap kapal yang sedang berlatih di laut lepas sesuai dengan hukum internasioanl dengan tidak mengetahui asal kapal asing itu, akan melakukan penyelundupan migran ke daerahnya, dapat meminta konfirmasi dari negara yang bersangkutan, dan jika telah mendapat konfirmasi, meminta pemilik kapal yang mempunyai otorisasi untuk mendapatkan izin dari negara yang bersangkutan. dan negara yang bersangkutan mempunyai otorisasi meminta penjelasan kepada pemilik kapal mengenai:
a. Penumpang kapal b. Tujuan dari kapal
c. Jika terbukti ditemukan bahwa kapal tersebut sedang melakukan penyelundupan migran, maka negara yang bersangkutan dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan yang diatur di dalam protokol ini.
3. Negara anggota dapat memaksakan kapal sesuai dengan ayat (2) untuk segera menginformasikan tentang segala kegiatan kapal yang dimaksud. 4. Negara anggota akan menjawab secara cepat dan efisien terhadap suatu
permintaan dari negara anggota lainnya untuk menentukan apakah suatu kapal yang sedang melakukan pelayaran atau pemilik kapal memang
berhak untuk suatu permintaan untuk otorisasi sesuai dengan ayat (2). 5. Negara peserta dapat konsisten dengan artikel 7 protokol ini, pokok
otorisasinya ke kondisi-kondisi untuk menyetujui dan meminta status, kondisi- kondisi termasuk yang berkenaan dengan tanggung jawab dan tingkat ukuran efektif yang dapat diambil. suatu tindakan dari negara anggota yang tidak mengambilapaupn tindakan ukuran tambahan tanpa menyatakan otorisasi kapal, kecuali mereka diperlukan untuk membebaskan segera kapal yang dimaksud sesuai dengan persetujuan multilateral.
6. Masing-masing negara anggota akan mengangkat suatu otoritas atau, jika, perlu otoritas untuk menerima dan bereaksi terhadap permintaan untuk bantuan, karena konfirmasi pencatat kebenaran suatu kapal memilki otoritas berlayar dengan ukuran sesuai dengan tujuan yang diberitahu melalui secretary-general bagi semua negara anggota.
7. Negara anggota yang mempunyai alasan-alasan yang layak untuk mencurigai bahwa suatu kapal sibuk dengan penyelundupan orang pindah melalui laut dan adalah tanpa kebangsaan atau mungkin berasimilasi untuk suatu kapal tanpa kebangsaan boleh menumpang dan mencari kapal. Jika bukti yang kecurigaan ditemukan, negara anggota akan mengambil tindakan sesuai hukum nasionalnya dan hukum internasionalnya.51
Dari penjelasan artikel diatas, dapat diketahui bahwa setiap negara anggota dapat meminta bantuan kepada negara anggota lainnya dalam mengatasi
51
Bariah, Chairul, Aturan-aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Permpuan dan Anak) USU.Press. Medan, 2005, hal 23
terjadinya penyelundupan migran, dan dapat mencurigai setiap kapal yang tidak diketahui secara jelas identitasnya sedang melakukan penyelundupan migran, dan dengan segera memiliki otoritas untuk mencegah kapal tersebut memasuki daerahnya.
Di dalam artikel ini, bahwa negara peserta harus dapat melindungi hak-hak setiap migran yang diselundupkan. Perlindungan ini dapat dilakukan dengan mengembalikan secara baik-baik orang-orang yang diselundupkan ke negara asalnya, merawat, dan memberikan pengobatan kepada migran. Dan kepada negara asal orang-orang yang diselundupkan harus dapat menerima kembali dengan baik migran yang dikembalikan ke negaranya, dengan memperhatikan peraturan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing dan peraturan internasional yang ada.
Dalam artikel 20, berisikan penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin terjadi dalam mengatasi penyelundupan migran. Penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan dengan cara :
1. Negoisasi
2. Menyelesaikan melalui Mahkamah Internasional jika negoisasi yang dilakukan tidak berhasil dilakukan (batas negoisasi selama 6 (enam) bulan). 52
2. Kerjasama Internasional dan Peran serta Masyarakat 53
1. Untuk mengefektifkan pelanggaran pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang Pemerintah Republik Indonesia wajib Bagian Kesatu Kerja Sama Internasional
Pasal 59 52 Ibid. hal 24 53 Ibid
melaksanakan Kerja Sama Internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.
2. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal-balik dalam masalah pidana dan/ atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat
Pasal 60
1. Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/ atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 61
Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.
Pasal 62
Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum
Pasal 63
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 dilaksanakan secara bertanggung-jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Protokol Untuk Mencegah, Memberantas Dan Menghukum Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan Dan Anak, Yang Melengkapi Konvensi PBB Untuk Melawan Kejahatan Terorganisir Antar Negara 54
54
Protokol Untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan dan Anak, Yang Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Melawan Kejahatan Terorganisir Antar Negara.
