• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.2. Perbedaan Rerata Frekuensi BAB dan Konsistensi Tinja

Setelah dilakukan pengobatan, dilakukan pengamatan frekuensi BAB dan konsistensi tinja pada kedua kelompok yang mendapat agar-agar ditambah probiotik dan kelompok yang mendapat agar-agar saja pada minggu kedua dan minggu keempat.

Tabel 4.2 Perbedaan frekuensi BAB antara kelompok agar-agar ditambah probiotik dan kelompok agar-agar pada pengamatan 2 minggu dan 4 minggu setelah terapi

Frekuensi BAB, n (%) Agar-Agar + Probiotik (n = 22) Agar-Agar (n = 34) P P 2 minggu 2 hari sekali 3 (13.6) 23 (67.6) 0.0001a Setiap hari 19 (86.4) 11 (32.4) 4 minggu 0.072 2 hari sekali c 0 10 (29.4) 0.005b Setiap hari 22 (100) 24 (70.6) a

Perbedaan frekuensi BAB antara kelompok agar ditambah probiotik dengan kelompok agar-agar saja pada pengamatan minggu kedua (Chi Square)

b

Perbedaan frekuensi BAB antara kelompok agar ditambah probiotk dengan kelompok agar-agar saja pada pengamatan minggu keempat (Chi Square)

c

Perbedaan frekuensi BAB pada pengamatan 2 dan 4 minggu setelah pemberian agar-agar saja (Chi Square)

Dari tabel 4.2 terlihat bahwa frekuensi BAB pada pengamatan minggu kedua dan keempat berbeda secara signifikan antara kelompok yang menerima agar-agar ditambah probiotik dengan kelompok yang memperoleh agar-agar saja (P<0.05). Pada pengamatan 2 minggu setelah pemberian terapi, sebanyak 19 sampel (86.4%) yang menerima agar-agar ditambah probiotik mengalami BAB setiap hari sedangkan pada kelompok yang menerima agar-agar hanya sebanyak 11 sampel (32.4%) yang BAB setiap hari (P=0.0001). Hal yang hampir sama juga terlihat pada pengamatan minggu ke-4 dimana pemberian agar-agar ditambah probiotik menunjukkan perbaikan konstipasi yang lebih baik dibandingkan kelompok yang hanya menerima

agar-agar saja. Seluruh sampel pada kelompok penerima agar-agar ditambah probiotik sudah mengalami BAB setiap hari, sedangkan pada kelompok sampel yang lain hanya terjadi pada 70.6% sampel (P=0.005).

Khusus pada kelompok yang menerima agar-agar ditambah probiotik analisis statistik menggunakan uji chi square tidak dapat dilakukan karena pada pengamatan 4 minggu setelah pemberian agar-agar ditambah probiotik tidak ada sampel yang mengalami BAB dengan frekuensi 2 hari sekali. Sedangkan pada kelompok yang menerima agar-agar saja, tidak ditemukan perbedaan frekuensi BAB pada minggu ke-2 dan minggu ke-4 (P=0.072) .

Tabel 4.3 Perbedaan konsistensi tinja antara kelompok agar-agar ditambah probiotik dan kelompok agar-agar pada pengamatan 2 minggu dan 4 minggu setelah terapi

Konsistensi Tinja, n (%) Agar-Agar + Probiotik (n = 22) Agar-Agar (n = 34) P P 2 minggu Tipe 3 4 (18.2) 23 (67.6) 0.0001a 0.081 Tipe 4 b 18 (81.8) 11 (32.4) Tipe 5 - - 4 minggu Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5 1 (4.5) 19 (86.4) 2 (9.1) 5 (14.7) 22 (64.7) 7 (20.6) 0.198c 0.913d a

