BAB IV. MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI
B. Perempuan dan Anak
Wanita19
Oleh Damaira20
Kami bukan lagi Bunga pajangan
Yang layu dalam jambangan Cantik dalam menurut Indah dalam menyerah Molek tidak menentang Ke neraka mesti ngikut Ke sorga hanya menumpang
Kami bukan juga Bunga tercampak
Dalam hidup terinjak-injak Penjual keringat murah Buruh separuh harga Tiada perlindungan Tiada persamaan
19
Lihat buku Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI
ditulis oleh Saskia E. Wieringa. Galang Press, Yogyakarta, 2010. Hal 212 – 213.
20
Puisi Damaira (Sugiarti Siswadi) di atas dimuat pertama kali di majalah Api Kartini, Maret 1959, halaman 2. Dalam buku Saskia Wieringa puisi ini dimuat dua kali dalam kesempatan yang berbeda. Versi yang lain diambil dari Contemporary Progressive Indonesian Poetry, terbitan Lekra tahun 1962, halaman 65, tanpa judul, kata-katanya sama, hanya 4 stanza (kelompok baris) pertama digabung menjadi dua, satu dengan dua, tiga dengan empat, sehingga total jumlah stanzanya jadi tiga bukan lima.
Sarat dimuati beban
Kami telah berseru
Dari balik dinding pingitan Dari dendam pemaduan
Dari perdagangan dilorong malam Dari kesumat kawin paksaan
―Kami Manusia!‖
Berbicara mengenai perempuan, seringkali mengarah pada kesetaraan gender.
Apalagi pada masa-masa di mana laki-laki masih sangat mendominasi. Kesetaraan ini
pun kerap muncul dalam karya-karya penulis perempuan pada masa revolusi.
Menurut Chambert-Loir,21 di luar konteks organisasi perempuan, pada masa
ini, dikenal empat penulis karena produktivitasnya, yaitu S. Rukiah, NH Dini,
Suwarsih Sjojopuspito dan Sugiarti Siswadi. Secara umum, para penulis perempuan
pada masa ini telah menyadari feminisme meski tidak sepenuhnya
mengaplikasikannya dalam karya mereka. Loir mengatakan, dari keempat pengarang
perempuan di atas, karya Sugiarti kurang memiliki nilai sastra tetapi kuat dalam napas
politik. Hal ini mudah dipahami karena ideologi Sugiarti berhaluan kiri dan oleh
karenanya lebih mengutamakan substansi sebagai fungsi praktisnya. Sebenarnya
begitu pula S. Rukiah, yang keduanya sama-sama duduk dalam redaksi Api Kartini.
Bagi peneliti, karya keduanya memang memiliki kecenderungan yang mirip,
namun S. Rukiah lebih banyak memproduksi karya yang memiliki tema yang lebih
umum dan cenderung menghindari tema revolusi. Hal ini didukung pula oleh
21
Henri Chambert-Loir dalam artikelnya berjudul ―Les femmes et l'écriture : La littérature féminine indonésienne‖. Dimuat dalam Archipel. Volume 13, 1977. Hlm. 267-282.
keterlibatannya dalam gerakan kiri kurang begitu kuat. Oleh karena itu, karya-karya
S. Rukiah lebih dilirik oleh Balai Pustaka dan namanya lebih tersohor daripada
sahabatnya, Sugiarti. Sementara itu, Sugiarti memiliki keberpihakan yang jelas pada
ideologi kiri. Hal inilah yang kemudian mengecoh Loir dengan menduga bahwa S.
Rukiah dan Sugiarti merupakan perempuan yang sama, bahwa Sugiarti Siswadi
merupakan nama samaran dari S. Rukiah. Kesamaan keduanya adalah pada nasib
mereka yang dikebiri Orde Baru.
