• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan

Dalam undang-undang diatur bahwa kepolisian bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik (KUHAP pasal 1 ayat 4 dan PP No. 27 Tahun 1983) kemudian dinyatakan bahwa jaksa juga bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik (Undang-Uundang Kejaksaan No. 16 Tahun 2002).

70

Penyidik Polri adalah pejabat Polri tertentu paling rendah berpangkat pembantu letnan II atau ajun inspektur polisi II yang ditunjuk/diangkat Kapolri. Jadi tidak setiap anggota POLRI dengan pangkat AIPDA bertindak selaku penyidik melainkan terbatas hanya pejabat POLRI yang ditunjuk/diangkat oleh KAPOLRI atau pejabat lain yang mendapat pelimpahan wewenang KAPOLRI. Wewenang penyidik POLRI dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.

Penyidik PNS adalah PPNS tertentu paling rendah berpangkat II/b yang diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahi PPNS bersangkutan. Wewenang penyidik PPNS sesuai dengan Undang-Uundang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Sebagai contoh mengenai wewenang Penyidik PPNS yaitu :

Penyidik Pembantu adalah pejabat tertentu paling rendah berpangkat Sersan Dua (Brigadir II) dan PPNS tertentu di lingkungan POLRI paling rendah berpangkat golongan II/a yang diangkat selaku Penyidik Pembantu oleh KAPOLRI. Syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik sebagai penyidik pembantu diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 Bab II Pasal 2 dan Pasal 3 yang telah diubah dan diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 jo Keputusan MENKEH NO. M.08 UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengakatan Penyidik PPNS. Penyidik pembantu hanya dikenal dan berlaku di

71

lingkungan POLRI dan mempunyai wewenangyang sama dengan penyidik POLRI kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11 KUHAP).

Penyidikan di Kejaksaan disesuai dengan ketentuan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka tugas pokok Kejaksaan RI melalui para jaksanya adalah bertindak untuk dan atas nama negara selaku penuntut umum di depan sidang Pengadilan Negeri. Akan tetapi menurut Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. PP No. 27 Tahun 1983 Bab II yang telah di ubah dalam telah diubah dan diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 Pasal 17 untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang mempunyai ketentuan khusus acara pidana, selain ditugaskan kepada penyidik yang diatur dalam KUHAP, ditugaskan pula kepada jaksa sehingga di lingkungan kejaksaan (Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri) terdapat jaksa-jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik yang dikenal sebagai Jaksa Penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus (tertentu).

Tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tertentu yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara pidana, misalnya Undang-Uundang No. 7 Drt. 1955 jo UU No. 8 Drt. 1958 yang dikenal dengan Undang-Uundang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE), Undang-Uundang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan diganti dengan Undang-Uundang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Uundang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

72

atas Undang-Uundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-Uundang No. 11/PNPS/1963 tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi dan lain-lain berdasarkan Uundang yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara pidana. Undang-Uundang subversi tersebut telah dicabut berdasarkan Undang-Undang-Uundang No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Uundang No. II/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.

Adapun proses penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan memiliki perbandingan baik dari persamaan dan perbedaan dalam melakukan pemeriksaan perkara korupsi. Dalam tahap proses penyidikan yang ada di kepolisian dan proses penyidikan yang ada di kejaksaan tidak jauh berbeda. Pemeriksaan penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan menggunakan langkah yang sama yakni dengan berdasarkan proses penyidikan yang sudah ditetapkan dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Dengan demikian dasar hukum yang digunakan dalam penyidikan oleh kedua instansi tersebut yakni sama-sama mengacu pada Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Namun adapun perbedaan yang ditemui oleh penulis dari penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam hal ini mengenai struktur organisasi jumlah personil yang terlibat dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada instansi kepolisian Kota

73

Gorontalo penyidik tindak pidana khusus bagian korupsi beranggotakan 4 (empat) personil dan pada umumnya struktur organisasi yang ada di kepolisia sipilih langsung oleh kapolres Gorontalodan bersifat tetap. 7

Sedangkan struktur organisasi yang ada di Kejaksaan Negeri Gorontalo hanya beranggotakan 3 (tiga) personil dan tidak bersifat tetap sebab pada suatu waktu dapat berubah-ubah. Karena dalam instansi kejaksaan tidak ada perbedaan antara satu dan lainya semua berhak melakukan penyidikan selama orang tersebut telah di tunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri baik saat itu juga dan dipercayayi mampu dalam melakukan penyidikan perkara tindak pidana khusus terutama korupsi. Maka sejak itulah orang tersebut berkewenangan penuh dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana khusus.8

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kasus Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Polres Gorontalo sejak tahun 2010 sampai Tahun 2013 sebanyak 1 (satu) kasus, sedangkan jumlah kasus Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak Tahun 2010 sampai Tahun 2013 sebanyak 10 (sepuluh) kasus. Proses penyidikan perkara yang ada di kepolisian juga lebih membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan proses penyidikan yang ada di kejaksaan. Dalam penanganan penyidikan perkara di kepolisian membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan dan di kejaksaan membuthkan kurang lwbih minimal 6 bulan. Walaupun proses penyidikan tindak pidana tidak memiliki batas waktu yang tidak tetap

7 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013.

