• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PERBANDINGAN PDB HTR DENGAN MODEL

5.6 Perbandingan PDB HTR dengan PUAP

Kondisi BLU Pusat P2H sangat berbeda dengan kondisi Gapoktan dibawah Kementerian Pertanian, perbedaan institusi (organisasi dan aturan main) antara keduanya disajikan menggunakan Tabel perbandingan institusi dari Hirakuri (2003), seperti pada Tabel 13.

Tabel 13 Perbandingan Institusi PDB HTR dan PUAP

Aspek PDB HTR (BLU P3H) PUAP (Gapoktan)

Situasi

Tujuan Kesejahteraan petani meningkat Kesejahteraan petani meningkat SDM Kapasitas kurang, tidak merata Kapasitas tinggi, merata

Lokasi Kantor hanya di Jakarta Ada di tiap desa Struktur

Ciri Institusi

Property right Milik negara Milik pribadi Batas yurisdiksi Batas otoritas pemberi pinjaman

rendah Batas otoritas pemberi pinjamantinggi Aturan

representatif Keperwakilan tidak jalan (down) Top Bottom up Kontrak

Prosedur 29 dan30 tahap agar memperoleh

IUPHHK dan PDB HTR Petani cukup datang ke kantorGapoktan yang ada di Desanya Penandatangan

kontrak Kapus BLU P3H (Pemberipinjaman) dan Kelompok Tani (Penerima pinjaman)

Ketua gapoktan/LKM (pemberi pinjaman), dan petani (penerima pinjaman)

Aspek PDB HTR (BLU P3H) PUAP (Gapoktan) Skema kredit Tunggal (Rp 8.531.900/ha),

minimum pinjaman 8 ha Tgt kebutuhan petani (pertanian,peternakan, dan perdagangan) Penyaluran BLU Pusat P2H (executing),

transfer BRI LKM* di desa yang sama (LKMdibentuk oleh Gapoktan) Pengembalian BLU Pusat P2H melalui BRI LKM Gapoktan

Pelanggaran

kontrak BLU Pusat P2H, diserahkankepada hukum yang berlaku LKM Gapoktan, dan Sanksisosial Perilaku

Pelatihan Teknis dan sedikit administrasi Teknis, administrasi, keuangan Akad kredit Kapus BLU P3H, dan Poktan Ketua LKM, dan petani laporan (fisik

dan keuangan) Penerima pinjaman wajibmembuat laporan tiap 3 bulan (teknis, keuangan)

hanya ketua Gapoktan / LKM (pemberi pinjaman), sedangkan penerima pinjaman tidak Cost recovery Biaya operasional BLU P3H dari

APBN Biaya operasional LKM dari jasapinjaman Kinerja

Salah pilih penerima pinjaman

Salah pilih penerima pinjaman tinggi karena pemberi pinjaman tidak memiliki SD** dan informasi yang cukup

Salah pilih penerima pinjaman, pengetahuan pemberi pinjaman terkait penerima pinjaman di desanya tinggi

Ingkar janji Ingkar janji tinggi karena pemberi pinjaman dan penerima pinjaman berjauhan, informasi tidak seimbang, sanksi sosial tidak berjalan

Ingkar janji rendah, karena pemberi pinjaman dan penerima pinjaman ada pada desa yang sama, informasi seimbang, dan sanksi sosial berlaku

Biaya transaksi Jarak, dan prosedur yang panjang

(biaya transaksi tinggi) Jarak, dan prosedur yang pendek(biaya transaksi rendah) Ket: (*) LKM adalah Lembaga keuangan masyarakat, (**) SD adalah Sumber Daya

Dari Tabel perbandingan institusi diatas diketahui bahwa PDB HTR (mencakup situasi, struktur, perilaku organisasi) telah berkontribusi dalam meningkatkan biaya transaksi, ingkar janji dan salah pilih penerima pinjaman. Dari Tabel 13 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Situasi. Antara kedua program baik PDB HTR maupun PUAP sama sama bertujuan ingin meningkatkan kesejahteraan petani, namun demikian PDB HTR tidak ditunjang oleh SDM yang memadai baik dari kapasitas maupun jumlah bila dibandingkan dengan beban kerja yang dimilikinya. Lokasi kantor PDB HTR hanya ada di Jakarta telah meningkatkan ketidaksepadanan informasi (penerima pinjaman mengetahui lebih banyak informasi bila dibandingkan dengan pemberi pinjaman), hal ini selain dapat menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman yaitu ingkar janji dan salah pilih penerima pinjaman serta dapat

meningkatkan biaya transaksi karena biaya pengurusan administrasi berbeda dengan PUAP yang memiliki perwakilan sampai ke tingkat tapak.

2. Dilihat dari ciri institusinya yaitu property right, batas yurisdiksi dan aturan representatif maka PDB HTR dapat dijelaskan sebagai berikut:

