• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Human Immunodefficiency Virus (HIV)

dan Acquired Immuno Defficiency Sindrome (AIDS)

Ibu hamil dalam pelaksanaan skrining HIV/AIDS berhak untuk memperoleh informasi pada saat konseling pra test maupun post test, tetapi dalam pelaksanaan kurang sesuai dengan apa yang ada di tempat penelitian yaitu di empat Puskesmas, ibu hamil cenderung mendapatkan banyak informasi kaitannya dengan HIV/AIDS secara panjang lebar karena mengingat beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti SDM dari jumlah tenaga kesehatan, jumlah ruangan dan pasien di beberapa Puskesmas yang memang tergolong banyak, karena penyediaan layanan kesehatan yang menjadi satu dengan pelayanan yang lain. Asas Penanggulangan HIV dan AIDS termuat dalam Pasal 2 yang meliputi:

a. kemanusiaan; b. keadilan; c. kesetaraan jender; d. kebersamaan; e. terpadu; f. berkesinambungan; g. rahasia; dan h. sukarela.

Hal ini jika dikaitkan dengan asas “kemanusiaan” adalah setiap upaya penanggulangan HIV dan AIDS diharuskan dapat mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Hal ini jika dikaitkan dengan asas “keadilan” adalah setiap upaya

penanggulangan HIV/AIDS harus mencerminkan keadilan secara merata bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Hal ini jika dikaitkan dengan asas “kesetaraan jender” adalah setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak membedakan jenis kelamin. Hal ini jika dikaitkan dengan asas “kebersamaan” adalah setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan secara bersama-sama oleh setiap komponen masyarakat Provinsi DIY tanpa kecuali. Hal ini jika dikaitkan dengan asas “terpadu” adalah setiap upaya di dalam penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan selaras, memiliki kesamaan visi dan strategi dan terkoordinasi antar lembaga. Hal ini jika dikaitkan dengan asas “berkesinambungan” adalah setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Hal ini jika dikaitkan dengan asas “rahasia” adalah upaya tidak membuka atau menginformasikan setiap hasil skrining HIV/AIDS atau status HIV/AIDS seseorang kepada siapapun yaitu orang lain yang tidak berhak. Hal ini jika dikaitkan dengan asas “sukarela” adalah setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS didasari oleh kemauan sendiri tanpa adanya unsur paksaan dari pihak-pihak tertentu.

Pelaksanaan di empat Puskesmas belum mengacu pada asas tersebut secara keseluruhan, masih ada beberapa asas yang memang masih belum diterapkan secara optimal misalnya kesetaraan gender, dalam pelaksanaannya memang hanya perempuan yakni ibu hamil saja yang terlibat dalam

pelaksanaan skrining HIV/AIDS, suami atau laki laki tidak dilibatkan, karena pendekatan yang digunakan yaitu PITC sehingga ibu hamil yang menjadi populasi kunci ini yang memiliki keharusan untuk diskrining sedangkan jika laki laki tidak memiliki risiko HIV/AIDS maka pendekatan VCT yang akan digunakan, sementara kesadaran masyarakat untuk sukarela mengikuti skrining HIV/AIDS masih cukup rendah, sehingga alternativ solusi yang dibuat oleh empat Puskesmas salah satunya dengan VCT mobile, harapannya semua orang bisa menjangkau layanan tersebut, tanpa harus pergi ke Puskesmas. Penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab Dinas termuat dalam Pasal 11 menyebutkan bahwa:

“Dinas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang pendidikan bertanggung jawab atas pelaksanaan Promosi di satuan pendidikan sesuai dengan kewenangannya.“

Penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab Dinas termuat dalam Pasal 12 yang menyebutkan bahwa:

“Dinas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang tenaga kerja mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan Penanggulangan HIV dan AIDS pada setiap perusahaan.”

Pelaksanaannya kebijakan yang ada, Dinas kesehatan Bantul sudah berupaya semaksimal mungkin dalam penanggulangan HIV/AIDS ini diantaranya dengan pelaksanaan promosi, koordinasi dengan Puskesmas serta tetap menjadi pengawas dalam pelaksanaannya. Ibu hamil dalam hal ini adalah berhak untuk meminta tes HIV ketika ia tidak ditawari oleh tenaga kesehatan dalam pelaksanaan skrining HIV/AIDS, dalam hal ini ibu hamil

bisa melakukan di Puskesmas di wilayah tempat tinggal mereka, sekaligus memeriksakan kehamilannya, seperti yang temuat dalam Pasal 16 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang dapat meminta tes HIV di sarana pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas pelayanan tes HIV. “

Kewajiban adanya konselor dalam memberikan konseling dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS termuat dalam Pasal 16 ayat (3) yang menyebutkan bahwa:

“Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan oleh seorang konselor.”