Perbedaan konsistensi tinja antara kelompok agar ditambah probiotik dengan kelompok agar-agar saja pada pengamatan minggu kedua (Chi Square)

b

Perbedaan konsistensi tinja antara pengamatan minggu kedua dan keempat pada kelompok agar-agar ditambah probiotik (Chi Square)

c

Perbedaan konsistensi tinja antara kelompok agar ditambah probiotik dengan kelompok agar-agar saja pada pengamatan minggu keempat (Chi Square)

d

Perbedaan konsistensi tinja antara pengamatan minggu kedua dan minggu keempat pada kelompok agar-agar (Chi Square)

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa konsistensi tinja yang berbeda secara signifikan antara kedua kelompok studi adalah pada pengamatan minggu kedua (P=0.0001) setelah dianalisis menggunakan uji Chi Square, sedangkan pada pengamatan minggu keempat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P=0.198). Pada pengamatan minggu kedua setelah pemberian terapi, sebanyak 18 sampel (81.8%)

pada kelompok yang memperoleh agar-agar ditambah probiotik memiliki konsistensi tinja tipe 4, sedangkan pada kelompok penerima agar-agar hanya sebanyak 11 sampel (32.4%).

Tidak ditemukan perbedaan konsistensi tinja yang signifikan (P=0.081), antara pengamatan minggu kedua dan keempat khusus pada kelompok yang menerima agar-agar ditambah probiotik setelah dianalisis dengan menggunakan uji Chi Square. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok yang hanya diberikan agar-agar, dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk konsistensi tinja antara pengamatan minggu kedua dan keempat (P=0.913).

Gambar 4.2 Perbedaan frekuensi BAB pada pengamatan minggu ke-2 dan minggu ke-4 setelah pemberian agar-agar ditambah probiotik 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Pengamatan 2 Minggu Pengamatan 4 Minggu

% 2 hari sekali

Pada gambar 4.2 terlihat bahwa frekuensi BAB pada pengamatan minggu kedua dan keempat setelah pemberian agar-agar ditambah probiotik tidak tampak perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat sebanyak 86.4% sampel mengalami BAB setiap hari setelah pemberian terapi selama dua minggu dan seluruh sampel mengalami BAB setiap hari pada minggu keempat.

Gambar 4.3 Perbedaan frekuensi BAB pada pengamatan minggu ke-2 dan minggu ke-4 setelah pemberian agar-Agar

Pada gambar 4.3 terlihat bahwa setelah pemberian agar-agar saja, pada pengamatan minggu kedua dan keempat tidak tampak perbedaan yang signifikan dari frekuensi BAB. Hal ini terlihat sebanyak 11 sampel (32.4%) mengalami BAB setiap hari setelah pemberian terapi selama dua minggu dan sebanyak 24 sampel (70.6%) mengalami BAB setiap hari pada minggu keempat dengan P=0.072 setelah dianalisa dengan uji Chi Square.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pengamatan 2 Minggu Pengamatan 4 Minggu

% 2 hari sekali

Gambar 4.4 Perbedaan konsistensi tinja pada pengamatan minggu ke-2 dan minggu ke-4 setelah pemberian agar-agar ditambah probiotik

Pada gambar 4.4 terlihat bahwa konsistensi tinja pada pengamatan minggu kedua dan keempat setelah pemberian agar-agar ditambah probiotik tidak tampak perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat sebanyak 18 sampel (81.8%) mengalami konsistensi tinja tipe 4 setelah pemberian terapi selama dua minggu dan 19 sampel (86.4%) mengalami konsistensi tinja tipe 4 pada minggu keempat setelah di analisa dengan menggunakan uji Chi Square.

Gambar 4.5 Perbedaan konsistensi tinja pada pengamatan minggu ke- 2 dan minggu ke-4 setelah pemberian agar-agar

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Pengamatan 2 Minggu Pengamatan 4 Minggu

% Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5 0 10 20 30 40 50 60 70

Pengamatan 2 Minggu Pengamatan 4 Minggu

%

Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5

Pada gambar 4.5 terlihat bahwa konsistensi tinja pada pengamatan minggu kedua dan keempat setelah pemberian agar-agar saja tidak tampak perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat sebanyak 11 sampel (32.4%) mengalami konsistensi tinja tipe 4 setelah pemberian terapi selama dua minggu dan 22 sampel (64.7%) mengalami konsistensi tinja tipe 4 pada minggu keempat setelah di analisa dengan menggunakan uji Chi Square.

