• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Peredebatan hingga Kesejahteraan

Pemetaan tentang seni dan disabilitas di Jakarta menggambarkan bahwa penyandang disabilitas yang beraktivitas di wilayah kesenian sangat luas dan bermacam- macam. Seniman-seniman penyandang disabilitas di Jakarta ada yang pelukis, seniman art brut, pemusik, ballet, dan tari. Selain itu, ada pula seniman nondifabel yang juga memasukkan isu disabilitas dalam salah satu karya mereka. Dari keberagaman itu, ada difabel seniman yang tergabung ke dalam organisasi seni dan ada pula yang tidak. Selama ini, hampir semua dari mereka tidak tersentuh baik oleh

58

kebijakan pemerintah dan organisasi penyandang disabilitas.

Sentuhan pemerintah terhadap penyandang disabilitas yang berprofesi sebagai seniman, atau seni dan disabilitas secara umum, sejauh ini masih berupa kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan apresiasi karya difabel seniman di hari yang sama dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Padahal dalam Pasal 87 undang-undang tersebut memuat kewajiban yang menyatakan bahwa pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi dan mengembangkan kemampuan penyandang disabilitas yang beraktivitas di bidang seni budaya, serta memberikan penghargaan terhadap difabel seniman terbaik.

Mengacu pada undang-undang tersebut dan pemetaan seni dan disabilitas, ada empat hal yang perlu dijembatani terlebih dahulu. Pertama, stigma terhadap penyandang disabilitas pada kenyataannya belum teratasi dengan baik. Perkembangan diskursus normal dan tidak normal selama ini masih berpretensi memisahkan difabel

59 dan non-difabel pada banyak wilayah, mulai dari sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Keadaan inilah yang kemudian memproduksi tampilan kesenian difabel, atau pertunjukan yang melibatkan difabel, masih sebatas penilaian etis belaka, bukan estetis. Tak jarang, penyandang disabilitas ditampilkan sebagai medium motivasi pemancing tangis. Sayangnya, penilaian ini tidak disertai dengan kebijakan struktural yang berkelanjutan.

Kedua, seni dan disabilitas membutuhkan jembatan yang dapat menghubungkan aktivitas kesenian penyandang disabilitas dengan seniman lain non-difabel, pelatih, kurator, dan kelembagaan baik lembaga penyandang disabilitas atau lembaga seni. Kolaborasi ini akan menentukan kesenian yang memuat isu disabilitas menjadi lebih terarah; apakah ia harus dinilai dari perspektif kesenian secara umum atau melalui pendekatan yang berbeda dan adaptif terhadap kesenian penyandang disabilitas. Hal ini tentunya perlu menghindari penilaian estetis yang bias normal, karena pada dasarnya sejarah kesenian dan kebudayaan pun tidak lepas dari bias tersebut.

60

Ketiga, selain memasukkan isu disabilitas dalam karya seni, jalinan antara organisasi seni dan organisasi penyandang disabilitas perlu dipertegas dengan misi yang selaras. Beberapa difabel seniman selama ini ada yang beraktivitas tanpa sentuhan lembaga kesenian dan bahkan tidak saling mengenal satu sama lain untuk sekedar berbagi informasi pameran. Keempat, permasalahan kesejahteraan yang dialami secara umum di Indonesia memasukkan difabel seniman pada eksklusi dan hambatan berlapis-lapis. Difabel yang bekerja sebagai pegait seni dan bergantung secara ekonomi pada produktivitas karyanya selama ini terhitung paling tidak diuntungkan. Tak jarang, beberapa dari mereka, seperti Totok, berhenti dari profesinya sebagai seniman, beralih ke pekerjaan lain yang lebih menyejahterakan.

61

Bagian Kedua

Kesenian dan Disabilitas di Kota

Bandung

1. Kondisi Umum Wilayah

Pada tahun 2016, Pemerintah Kota Bandung merilis jumlah penyandang disabilitas di Kota Bandung dengan rincian: 452 tunadaksa, 243 tunanetra, 309 tunarungu dan tunawicara, 341 penyandang disabilitas jiwa, 139 tunadaksa dan mental, 351 masuk dalam “kategori lainnya” yang tidak disertai penjelasan mengenai jenis disabilitasnya. Jadi secara total, ada 1,835 penyandang disabilitas di Kota Bandung (BPS Kota Bandung 2016). Meski tidak sampai 1% dari total jumlah populasi (2,397,396 orang), pemerintah

62

memang harus dan memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas.

Baru-baru ini, ketika penelitian ini baru ini mulai, Pemerintah Kota Bandung mendapatkan bantuan berupa tiga unit bus untuk penyandang disabilitas dari Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat. Tiga unit bus ini tentunya belum terlengkapi dengan halte atau tempat berhenti yang aksesibel bagi difabel. Untuk itu, dalam konfirmasi yang tersampaikan lewat berbagai media, Dinas Perhubungan Kota Bandung berkomitmen menyediakan kelengkapan lainnya terkait mode transportasi aksesibel tersebut. Sebagai kota memengah yang berkembang pesat, Kota Bandung memang selayaknya menyediakan fasilitas tersebut dan menjalar ke kemudahan lainnya.

