• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran budaya tradisional/adat dari ecocentrism ke anthropocentrism Beraneka ragam budaya asing yang anthropocentrism telah hidup berdampingan

Dalam dokumen edisi3 Preview Rev4small1 (Halaman 38-40)

bersama budaya tradisional /adat Bali at least sejak 100 tahun yang silam. Hal ini dapat mengancam tererosinya nilai-nilai luhur budaya tradisional (adat) Bali. Secara kasat mata (tangible) semua pihak mengetahui bahwa cara hidup masyarakat tradisional/adat Bali telah bergeser sebagai dampak dari penggunaan produk- produk budaya materialistist anthropocentrism. Berdasarkan alasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa budaya masyarakat tradisional/ adat Bali sedang mengalami pergeseran dari budaya ecocentrism ke budaya anthropocentrism.

topik lain

PEMBAHASAN

Success story tentang pengelolaan sumberdaya air dengan sistem Subak sudah tidak diragukan lagi sehingga Pemerintah pernah mengangkatnya menjadi sebuah model yang diaplikasikan ke seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata tidak berhasil. Hal ini dapat dimengerti bila diingat bahwa terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam) merupakan hasil penggabungan dan akumulasi dari: transfer of knowledge yang turun-temurun, pengalaman empiris, pengenalan dan pemahaman ekosistem setempat, kemampuan cosmological spiritual, kekuatan religious, kemampuan menginterpretasikan mitologi yang dipercayainya, kemampuan mengimplementasikan falsafah hidupnya, sensitiitas bahasa alam/lingkungan, penghargaan pada etika lingkungan, kepatuhan memegang hukum adat, dan integritas budaya tradisional setempat, dan faktor-faktor indigenous lainnya yang prosesnya berjalan sangat lama. Di samping pengetahuan lokal (indigenenous knowledge), faktor lain yang menyebabkan keberhasilan sistem Subak ini adalah karena kebijakan Pemerintah Daerah pada bidang administrasi publik. Pemda berhasil mengintegrasikan sistem pemerintahan tradisional (non-formal) ke dalam sistem pemerintahan fomal. Adanya pengakuan Pemda

terhadap eksistensi non-formal leader sangat penting di dalam sistem kemasyarakatan tradsional (masyarakat adat). Kepatuhan kepada non-formal leader lebih bersifat kepatuhan yang tulus (genuine compliance) yang dibangun atas kesadaran, sedangkan kepada pemimpin formal biasanya hanya kepatuhan formal, atau kepatuhan dengan enggan (grudding compliance), tidak mematuhi, atau mungkin apatis. (apathy).

Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara budaya ecocentrism dengan budaya anthro-pocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan pembangunan di mana terjadi ulur- tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Sejalan dengan konsep/ pendekatan pembangunan berkelanjutan (economically viable, socially acceptable, dan environmentally sound), hendaknya Pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar dualisme antara budaya anthropocentrisme dengan budaya ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency.

No. Ketentuan dan Tradisi Dalam Sistem Subak Interpretasi/Jastiikasi

1 Petak-petak sawah dibuat dalam bentuk terasering mengikuti kontur Untuk kelancaran air. Menghindari terjadinya erosi dan longsor 2 Menggunakan benih padi pada varietas lokal Resisten terhadap hama Nilaparphata ligens. Memelihara plasma nutfah jenis tumbuhan lokal.

3

Dewi Bhatari Sri tidak menyukai (alergi) bahan kimia sehingga pupuk kimiawi (Urea, NPK, TSP) dan pestisida kimia (DDT, Dieldrin, Endrin) tidak digunakan.

Menjamin sumberdaya alam tidak terkontaminasi dan menjamin tidak terjadi pencemaran lingkungan karena limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya)

4

Setiap tahapan kegiatan pertanian terlebih dahulu dilakukan upacara ritual untuk memohon izin kepada Dewi Bhatari Sri

Calendar kegiatan pertanian disesuaikan dengan iklim. Keseragaman dalam tahapan kegiatan pertanian dapat memutuskan siklus hidup hama padi tertentu

5 Dewi Bhatari Sri menyukai keindahan, sehingga jarak tanam padi harus teratur, rapi. eisien dalam penggunaan sumberdaya alam. Memudahkan dalam pekerjaan penyiangan 6 Mengistirahatkan padi dengan rotasi jenis tanaman palawija Memutuskan siklus hidup hama padi tertentu. Memperbaiki struktur tanah dan kesuburan tanah. 7 Upacara ritual di Pura Subak menyambut panen berhasil Integritas budaya tradisional.

topik lain

KESIMPULAN

Salah satu kelebihan dari masyarakat lokal/tradisional/ adat yaitu mempunyai pengetahuan lokal atau indigenous (environmental) knowledge: suatu pengetahuan bagaimana melestarikan alam/lingkungan dan mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan berdasarkan: pengenalan, pemamahan, dan transfer pengetahuan ekologi setempat secara turun-temurun; kemampuan cosmological spiritual; kekuatan religious; kemampuan menginterpretasikan mitologi yang dipercayainya; kemampuan mengimplementasikan falsafah hidup; sensitiitas bahasa alam; penghargaan pada etika lingkungan; kepatuhan memegang hukum adat; integritas budaya tradisional setempat; dan faktor2 indigenous lainnya; yang proses internalisasinya berjalan sangat lama.