BAB 5 PEMBAHASAN

Konstipasi merupakan masalah pada saluran cerna yang sering terjadi dengan prevalensi sekitar 20%. Angka kejadian konstipasi pada anak sekitar 0.7% sampai dengan 29.6%.38 Sebuah penelitian yang dilakukan di Brazil melaporkan sekitar 28% anak usia sekolah mengalami konstipasi. Orang tua seringkali merasa khawatir jika tinja anaknya terlalu besar, konsistensinya terlalu keras, nyeri sekitar anus saat BAB dan frekuensi BAB yang sangat jarang. Pada anak konstipasi yang paling sering terjadi adalah konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional adalah konstipasi yang muncul tanpa adanya kelainan organik maupun kelainan anatomi serta bukan disebabkan oleh karena mengkonsumsi obat tertentu.39,40

Konstipasi fungsional banyak disebabkan oleh adanya rasa tidak nyaman saat BAB karena nyeri sekitar anus saat BAB akibat seringnya menahan BAB. Kebiasaan sering menahan BAB pada anak usia sekolah bisa dikarenakan ketidaktersediannya toilet, toilet yang tidak bersih sehingga anak merasa tidak nyaman dan kegiatan yang terlalu padat sehingga anak memilih menunda ke toilet untuk BAB. Penyebab lain terjadinya konstipasi fungsional adalah karena perubahan diet, diet kurang serat dan kondisi stres.

41 Sebuah penelitian oleh Yong D dkk di Britania menunjukkan bahwa sekitar 5% anak usia 4 sampai dengan 15 tahun menderita konstipasi kronik selama lebih dari 6 bulan.42 Bekkali N, dkk dalam sebuah penelitian mendapatkan usia anak yang menderita konstipasi fungsional berkisar antara 4-16 tahun.43

Penelitian ini menunjukkan prevalensi kejadian konstipasi fungsional yang cukup tinggi yaitu sebesar 41.3% dengan rerata usia 14.05 tahun pada kelompok agar-agar yang ditambah probiotik dan 14.12 tahun pada kelompok agar-agar saja.

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Loening B, dkk didapatkan prevalensi konstipasi pada anak sampai usia satu tahun mencapai 2.9% dan meningkat pada tahun kedua yaitu sekitar 10.1% dengan kejadian yang sama antara laki-laki dan perempuan.44 Pada sebuah penelitian systematic review yang dilakukan oleh Peppas G,dkk mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih banyak menderita konstipasi jika dibandingkan dengan laki-laki.45 Iraji N,dkk di Iran melakukan penelitian systematic review yang lain mengenai prevalensi konstipasi di Iran, mendapatkan hasil ternyata kejadian konstipasi lebih sering terjadi pada perempuan.

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda kejadian konstipasi fungsional pada laki-laki dan perempuan, yaitu 53.6% pada anak perempuan dan 46.4% pada anak laki-laki.

46

Menurut North American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (NAPSGAN) 2006, Konstipasi adalah kelambatan atau kesulitan dalam

defekasi yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat pasien menderita. Keluhan konstipasi meliputi tiga aspek yaitu : berkurangnya frekuensi BAB (kurang dari tiga kali dalam seminggu), tinja yang keras, sering disertai nyeri pada perut dan sekitar anus.41,42 Kriteria diagnostik konstipasi fungsional ditegakkan berdasarkan kriteria ROME III tahun 2006.12,47

Pada penelitian ini keluhan yang paling sering adalah konsistensi tinja yang keras dan frekuensi BAB kurang dari tiga kali dalam seminggu. Penelitian ini menggunakan kriteria ROME III dalam menegakkan diagnosis konstipasi fungsional.

