• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Definisi Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Konsep mengenai perbandingan sosial pertama kali dicetuskan oleh Festinger (1954) yang disebut social comparison yaitu perilaku individu dalam memperoleh informasi mengenai dirinya baik itu dalam hal kemampuan dan opini dengan cara membandingkan diri terhadap orang lain untuk tujuan evaluasi. Guimond (2006) menyebutkan perbandingan sosial sebagai perilaku membandingkan diri pada orang lain yang dianggap lebih baik maupun lebih buruk dengan tujuan menilai dan mengevaluasi diri. Selain itu Yzerbyt et al (dalam Guimond, 2006) mendefinisikan komparasi sosial sebagai aspek sentral usaha individu dalam mengeksplor dan membangun pengetahuan serta pemahaman tentang dunia sekitarnya.

Varga (dalam Saadat et al, 2017) menyebut komparasi sosial sebagai proses berpikir individu tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dan digunakan untuk mengevaluasi pendapat dan kemampuan

24

dirinya sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Gibbons & Buunk (2006) menyatakan perbandingan sosial sebagai cara bagaimana kita menggunakan orang lain untuk dibandingkan sebagai media untuk memperoleh pemahaman atas diri sendiri dan dunia sosial dengan guna evaluasi diri. Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perbandingan sosial merupakan perilaku membandingkan diri dengan orang lain atau lingkungan sekitar guna mendapat pemahaman atas dirinya dan lingkungannya yang bertujuan untuk kebutuhan evaluasi diri.

2. Aspek Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Teori mengenai perbandingan sosial, menyebutkan adanya 2 aspek penting dalam social comparison (Festinger, 1954; Gibbons & Buunk, 1999) diantaranya sebagai berikut:

a. Ability

Setiap individu cenderung ingin menyamakan diri dengan lingkungannya, oleh karena itu individu berusaha mengurai berbagai perbedaan yang signifikan dengan orang lain, salah satunya dalam aspek kemampuan (ability). Oleh karena adanya dorongan untuk berubah menjadi lebih baik, seringkali individu membandingkan kemampuan dirinya dengan orang lain agar diperoleh kemampuan yang setara.

b. Opinion

Opinion merupakan tolak ukur perbandingan melalui aspek pendapat.

Individu seringkali membandingkan pendapatnya sendiri pada orang lain. Misalnya menanyakan kepada teman apakah baju yang dikenakan saat itu bagus atau tidak. Membandingkan pendapat ini bersifat dua arah, apabila pendapat individu berbeda dengan orang lain, maka individu tersebut cenderung untuk merubah pendapat agar sesuai dengan orang lain. Sebaliknya, individu dapat merubah pendapat orang lain yang berbeda dengan dirinya supaya menyamai dirinya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek dari social comparison adalah ability (kemampuan) serta opinion (pendapat).

3. Faktor yang mempengaruhi Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Perbandingan sosial yang dilakukan individu tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Adapun Suls & Wheeler (2000) juga memaparkan beberapa prediktor dari perbandingan sosial yaitu sebagai berikut:

a. Self assesment

Penilaian oleh individu terhadap dirinya sendiri menjadi salah satu hal yang mempengaruhi social comparison. Hal ini disebabkan karena individu seringkali merasa hasil penilaiannya sendiri tidak akurat dan tidak valid, oleh sebab itu individu terdorong untuk melakukan perbandingan sosial dengan orang lain (Festinger, 1954; Buunk, 1995, dalam Suls & Wheeler, 2000).

27

b. Self enhancement dan self improvement

Adanya kebutuhan untuk self enhancement atau peningkatan diri mendorong individu melakukan downward comparison yaitu membandingkan diri dengan orang lain yang tidak lebih baik agar merasa bahwa dirinya dalam keadaan yang lebih baik. Sedangkan self

improvement atau perbaikan diri justru mendorong individu untuk

melakukan upward comparison yakni membandingkan diri dengan orang lain yang dirasa lebih baik agar timbul motivasi bagi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik (Helgeson & Mickelson, dalam Suls & Wheeler, 2000).

c. Social judgement

Suls & Wheeler (2000), dalam bukunya menyebutkan bahwa lingkungan sosial juga memberikan pengaruh terhadap social

comparison karena adanya penilaian sosial (social judgement). Tidak

hanya self assessment, lingkungan sosial juga memberikan penilaian terhadap individu. Misalnya, ada seseorang yang mengatakan “kamu gendut ya” kepada temannya, kemudian orang gendut dianggap oleh banyak orang sebagai individu yang tidak menjaga kesehatan dan pemalas, itu merupakan bentuk penilaian sosial.

C. Harga Diri (Self Esteem)

1. Definisi Harga Diri (Self Esteem)

Beberapa tokoh telah menjelaskan konsep mengenai harga diri, diantaranya menurut Rosenberg (1965), harga diri (self-esteem) adalah evaluasi atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif maupun negatif sehingga nanti terbentuk konsep harga diri positif dan harga diri negatif. Adapun Heatherton et al (dalam Devi dan Fourianalistyawati, 2018) mendefinisikan self-esteem sebagai sikap mengenai diri sendiri serta berhubungan dengan keyakinan pribadi meliputi kemampuan, hubungan sosial, dan masa depan. Keyakinan tersebut akan mendorong individu memiliki penilaian atas dirinya. Selain itu, Santrock (2008) menyatakan bahwa harga diri juga merujuk pada bagaimana individu membentuk penilaian atas dirinya dan keberhargaan diri juga citra dirinya.

