• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Penolakan Sosial, Tendensi Atribusi Bermusuhan, dan Perilaku Tweet War Berdasarkan Penggunaan Data Diri Asl

DAFTAR PUSTAKA

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

IV. C 3 Hasil Tambahan

6. Perbedaan Penolakan Sosial, Tendensi Atribusi Bermusuhan, dan Perilaku Tweet War Berdasarkan Penggunaan Data Diri Asl

Berdasarkan penggunaan data diri asli, perbedaan skor-skor subjek penelitian

dengan bantuan SPSS 17.00 for windows dapat dilihat pada tabel 29 berikut

ini.

Tabel 29.

Gambaran skor-skor berdasarkan penggunaan data diri asli

Penolakan Sosial Tendensi Atribusi

Bermusuhan Perilaku Tweet War Penggunaan

Data Diri N Mean

levene’s test (sig.) sign (2 tailed) Mean levene’s test (sig.) sign (2 tailed) Mean levene’s test (sig.) sign (2 tailed) Asli 430 39,83 0,531 0,023 38,93 0,468 0,007 52,74 0,556 0,194 Tidak Asli 47 43,19 43,21 55,91

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang tidak

mencantumkan data diri asli di akun twitternya memiliki tingkat penolakan

sosial lebih tinggi dibandingkan dengan subjek penelitian yang

subjek berdasarkan penggunaan data diri asli. Untuk variabel tendensi atribusi

bermusuhan, subjek yang tidak mencantumkan data diri asli juga memiliki

tendensi atribusi bermusuhan lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang

mencantumkan data diri asli, dan juga ada perbedaan signifikan tendensi

atribusi bermusuhan ditinjau berdasarkan penggunaan data diri asli p sign =

0,007 (<0,05). Namun untuk variabel perilaku tweet war tidak ditemukan

perbedaan yang signifikan tingkat perilaku tweet war subjek ditinjau dari

penggunaan data diri asli di Twitter p sign = 0,194 (>0,05).

IV. D. PEMBAHASAN

Penelitian ini membahas peran tendensi atribusi bermusuhan dalam

memediasi hubungan antara penolakan sosial dan perilaku tweet war. Hipotesis

dalam penelitian ini adalah “tendensi atribusi bermusuhan memediasi hubungan antara penolakan sosial dan perilaku tweet war”. Hasil analisis data mendukung

hipotesis penelitian dimana didapatkan bahwa hubungan antara penolakan sosial

dan perilaku tweet war dimediasi oleh tendensi atribusi bermusuhan, dan

didapatkan bahwa tendensi atribusi bermusuhan merupakan mediator penuh pada

hubungan keduanya, artinya perilaku tweet war merupakan hasil dari tendensi

atribusi bermusuhan, dimana saat tendensi atribusi bermusuhan dikontrol

penolakan sosial tidak lagi memiliki peran yang signifikan dalam munculnya

perilaku tweet war. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baron & Kenny (1986) yang

Munculnya perilaku agresi yang kini banyak terjadi terutama di media

sosial, diketahui disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah penolakan

sosial, dimana saat seseorang mengalami penolakan, ia akan mengembangkan

reaksi kompensatoris dalam bentuk dendam serta mencari keenakan hidup dengan

cara-cara yang mengundang perhatian (Kartono dalam Soliha, 2010). Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku tweet war bukan muncul karena

adanya penolakan sosial yang terjadi pada diri seseorang, namun karena adanya

tendensi atribusi bermusuhan yang meningkat karena hasil penolakan sosial

tersebut.

Penolakan secara emosional menyakitkan karena sifat sosial dan kebutuhan

dasar manusia untuk diterima dalam kelompok. Abraham Maslow (dalam Leary,

2001) dan teori lain menyatakan bahwa kebutuhan akan cinta dan memiliki adalah

motivasi dasar manusia, dan individu juga menginginkan orang lain menerimanya

hingga pada level tertentu. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini membuat seseorang

mengembangkan perilaku maladaptif dan sikap bermusuhan untuk dapat

mempertahankan dirinya di lingkungan sosial. Sikap bermusuhan ini muncul

karena adanya proses kognitif yang dikembangkan seseorang karena tidak

terpenuhinya kebutuhan dasarnya untuk diterima oleh orang lain, inilah yang

disebut dengan tendensi atribusi bermusuhan, dimana seseorang memiliki

kecenderungan untuk mengartikan perilaku ambigu orang lain dengan cara

bermusuhan.

tidaknya perilaku agresi sangat bergantung pada proses interpretasinya terhadap

suatu stimulus, dimana proses kognitif sangat penting dalam pembentukan

respons (Krahe, 2005). Proses interpretasi stimulus merupakan bentuk dari

atribusi yang dilakukan seseorang, dan karena kecenderungan yang dimiliki

seseorang untuk mengatribusikan suatu perilaku dengan cara yang bermusuhan,

maka muncullah perilaku tweet war. Interaksi dalam bentuk tulisan di Twitter

membuat proses kognitif dan atribusi sangat penting dalam menentukan bentuk

perilaku yang muncul, hal ini pula yang menjelaskan bahwa tendensi atribusi

bermusuhan sebagai hasil dari penolakan sosial menyebabkan munculnya perilaku

tweet war pada seseorang.

Dari penelitian ini pula dapat diketahui bahwa penolakan sosial memberikan

sumbangan efektif sebesar 4,4 % dalam memunculkan perilaku tweet war.