Patofisiologi terjadinya konstipasi fungsional pada anak masih belum jelas. Pada konstipasi, feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lama akan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas peristaltik yang

mendorong feses ke luar sehingga menyebabkan retensi feses yang lebih banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi.43

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konstipasi, diantaranya faktor genetik, gangguan motilitas usus, perilaku sering menahan BAB, kurang minum, kurang berolah raga dan kebiasaan diet rendah serat.

48,49 Sebuah studi melaporkan hampir 50% anak penderita konstipasi fungsional mengalami penurunan nafsu makan yang mengakibatkan asupan makanan menjadi berkurang sehingga buang air besar menjadi terganggu.49

Anak yang menderita konstipasi fungsional dianjurkan untuk banyak minum dan mengonsumsi karbohidrat dan serat. Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung di dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikomsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.

Latihan dan aktivitas fisik secara teratur membantu melatih otot-otot yang mengatur defekasi. Aktivitas fisik juga berguna untuk memperbaiki gerakan usus yang teratur sehingga membantu feses melewati anus.

50,51

52

Pada penelitian ini, sekitar 90% sampel jarang mengkonsumsi serat dan minum kurang dari 8 gelas dalam satu hari. Untuk aktifitas fisik, sekitar 80% sampel rutin melakukan olah raga.

Probiotik adalah bakteri yang mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan tubuh manusia. Banyak penelitian menunjukkan bahwa probiotik efektif dalam mengobati atau mencegah terjadinya infeksi pada saluran cerna. Mikroorganisme yang digolongkan sebagai probiotik adalah yang mampu

memproduksi asam laktat misalnya golongan Lactobacillus dan Bifidobacterium.

Pada sebuah studi menunjukkan bahwa Lactobacillus casei rhamnosus (Lcr35) efektif dalam pengobatan konstipasi fungsional karena dapat mempengaruhi motilitas saluran cerna pada orang yang menderita konstipasi.

10,21,38

38

Suplementasi Lactobacillus reuteri 1 x 108 per hari selama 30 hari dapat meningkatkan toleransi makanan dan fungsi usus pada bayi baru lahir. Mikroflora usus berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan fungsi sensorik dan motorik saluran cerna dengan pelepasan substansi bakteri, produk fermentasi dan faktor neuroendokrin usus, dan melalui pengaruh mediator yang dilepaskan oleh sistem kekebalan gastrointestinal, sehingga dapat mencegah terjadinya konstipasi. Sedangkan pemberian Lactobacillus casei rham-nosus 8 x 108 selama 4 minggu efektif untuk mengobati konstipasi kronik.

Probiotik dapat menurunkan pH dalam kolon yang menyebabkan bakteri dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek (butyric acid, propionic acid, dan lactic acid). Rendahnya pH meningkatkan peristaltik di dalam kolon dan kemudian

dapat menurunkan waktu transit di kolon. 42

10,38,47

Penelitian yang dilakukan oleh Bu Nan L, dkk pada tahun 2007 membuktikan ternyata pemberian probiotik ( Lactobacillus rhamnosus ,Lcr35) selama empat minggu efektif dalam mengobati konstipasi pada anak, ditandai dengan meningkatnya frekuensi BAB dan hilangnya keluhan nyeri perut.

38

Serat di usus halus dapat memperlancar proses pencernaan karena serat dapat mengurangi waktu transit makanan di saluran cerna. Saat serat melalui usus besar dimana terjadinya proses fermentasi bakteri, serat akan menghasilkan asam

lemak rantai pendek dan gas yang dapat meningkatkan tekanan osmotik serta meningkatkan motilitas usus besar.

Sebuah penelitian meta analysis yang dilaksanakan oleh Yang Jing dkk pada tahun 2012 membuktikan ternyata diet tinggi serat akan meningkatkan frekuensi BAB pada penderita konstipasi fungsional tapi tidak memperbaiki konsistensi tinja.

,53

54

Indiana A,dkk dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Medan Sumatera utara membuktikan pemberian serat (glukomanan) selama 4 minggu efektif dalam mengobati konstipasi fungsional pada anak.