Melalui majalah Api Kartini, Sugiarti banyak melakukan aktivitas jurnalisme
dan menulis. Ia juga tergabung dalam susunan redaksi majalah tersebut. Pada masa
Sugiarti produktif sebagai pengarang, revolusi memang menyedot perhatian banyak
kalangan pada perubahan di segala bidang, utamanya perubahan dengan cara
kekerasan. Hal ini kemudian mengesampingkan pihak-pihak yang cenderung
dianggap lemah. Pihak yang berdiri pada posisi ini adalah perempuan dan anak. Tak
banyak yang memberi perhatian kepada pihak ini.
Pembahasan mengenai perempuan dan anak seolah menjadi bagian terpisah
dari organisasi yang berafiliasi dengan PKI ini. Seolah-olah wilayah perempuan
hanya mendapat porsi di sayap lain, yaitu Gerwani. Padahal beberapa anggota Lekra
adalah perempuan. Bahkan, dari jumlah yang hanya beberapa itu menduduki posisi
penting. Salah satunya adalah Sugiarti Siswadi. Oleh sebab itu, jarang ditemukan
tulisan tentang peran penting perempuan dalam tubuh Lekra.
Kondisi seperti ini berbeda dengan Sugiarti Siswadi. Nyaris seluruh karyanya,
tokoh-tokoh perempuan, Sugiarti mencitrakannya sebagai seseorang yang berwibawa,
tegas, dan penuh kasih sayang seperti dalam puisi yang dikutip pada awal subbab ini.
Pencitraan ini sangat jelas dalam puisi Wanita. Puisi ini merupakan karangan Sugiarti
Siswadi dengan nama samaran. Hanya dalam karya puisi ini, ia menggunakan nama
samaran. Selanjutnya, ia lebih senang menggunakan nama Sugiarti Siswadi.
Puisi ini menunjukkan sikap tegas Sugiarti tentang pandangannya mengenai
perempuan. Bahwa ia menentang budaya patriarki yang meletakkan perempuan
sebagai subordinasi. Ia menolak budaya Jawa yang dalam konteks keagamaan
memberi tempat kepada perempuan sebagai ekornya laki-laki. Terlihat jelas dalam
larik ke nereka mesti ngikut, ke surga hanya menumpang. Larik ini bisa dibandingkan
dengan ungkapan Jawa, swarga nunut neraka katut, (perempuan) ke surga
menumpang ke neraka ikut terbawa (laki-laki).
Kesadaran gender ini, dalam pandangan Sugiarti telah membuat kami
(perempuan) telah berseru, bahwa kami manusia! Dengan menegaskan bahwa
perempuan adalah manusia, makna yang ingin disampaikan adalah kesetaraan. Tak
ada lagi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Tak ada lagi anggapan bahwa
perempuan adalah bunga yang menjadi korban pemaduan, perdagangan dilorong
malam, dan korban kawin paksaan.
Lebih tegas lagi, pada 1 Mei 1965, Api Kartini memuat puisi Sugiarti berjudul
Kebebasan
22Kebebasan telah mengubah wajah dunia Dirajainya otak, hati dan kepribadian Disingkapnya kabut digunung, dilembah, di-
pantai,
Diladang, dipabrik, dikota-kota Dan dihati kami, wanita.
Kini kami bukan lagi
Hanya melahirkan prajurit pekerja Kami adalah prajurit pekerja
Bukan lagi hanya isteri pahlawan rakjat Kami adalah pahlawan rakjat
Dan jika nanti benteng zaman tua sudah hancur Perkasa berdiri kubu pekerja dipersada tanah- airku
Kami bukan lagi hanya penabur bunga Membaca doa dan meratapi kehilangan
Kami adalah sebahagian anggota pasukan yang terdepan
Secara keseluruhan, puisi Sugiarti di atas memberikan energi kepada para
perempuan untuk tak hanya menjadi perempuan yang melahirkan prajurit pekerja,
isteri pahlawan rakjat, dan penabur bunga. Ia mendorong perempuan untuk maju ke
barisan pasukan yang terdepan menjadi prajurit pekerja, menjadi pahlawan rakyat.
