KAJIAN PUSTAKA
B. Kajian Pustaka
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
a. Latar Belakang Dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
Latar belakang dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perlindungan secara konstitusional pada perempuan di Negara Indonesia telah diatur pada Pasal 28 I Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa perempuan harus bebas dari perlakuan diskriminasi terutama karena kodratnya yang cenderung lemah daripada
kaum laki-laki. Melalui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Right, negara telah meratifikasi dan
menegaskan bahwa semua orang baik itu laki-laki atau perempuan adalah sama dihadapan hukum.
Aturan tersebut juga melarang adanya diskriminasi serta jaminan perlindangan terhadap wanita dari diskriminasi dengan alasan apapun. Sedangkan untuk melindungi perempuan dari tindak diskriminasi dalam sistem peradilan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women) telah diratifikasi oleh Indonesia.
Undang-Undang untuk melindungi perempuan dari tindak diskriminasi telah disahkan, disusun sebagaimana eloknya agar menjamin keadilan bagi perempuan dari tindak diskriminasi, namun dalam praktiknya ketidakadilan dan diskriminasi pada perempuan masih marak dijumpai dalam proses persidangan di pengadilan. Bukan omong kosong, tetapi kenyataannya MAPPI FHUI berkolaborasi oleh LBH Apik Jakarta telah meneliti ratusan putusan pada penanganan perkara pidana pada perempuan, wawancara, sampai focus group discussion (FGD). Hasil penemuan sangat mengejutkan, dimana ketidakadilan dalam proses berperkara ditemukan pada perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum.
Ketidakadilan tersebut mulai dari stereotip gender hingga perlakuan diskriminatif. Tahun 2015 Mahkamah Agung membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak karena melihat banyaknya perkara perempuan dan anak. Pokja dibentuk melalui SK Ketua Mahkamah Agung Nomor 43/KMA/SK/IV/2015 tanggal 13 April 2015 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Perempuan dan Anak yang diperbaharui dengan SK Ketua Mahkamah Agung Nomor 88/KMA/SK/V/2016. Dalam hal menindaklanjuti adanya Bangkok Guidelines, bentuk komitmen Mahkamah Agung kemudian berencana untuk membuat peraturan terkait penanganan perempuan di pengadilan. Selain karena adanya Bangkok Guidelines, inisiatif untuk membuat peraturan terkait perkara perempuan juga didorong dengan meningkatnya perhatian dunia mengenai isu-isu perempuan.35
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam diskriminasi perempuan tersebut itu yang mendorong Mahkamah Agung, yang didukung Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, serta Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), menggagas sistem peradilan yang menjamin hak perempuan. Bertujuan antara lain agar perempuan juga mendapatkan akses keadilan yang setara. Gagasan tersebut didengungkan dalam seminar yang digelar hari ini di Jakarta. Perlakuan diskriminatif dan stereotip gender terhadap perempuan dalam sistem peradilan berbanding lurus dengan aksesibilitas perempuan untuk
35 5 MaPPfhui, “cerita perubahan perma no 3 tahun 2017 terobosan hukum bagi perempuan dalam sistem peradilan” http://mappifhui.org/2018/07/24/cerita-perubahan-perma-no-3-tahun-2017- terobosan-hukum-bagi-perempuan-dalam-sistem-peradilan/, diakses pada 23 Desember 2019.
mendapatkan keadilan. Semakin perempuan mengalami diskriminasi dan atau stereotip negatif maka akan semakin terbatas akses perempuan terhadap keadilan.36
Setelah dirasa perlunya penegakan keadilan untuk perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum maka tanggal 4 Agustus 2017 Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Perma ini dibuat untuk menguatkan perlindungan yang diberikan oleh negara kepada perempuan yang berhadapan dengan hukum, karena seringkali dalam berhadapan dengan hukum, perempuan mendapatkan disksriminasi ganda.37 Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR) telah menyatakan adanya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini bentuk aksi nyata yang merupakan terobosan bagi permasalahan perempuan. Karena isi dari materi-materi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini belum terakomodir dalam peraturan perundangan-undangan yang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
36 Sulistyowati, Perempuan dan Hukum.98
37 Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia”, dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Edisi Pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 85
Meskipun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 ini secara lebih luas mengatur tentang pedoman hakim dalam mengadili perkara pidana maupun perdata yang melibatkan perempuan sebagai pihak yg berperkara. Keberadaannya sangat diperlukan terutama dalam peradilan agama dan perempuan-perempuan yang berhadapan dengan hukum. Sehingga diperlukan adanya aturan hukum yang tegas dalam mengadili perermpuan yang sedang berperkara berhadapan dengan hukum. Memastikan kesetaraan gender dalam hukum dan peradilan akan berpengaruh pada pembentukan nilai dan konstruksi sosial masyarakat.38
Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung merupakan salah satu perundang-undangan yang diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia. Sehingga Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara sebagaimana terlampir pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 57/KMA/SK/1V/2016 Tentang Perubahan Atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 271 /KMA/SK/X/2013 Tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung merupakan peraturan perundang-undangan yang disusun berlandaskan 3 (tiga) undang-undang yakni :39
38 Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesiadan MaPPI FHUI, Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, (Jakarta: AIPJ, 2018), 18
39 Riki Perdana Raya Waruwu, “Penerapan asas fiksi hukum dalam perma dalam
https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139:penerapan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma&catid=9:kegiatan&Itemid=24, diakses 23 desember 2019.
1. Ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mengatur “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”. Ketentuan ini merupakan refleksi dari kewenangan lain yang dimiliki Mahkamah Agung selain mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. 2. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur "salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung". Pengakuan kewenangan Mahkamah Agung menyusun peraturan dipertegas dalam peraturan ini, bahkan kekhususan yang dimiliki Mahkamah Agung dibandingkan lembaga negara lainnya adalah konten peraturan untuk mengisi kekosongan hukum bagi penyelenggaraan peradilan.
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur "Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan".
Untuk mengisi kekosongan hukum terhadap materi yang belum diatur dalam Undang-undang Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif
diberikan kewenangan yang bersifat atributif untuk membentuk suatu peraturan maka diatur kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Pasal 79 Undang–Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Undang-Undang Mahkamah Agung). Kewenangan yang dimiliki dibatasi dalam penyelenggaraan peradilan. Lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut pada umumnya yaitu lembaga yang bukan ruang lingkup eksekutif, lembaga yang berada dalam eksekutif tidaklah berwenang untuk menetapkan peraturan tersebut, apabila tidak mendapatkan delegasi kewenangan dari UU. Karena itu peraturan seperti Peraturan Mahkamah Agung biasa disebut juga dengan “executive acts” atau peraturan yang ditetapkan oleh lembaga pelaksana undang-undang.40
b. Isi Peraturan Mahkamah Agug Nomor 3 Tahun 2017
Isi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 terdiri dari lima bab, yaitu: Pada bab pertama berisi tentang ketentuan umum, pada bab kedua berisi tentang asas dan tujuan, bab ketiga tentang pemeriksaan perkara, bab empat pemeriksaan uji materiil, dan bab lima berisi ketentuan penutup.
Pada bab I terdapat sepuluh pasal yaitu: penjelasan tentang perempuan yang berhadapan dengan hukum, jenis kelamin, gender, kesetaraan gender, analisis gender, keadilan gender, streotip gender, diskriminasi, relasi kuasa, pendamping. Pada bab ini menjelaskan tentang ketentuan umum pada
sepuluh kata yang ada disetiap pasal tersebut, bertujuan untuk menerangkan presepsi dan pemahaman kata agar tidak terjadi multitafsir.
Pada bab II terdiri dari dua pasal, dimana bab ini membahas asas dan tujuan dari peraturan ini sendiri. Sehingga dalam bab II pasal dua menjelaskan asas yang harus dijunjung tinggi saat hakim sedang mengadili perempuan berhadapan dengan hukum. Sedangkan pada pasal tiga menjelaskan tujuan hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
Pada bab III berisi pemeriksaan perkara yang terdiri dari tujuh pasal. Bab III pada pasal empat yang berisi proses pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan. Pada pasal lima ada empat ayat larangan hakim dalam proses pemeriksaan perkara. Pada pasal enam terdapat empat ayat yang berisi pedoman hakim dalam mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pada pasal tujuh berisi agar hakim mencegah adanya diskriminasi selama jalannya pemeriksaan persidangan. Pada pasal delapan terdapat tiga ayat dimana semua berisi tentang memberikan hak pada perempuan menjelaskan apa saja yang didapatkan perempuan pasca perceraian. Kemudian pada pasal sembilan terdiri dari dua ayat yang membahas diperbolehkannya perempuan didampingi apabila terdapat hambatan fisik dan psikis. Pada pasal sepuluh terdapat tiga ayat yang memperbolehkan pemeriksaan perkara dengan
komunikasi audio visual jarak jauh apabila kondisi psikis, keselamatan, dan hambatan fisik perempuan tersebut terganggu.
Pada bab empat tentang pemeriksaan uji materiil pada pasal sebelas terdiri dari lima ayat yang menjelaskan pertimbangan hakim dalam pemeriksaan uji materiil pada perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pada bab terakhir bab lima pasal dua belas menjelaskan bahwa peraturan Mahkamah Agung ini mulai diundang-undangkan.