Indigenous environmental knowledge mempunyai karakteristik dan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Terbentuk, tumbuh, dan berkembang pada ekosistem setempat, dan pada masyarakat tradisional/adat dengan budaya ecocentrism, dan adat-istiadat setempat.

b. Tidak dapat diterapkan pada ekosistem lain dan tidak dapat diterapakan secara umum (general), hanya berlaku spesiik pada masyarakat dan ekosistem yang bersangkutan.

c. Sebagai instrument/tools yang ampuh dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian alam/lingukngan.

d. Memanfaatkan sifat-sifat alam (hukum alam), tidak memerlukan peralatan yang canggih.

e. Sulit dibuktikan atau dijabarkan dengan metoda ilmiah. Masyarakat lokal/tradisional/adat menghadapi ancaman dari “kekuatan-kekuatan/faktor-faktor penekan” yang berpola- pikir (cara pandang) anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge-nya). Nilai2 luhur budaya masyarakat lokal/tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. Proses ini dimungkinkan terjadi melalui introduksi pengetahuan dan teknologi penciptaan luxury good consumption sebagai salah satu unsur budaya matrialist hedonist anthropocentrism. Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara faham ecocentrism dengan faham anthropocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan

sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan pembangunan sehingga terjadi ulur-tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan).

Lebih jauh, agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency, maka Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi malpolicy.

Apabila Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah akan memanfaatkan indigenous environmental knowledge sebagai instrument/tools dalam pelestarian alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka disarankan untuk: (i) Mengidentiikasi masyarakat lokal/tradisional/adat serta mendeliniasi ekosistem sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan/ ekologi; (ii) Memberikan ruang gerak dan kesempatan untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pelestarian alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (iii) Mengintegrasikan pemerintahan non-formal ke dalam pemerintahan formal; (iv) Tidak mengintervensi tetapi memfasilitasi; (v) Menjamin tidak ada “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang berpola-pikir anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan indigenous knowledge-nya; dan (vi) Menjamin tidak terkontaminasinya budaya adat/tradisional ecocentrism dari unsur-unsur budaya anthropocentrism.

Tingkat kesadaran global mengenai lingkungan hidup dan perubahan iklim, khususnya dalam bidang arsitektur dan lingkungan, pada beberapa tahun belakangan ini meningkat dengan tajam. Gerakan hijau yang tengah berkembang pesat saat ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi sumber daya alam, tetapi juga diimplementasikan sebagai upaya eisiensi penggunaan energi serta meminimalisir kerusakan lingkungan sekitar. Hal ini tentu sangat bermanfaat apabila dilakukan secara merata dan berkelanjutan, khususnya di Indonesia yang notabene adalah negara yang sedang berkembang.

Sosialisasi terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim terus dilakukan Pemerintah Indonesia, tetapi tidak semua elemen masyarakat sudah mengetahui dan paham mengenai kedua hal tersebut. Terbukti dari merebaknya SBS (sick building syndrome) pada bangunan-bangunan Indonesia. Bentuk solusi yang menjadi pilihan adalah dengan menerapkan konsep Green Architecture, atau Green Building yang kini sudah dijalankan oleh pemerintah, Apa sebenarnya makna dari kedua konsep tersebut? Bagaimana Kriterianya? serta seperti apa bentuk kepedulian serta peran dari masyarakat dan pemerintah?.

SICK BUILDING SYNDROME

Sick Building Syndrome adalah situasi dimana para penghuni gedung atau bangunan mengalami permasalahan kesehatan dan ketidaknyamanan karena waktu yang dihabiskan dalam bangunan. faktor utama terjadinya SBS terdapat pada permasalahan kualitas udara atau polusi udara yang biasanya disebabkan oleh buruknya ventilasi udara atau cahaya, emisi ozon dari mesin foto kopi, polusi dari perabot dan panel kayu, asap rokok, dan lain sebagainya. SBS secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas seluruh penghuni gedung atau bangunan apabila dibiarkan terus menerus. Sudah banyak gedung yang terjangkit SBS di Indonesia. Antara lain terdapat pada kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, Medan, Bandung,dan Makassar. Maka dari itu, konsep bangunan yang green sudah selayaknya digalakkan. Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 30 persen seluruh bangunan atau gedung yang ada di dunia memiliki permasalahan terkait kualitas udara dalam ruangan.

Oleh: Redaksi Butaru

green

Dalam dokumen edisi3 Preview Rev4small1 (Halaman 38-40)

Dokumen terkait