Kesetaraan gender pun diungkapkan oleh Sugiarti dalam puisi berjudul Kasih
Bersemi. Isi puisi ini terkesan melenceng dari judulnya. Kisah kasih hanya sebagai
sandaran awal sebagai penggambaran penyair terhadap konteks percakapan antara
laki-laki dan perempuan. Perhatikan kutipan puisi berikut ini.
22
Menurut Saskia E. Wieringa, puisi ini juga dimuat dalam Contemporary Progressive Indonesian Poetry, hlm. 66. Dimuat secara berurutan dua halaman dengan puisi berjudul Wanita. Kedua puisi ini memiliki luapan energi yang bisa dianggap sama.
,,Pipimu merah jambu, adik”
,,Ya, dipulas hangat matari komune rakyat” ,,Tanganmu kuat dan coklat, abang,”
,,Ya, diganggang tanur tinggi pabrik Wuhan.” ,,Berapa pikul kol kaupanen adik”
,,Regu kerjaku, abang, regu pilihan.”
,,Betapa ton baja, kautuang, abang?”
,,Tahun depan aku bakal jadi pekerja teladan.”
Kutipan puisi Kasih Bersemi ini merupakan cerita tentang produksi sebagai
titik tumpunya, bukan kisah kasihnya. Hanya puisi ini dari keseluruhan karya Sugiarti
yang dipoles dengan kisah sejoli. Tapi nyatanya justru melenceng dan kembali pada
garis ideologinya. Lebih dari itu, kisah antara laki-laki dan perempuan ini menjadi
upaya penyair untuk mengedepankan pandangannya tentang kesetaraan. Bahwa ketika
laki-laki bekerja, pun demikian dengan perempuan. Laki-laki berjuang, demikian pula
dengan perempuan.
Kerja merupakan bagian dari perjuangan revolusi. Representasi kerja sebagai
bentuk perjuangan yang dilakukan pula oleh kaum perempuan yang dilukiskan
Sugiarti di atas memiliki hubungan paralel dengan puisi Lagu Juang Wanita Sejati
karya Ratnasih.23 Puisi ini menyerukan ―semangat banteng merah‖ dalam ―bekerja, belajar pada massa‖ untuk mencapai hari esok.
Selain puisi di atas, peneliti tidak menemukan karya yang serupa. Sedikit
perhatian perempuan tentang kaumnya sendiri membuat puisi-puisi bertema tentang
23
kerja dan perjuangan perempuan menjadi ciri tertentu pengarang perempuan Lekra.
Kebanyakan pengarang perempuan Lekra larut dalam tema-tema besar revolusi.
Kesadaran pengarang perempuan Lekra terhadap rakyat menarik simpati
pengarang laki-laki. Misalnya ditunjukkan oleh D.N. Aidit dalam puisi Ziarah ke
Makam Usani.24 Aidit mengapresiasi sikap Usani memiliki kecintaan, melakukan
pembelaan, dan kesetiaan terhadap kaum buruh dan tani yang ia wujudkan dalam
kehidupan sehari-harinya. Apresiasi yang serupa juga di sampaikan oleh Koe
Iramanto kepada Aminah Djamil dalam puisinya yang berjudul Aminahdjamil.25
Kesadaran perempuan tersebut dapat dilihat dalam isu tentang kesetaraan
gender yang memang marak dibicarakan pada masa itu. Misalnya dengan menjadi isu
pokok pada Kongres Gerwis/Gerwani. Kongres pertama tahun 1951, bertema sekitar
permasalahan perdamaian, hak-hak anak dan wanita.26 Kongres kedua tahun pada
1954, bertema tentang hak-hak wanita dan anak-anak, kemerdekaan dan perdamaian.
Para perempuan ini menuntut adanya perdamaian dengan antiimperialisme, mengutuk
keras percobaan nuklir, menumpas gerakan Darul Islam, yang antikomunis dan
meneror masyarakat di desa-desa, khususnya di Jawa Barat.27
Hasil Kongres II ini tak hanya bisa dinikmati oleh kalangan anggota saja,
melainkan disebarluaskan ke berbagai daerah dengan sasaran perempuan pada
umumnya. Tujuannya untuk menggemukkan anggota agar dapat menjadi gerakan
24 Ibid. 297 – 298. 25 Ibid. 426. 26
Harian Rakjat, 1 Desember 1952.
