• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT Dinas Kesehatan Propins

Salah satu fungsi pengelolaan obat di unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif adalah fungsi perencanaan. Perencanaan kebutuhan obat adalah hal yang mutlak harus dilakukan oleh unit pelayanan kesehatan. Malayu (2006), perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih sasaran, kebijakan, prosedur dan program yang diperlukan untuk mencapai apa yang diinginkan pada masa yang akan datang. Sedangkan rencana adalah sejumlah keputusan mengenai keinginan dan berisi pedoman pelaksanaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan itu.

Menurut Suciati (2006) pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus merupakan pusat suplay obat utama di rumah sakit. Hal tersebut mengingat bahwa lebih dari 90% pelayanan kesehatan di unit layanan kesehatan termasuk rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan alat kesehatan habis, alat kedokteran, dan gas medik), dan 50% dari seluruh pemasukan unit layanan kesehatan berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. Untuk itu, jika masalah perbekalan farmasi tidak dikelola secara cermat dan penuh tanggung jawab maka dapat diprediksi bahwa salah satu sumber pendapatan dari rumah sakit akan mengalami penurunan.

Perencanaan kebutuhan obat tidak terlepas dari analisis masalah dan situasi yang ad adi rumah sakit, termasuk keadaan pemakaian obat tahun sebelumnya. Kebanyakan rumah sakit masih menggunakan cara manual untuk membuat catatan tentang inventori mereka, sehingga menghasilkan proses dokumentasi yang buruk. Dengan dokumentasi mengenai inventori yang buruk, nantinya dapat mengakibatkan informasi yang kurang akurat dan tidak dapat diandalkan. Padahal, informasi mengenai inventori yang benar sangat dibutuhkan untuk menyusun strategi perlakuan terhadap item-item inve ntori tersebut

5.1.1. Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT BKIM

Unit pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah Balai Kesehatan Indera Masyarakat termasuk didalamnya pelayanan kesehatan mata dan THT, serta pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Kusta. Tanggung jawab pelayanan obat-obatan ddi setiap unit pelayanan kesehatan adalah instalasi Farmasi atau apotik unit layanan kesehatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan kebutuhan obat, antara lain bahwa di BKIM dalam merencanakan kebutuhan obat masih mengacu pada dokumen rencana kebutuhan obat tahun sebelumnya, dan ada kecenderungan tidak dilakukan analisa yang selektif terhadap kebutuhan obat untuk tahun berikutnya. Keadaan ini tercermin dari pemahaman petugas perencanaan BKIM bahwa dokumen perencanaan yang dibutuhkan hanya data-data tentang pemakaian obat tahun sebelumnya saja, sementara data kecenderungan penyakit tidak diperhatikan. Hal ini mencerminkan

bahwa proses perencanaan belum terintegrasi secara utuh mulai dari analisis masalah sampai pada keputusan penyusunan kebutuhan obat yang efektif, efesien dan tepat sasaran.

Selain itu secara aktual dapat dilihat bahwa analisa data perencanaan obat yang telah dilakukan cenderung tidak sesuai dengan peruntukkan kebutuhan obat, hal ini dapat dilihat dari proporsi obat berdasarkan kategori A sebesar 19,6%, sementara standar yang direkomendasikan adalah 20-40% untuk obat kategori A dari seluruh obat yang di investasikan, demikian juga dengan proporsi obat kategori C justru hanya 50%, sementara rekomendasinya adalah 60% dari total obat yang diinvestasikan. Persoalan lain adalah masih besarnya proporsi obat-obat non generik dibandingkan dengan obat yang terdapat dalam formularium. Hal ini akan berdampak terhadap kemampuan pasien untuk memperoleh obat tersebut.

Fenomena lain ditemukan di UPT BKIM, adalah adanya fluktuasi kunjungan pasien ke BKIM, dan cenderung tidak stabil, sehingga berimplikasi terhadap banyaknya obat-obat yang tidak dapat digunakan, dan sisa stok lebih banyak, dan masih belum tersistematisnya ketersediaan data dan laporan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UPT BKIM, karena ada kecenderungan program-program BKIM dilakukan di luar gedung, sehingga berdampak terhadap ketersediaan data dan informasi pemakaian obat pasien yang diselaraskan dengan dokumen perencanaan kebutuhan obat. Hal ini menjadi suatu persoalan juga, mengingat di BKIM secara kuantitas sudah memiliki SDM yang memadai untuk mengelola obat.

