• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif

Beberapa upaya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati didasarkan atas perjanjian internasional. Perjanjian multilateral yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan berhubungan dengan Spesies tumbuhan asing invasif antara lain adalah:

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora (CITES): CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-

spesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak tahun 1975 dan merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978.

CITES telah terbukti efektif dalam memberikan kontribusi terhadap konservasi flora fauna melalui sistem yang ketat terhadap izin dan penerbitan sertifikat. Hal ini juga efektif dalam hal kemampuan untuk mengendalikan perdagangan komersial jika terbukti merugikan populasi spesies, oleh karena itu konvensi ini mendukung konservasi nasional dan penegakan hukum di negara-negara anggota. Namun meskipun demikian, konvensi ini belum cukup efektif dalam mengendalikan pergerakan internasional flora fauna yang beresiko tinggi atau berpotensi invasif, terutama spesies-spesies yang tidak termasuk dalam Appendix CITES.

Convention on Biodiversity (CBD): Spesies tumbuhan asing invasif menjadi

ancaman penting bagi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tersebut melalui UU No 5 Tahun 1994. Berikut ini adalah amanat yang dihasilkan dalam beberapa

pertemuan anggota CBD yang berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif:

COP V Article 8 – In situ conservation: CBD pada pertemuannya di tahun 2000 (COP V) telah menghimbau negara-negara anggotanya untuk mencegah pemasukan spesies-spesies tumbuhan asing invasif yang membahayakan ekosistem, habitat maupun spesies-spesies asli (COP V article 8h).

COP VI Decision VI/23 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Dalam pertemuannya di tahun 2002 negara-negara anggota telah mengadopsi 15 kerangka acuan dan bimbingan untuk pencegahan, introduksi dan mitigasi dampak spesies asing yang invasive dan sejumlah keputusan lainnya untuk mengimplementasikan Article 8(h) CBD secara efektif dan maksimal.

COP VII Decision VII/13 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan beberapa artikel penting yang berhubungan dengan penilaian resiko spesies asing invasive.

COP VIII Decision VIII/27 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi yang berkaitan dengan beberapa jalur dan cara yang harus diperhatikan dalam introduksi spesies tumbuhan asing invasif.

COP IX Decision IX/4 – In-depth review of ongoing work on alien species that threaten ecosystems, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi mengenai evaluasi jurang pemisah yang dimiliki antara negara maju dan berkembang didalam teknologi identifikasi dini, ilmu taksonomi mengenai spesies-spesies tumbuhan asing invasif dan teknologi pengendalian (Sastroutomo 2010).

COP X Decision X/38 – Invasive Alien Species: Menghasilkan kerangka acuan tentang teknik penanganan spesies tumbuhan asing invasif sebagai hewan peliharaan, akuarium dan terrarium spesies dan bahan umpan dan penghasil makanan.

Convention on Wetlands (Ramsar): Indonesia telah meratifikasi Konvensi

Ramsar melalui Keppres No 48/1991. Dalam Rencana Kerja Aksi Strategis Ramsar 2003-2008 disebutkan bahwa Sekretariat Ramsar memiliki mandat untuk

mengembangkan petunjuk dan mempromosikan protokol serta tindakan untuk mencegah, mengendalikan dan memberantas IAS dalam sistem lahan basah.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang spesies tumbuhan asing invasif, meskipun banyak instansi yang terlibat antara lain : Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, LIPI, Perguruan Tinggi, dll. Peraturan dan kebijakan nasional yang sudah dikembangkan dan berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif antara lain:

1. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya: pada Bab IV Pasal 19 ayat 3 telah dijelaskan bahwa yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam salah satunya adalah menambah spesies tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Bab VII Pasal 33 ayat 2 menjelaskan bahwa menambahkan spesies tumbuhan dan satwa lain yang bukan tumbuhan dan satwa asli taman nasional merupakan salah satu penyebab perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

2. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tumbuhan: peraturan ini menekankan pada perlindungan tumbuhan untuk mencegah kerugian akibat dampak dari gulma atau tumbuhan lain yang mengganggu dan tindakan eradikasi untuk memusnahkan tumbuhan pengganggu tersebut yang mampu menyebar luas di lokasi tertentu dan menekan pertumbuhan spesies tumbuhan lainnya (Bab I Pasal 1 ayat 7,8,9), sedangkan pada Bab III pasal 10 dan 21 menjelaskan tentang mekanisme masuknya spesies asing serta monitoring dan pengelolaan gulma dan spesies asing.

3. UU No 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan: mengatur tugas pokok dan fungsi karantina hewan dan tumbuhan yang diterapkan di Bandar udara, pelabuhan, pos perbatasan negara dan pelabuhan antar pulau. Tindakan karantina dilakukan pada komoditas pangan, produk hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Tindakan ini menggunakan SPS (kesepakatan tentang penerapan tindakan sanitasi dan phytosanitary) yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tumbuhan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 tentang Penilaian Dampak Lingkungan: menekankan pada pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk setiap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan termasuk introduksi tumbuhan, hewan dan genetik. Peraturan ini memmerlukan pedoman teknis penelaah resiko dan manajemen resiko yang berhubungan dengan introduksi spesies. Semua kegiatan yang berhubungan dengan introduksi spesies harus diselesaikan melalui penilaian AMDAL, namun pedoman untuk pengelolaan, penilaian dan evaluasi resiko belum ada.

5. Keputusan Menteri Kehutanan No 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar: bertujuan untuk mengendalikan spesimen tumbuhan dan satwa liar yang akan masuk kedalam wilayah Republik Indonesia (impor).

6. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020. Saat ini Indonesia memiliki Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang perlu dilaksanakan secara efektif untuk meminimalkan krisis keanekaragaman hayati. Strategi pengelolaan nasional ini memiliki visi untuk melestarikan dan memanfaatkan keanekaragam hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dokumen ini menyebutkan bahwa berbagai tindakan harus diambil dalam rangka meningkatkan instrumen kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk untuk melaksanakan program pengendalian dan pencegahan penyebaran spesies tumbuhan asing invasif serta spesies budidaya (Bappenas 2003).

Dokumen terkait