27
perempuan yang tak dipandang sepele. Tujuan itu pun tak sulit dicapai dengan
sosialisasi ide dan program secara intensif oleh kader. Jumlah anggota kemudian
membengkak mencapai satu juta pada akhir 1955.28 Dari jumlah yang banyak itu,
kemudian dibentuk kepengurusan cabang untuk lebih mendorong kesadaran
perempuan akan haknya. Isu perkawinan menjadi perhatian utama. Sebab masih
banyak ditemukan perempuan yang menikah belum pada usia yang matang.
Bukan tak mendapat kendala, justru ide-ide Gerwani ini berbenturan dengan
ideologi (agama dan budaya), pekerjaan rumah tangga, dan berbagai kendala teknis
lainnya. Untuk itu, Api Kartini menyediakan ruang-ruang untuk berbagi wacana dan
memberikan tips-tips dalam mengatasinya, bahkan sampai pada menyediakan menu
makan dan membuat pakaian untuk keluarga. Didukung pula oleh Harian Rakjat
dengan memberi ruang khusus bernama ―Ruangan Wanita‖.
Berlanjut pada Kongres III pada tahun 1957, Gerwani menyoroti persoalan
hak yang sama bagi perempuan dalam perkawinan, hukum adat serta perburuhan. Tak
luput pula dibicarakan tentang pelayanan sosial, seperti sekolahan, penitipan anak,
layanan kesehatan, larangan film porno, pencabutan IGO/B, masalah pedesaan yang
menyangkut bagi hasil dan riba, pajak tinggi, dan kenaikan harga bahan pokok,
pembasmian gerombolan subversif seperti Darul Islam, dan menuntut agar percobaan
nuklir semata-mata demi tujuan perdamaian.29 Masalah yang sama juga tak jauh
berbeda dibicarakan pada Kongres IV pada tahun 1961. Bedanya, pada tahun ini,
28
Harian Rakjat, 22 Juni 1956.
29
politik lebih berperan dalam tubuh Gerwani, terutama dukungan mereka terhadap
kebijakan Sukarno.
Dari keseluruhan isu yang mengemuka, nyaris seluruhnya digarap oleh
Sugiarti Siswadi. Artinya, sebagai pengarang perempuan Lekra, ia juga paham
tentang isu-isu perempuan di luar konteksnya sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra.
Peran yang cukup berbeda dengan deretan pengarang perempuan lain pada masanya.
Selain isu perempuan, Sugiarti juga menunjukkan minatnya dalam berbagai
isu yang mengemuka pada masa itu sebagai konsekuensinya menjadi anggota Lekra.
Minatnya itu ditunjukkan misalnya dalam cerpen Putri yang Beradu (tentang
perdamaian, nuklir, dan peran istri dalam rumah tangga yang sekaligus juga seorang
perawat), Budak Kecil (buruh anak/perempuan, perempuan aktivis sosial, dan
kemiskinan), Satu Mei Didesa (buruh), Kepada Sahabat Asia-Afrika (puisi tentang
peran dan perjuangan Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika), Yang Kesepian
(antiimperialis, anti-Amerika, kenakalan anak, kenakalan istri, budaya pop, dan
pendidikan), Sorga Dibumi (budaya patriarki, korupsi, agama, dan perburuhan),
Rumah yang Kesembilan (penggusuran dan keadilan), serta Soekaesih (perempuan
yang maju ke barisan depan sebagai prajurit pekerja, pahlawan rakyat).
Untuk mendapat gambaran tentang karya Sugiarti yang memiliki pararelitas
dengan karya-karya sastrawan lainnya, berikut dibahas satu karya yang berjudul
Kepada Sahabat Asia-Afrika. Puisi sangat penting karena menandai pemikiran
diminati oleh banyak sastrawan Lekra karena di dalamnya negara-negara itu bersatu
melawan satu musuh.