Pembukaan negara-negara dalam protokol ini, menerangkan bahwa tindakan yang efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhkan suatu pendekatan yang internasional yang kompherensif di negara-negara asal, negara- negara persinggahan dan negara-negara tujuan, dalam bentuk langkah-langkah untuk mencegah perdagangan tersebut, untuk menghukum para pelaku perdagangan manusia, termasuk dengan melindungi hak-hak asasi mereka yang diakui secara internasional, menimbang fakta bahwa meskipun ada beragam instrumen internasional yang terdiri dari berbagai peraturan dan langkah-langkah praktis untuk memerangi eksploitasi terhadap manusia, teutama perempuan dan anak- anak, tidak ada insrumen universal yang dapat menangani semua aspek perdagangan manusia memperhatikan bahwa dengan tidak adanya intrumen semacam itu, orang-orang yang rentan terhadap perdagangan ini tidak dapat perlindungan dengan baik
Mengingat resolusi Sidang Umum 53/111 Tanggal 9 Desember 1998, dimana sidang tersebut memutuskan untuk membentuk panitia ad hoc antar pemerintahan yang sifatnya terbuka untuk tujuan memperluas konvensi internasional yang sifatnya kompherensif dalam rangka melawan kejahatan yang terorganisir secara transnasional, dan membahas perluasan instrument internasional untuk menangani perdagangan manusia. Meyakinkan bahwa melengkapi konvensi perserikatan bangsa-bangsa untuk melawan kejahatan terorganisir antar negara dengan instrumen internasional untuk pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman perdagangan manusia teutama perempuan dan anak-anak, akan berguna untuk mencegah dan memerangi kejahatan tersebut.
Telah menyetujui hal-hal berikut : I. Ketentuan Umum
Pasal 1
Hubungan dengan Konvensi PBB untuk melawan Kejahatan Terorganisir Antar Negara
1. Protokol ini melengkapi konvensi perserikatan bangsa-bangsa mengenai perlawanan terhadap kejahatan terorganisir antar negara.
2. Ketentuan-ketentuan konvensi berlaku mutatis mutandis terhadap protocol ini kecuali jika dinyatakan sebaliknya dalam protokol ini
3. Kejahatan yang ditetapkan pada Pasal 5 protokol ini dianggap sebagai kejahatan yang ditetapkan dalam Konvensi.
Pasal 2
Tujuan dari protokol ini adalah :
(a) Untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, dengan memberikan perhatian khusus ada perempuan dan anak-anak
(b) Untuk melindungi dan membantu para korban perdagangan manusia, dengan sepenuhnya menghormati hak-hak asasi mereka.
(c) Untuk mendorong kerja-sama di antar Negara-negara Pihak yang mencapai tujuan-tujuan itu.
(d) Pasal 3
Untuk tujuan-tujuan protokol ini :
(a) “ Perdagangan manusia “ berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi minimal berbentuk eksploitasi prostitusi pada orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja, atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, kerja paksa, atau penghilangan organ.
(b) Izin dari korban perdagangan manusia intuk maksud-maksud dari eksploitasi sebagaimana yang disebutkan pada sub ayat (a) telah digunakan.
(c) Pengerahan, Pengangkutan, Pemindahan, Penyembunyian, atau penerimaan anak eksploitasi dianggap sebagai “perdagangan manusia” meskipun hal ini tidak digunakan cara-cara yang ditetapkan pada sub ayat (a) dari pasal ini.
(d) “ Anak “ berarti setiap orang yang usianya dibawah delapan belas tahun Pasal 4
Ruang Lingkup Penerapan 55
Penetapan Sebagai Tindak Pidana
Kecuali jika dinyatakan sebaliknya, protokol ini berlaku untuk melakukan pencegahan, penyelidikan, dan penuntutan atas kejahatan yang ditetapkan pada Pasal 5, Protokol ini dimana pelanggaran- pelanggaran itu bersifat antar negara dan melibatkan kelompok penjahat yang terorganisir, serta untuk memberikan perlindungan kepada para korban kejahatan-kejahatn tersebut.
Pasal 5
56
1. Masing-masing Negara Pihak harus mengesahkan perundang-undangan dan tindakan-tindakan lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan bahwa, jika dilakukan secara sengaja, tindakan yang ditetapkan pada Pasal dari Protokol ini adalah tindak-tindak pidana.
2. Masing-masing negara pihak juga harus mengesahkan perundang-undangan tersebut dan mengambil langkah lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana :
(a) Dengan tunduk pada konsep-konsep dasar sistem hukumnya, upaya untuk melakukan suatu pelanggran yang ditetapkan sesuai dengan ayat (1) pasal ini.