74

seperti halnya pidana umum, namun dapat terlihat jelas bahwa penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo lebih banyak berperan dalam menangani kasus Tindak Pidana Korupsi di bandingkan penyidik Polres Gorontalo.

Menurunnya peranan penyidik kepolisian dalam menangani perkara Tindak Pidana Korupsi, tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang diantaranya adalah kesulitan dalam memperoleh data atau dokumen-dokumen asli pada saat penyidikan berlangsung. Sebab dalam Tindak Pidana Korupsi dokumen-dokumen asli tersebut merupakan salah satu alat bukti utama selain tersangka dan saksi. Selain itu faktor moral juga sangat mempengaruhi penegakan hukum, karena tindakan penegak hukum yang tegas terhadap hukum sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan suatu tindak pidana.9

Selain itu yang membedakan penyidikan yang ada di kepolisian dan kejaksaan yakni mengenai prosedur pelaksanaan gelar perkara. Dalam melakukan gelar perkara penyidik kepolisian mengundang kejaksaan dan pengacara dan instansi yang terkait khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan sbagai tolak ukur untuk menentukan kesimpulan apakah perkara tersebut layak dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau akan di berhentikan dalam hal ini perkara bisa saja ditutup jika ditemui perkara tersebut ternyata tidak mengakibatkan adanya kerugian Negara. 10

Sedangkan dalam lingkungan kejaksaan, gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak mengundang kepolisian, dan Badan

9 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal 19-12-2013

75

Pemeriksa Keuangan (BPK). Hanya dilakukan di kalangan jaksa saja. Sebab dalam perhitungan kerugian Negara, penyidik kejaksaan menyerahkan langsung kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan akan mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila dalam penyidikan kasus tindak pidana mengalami kendala dalam menentukan jumlah kerugian uang Negara, sehingga kejaksaan membutuhkan bantuan audit dari BPK.11

Dalam melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik, kepolisian dan kejaksaan tentunya memiliki cara-cara tersendiri untuk mempercepat penyidikan agar perkara korupsi tersebut cepat terselesaikan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pastinya dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, kedua instansi tersebut sering mengalami kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses penyidikan perkara. Hal ini juga dapat memberikan perbedaan proses penyidikan perkara korupsi yang ada di kepolisian dan di kejaksaan.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik kepolisian Kota Gorontalo yang berhasil di wawancarai oleh penulis yakni :12

1. Menemukan data-data atau dokumen-dokumen asli 2. Membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu

3. Untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di luar wilayah Gorontalo.

11 Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, Op.Cit

76

Hambatan-hambatan inilah yang sering ditemui oleh penyidik kepolisian dalam mengusut perkara tindaak pidana korupsi, sebab pada masaalah pertama, untuk menemukan data-data dan dokumen-dokumen asli biasanya pelaku-pelaku yang terkait dengan sengaja menghilangkannya sebelum proses penyelidikan dan penyitaan dilakukan. Contoh kecilnya yakni data-data yang terrdapa di dalam computer. Bisa saja langsung dihapus sehingga data-data tersebut hilang.

Kendala yang kedua yang dapat menyebabkan proses penydikan menjadi lambat yakni membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu. sebab dalam melakukan pemeriksaan, yang menjadi alasan utama agar pejabat tersebut tidak diperiksa yakni karena tugas keluar daerah dengan waktu yang tidak jelas. Sehingga penyidik harus menunggu waktu yang lama untuk melakukan pemeriksaan.

Ketiga yang menjadi kendala kepolisian dalam melakukan penyidikan yakni keterangan ahli yang berada diluar daerah. Kesulitannya yaitu untuk mendatangkan saksi ahli untuk dimintai keterangan-keterangan tentang kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.

Demikian juga pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak jauh berbeda dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kepolisian yang ada di kepolisian.