Amerika menjadi musuh utama bagi rakyat Asia-Afrika yang terjajah. Benni
Cung mengatakan dalam puisi ―Hancurkan musuh utama: / Amerika! // Merdeka /atau mati / hancurkan Amerika!‖30
Lebih dahsyat lagi Benni Cung menggunakan diksi
―sungguh busuk air comberan‖, ―perampok‖, ―bobrok‖, dan ―kebusukan yang paling
busuk‖ untuk mengutuk musuh utama itu.31
Dalam puisi di atas, diungkapkan kesadaran negara-negara Asia-Afrika yang
memiliki semangat perlawanan dan menjadi ‖tanda zaman‖ untuk menandai bahwa
‖penjajahan telah silam‖. Mereka bersama-sama mengutuk Amerika sebagai ‖setan
dunia‖ atau penjahat perang. Amerika menunjukkan kekejamannya dengan
menebarkan racun dan mengebom rakyat Vietnam dan Kongo.
Dari Vietnam, H.R. Bandhaharo merepresentasikan gerakan melawan
imperialisme yang diusung oleh rakyat dalam puisi Hidup dan Mati.32 Perlawanan itu
akhirnya melahirkan pahlawan rakyat yang berani. Ialah Trio, seorang
nasionalis-komunis-Budhis yang menjalani siksaan di tiang gantungan imperialis tanpa rasa
takut. Meski mendapat berbagai siksaan, Van Troi tak juga mau menyerah. Baginya,
―keganasan imperialis tak mampu menutupi kejernihan pikiran dan hatinya‖. Pada bait selanjutnya, Bandaharo mengecam Amerika dengan kata-kata yang keras, ―setan dunia / musuh manusia / enyahlah dari muka bumi!‖. Apresiasi serupa terhadap
30
Puisi Yankee Go Home! dalam Gugur Merah, 240.
31
Tunggu hari Akhirmu Yankee. Ibid. 837 – 838.
32
pahlawan rakyat Vietnam disampikan pula oleh Sartono. Namun kali ini pada Tran
Van Dang dalam puisi In Memoriam Tran Van Dang.33
senyum kepercayaan yang menyungging dibibir, mesra berani dan harga diri putra
tanahair
senyum Vietnam, keberanian Vietnam membawa dendam menghantam musuh Amerika
dan boneka bumiputera
Puisi-puisi di atas merupakan ekspresi dari semangat kebangkitan Asia-Afrika.
Para sastrawan Lekra menunjukkan kesetiakawanan terhadap bangsa lain karena
memiliki musuh yang sama, yaitu Amerika. F.L. Risakota menunjukkan dalam puisi
Setia kawan Kami34. Puisi ini mengobarkan api optimisme bangsa-bangsa
Asia-Afrika, bahwa perjuangan ini dilakukan secara bersama-sama. Senada dengan puisi
ini, Bumi Membara karya Budhi Santosa Djajadisastra35 mengemukakan hal yang
serupa. Bahwa imprealisme telah berhadapan dengan gerakan perlawanan di muka
bumi, tidak terkecuali di Indonesia dan Vietnam.
Puisi-puisi lain dari sastrawan Lekra yang memberikan semangat optimisme
Asia-Afrika sekaligus hujatan kepada Amerika adalah Dari Daerah Dimana Darah
Pernah Tumpah karya S.W. Kuncahjo,36 Percikan Api Kemerdekaan karya M.A.
33 Ibid. 746 34 Ibid. Hlm 342. 35 Ibid. hlm 257. 36 Ibid. Hlm 716-717.
Simandjuntak37. Diksi yang digunakan pun memiliki kemiripan, yaitu ―setan dunia imperialis Amerika Serikat‖.