(b) Peran serta sebagai kaki tangan dalam sebuah kejahatan yang ditetapkan berdasarkan ayat (1) dari pasal ini; dan.
(c) Mengatur dan merintahkan orang lain untuk melakukan pelanggran yang ditetapkan berdasarkan ayat (1) dari pasal ini.
Perlindungan Korban Perdagangan Manusia Pasal 6
Bantuan dan perlindungan untuk korban perdagangan manusia 57
1. Dalam kasus-kasus yang sesuai dan sejauh memungkinkan berdasarkan hukum yang berlaku dalam negerinya, masing-masing Pihak Negara harus melindungi privasi dan identitas korban perdagangan manusia termasuk antara dengan membuat proses hukum yang berkaitan dengan perdagangan yang rahasia.
2. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa hukum atau sistem administratif dalam negerinya berisi langkah-langkah yang memberikan kepada korban perdagangan manusia, dalm kasus-kasus yang sesuai :
(a) Informasi mengenai proses peradilan dan administratif yang relevan; (b) Bantuan yang memungkinkan pandangan dan perhatian mereka dijelaskan
55 Ibid 56 Ibid 57 Ibid
dan dipertimbangkan pada tahapan-tahapan proses pidana yang sesuai untuk melawan para pelaku kejahatan, dengan cara tidak mengurangi ka- hak untuk melakukan pembelaan.
3. Setiap negara pihak harus mempertimbangkan langkah-langkah pelaksanaan pemulihan korban perdagangan manusia secara fisik, psikologis dan sosial termasuk, berbagai lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi terkait lainnya dan elemen-elemen lain dalam masyarakat, dan secara khusus, penyedian:
a. Penampungan yang sesuai;
b. Konseling dan informasi yang secara khusus berkenaan dengan hak-hak hukum mereka dalam bahasa yang dapat dipahamioleh korban pelanggaran perdagangan manusia;
c. Bantuan Kesehatan, psikologis, dan material;
d. Kesempatan untuk bekerja, mendapatkan pendidikan, dan pelatihan. 4. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, masing-masing
Negara pihak harus mempertimbangkan usia, jenis kelamin, dan kebutuhan- kebutuhan khusus yang diperlukan oleh korban perdagangan manusia, khususnya kebutuhan khusus anak-anak, termasuk penampungan, pendidikan dan perawatan.
5. Masing-masing negara pihak harus berupaya untuk menyediakan perlindungan fisik secara fisik kepada korban perdagangan manusia ketika mereka berada dalam wilayahnya.
6. Masing-masing negara pihak harus memastikan bahwa sistem hukum dalam negerinya berisi langkah-langkah yang menawarkan kepada korban perdagangan manusia kemungkinan untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya.
Pasal 7
Status korban perdagangan manusia di negara penerima 58
1. Selain mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan Pasal 6 Protokol ini, dalam kasus-kasus tertentu. Masing-masing negara pihak harus mempertimbangkan untuk mengesahkan perundang-undangan atau langkah- langkah sesuai lainnya yang mengizinkan para korban perdagangan manusia untuk tetap berada dalam wilayahnya, untuk sementara atau tetap, dalam kasus yang sesuai
2. Dalam melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam ayat 1 pasal ini, Masing- masing negara pihak harus memberikan pertimbangan yang sesuai untuk faktor- faktor kemanusiaan dan kasih sayang.
Pasal 8
Pemulangan Korban Perdagangan Manusia
1. Negara Phak dimana seorang korban perdagangan manusia, menjadi
58
warganegaranya atau memiliki hak untuk bertempat tinggal secara tetap pada saat masuk ke wilayah Negara Penerima, harus menfasilitasi dan menerima pemulangan orang tersebut, dengan memberikan perhatian yang sungguh- sungguh pada keselamatan orang tersebut, tanpa penundaan yang tidak semestinya atau tidak masuk akal.
2. Ketika sebuah negara pihak mengembalikan korban perdagangan manusia ke sebuah negara pihak di mana orang tersebut menjadi warga negaranya atau, ketika masuk ke wilayah Negara Pihak Penerima, memiliki hak untuk bertemapt tinggal secara tetap, pemulangan tersebut harus benar-benar memperhatikan keselamatan orang tersebut dan status setiap proses hukum yang berkaitan dengan fakta bahwa orang tersebut adalah korban perdagangan manusia, dan diutamakan dilakukan secara suka-rela.
3. Atas permintaan negara pihak penerima, negara pihak yang diminta, tanpa penundaan yang tidak semestinya atau tidak masuk akal, harus membuktikan bahwa orang yang menjadi korban perdagangan manusia adalah warga negaranya atau memiliki hak untuk bertempat tinggal secara tetap di wilayahnya pada saat masuk kedalam wilayah Negara Pihak Penerima.