Adapun penolakan sosial memberikan sumbangan efektif sebesar 10,6% dalam

meningkatkan tendensi atribusi bermusuhan. Diketahui pula bahwa penolakan

sosial dan tendensi atribusi bermusuhan secara bersama-sama memberikan

sumbangan efektif sebesar 20,5 % dalam memunculkan perilaku tweet war. Hal

ini menjelaskan bahwa penolakan sosial menyebabkan munculnya tendensi

atribusi bermusuhan, dan tendensi atribusi bermusuhan menyebabkan munculnya

perilaku tweet war.

Hasil tambahan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah ada

perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan pada tingkat penolakan

cenderung menghindar selama adanya penolakan namun kemudian akan bekerja

keras saat mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan evaluasi orang lain

terhadap mereka. Sebaliknya, laki-laki akan cenderung untuk menyibukkan diri

mereka dengan manipulasi objek (seperti melihat dompet) ketika mereka

diabaikan, berkata pada orang lain bahwa mereka tidak peduli, dan merasa bahwa

mereka tidak perlu meningkatkan status mereka. Respon yang berbeda dari laki-

laki dan perempuan pada sebuah penolakan ini yang menyebabkan adanya

perbedaan yang signifikan tingkat penolakan sosial pada laki-laki dan perempuan.

Selain jenis kelamin, juga ada perbedaan yang signifikan tingkat

penolakan sosial berdasarkan penggunaan data diri asli di Twitter, terlihat bahwa

subjek yang tidak mencantumkan data diri asli memiliki mean lebih tinggi pada

penolakan sosial dibandingkan dengan subjek yang mencantumkan data diri asli.

Hal ini merupakan salah satu temuan dalam penelitian ini dimana subjek yang

mengalami penolakan sosial lebih tinggi memilih untuk memiliki akun anonim

dengan tidak mencantumkan data diri asli di jejaring sosialnya. Hal ini dijelaskan

oleh Leary (2001) bahwa orang yang mengalami penolakan sosial sebagian besar

memilih internet sebagai salah satu media agar mereka dapat memenuhi

kebutuhan akan penerimaan, karena anonimitas dalam interaksinya membuat

mereka merasa lebih nyaman.

Untuk variabel tendensi atribusi bermusuhan didapatkan bahwa ada

perbedaan tendensi atribusi bermusuhan berdasarkan penggunaan data diri asli di

penelitian ini dimana subjek dengan tendensi atribusi bermusuhan yang tinggi

akan lebih cenderung memiliki akun anonim yang tidak mencantumkan data diri

aslinya. Hal ini disebabkan karena orang yang memiliki kecenderungan untuk

mengatribusikan perilaku orang lain secara bermusuhan akan dekat dengan

perilaku agresi (Krahe, 2005) dan agresivitas seseorang akan meningkat saat

mereka merasa anonim (Zimbardo dalam Dittmann, 2004). Orang yang memiliki

tendensi atribusi bermusuhan tinggi akan cenderung menyukai interaksi anonim

karena berkurangnya tanggung jawab sosial, dan orang lain tidak mengetahui

identitas mereka saat mereka melakukan hal-hal yang berhubungan dengan

kecenderungan bermusuhan.

Perilaku tweet war dapat dibedakan berdasarkan status sosial dan durasi

penggunaan twitter. Pada status sosial, ditemukan ada perbedaan yang signifikan

pada tingkat perilaku tweet war, dan mean tertinggi ada pada subjek dengan status

sosial pengangguran. Berdasarkan pada hipotesis frustrasi-agresi yang

dikemukakan Berkowitz (dalam Fischer, Greitemeyer & Frey, 2008) penelitian

Fischer, Greitemeyer & Frey (2008) mendapatkan bahwa ada hubungan antara

agresi dengan tidak memiliki pekerjaan, dimana orang yang tidak memiliki

pekerjaan dan tidak memiliki uang serta kegiatan yang berarti akan merasa

frustrasi dan menjadi agresi.

Selain berdasarkan status sosial, perilaku tweet war juga dapat dibedakan

berdasarkan durasi penggunaan twitter, semakin lama durasi yang dihabiskan

interaksi di twitter, baik yang positif maupun yang negatif, salah satunya adalah

perilaku tweet war. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dr.

Chih-Hung Ko (dalam Norton, 2009) dari Kaohsiung Medical University terhadap

lebih dari 9.400 remaja Taiwan, remaja yang disibukkan dengan waktu internet

mereka mungkin lebih rentan terhadap perilaku agresif, lebih jauh lagi, kegiatan

chatting online, game, dan berinteraksi di forum online berhubungan dengan perilaku agresi.

Berdasarkan gambaran subjek dalam penelitian, didapatkan pula bahwa

subjek penelitian ini memiliki tingkat penolakan sosial, tendensi atribusi

bermusuhan, dan perilaku tweet war yang lebih rendah dibandingkan orang pada

umumnya, terlihat dari mean empirik yang lebih kecil dibandingkan dengan mean

hipotetik. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam penelitian ini dimana

mayoritas partisipan penelitian berasal dari kelompok yang memiliki skor

penolakan sosial, tendensi atribusi bermusuhan, dan perilaku tweet war yang

rendah, sehingga tidak dapat menggambarkan populasi dengan baik. Peneliti

selanjutnya diharapkan mampu mendapatkan partisipan yang lebih dapat

BAB V

Dokumen terkait