Ditilik dari segi peraturan daerah, Kota Bandung memiliki Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 26 Tahun 2009 tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Cacat. Muatan peraturan daerah ini secara tekstual masih memuat beberapa bias yang mewakili diskursus bias normal, seperti penggunaan kata “cacat” pada nama peraturan daerah tersebut dan beberapa

63 kekeliruan yang dapat dianggap prinsipil dalam ayat-ayat dan poin-poinnya. Namun secara umum pula, banyak hal yang dapat diambil pelajaran dari perda tersebut, yaitu langkah-langkah afirmatif untuk memberdayakan dan menyetarakan hak penyandang disabilitas.

Dari segi sosial, terdapat pula organisasi atau lembaga yang anggotanya terdiri dari penyandang disabilitas. Di antaranya adalah Kelompok Kreativitas Difabel (KKD), Art Therapy Center Universitas Widyatama, dan Smile Motivator yang berada di bawah naungan Login Foundation, Komunitas Pemuda Peduli Kesejahteraan Sosial (KPPKS), Sahabat Difabel, Gerakan Bandung Disiplin, dan Klub Origami Indonesia. Selain organisasi- organisasi tersebut, ada pula yang vakum dan tak dapat ditelusuri aktivitas-aktivitas mereka.

Penyandang disabilitas yang bergerak independen tanpa naungan organisasi dan lembaga juga tesebar di beberapa daerah pinggiran Kota Bandung. Melihat keberadaan organisasi, lembaga, sanggar, dan gerakan penyandang disabilitas di Bandung ini, berikut bagaimana pemerintah daerah menanggapinya dengan beberapa

64

kebijakan terkait, dapat disimpulkan untuk sementara bahwa sudah terjadi sinergi antara masyarakat penyandang disabilitas dengan pemerintah daerah Kota Bandung. Namun dalam rincian pelaksanaan kebijakan tersebut, ada pula yang perlu diperhatikan yaitu eksekusi kebijakan yang masih belum dapat dinilai sebagai pro-penyandang disabilitas.

Sebagaimana kota atau daerah lainnya di Indonesia, Kota Bandung dapat dinilai belum sepenuhnya melaksanakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Demikian juga, pelaksanaan peraturan daerah yang ada di wilayah tersebut juga belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini terwakili dari pernyataan beberapa penyandang disabilitas yang telah diwawancarai dan hasil penelusuran peneliti terkait fasilitas publik yang menunjungkan tidak adanya tindak lanjut yang menyeluruh terhadap peraturan daerah dan undang- undang.

65 Figure 8. Kondisi terkini Taman Inklusi di Ronsen, Bandung

(Sumber: Dokumentasi peneliti)

Kota Bandung yang memiliki imej sangat terbuka, taman-taman dan fasilitas publiknya bersih, terawat, dan teratur, sekilas dapat dilihat bahwa penyandang disabilitas belum dapat mengakses fasilitas-fasilitas tersebut. Taman Inklusi di Ronsen, yang direncanakan sebagai taman terbuka dan inklusif-aksesibel pun kurang terawat dengan baik, kalah dengan taman lain yang banyak dikunjungi masyarakat atau wisatawan. Menurut Bebeng, salah seorang aktivis yang menemani kelompok-kelompok penyandang disabilitas, taman tersebut bahkan tidak menarik bagi siapapun untuk mengunjungi.

66

2. Kebijakan Terkait Seni dan Disabilitas

Sejauh ini belum ada kebijakan atau penyelenggaraan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandung. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 26 Tahun 2009 tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Cacat, tidak ada satu kata pun yang mencantumkan “seni”, “budaya”, atau “seniman difabel”, atau kata lain yang seafiliasi dan menunjukkan adanya kebijakan yang mengarah pada seni dan disabilitas. Secara praktis, kegiatan terkait tema tersebut juga tidak ditemukan atau terungkapkan.

Secara independen, Smile Motivator atau Login Foundation memang telah menyelenggaran gelaran Unspoken Talent Night (UTN) yang pada 2017 ini merupakan perhelatan keenam. Sejak 2012, Smile Motivator menggelar kegiatan ini bersama dengan Sekolah Luar Biasa di Kota Bandung. Seluruh SLB di Kota Bandung mendapatkan undangan untuk mementaskan karya mereka. Selain UTN yang diselenggarakan Smile Motivator tersebut, Kelompok Kreativitas Difabel (KKD) Bandung juga bergerak di bidang yang menyentuh kesenian

67 dan kerajinan. Produk terbaru penyandang disabilitas yang tergabung dalam KKD ini adalah kaki palsu. Dalam rencana mereka, kaki palsu ini dibagikan gratis bagi yang membutuhkan, dan sisanya dijual untuk melanjutkan produksi dan mencukupi kebutuhan ekonomi difabel yang turut serta dalam proses produksi.

Sama seperti dua lembaga di atas, beberapa kegiatan kesenian yang bersangkutan dengan difabel juga belum tersentuh kebijakan pemerintah. Klub Origami Indonesia, misalnya, justru melaksanakan kegiatan sosialnya melalui dana yang disediakan oleh perusahan-perusahaan melalui coorporate social responsibility (CSR) mereka. Begitu pula dengan Workshop Kreatif (Woke) yang diselenggarakan Komunitas Pemuda Peduli Kesejahteraan Sosial (KPPKS) yang bekerja sama dengan Sahabat Difabel dan Gerakan Bandung Disiplin didukung oleh Bank Rakyat Indonesia dalam hal pendanaan. Kerajinan, kebudayaan, atau kesenian yang dikerjakan penyandang disabilitas selama ini belum disentuh pemerintah daerah Kota Bandung.

68