Fenomena ini justru berbeda dengan konsideran yang normatif dalam mengumpulkan data dan dokumen yang dibutuhkan seperti anjuran dalam pedoman pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI (2008), bahwa data yang dibutuhkan sebelum dilakukan analisis kebutuhan obat adalah data tentang DOEN, data morbiditas, data penggunaan obat sebelumnya, dan data harga obat yang berlaku.

5.1.2. Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT RSK Lau Simomo

Perencanaan kebutuhan obat di UPT RSK Lau Simomo ada variasinya dengan UPT lainnya. Perencanaan yang dilakukan sudah memperhatikan pemakaian obat sebelumnya, jenis dan jumlah penyakit yang diobati, serta analisis sisa stok obat. RSK Lau Simono juga melayani pasien rawat jalan, dan rawat inap, dan tidak hanya untuk penanganan penderita Kusta saja, tetapi jenis penyakit atau keluhan lain yang dialami oleh penderita Kusta yang sudah diizinkan untuk rawat jalan/kontrol ulang, sehingga berdampak terhadap kebutuhan obat selain obat-obat untuk pemulihan penyakit Kusta.

Fenomena ketersediaan obat, diketahui masih ada permasalahan yaitu masih rendahnya ketersediaan obat kategori C yaitu hanya 46,2%, sedangkan untuk kategori A, dan B dinilai sudah berada pada range 20-40% dari seluruh obat yang termasuk investasi., dan berdasarkan alokasi usulan anggaran berdasarkan golongan ada kecenderungan lebih baik dimana obat golongan generik sudah mencapai 60,6%, dan obat golongan non generik dibawah 40%. Hal ini mencerminkan bahwa ada kecenderungan manajemen RSK Lau Simomo memperhatikan kebutuhan obat sesuai

dengan analisis situasi kebutuhan obat. Menurut Suciati (2006), kelompok C adalah inventory dengan jumlah sekitar 50% dari item tapi mempunyai nilai investasi sekitar 5% dari total nilai inventory.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2008), Perencanaan kebutuhan obat merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran persediaan. Pedoman Perencanaan antara lain (a) DOEN, formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit, (b) ketentuan setempat yang berlaku, (c) data catatan medik, (d) anggaran yang tersedia, (e) penetapan proritas, (f) siklus penyakit, (g) sisa persediaan, (h) data pemakaian periode lalu, dan (i) rencana pengembangan.

Berdasarkan analisa VEN, diketahui masih tinggi alokasi obat kategori Esensial seperti Chloramfenicol 250 mg, Amoxicillin 500 mg, Cyprofloxacin 500 mg, sedangkan obat kategori Non Esensial lebih dominan jenis obat Cyprofloxacin 500 mg. Pemilahan dan seleksi obat tersebut dinilai masih belum maksimal, dan sangat perlu analisa lebih akurat dan valid dengan menganalisis jenis dan frekuensi penyakit yang dominan dilayani selain pengobatan penderita Kusta.

Perencanaan kebutuhan obat yang baik akan berimplikasi terhadap efesiensi anggaran yang ada. Menurut Stoner (1996), pembuat rencana amat berkepentingan untuk mengetahui berapa standar dana yang dianggarkan sehingga perencanaan obat

dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, yang artinya dapat disesuaikan antara perencanaan kebutuhan obat dengan dana yang dianggarkan.

Menurut Depkes RI (2002), terdapat beberapa teknik manajemen untuk menunjang tujuan tersebut diantaranya adalah Analisis ABC yaitu suatu teknik analisis yang berdasarkan aspek kebutuhan dana, sedangkan Analisis VEN merupakan suatu teknik manajemen yang berdasarkan aspek dampak obat terhadap kesehatan. Teknik manajemen tersebut bertujuan untuk penyesuaian perencanaan obat sehingga tercapai tingkat efektifitas dan efisiensi yang optimum.

Efektifitas disini berarti sistem telah memberikan pelayanan yang cukup sehingga obat tersedia tepat jumlah, tepat jenis dan tepat waktu, sedangkan efisiensi adalah suatu tingkat dimana efektifitas dicapai dengan biaya yang minimum. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Aditama (2000), yaitu manajemen logistik khususnya perlu dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam arti bahwa segala macam barang, bahan ataupun peralatan harus dapat disediakan tepat pada waktu dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup tidak kurang atau lebih, dan yang paling penting adalah ketersediaanya dengan mutu yang memadai.