77

Adapun kendala-kelndala yang sering dihadapi oleh penyidik kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :13 1. Alat bukti

2. Saksi 3. Terdakwa

4. Kurangnya personil kejaksaan

5. Lamanya perhitungan kerugian Negara

Dalam hal alat bukti yang menjadi kendala adalah bahwa alat bukti tersebut sering ditemukan hilang oleh jaksa untuk membantu proses penyidikan baik itu alat bukti yang sengaja dihilangkan oleh terdakwa maupun alat bukti yang sudah habis atau tidak sepenuhnya habis dipakai oleh terdakwa, sehingga untuk mendapatkan keterangan alat bukti tersebut jaksa melakukan upaya paksa terhadap saksi yang berkaitan terhadap alat bukti tersebut untuk menggantikan keterangan-keterangan yang membantu proses penyidikan.

Mengenai saksi yang menjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi adalah bahwa saksi yang berada di luar daerah. Dalam memperoleh keterangan saksi, penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo harus melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan kejaksaan luar di mana saksi berada. Koordinasi ini juga memakan waktu cukup lama melihat kesibukan jaksa luar. sering saksi juga tidak ditemukan berada di tempat pada saat

78

akan di temui, sehingga penyidik kejaksaan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh keterangan saksi tersebut.

Kendala lain yaitu mengenai terdakwa yang sering juga memberika data dan keterangan yang berbelit-belit, terdakwa sering dalam keadaan sakit apabila dilakukan penyidikan terhadap dia sehingga memperlambat proses penyidikannya dan terdakwa sering melarikan diri apabila dilakukan penyidikan terhadap dia. Sehingga jaksa melakukan upaya yaitu jaksa melakukan pembantaran terhadap terdakwa yang sakit untuk di rawat dirumah sakit tetapi tidak mengurangi masa tahanannya dan melakukan pengejaran untuk menangkap terdakwa yang melarikan diri dengan melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian.

Kurangnya personil penyidik kejaksaan juga sangat mempengaruhi proses penyidikan. personil Kejaksaan Negeri Gorontalo yang bergerak dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi hanya berjumlahkan tiga personil. Ketiga personil ini selain sebagai penyidik mereka juga berperan sebagai penyelidik. Sehingga penyidik kejaksaan merasa kesulitan karena selain untuk melakukan penyelidikan mereka juga harus ekstar bekerja keras melakukan penyidikan dengan berbagai kendala-kendala selalu di temukan dilapangan.

Perhitungan kerugian Negara yang membutuhkan waktu yang cukup lama juga sering menjadi hambatan proses penyidikan tindak pidana korupsi. Sebab perhitungan kerugian negar merupakan inti dari pemeriksaan perkara korupsi. Karena suatu perkara dapat dikatakan sebagai tindak pidana

79

korupsi apabila tindakan tersebut dapat merugikan keuangan Negara ataupun daerah. Sehingga dalam melakukan perhitungan kerugian Negara harus benar-benar dialkukan dengan teliti walaupun harus membutuhkan waktu yang cukup lama.

Adapun upaya yang dilakukan untuk mempercepat penyidikan oleh penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi yakni dengan melakukan kerjasama dan saling koordinasi satu sama lain. Baik dari kepolisian kekejaksaan ataupun dari kejaksaan ke kepolisian. Selain itu, sangat di perlukan juga partisipasi dari seluruh kalangan baik dari instansi-instansi yang terkait dan bahkan masyarat.

Dilihat dari sudut pandang pendekatan hukum, dasar hukum yang digunakan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup memadai. Karena sudah diberlakukannya sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti korupsi. Antara lain Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan saat ini sudah diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

80

Selain dari undang-undang tersebut masih juga diberlakukan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negri Sipil. Dengan mengaacu pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1989, maka subjek hokum yang diatur menyangkut seruh penyelenggara negarayang berasal dari lembaga tertinggi Negara, lembaga tinggi Negara sampai gubernur, walikota, bupati, Pemimpin Proyek (PIMPRO), direksi badan usaha milik Negara/Daerah (BUMN/D), jaksa dan hakim. Seluruh perangkat hukum yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut sudah sangat kuat untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi.14

Namun dalam praktiknya, permasalahan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan hokum semata-mata. Karena penyakit ini sudsash menyebar luas keseluruh tatanan social dan pemerintahan hampir di banyak Negara. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan tidak hanya semata-mata bersifat represif, tetapi juga harus bersifat preventif dan rehabilitative. Pendekatan preventif yang ampuh adalah antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan baik ditingkat pusant dan ditingkat daerah. Tanpa langkah preventif yang dimaksud maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi gejala saja dan bukan menghancurkan akar penyebabnya yang tumbuh subur di kalangan masyarakat.15

14 Romli Atmasasmita, 2002. Op.Cit. hlm. 13

Dokumen terkait