Berbeda dengan puisi-puisi di atas, penggunaan diksi dalam puisi Sahabat
Asia-Afrika karya Sugiarti Siswadi cenderung lirih namun tak mengurangi
ketegasannya. Sama-sama memiliki potensi sebagai puisi pamflet atau puisi
demonstrasi. Bahkan, jargon ―setan dunia‖ yang digunakan oleh semua penyair di atas, tak masuk dalam puisi Sugiarti ini. Kata-kata hujatan pun tak muncul. Hal ini
bukan berarti Sugiarti tak memahami konteks, melainkan ia memiliki penafsiran dan
sudut pandang serta cara penyampaian yang berbeda sebagaimana dalam
karya-karyanya yang lain.
Perbedaan yang dimunculkan Sugiarti tersebut adalah ia masuk ke dalam
ruangan Konferensi Asia-Afrika dan memasuki lorong-lorong hati para peserta
konferensi dengan menyebut mereka sebagai keluarga dan sahabat.
Sahabat,
hari ini kita duduk mengitari meja, dalam pertemuan keluarga,
dilehermu kukalungkan bunga-bunga, diharumi dengan wangi persahabatan
yang kami petik dalam perihnya perjuangan, dari taman tanah airku.
Kami suguhkan minuman manis-manis, dan kasih manis-manis.
Kita saling berjabatan,
dan mata mesra berpandangan.
37
Pemandangan dalam kutipan di atas, sekiranya dapat disaksikan dalam ruang
sidang konferensi. Sugiarti menggambarkan isi ruangan yang penuh kehangatan
layaknya sebuah keluarga. Tak luput pula ia hadirkan suguhan dan berbagai ornamen
dalam ruangan tersebut. Yang lebih penting dari gambaran visual tersebut adalah ―kita saling berjabatan, / dan mata mesra berpandangan‖. Dua baris inilah yang menjadi titik poin pada baris ini.
Jika dalam puisi sastrawan Lekra lainnya mendengungkan masalah
internasional yang perlu mendapatkan perlawanan, Sugiarti dengan lirih mengatakan
bahwa masalah imperialisme adalah ―masalah keluarga‖ dan perlu dipecahkan dalam konferensi tersebut. Masalah ini dianggap sangat penting sehingga perlu
mengumpulkan seluruh anggota keluarga, sebab pertaruhannya begitu besar.
Besar yang kita pertaruhkan, sahabat, ia bernama Kemanusiaan,
ia bernama Kemerdekaan, ia bernama Kebebasan, ia bernama Harga Diri, Kesejahteraan, Perdamaian, ja, ia adalah segala!
cita-cita terbaik manusia.
Lalu muncullah perhatian Sugiarti yang juga seringkali muncul dalam
karyanya yang lain, ialah persoalan anak. Berikut kutipannya.
Kepada anak-anak yang lahir hari-hari ini, dan besok pagi,
dibesarkan dalam dunia baru yang datang, kita telah menyanjikan matahari kehidupan, yang cemerlang dalam sejuta cahaya, dan abadi!!!
Pada bait di atas, terasa benar perbedaan sudut pandang Sugiarti dengan
kawan-kawannya. Jika yang lain mengungkapkan gerakan perlawanan hari ini, ia
masih saja memikirkan generasinya kelak, yaitu anak-anak. Bahwa yang
diperjuangkan bukan saja rakyat saat ini, melainkan juga rakyat di masa mendatang.
Tentu saja maksud dari puisi-puisi sebelumnya juga demikian, namun sudut pandang
yang berbeda menghasilakn daya ungkap yang berbeda pula. Perjuangan itu sudah
begitu kuat dan rapat. Maka bagi sugiarti,
Tiada satu kuasa memisahkan kita, karena kita dilahirkan dan di besarkan, dari satu api!!!!