James (dalam Alpay, 2000) menyebut self-esteem sebagai rasio aktualitas diri individu dengan potensi yang seharusnya dimiliki. Artinya harga diri merupakan hasil tolak ukur penilaian individu atas dirinya sesuai dengan potensi yang memang dimiliki individu. Harga diri (self-esteem) juga dipahami sebagai sikap individu yang merujuk pada penilaian atas dirinya dalam dimensi secara positif maupun negatif (Baron dan Byrne, 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa harga diri (self-esteem) merupakan sikap dan penilaian individu atas dirinya baik dalam dimensi positif maupun negatif yang berkaitan dengan keyakinan, kemampuan diri, hubungan sosial dan harapan.

29

2. Komponen Harga Diri (Self Esteem)

Menurut Heatherton dan Polivy (1991), terdapat 3 komponen penyusun harga diri yaitu sebagai berikut:

a. Performance self-esteem

Hal ini merujuk pada (general competency) kompetensi umum individu meliputi kinerja dan performa kerja, kemampuan intelektual dalam hal ini misalnya intelegensi, regulasi diri, self agency, efikasi diri dan juga

self confidence. Individu dengan aspek performance self-esteem yang

tinggi akan memiliki keyakinan bahwa dirinya pandai, mampu, dan dapat menyelesaikan berbagai hal dengan baik.

b. Social self-esteem

Aspek ini merujuk pada bagaimana individu percaya mengenai pandangan orang lain terhadap dirinya. Jika individu percaya dengan orang lain yang mampu menghargai juga menghormati dirinya, ia akan memiliki social self-esteem yang tinggi. Sebaliknya orang dengan

social self-esteem yang rendah akan cenderung mencemaskan perihal

citra dirinya dan bagaimana orang lain mempersepsikan dirinya. c. Appearance self-esteem

Aspek ini merujuk pada bagaimana individu menilai dirinya dari segi penampilan fisik. Hal tersebut meliputi daya tarik fisik, citra tubuh, perasaan mengenai suku, ras, dan etnis, serta stigma fisik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek yang membentuk harga diri (self-esteem) yaitu performance self-esteem,

social self-esteem, dan appearance self-esteem.’

3. Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri (Self Esteem)

Rosenberg (1965) dalam teorinya menyebutkan bahwa perbandingan sosial dipengaruhi oleh dua prediktor sebagai berikut:

a. Reflected Appraisal

Hughes dan Demo (dalam Flynn, 2003) mengemukakan bahwa harga diri individu dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut meyakini akan pendapat dan evaluasi orang lain terhadap dirinya. Artinya bahwa individu mencari informasi dan mengevaluasi dirinya dengan cara melihat dan meyakini bagaimana orang lain memandang dirinya, misalnya apakah orang lain melihatnya sebagai pribadi yang baik atau buruk.

b. Social Comparison

Hughes dan Demo (dalam Flynn, 2003) menyebutkan bahwa dalam teori perbandingan sosial menekankan kalau harga diri merupakan konsekuensi yang didapatkan individu ketika membandingkan dirinya dengan orang lain lalu membuat evaluasi yang positif maupun negatif terhadap dirinya. Hal ini salah satunya dapat terjadi jika orang-orang yang termasuk dalam kelompok

low-31

status kemudian memiliki evaluasi negatif terhadap dirinya dan

akibatnya memiliki harga diri yang rendah.

Coopersmith (1967) menyebutkan berbagai faktor yang mempengaruhi harga diri (self-esteem) diantaranya adalah:

a. Social support

Adanya berbagai dukungan, perhatian, dan kepedulian yang diperoleh individu dari lingkungan sekitar dan orang terdekat (significant

others) akan meningkatkan harga diri individu sehingga terbentuk self-esteem yang positif.

b. Sejarah keberhasilan individu dan keterkaitan dengan komunitas di masyarakat.

Pencapaian atau keberhasilan yang individu miliki, dapat mendorong berkembangnya harga diri yang positif karena individu merasa mampu dan memiliki keistimewaan. Selain itu individu yang sering melakukan kontak sosial atau bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat cenderung akan mudah menemukan keberartian dan keberhargaan akan dirinya.

c. Pengalaman hidup dan cara individu menginterpretasikan atau menafsirkannya ke dalam kehidupan saat ini.

Berkaitan dengan poin sebelumnya bahwa keberhasilan merupakan salah satu bentuk pengalaman baik yang dialami individu. Namun terdapat juga pengalaman buruk lainnya. Berbagai pengalaman ini

yang membentuk pola pikir, persepsi atau cara pandang, serta sikap individu terhadap diri, lingkungan, dan kehidupannya.

d. Sikap individu dalam merespon evaluasi.

Berbagai pengalaman yang diperoleh individu akan membentuk evaluasi terhadap diri. Evaluasi terhadap diri ini dapat berupa penilaian secara positif maupun negatif. Kemudian bagaimana individu merespon terhadap evaluasi dirinya juga akan menentukan bagaimana keadaan harga dirinya.

D. Body Dissatisfaction (Ketidakpuasan Tubuh) dalam Perspektif

Dokumen terkait