5.1.3. Perencanaan Kebutuhan Obat di UPT RSK P. Sicanang

Fenomena perencanaan kebutuhan obat di UPT RSK.P.Sicanang juga bervariatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perencanaan kebutuhan obat yang dilakukan juga masih menggunakan data dan informasi dari pemakaian obat dan dokumen rencana kebutuhan obat sebelumnya, sehingga tidak efektif untuk mencerminkan kebutuhan obat yang sebenarnya. Selain itu wawancara mendalam

juga menyimpulkan bahwa seleksi obat yang dilakukann juga belum selektif sesuai dengan fakta dan laporan penggunaan obat, serta masih ada pemikiran jika diajukan kebutuhan obat pun Dinas Kesehatan Propinsi juga yang menentukan.

Permasalahan lain adalah terkadang obat yang dibutuhkan tidak tersedia, khususnya bagi penderita kusta yang melakukan kontrol ulang, sehingga diharuskan penulisan resep untuk dibelikan oleh pasien itu sendiri. Hal ini tentunya secara sistemik berdampak terhadap kepercayaan masyarakat terhadap RSK. P.Sicanang. Faktor lain yang adanya krisis kepemimpinan di RSK P.Sicanang, karena ketidak jelasan pimpinan RSK P.Sicanang sampai penelitian ini dilakukan, sehingga perencanaan program kesehatan termasuk perencanaan kebutuhan obat menjadi tidak optimal, dan diambil alih oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara sebagai induk UPT. Tentunya akan sangat tidak mengacu pada data dan informasi yang akurat dari UPT RSK.P.Sicanang.

Secara umum kebutuhan obat Kusta juga dialokasikan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara melalui program penanggulangan penyakit Kusta dengan subsidi anggaran dari lembaga donor, sehingga dapat membantu UPT untuk penyediaan obat di UPT, namun kendala yang dihadapi adalah proporsi distribusi obat yang cenderung tidak proporsional.

Berdasarkan data dan informasi yang tertera dalam dokumen usulan anggaran untuk penyediaan obat-obatan di RSK.P.Sicanang diketahui proporsi obat kategori A dan B berada antara 20-30%, khusus obat kategori B sebesar 29,2% sementara kategori obat ini direkomendasikan adalah sebesar 40%, demikian juga dengan

alokasi jenis obat kategori C sebesar 44,4%, sedangkan normalnya alokasi jenis obat kategori C sebesar 60-80% dari total jenis obat inventory.

Menurut Partovi dan Anandarajan (2002) item logistik yang diklasifikasikan menjadi kelompok A adalah item yang berjumlah sedikit yang berada di urutan teratas pada daftar yang mengontrol mayoritas total pengeluaran tahunan. Item yang diklasifikasikan menjadi kelompok B adalah item dengan penilaian yang cukup tinggi, dan item yang diklasifikasikan sebagai kelompok C ialah item yang berada di uratan bawah pada daftar yang mengontrol porsi pengeluaran tahunan yang relatif kecil. Klasifikasi dilakukan berdasarkan nilai penggunaan per tahun tiap item logistik. Kelompok A mempunyai item sebanyak 10% dari total banyaknya item dengan total penggunaan tiap tahunnya sebanyak 70% dari total penggunaan per tahun untuk seluruh item. Kelompok B mempunyai item sebanyak 20% dari total banyaknya item dengan total penggunaan tiap tahunnya sebanyak 20% dari total penggunaan per tahun untuk seluruh item. Kelompok C mempunyai item sebanyak 70% dari total banyaknya item dengan total penggunaan tiap tahunnya sebanyak 10% dari total penggunaan per tahun untuk seluruh item.

Menurut Heizer and Reinder (1991) seperti yang dikutip oleh Zuliani (2009) hasil analisis ABC harus diikuti kebijaksanaan dalam manajemen persediaan antara lain a) perencanaan kelompok A harus mendapat perhatian lebih besar dari pada item lain, (b) Kelompok A harus dilakukan kontrol fisik yang lebih ketat dibandingkan kelompok B dan C, pencatatan harus lebih akurat serta frekuensi pemeriksaan lebih sering, (c) Pemasok juga harus lebih memperhatikan kelompok A

agar jangan terjadi keterlambatan pengiriman, dan (d) Cycle Counting merupakan verifikasi melalui internal audit terhadap pencatatan yang ada, dilaksanakan lebih sering untuk kelompok A yaitu 1 bulan 1 kali untuk kelompok B tiap 4 bulan sedangkan kelompok C tiap 6 bulan.

5.2. Kendala Perencanaan

Dokumen terkait