3. (a) dilihat dari hak milik lahan (property right) HTR berbeda dengan PUAP, dimana pada HTR hak milik atas tanah dimiliki oleh negara, sedangkan petani sebagai pemegang IUPHHK HTR hanya sebagai pemegang izin pemanfaatan selama 65 tahun yang dapat diperpanjang sampai 90 tahun. Menurut Tietenberg (1994) terdapat 4 karakteristik struktur hak kepemilikan yang menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien yaitu Universality5, exclusivity6, transferability7, dan enforceability8. IUPHHK HTR tidak mengandung karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Tietenberg (1994) karena IUPHHK HTR tidak dapat dipindahtangankan atau diwariskan, dan kepemilikan IUPHHK HTR juga tidak aman dari gangguan, dimana IUPHHK HTR akan dievaluasi setiap 5 tahun dan dapat dicabut sewaktu- waktu apabila pemilik IUPHHK HTR dinyatakan tidak perform oleh pemberi izin. Dalam kondisi ini alokasi sumberdaya tidak dapat dilakukan secara efisien yang pada akhirnya akan mengganggu keamanan dalam melakukan usaha atau investasi HTR dan pengembalian PDB HTR. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan peningkatan status kepemilikan IUPHHK HTR menjadi lebih dapat dipindahtangankan dan dijadikan sebagai agunan, karena selama ini IUPHHK HTR tidak dapat dipindahtangankan. Peningkatan status IUPHHK HTR ini akan memberikan hak yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hak yang terkandung dalam IUPHHK HTR selama ini, karena dengan status IUPHHK HTR yang lebih meningkat maka IUPHHK HTR dapat dijadikan sebagai agunan di BLU Pusat P2H (agunan selama ini hanya berupa tegakan yang dibudidayakan), sehingga apabila pengembalian PDB 5Seluruh sumberdaya (aset) yang dimiliki secara individu dan seluruh hak-hak atas penggunaan

sumberdaya tersebut didefinisikan dengan jelas

6 Seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya

tersebut harus ditanggung dan dinikmati hanya oleh pemiliknya

7Hak kepemilikan harus dapat dipindah-tangankan dari pemilik yang satu kepada pemilik yang

lainnya secara sukarela, sesuai bentuk pemindahan hak (transfer of right) yang dikehendaki

HTR tidak lancar maka IUPHHK HTR dimaksud dapat ditarik oleh pemberi pinjaman.

(b) dari sisi yurisdiksi pemberi pinjaman PDB HTR memiliki otoritas yang rendah bila dibandingkan dengan pemberi pinjaman di program PUAP. Otoritas dimaksud adalah kapasitas untuk mengimplementasikan keputusan yang telah dibuat oleh organisasi mereka sendiri. BLU Pusat P2H dalam hal ini agak sulit mengatur organisasinya karena terbentur pasal 8, pasal 10, dan pasal 11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Dikatakan bahwa BLU Pusat P2H mengajukan RBA kepada Menteri Kehutanan, Menteri Kehutanan mengkaji kemudian menyetujui, lalu diajukan ke Menteri Keuangan dan dikaji kembali oleh Menteri Keuangan. Demikian juga dalam penetapan jumlah PDB HTR per hektar ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, berdasarkan usulan dari Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK). Direktorat Jenderal BUK menetapkan standar berdasarkan kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh pengusaha HTI (atas saran APHI), jadi bukan berdasarkan hasil penelitian. (c) aturan keperwakilan. Adanya perbedaan pendapat dan usulan terhadap kebijakan PDB HTR dari para pihak tidak dapat direspon dengan cepat oleh BLU Pusat P2H, mengingat setiap kebijakan yang dibuat tidak hanya melibatkan BLU Pusat P2H melainkan juga para pihak yang lain seperti Direktorat yang ada dalam lingkup Kementerian Kehutanan, maupun yang berada di luar Kementerian Kehutanan seperti Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Dalam kondisi seperti itu BLU Pusat P2H harus menyeimbangkan total sumberdaya yang dimilikinya dan menyesuaikannya dengan situasi eksternal diluar BLU Pusat P2H. Akan tetapi penetapan skala prioritas bukanlah hal yang mudah mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh BLU Pusat P2H, sehingga kerjasama dan pemahaman atas semua visi dan misi serta tujuan yang diemban oleh PDB HTR harus dipahami oleh para pihak, dengan demikian semua program yang dibuat oleh masing-masing pihak harus menuju pada visi, misi dan tujuan PDB HTR yang telah ditetapkan di awal, sebab jika masing-masing pihak tetap mementingkan organisasinya atau instansinya atau memiliki skala

prioritas yang berbeda maka visi, misi dan tujuan PDB HTR yang telah ditetapkan tidak akan tercapai.

4. Kontrak.

Prosedur dalam penentuan kontrak pada PDB HTR relatif panjang dan melibatkan banyak lembaga, tercatat ada 29 dan 30 tahap (Lampiran 18 dan 19) agar seorang petani memperoleh IUPHHK HTR dan PDB HTR. Peran Kapus BLU P3H dalam penandatangan kontrak PDB HTR sangat besar, sementara penegakan kontrak yang sudah dibuat sebelum dan sesudah akad kredit telah menimbulkan biaya transaksi yang sangat tinggi. Untuk setiap pengecekan lapangan, BLU Pusat P2H membutuhkan biaya sekitar Rp. 32 Juta, sementara setiap KTH paling tidak harus dikunjungi sebanyak 2 kali sampai dilakukan akad kredit.

Selain itu skema tunggal (Rp. 8.531.900/ha atau 68.255.200/8 Ha/petani) telah mempersempit pilihan petani, berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dominan petani tidak terbiasa dengan pinjaman dalam jumlah yang besar, lebih dari 87% responden petani meminjam kurang dari Rp. 500.000 (dan 43% diantaranya meminjam kurang dari Rp. 100.000).

5. Kinerja.

Dari Tabel diatas juga dapat diketahui bahwa kelembagaan PDB HTR telah meningkatkan salah pilih penerima pinjaman dan ingkar janji serta biaya transaksi, hal ini disebabkan karena ketidaksepadanan informasi sangat besar sehingga pelaku yang opportunis menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan ingkar janji. Sanksi sosial sulit untuk diberlakukan karena pemberi pinjaman tidak memahami karakteristik dari penerima pinjaman, dan posisi pemberi pinjaman dan penerima pinjaman yang berjauhan mengakibatkan tingginya biaya untuk menegakkan kontrak.

Dokumen terkait