Agar-agar adalah makanan kaya serat yang berasal dari rumput laut, memiliki serat yang mudah dicerna serta protein, mineral, vitamin, antioksidan dengan kadar kalori yang rendah. Rumput laut memiliki aktifitas biologik yang berperan sebagai anti oksidan, anti virus, anti alergi,anti inflamasi, anti kanker, anti koagulasi dan lain-lain.

55

23 Agar-agar berperan sebagai antioksidan yang memberikan efek positif untuk menjaga kesehatan tubuh dan mencegah kerusakan sel-sel didalam tubuh akibat radikal bebas.

Kebutuhan probiotik berdasarkan dosis yang diakui oleh FAO/WHO adalah 10

25,26

8 – 1010 CFU/hari.6,21,38 Kebutuhan serat sesuai peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 75 tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia, dengan dosis : usia 7-9 tahun: 26 gram/hari, laki-laki (usia 10-12 tahun: 30 gram/hari, usia 13-15 tahun: 35 gram/hari , usia 16-18 tahun: 37 gram/hari), perempuan ( usia 10-12 tahun : 28 gram/hari, usia 13-15 tahun : 30 gram/hari, usia 16—18 tahun : 30 gram/hari).

Pada penelitian ini dosis probiotik (Lacidofil

23,26,34

TM ® no reg POM : SI.114602931, Exp date: April 2016) yang diberikan adalah 109 CFU/hari dan jumlah serat yang diberikan adalah dengan dosis 35 gram/hari untuk anak laki-laki dan 30 gram/hari

untuk anak perempuan, yang diberikan dalam bentuk puding agar-agar sebanyak 12 gelas puding yang dikonsumsi setiap hari selama 4 minggu. Probiotik ditaburkan diatas salah satu puding agar-agar sesaat akan dikonsumsi oleh sampel dari kelompok yang mendapat gabungan agar-agar ditambah probiotik.

Pada penelitian ini kami menilai efektifitas pemberian gabungan agar-agar ditambah probiotik dibandingkan dengan pemberian agar-agar saja dalam pengobatan konstipasi fungsional pada anak. Yang kami amati selama penelitian ini adalah frekuensi BAB dan konsistensi tinja sebelum pengobatan, dua minggu dan empat minggu setelah pengobatan.

Pada awal penelitian 64.3% anak mengalami frekuensi BAB kurang dari dua kali dalam satu minggu dengan konsistensi tinja keras (berdasarkan bristol stool chart), 35.7% konsistensi tinja tipe 3 dan 64.3% konsistensi tinja tipe 2.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa frekuensi BAB pada pengamatan minggu kedua dan keempat berbeda secara signifikan antara kelompok yang menerima agar ditambah probiotik dengan kelompok yang memperoleh agar-agar saja (P<0.05). Pada pengamatan dua minggu dengan P=0.0001 dan pada pengamatan minggu ke empat dengan P=0.005.

Untuk konsistensi tinja terlihat bahwa konsistensi tinja yang berbeda secara signifikan antara kedua kelompok studi terlihat pada minggu kedua (P=0.0001) setelah dianalisis menggunakan uji chi square, sedangkan pada minggu keempat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P=0.198).

Penelitian ini merupakan penelitian Randomized Controlled Trial (RCT), dimana pada penelitian ini dijumpai perbedaan frekuensi BAB dan konsistensi tinja antara kedua kelompok.

Penelitian ini masih dijumpai beberapa keterbatasan antara lain jumlah serat yang diberikan kepada sampel dalam dosis penuh sesuai rekomendasi angka kecukupan gizi orang indonesia per hari dalam bentuk puding agar-agar dengan tidak mempertimbangkan asupan serat dari makanan lain yang dikonsumsi sampel diluar serat yang diberikan selama penelitian berlangsung. Beberapa aspek penilaian mengenai frekuensi BAB dan konsistensi tinja bersifat sangat subjektif dari setiap sampel.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait