• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORETIS...................................................................... 9-34

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Menurut Bahasa Arab perceraian berasal dari kata Talaq atau Itlaq yang artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebasan.48 Perceraian menurut

Kamus Bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya pisah, terpisah antara suami

dan istri.49 Menurut al-Jaziry “talak” ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau

mengurangi pelepasan ikatannya dengan mengunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata

talak dan yang semacamnya.50

Perceraian menurut Gunarsa adalah pilihan paling menyakitkan bagi pasangan suami dan istri, namun demikian perceraian bisa jadi pilihan terbaik yang bisa membukakan jalan terbaik bagi kehidupan yang membahagiakan.51 Perceraian mengakibatkan status seorang laki-laki sebagai suami maupun status seorang perempuan sebagai istri akan berakhir, namun perceraian tidaklah menghentikan

47

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 53.

48

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab- Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.861.

49

Tim Redaksi, Kamus Besar bahasa Indonesia Pusat bahasa (Edisi ke IV, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 261.

50

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), h. 192.

51

Gunarsa. S.D. Psikologi untuk Keluarga (Cetakan ke-13. Jakarta: Gunung Agung Mulia, 1999), h.90.

status mereka masing-masing sebagai ayah dan ibu terhadap anak-anak yang telah dilahirkan.

Perceraian menurut Undang-Undang Republik Indonesia pasal 39 No.1 tahun 1974 maka dasar hukum perceraian dikatakan bahwa:

1. Perceraian dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.52

Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan karena kehendak kedua belah pihak, yang dilakukan atas kehendak suami atau istri berdasarkan putusan pengadilan yang mengakibatkan status suami atau istri berakhir. Perceraian diakibatkan karena kegagalan dalam mencapai tujuan pernikahan yang bahagia, kekal, dan sejahtera.

2. Dasar Hukum Perceraian

Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul, itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi Sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Meskipun hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian pada dasarnya

52

perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya perceraian atau talak itu dengan berbagai pemahaman.53

Talak dalam ajaran Islam bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi problema rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Pada dasarnya ajaran islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah swt memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya.

Al-quran menetapkan wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada umumnya tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan menetukan sikap, untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya dipergunakan pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri. Allah swt menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah/2: 231





















Terjemahnya:

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,

maka rujuklah mereka dengan cara yang ma‟ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula)”.54

Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat :

a. Wajib, atau mesti dilakukan, yakni perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu memudaratkan istrinya.55

53

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h. 199.

54

Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 231.

55

b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.

c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu istri dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.56

d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya.57

3. Rukun dan Syarat Perceraian

Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut :

a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat meghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.

Suami yang menjatuhkan talak disyaratkan :

1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal, atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena saraf otaknya.

2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa talak oleh anak

56

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 380.

57

yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan iya telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh. 3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.58

b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:

1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang

menjalin masa iddah talak raj‟i dari suaminya oleh hukum islam dipandang

masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang

dimiliki suami. Dalam hal talak bai‟in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan

talak lagi terhadap bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan

talak bai‟in itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.

2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika iya menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu, dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang dimiliki tidak dipandang ada.

58

c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara, ataupun dengan suruhan orang lain. Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya kerumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap istrinya juga tidak dipandang sebagai talak.59

Isi sighat thalak: Sewaktu-waktu saya:

1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,

2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, 3) Atau saya menyakiti badab/jasmani istri saya itu,

4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan hal tersebut kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai „iwadl

(pengganti) kepada saya, maka jatulah talak saya satu kepadanya

59

Kepada pengadilan atau petugas tersebut saya kuasakan untuk menerima uang

„iwadl (pengganti) itu kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan

Masjid (BKM) Pusat untuk keperluan ibadah sosial.60

d. Qashadu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak kepada istrinya, mestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata : “ini sebuah talak untukmu”, tetapi keliru ucapan,

berbunyi : “ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.61

4. Alasan Perceraian

Perceraian dalam perkawinan sekalipun diketahui bahwa tidak dilarang, namun setiap orang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat, begitupun dengan seorang istri. Oleh karena itu jika seorang istri mengajukan gugatan cerai maka harus mempunyai alasan-alasan perceraian yang kuat. Adapun alasan-alasan perceraian tersebut adalah:

a. Ketidakharmonisan dalam Rumah Tangga

Bamyak hal yang menjadi penyebab sehingga terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang dapat berakibat fatal dan berujung pada perceraian.

5) Melanggar perjanjian perkawinan

Apabila terjadi pelanggaran perjanjian seperti si suami meninggalkan istrinya selama masa tertentu dan tidak memberinya nafkah, sednagkan istrinya tidak rela dengan kenyataan itu, maka dalam hal ini si istri boleh

60

Buku Nikah, Departemen Agama RI, Tahun 1999

61

mengajukan permasalahannya ke pengadilan untuk memperoleh putusan perceraian dalam pengadilan.62

Kenyataannya, meski perjanjian kawin telah disepakati bersama namun tidak menjamin akan ditaati selamanya oleh suami ataupun istri. Adakalanya pelanggaran perjanjian kawin terjadi sehingga menimbulkan masalah di kemudian hari.

6) Meninggalkan tempat kediaman bersama

Mengenai hal ini para ahli fiqih berbeda pendapat, Imam Abu

Hanafiah dan Imam Syafi‟I berpendapat bahwa tindakan suami meninggalkan

tempat kediaman bersama itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada hakim karena tidak mempunyai alasan yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad membolehkan untuk menjadikan tindakan suami itu sebagai alasan untuk bercerai, sekalipun suami meninggalkan harta yang dapat dijadikan nafkah oleh istrinya.63

Apabila salah satu pihak meninggalkan rumah tanpa izin atau pun alasan yang jelas dalam jangka waktu yang lama maka salah satu pihak yang ditinggalkan dapat mengajukan perceraian.

b. Penganiayaan

Menganiaya berat, dalam hal ini ulama berbeda pendapat, Imam Abu Hanafiah,

Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad berpendapat bahwa istri tidak mempunyai hak untuk

memintai cerai. Tapi hakim mengancam suami dan melarangnya menganiaya walaupun dengan menengahi antara keduanya, sampai suami tidak lagi menganiaya.

62

Amir Syaifuddin, Hukum Perkawinan Dalam Islam Diindonesia, h. 253.

63

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 219.

Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa istri mempunyai hak untuk memilih apakah ia mau menetap terus bersama suami itu dan merasa cukup dengan peringatan hakim terhadap suami, atau ia menuntut cerai. Dalam hal kedua, kalau suami tidak mau menceraikannya maka hakim dapat menceraikannya.64

Penganiayaan berujung pada kekerasan dalam rumah tangga, hal ini dapat terjadi bukan hanya pada istri namun anak pun kadang menjadi korban penganiayaan. Hal ini dapat dipicu karena kebiasaan suami yang sering mabuk-mabukan, apabila hal tersebut terjadi istri memiliki hak apakah ia harus tetap bertahan atau menceraikannya.

c. Perzinahan

Dalam surah An-Nur disebutkan bahwa orang-orang pezina baik laki-laki maupun perempuan biasanya kawin dengan orang-orang musyrik. Pernikahan itu haram hukumnya bagi orang-orang mukmin. Rasulullah saw. pernah memberi keputusan perceraian antara orang laki-laki mukmin yang telah kawin dengan perempuan zina.65

Pasangan suami istri dalam berumah tangga akan menemui berbagai macam ujian, salah satunya perselingkuhan yang berujung pada perbuatan zina. Jika hal tersebut terjadi maka salah satu pihak yang dirugikan berhak melakukan gugatan ke Pengadilan Agama.

Perzinahan dapat terjadi baik pada istri maupun suami, penyebab perzinahan yaitu adanya perselingkuhan atau adanya pihak ketiga yang muncul dalam rumah tangga.

64

Mahmud Syatut, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih, h. 205-206.

65

1) Gangguan orang ketiga

Gangguan pihak ketiga tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya alasan atau penyebabnya. Landasan perselingkuhan bisa dilandasi oleh hawa nafsu, baik dari pihak suami maupun istri yang berujung pada perzinahan. Yang mendasari timbulnya hawa nafsu tersebut biasanya dikarenakan beberapa faktor, yaitu ketidakpuasan terhadap pasangan.

Ketidakpuasan terhadap pasangan ini didasari karena kurangnya rasa syukur terhadap apa yang telah dimiliki. Sehingga selalu mencari-cari yang lebih dari suami ataupun istrinya. Tanpa seks, manusia memang masih bisa bertahan hidup namun akan merasa ada beberapa bagian dalam hidupnya yang hilang atau hampa. Jadi, meskipun bukan kebutuhan primer, namun seks pada pandangan banyak orang merupakan kebutuhan terpenting. Perhatian sangat juga sangan diperlukan dalam kehidupan suami istri khususnya istri, haus kasih sayang dari suaminya. Sedangkan suami tidak membutuhkan perhatian, dia lebih membutuhkan untuk dipahami. Karena itu, biasanya dalam beberapa kasus perselingkuhan, kebanyakan istri berselingkuh karena kurang perhatian dari suami.66

d. Ekonomi

Ekonomi menjadi hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama apabila sudah berumah tangga. Namun anggapan yang keliru pula apabila mengatakan bahwa banyaknya uang yang dimiliki dapat mengatasi segala masalah dalam rumah tangga. Diharapkan kebutuhan rumah tangga tidak dianggap sebagai

66

Abdul Aziz Ahmad, All About Perselingkuhan: Problematika dan Jalan Keluarnya (Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah, 2009), h. 85.

keharusan yang memberatkan. Jika sebelum menjadi seorang suami menjadi orang yang diberi nafkah, maka saat menjadi seorang suami dia sebagai pemberi nafkah.67

Banyak keluarga yang bercerai lantaran faktor ekonomi, salah satu penyebabnya adalah :

1) Suami tidak memberi nafkah

Jumhur ulama yang terdiri dari Imam Malik, Syafi‟I, dan Ahmad,

berpendapat bahwa hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada istri, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak memberi nafkah.68

Banyak suami yang tidak memberi nafkah lahir batin kepada istri dan anak setelah berumah tangga. Seorang suami mempunyai kewajiban untuk member nafkah kepada keluarganya.