Pelaksanaan konseling dalam skrining HIV/AIDS bagi ibu hamil memang tidak diberikan oleh seorang konselor saja, dalam hal ini konselor yang memang sudah mengikuti pelatihan kaitannya dengan Pencegahan Penularan HIVAIDS dari Ibu ke Anak (PPIA) akan memberikan konseling pada saat diketahui hasil skrining positif, jika negatif maka cukup diberikan konseling penyampaian hasil oleh bidan yang melakukan pemeriksaan, sehingga dalam hal ini konseling pra test diperbolehkan dilakukan oleh bidan yang belum mengikuti pelatihan, tetapi konseling post test dilakukan oleh bidan maupun konselor, tergantung dari hasil skrining. Terkait persetujuan pada pelaksanaan skirining HIV/AIDS termuat dalam Pasal 17 ayat (3), yang menyebutkan bahwa:

“Dalam hal pasien menyetujui untuk melakukan Tes HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan

persetujuan tertulis setelah memperoleh penjelasan yang memadai tentang HIV dan AIDS.”

Pelaksanaan yang ada di empat Puskesmas sudah sesuai dengan peraturan gubernur yang ada, lembar persetujuan dimiliki oleh empat Puskesmas tersebut, tetapi prosedurnya sebagian dari Puskesmas tersebut belum menjelaskan terkait tujuan dan bagaimana pengisian lembar persetujuan. Terkait dengan hak menolak dilakukannya skrining HIV/AIDS termuat dalam Pasal 17 ayat (4), yang menyebutkan bahwa:

“Pasien berhak menolak dilakukannya Tes HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika persyaratan tes tersebut belum dipenuhi pihak sarana pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) “

Pelaksanaan yang ada di empat Puskesmas tersebut secara umum sudah sesuai dengan peraturan yang ada, lembar penolakan secara khusus memang belum dimiliki oleh masing-masing Puskesmas, sehingga lembar persetujuan menjadi satu dengan lembar penolakan, karena sebagian pasien. Belum dijelaskan secara keseluruhan sehingga ia hanya mengikuti perintah tenaga kesehatan kaitannya untuk tanda tangan formulir tersebut. Terkait setelah adanya hasil dari skrining HIV/AIDS termuat Pasal 17 ayat (5), yang menyebutkan bahwa:

“Dalam hal tes HIV menunjukan hasil reaktif (positif), tenaga kesehatan memberikan rujukan. “

Pelaksanaan di Puskesmas Kasihan II, Imogiri dan Srandakan sudah sesuai dengan peraturan yang ada, bahwa hasil positif maka akan dilakukan

rujukan baik kepada LSM atau kepada RSUD yang tersedia layanan PPIA, tetapi Puskesmas Kretek tidak, karena Puskesmas Kretek sendiri sudah bisa menjadi Puskesmas rujukan pada penanganan HIV/AIDS, jika dokter tidak mampu menangani maka akan di lakukan perujukan tetap ke LSM dan RSUP. Kewajiban memiliki seorang konselor dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1), yang menyebutkan bahwa:

“Setiap sarana pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas pemeriksaan HIV wajib memiliki konselor.”

Pelaksanaan yang ada di empat Puskesmas sudah ada 1 bidan yang sudah melakukan pelatihan kaitannya dengan skrining HIVAIDS dengan metode pendekatan PITC, harapan kedepan supaya semua bidan bisa ikut serta dalam pelatihan ini mengingat semua bidan memberikan konseling pra test dan post test kaitannya dengan pelaksanaan skrining HIV/AIDS bagi ibu hamil.

Pelaksanaan di wilayah kerja masing-masing Puskesmas sudah sesuai dengan peraturan yang ada bahwa upaya promosi kesehatan sudah dilakukan seoptimal mungkin melalui penyuluhan baik personal maupun publik, informasi di tempelkan melalui media informasi yang mudah dijangkau masyarakat, edukasi melalui pelaksanaan kelas ibu hamil yang ada, pendataan bumil risti, pendapimpingan dan kelas oleh dokter ahli 1 tahun 2 kali, merupakan upaya yang sudah dilakukan oleh masing-masing Puskesmas dalam menanggulangi permasalahan selama kehamilan termasuk HIV/AIDS

yang merupakan permasalahan yang mendunia termuat dalam Pasal 28 yang menyebutkan bahwa:

“Dalam penanggulangan HIV dan AIDS masyarakat secara mandiri dapat melakukan promosi penanggulangan HIV dan AIDS melalui komunikasi, informasi, dan edukasi.”

Ketentuan pidana jika melakukan pemaksaan untuk pemeriksaan HIV/AIDS pada seseorang adalah termuat dalam Pasal 33 ayat (5) Peraturan Gubernur DIY No. 12 tahun 2012 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja memaksakan atau melakukan tes HIV kepada seseorang tanpa seijin tertulis orang yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).“

Metode pendekatan yang digunakan oleh Puskesmas dalam pelaksanaan skrining HIV/AIDS adalah Provider Initiated Counselling and Testing (PITC) sehingga pasal di peraturan ini tidak digunakan, tenaga kesehatan berkewajiban untuk menawarkan skrining HIV/AIDS ini.

D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi ibu Hamil dalam Pelaksanaan Skrining