4. Untuk membantu pemulangan korban perdagangan manusiayang tidak memiliki dokumen sebagaimana mestinya, Negara pihak dimana orang tersebut menjadi warga negara atau memiliki hak untuk bertempat tinggal secara tetap pada saat masuk kedalam Negara Penerima, harus setuju untuk mengeluarkan dokumen-dokumen perjalanan seperti itu atau perizinan lainnya yang mungkin diperlukan agar orang tersebut dapat masuk atau masuk kembali ke wilayahnya.
5. Pasal ini tidak akan mengurangi setiap hak yang diberikan kepada korban perdagangan manusia berdasarkan undang-undang yang berlaku di Negara Penerima.
6. Pasal ini tidak akan mengurangi setiap perjanjian bilateral atau multilateral atau perjanjian yang berlaku, yang mengatur, secara keseluruhan atau sebagian, pemulangan korban perdagangan manusia. Pencegahan, kerja sama, dan langkah-langkah lain
Pasal 9
Pencegahan Perdagangan Manusia
1. Negara pihak harus membuat kebijakan, program, dan tindakan-tindakan lainnya yang kompherensif:
(a) Untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia; dan
(b) Untuk melindungi korban perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, agar tidak menjadi korban perdagangan lagi.
2. Negara pihak harus berusaha melakukan langkah-langkah seperti melakukan penelitian, kampanye informasi, dan media massa, dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia.
3. Kebijakan program dan langkah-langkah lain yang dibuat berdasarkan pasal ini harus, bila sesuai, berisi kerja-sama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, atau orgnisasi-organisasi terkait lainnya atau elemen-elemen lain yang ada dalam masyarakat madani.
4. Para negara pihak harus mengambil atau meningkatkan langkah-langkah, termasuk melalui kerja-sama bilateral atau multilateral, untuk mengurangi faktor- faktor yang membuat orang, terutama perempuan dan anak-anak rentan terhadap perdagangan manusia seperti kemiskinan, ketidakmapanan atau kurangnya persamaan kesempatan.
5. Negara pihak harus menggunakan atau memperkuat perundang-undangan atau langkah-langkah lainnya seperti pendidikan, langkah-langkah sosial atau kebudayaan, termasuk melalui kerja-sama bilateral dan multilateral untuk mengurangi permintaan yang mendorong semua bentuk eksploitasi orang, terutama perempuan dan anak-anak, yang mengarah kepada perdagangan manusia.
Pasal 10
Pertukaran Informasi dan Pelatihan
1. Otoritas penegak hukum imigrasi, atau otoritas-otoritas terkait lainnya dari para Pihak Negara harus, bila sesuai, saling bekerja sama dengan saling menukar informasi sesuai dengan hukum yang berlaku di dalam negerinya agar mereka memiliki kemampuan untuk menentukan:
(a) Apakah orang-orang yang menyebrangi dan berusaha menyebrangi perbatasan internasional dengan dokumen perjalanan milik orang lain atau tanpa dokumen perjalanan adalah penyelundup atau korban perdagangan manusia; dan
(b) Jenis-jenis dokumen perjalanan yang orang-orang telah gunakan dan berusaha untuk menggunakan untuk menyebrangi perbatasan internasional untuk tujuan- tujuan perdagangan manusia; dan
(c) Cara-cara dan metode-metode yang digunakan oleh kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir untuk tujuan perdagangan manusia, termasuk penerahan, pengangkutan korban, rute dan hubungan antara individu- individu dan kelompok- kelompok yang terlibat dalam perdagangan manusia, dan langkah-langkah yang mungkin dilakukan untuk mengetahui mereka.
2. Para negara pihak harus memberikan atau meningkatkan pelatihan untuk para pejabat penegak hukum, imigrasi, dan pejabat-pejabat terkait lainnya dalam pencegahan perdagangan manusia Pelatihan tersebut harus difokuskan pada metode- metode yang digunakan untuk pencegahan perdagangan manusia. Pelatihan tersebut harus mempertimbangkan kebutuhan untuk mertimbangkan hak-hak asasi manusia dan masalah- masalah yang peka terhadap permasalahan anak dan jender, dan mendorong kerja-sama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-oranisasi lain dan elemen-elemen masyarakat madani lainnya 3. Negara pihak yang menerima informasi harus patuh pada setiap
permintaan Negara Pihak yang mengirimkan informasi yang memberkan pembatasan pada penggunaannya.
Pasal 11
Langkah-Langkah di Perbatasan
1. Tanpa mengurangi komitmen internasional yang berkaitan dengan