Perhatian Sugiarti terhadap perjuangan revolusi dan perempuan memang
sangat besar, akan tetapi hal ini tidak menyurutkan perhatiannya kepada anak-anak
seperti terlihat dalam puisi di atas. Ia berada dalam posisi terdepan dalam
memperjuangkan nasib anak. Terlihat jelas dalam pidatonya saat Konfernas I Lekra di
Medan dengan judul ―Literatur Kanak-kanak‖. Ia menekankan pentingnya literatur anak yang dapat disejajarkan dengan pendidikan sastra, serta menanamkan kecintaan
anak pada sosialisme. Oleh sebab itu, Sugiarti menulis cerpen Jang Kesepian, dengan
memberi porsi lebih besar terhadap kemunculan tokoh anak yang banyak terpengaruh
oleh budaya pop dari Amerika. Keprihatinannya terhadap buruh anak ia tuangkan
dalam cerpen Budak Kecil, serta nasib seorang anak ketika terjadi perang dalam
cerpen Orang-orang Sebatang Kara.
Lebih dari itu, Sugiarti kerap memunculkan tokoh anak yang berada di
merupakan aplikasi dari pidatonya yang menekankan pemahaman anak pada
sosialisme. Anak yang dimaksud oleh Sugiarti bukanlah yang duduk di bangku
sekolah formal. Anak-anak itu adalah anak petani dan buruh, anak-anak rakyat kecil.
Sasaran terhadap pelajar/mahasiswa banyak disuarakan oleh sastrawan lain seperti
Pramoedya Ananta Toer.
Pandangan Sugiarti tentang anak dapat dilihat pada Bab II, subbab Lekra dan
Literatur Anak. Pendapat Sugiarti mewakili suara Lekra dalam menyikapi berbagai
kasus tentang anak karena telah menjadi resolusi pada Konfernas I Lekra. Pandangan
Sugiarti tersebut pernah pula diungkapkan oleh Aidit dalam pidatonya saat KSSR
tahun 1964. Perbedaannya dengan isi pidato Sugiarti di Medan hanya pada objeknya
saja. Ia mengganti rakjat dengan anak. Bahwa kecintaan dan kebencian yang
dimaksud oleh Aidit memang selayaknya diterapkan pada anak sejak usia dini. Tak
hanya retorika di atas mimbar, Sugiarti mengimplementasikannya dalam
karya-karyanya.
Untuk menguatkan pandangan-pandangan Sugiarti Siswadi, berikut
dipaparkan beberapa kutipan yang merepresentasikan perhatiannya kepada
perempuan dan anak.
―Tetapi anak sekecil itu sudah bongkok dengan kewajiban-kewajiban mengurus adiknya, dan apa hari ini dia direnggut dari rumah kediamannya, diserahkan mentah-mentah, mengabdi kepada orang yang akan memerintahnya dari pagi sampai dia mapan tidur. Aku lirik airmukanya, sayu hatiku. Saya tidak dapat menerima anak itu. Saya membutuhkan pembantu rumah tangga yang dapat bekerja keras. Keluargaku besar dan anak-anak masih kecil. Kerap pula saya tinggalkan pergi memenuhi kewajiban sosialku.‖ (Budak Kecil)
Kutipan di atas merupakan pandangan Sugiarti tentang buruh anak. Kondisi
masyarakat dalam keterpurukan ekonomi menuntut anggota keluarganya untuk
memeras keringat yang dapat menghasilkan uang. Tak terkecuali anak di bawah
umur. Perburuhan anak ini menjadi bentuk keprihatinan Sugiarti sebagai pengarang
perempuan. Sebaliknya, anak yang tak diajarkan bekerja akan tenggelam dalam
pergaulan ―koboy‖, gaya hidup Amerika. Sugiarti menunjukkannya dalam kutipan berikut.
Kerja! Yah, mengapa orang mesti kerja seperti ibunya, yah mengapa seperti ibunya itu bisa dinamakan kerja? Seperti juga petualangannya. Masyarakat tidak bisa menghargainya, menghormatinya, karena seperti petualangannya, sikap hidup ibunya cari nafkah bukanlah kerja. Kerja sejati yang berhak mendapat penghargaan masyarakat. Tidak pernah ia dengar orang menggerutu dan menyumpah-nyumpah buruh pabrik sepatu, atau buruh becak, atau petani,