5. Dampak Perceraian

Perceraian pada dasarnya akan menimbulkan dampak yang kompleks bagi pasangan yang bercerai maupun bagi anak. Meskipun perceraian di satu sisi dapat menyelesaikan suatu masalah rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga menimbulkan dampak negatif.

Anak merupakan korban yang paling terluka ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena kehilangan sosok ayah atau ibu mereka, takut kehilangan kasih sayang orang tua yang kini tidak tinggal serumah. Mungkin juga mereka merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai penyebabnya. Prestasi anak di sekolah akan menurun atau mereka jadi lebih sering untuk menyendiri.

67

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian Salah Siapa? Bimbingan dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga (Jakarta: Lentera Basritama), h. 52.

68

Orang tua terkadang lupa bahwa perceraian tidak hanya menyangkut kedua belah pihak saja, suami dan istri. Adapun anak – anak yang menjadi bukti cinta kasih pasangan dan merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada orang tua untuk dirawat dan diberi kasih sayang, menjadi terkena pengaruh dari adanya kasus ini. Orang tua kemudian demi kepentingannya pribadi menjadi egois untuk kemudian mengambil keputusan saling berpisah tanpa memperhatikan dampak yang terjadi kepada anak - anak mereka. Terlebih lagi untuk anak - anak usia dini yang masih perlu belaian kasih sayang dan begitu tergantung dengan orang tuanya, hal tersebut tentu baik disadari ataupun tidak akan mempengaruhi kepribadian anak. Rasa aman dan kehangatan keluarga yang menjadi kebutuhan dasar mereka, jika tak didapatkan akan begitu berpengaruh dalam kehidupannya baik semasa anak - anak maupun setelah dewasa.

Walaupun kadangkala, perceraian merupakan satu - satunya alasan untuk kehidupan yang baik di antara kedua belah pihak, tetapi selalu ada akibat buruknya pada anak, baik secara psikologis maupun secara fisik. Anak-anak yang sedikit lebih besar bisa pula merasa terjepit di antara ayah dan ibu mereka. Salah satu atau kedua orang tua yang telah berpisah mungkin menaruh curiga bahwa mantan pasangan hidupnya tersebut mempengaruhi sang anak agar membencinya. Ini dapat mebuat anak menjadi serba salah, sehingga mereka tidak terbuka termasuk dalam masalah-masalah besar yang dihadapi ketika mereka remaja. Sebagai pelarian yang buruk, anak-anak bisa terlibat dalam pergaulan yang buruk, narkoba, atau hal negatif lain yang bisa merugikan.69

Suasana rumah tangga memberi pengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak usia Sekolah Dasar. Suasana keluarga yang berantakan dapat

69

http://kumpulan.info/keluarga/perkawinan/284-apa-saja-dampak-perceraian.html, di unduh pada tanggal 22 Mei 2017.

menyebabkan anak tidak dapat belajar dengan baik bahkan membawa pengaruh yang negatif terhadap perkembangan jiwa anak dalam masa pertumbuhannya, karena pribadi si anak umumnya terjadi melalui pengalaman yang didapat diwaktu kecil. Pengalaman yang diperoleh anak di waktu kecil baik pengalaman pahit maupun menyenangkan memberi pengaruh dalam kehidupan anak nantinya. Zakiah Drajat menyebutkan ada beberapa hal tanggung Jawab orang tua terhadap anak-anaknya. a. Memperkenalkan nikmat dan karunia Allah.

b. Membimbing anaknya dalam pengalaman ilmu agama. c. Memberi nama bagi anak.

d. Memperjelas nasab ( keturunan ).70 1. Dalam bidang Emosional:

a) Adanya rasa kasih sayang dan cinta kepada anak.

b) Harus mencerminkan keteladanan yang baik karena anaknya akan selalu mengikuti jejak dan perilaku orang tuanya.

c) Berbuat dan bersikap adil dalam keluarga. d) Bijak dalam membimbing.

e) Meluangkan waktu untuk bergaul dan bermain dengan anaknya.

f) Harus baik tidak kasar dan bijak dalam mengungkapkan kemarahannya terhadap anak.

g) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.71 2. Dalam Bidang Kesehatan Meliputi:

a) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan merawat anak sejak dalam kandungan hingga dewasa.

70

Zakiah Dradjat, ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,1979)., h.36.

71

Majalah, Parent Guide (Better Parent-Better Generation), Edisi Tanggal 4 Oktober 2003,hal.22,83dan 92.

b) Orang tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut maka pemerintah wajib memenuhinya.72

Ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa seorang anak mempunyai hak yang cukup menjamin terhadap kelangsungan hidup dan kebahagiaan anak yang bersangkutan. Anak yang sah tersebut berhak mendapat perhatian, baik dari segi perkembangan jiwanya ataupun pendidikan yang layak sampai anak itu berumur 18 tahun.

72

UU Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Orang Tua, Masyarakat Dan Negara Terhadap Anak.

Dokumen terkait