Tahapan Konotatif :
Dalam tarian Dolalak, saweran merupakan salah satu usaha dari grup Dolalak untuk menarik perhatian masyarakat Purworejo untuk melihat Dolalak. Penyawer yang peneliti temukan dilapangan hanya menghamburkan uang untuk menyawer dan ingin mencari kepuasan batin semata. Saweran dalam Dolalak sendiri adalah adanya komodifikasi yang secara eksplisit tidak dapat diterka secara nyata.
Dengan saweran, sang penari telah dikomodifikasi oleh pemilik grup agar mendapat uang tambahan saat pentas. Rata-rata penari Dolalak putri yang ada saat ini sudah menikah, dan ketika yang menikah juga menjadi tulang punggung keluarga maka saweran menjadi salah satu bentuk para penari untuk mencari uang dan tentu saja dilatarbelakangi oleh kepentingan dari pendiri grup yang secara tidak langsung
memperdagangkan penarinya kepada para penyawer.
Mitos :
Komodifikasi dalam sebuah tarian Dolalak menjadi pro dan kontra. Masyarakat mayoritas yang menyukai Dolalak akan merasa terhibur dengan adanya saweran tersebut, sedangkan masyarakat minoritas tentu saja tidak akan menyetujui adanya saweran dalam Dolalak mengingat fungsinya sebagai ikon kota Purworejo dan sebagai penyebaran agama Islam melalui Sholawatan.
C. Pergeseran Makna
Setelah dianalisis dengan semiotika Roland Barthes dalam tahap denotatif dan konotatif diperoleh keterangan mengenai pergeseran makna. Pada sistem budaya, semakin banyak orang berkomunikasi semakin banyak pemahaman suatu makna yang kita peroleh. Penafsiran akan sesuatu makna pada dasarnya dinilai bersifat pribadi setiap orang. Sejak Olato, John Locke, Witt Geinstein, dan BrodBeck (1963),
74
makna dimaknakan dengan uraian yang sering membingungkan daripada menjelaskan. Dalam hal ini Brodbeck membagi makna pada tiga corak, sebagai berikut:
1. Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut, dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukan lambang (disebut rujukan atau referent).
2. Makna yang menunjukan arti (significance) yaitu suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain, contoh: benda bernyala karena ada phlogistion, kini setelah ditemukan oksigen phlogistion tidak berarti lagi.
3. Makna intesional, yaitu makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukan. Makna ini tidak terdapat pada pikiran orang yang dimiliki dirinya saja (Sobur, 2004: 262).
Berikut pembahasannya:
1. Penari Dolalak Pria menjadi Penari Dolalak Putri
Letak pergeseran maknanya adalah ketika tarian Dolalak yang di tarikan oleh penari putri menjadi lebih menarik dan pemilik sanggar mementingkan kebutuhan pangsa pasar dengan adanya kapitalisme dalam pergeseran penari pria menjadi penari putri. Dan yang mencetuskan agar tarian Dolalak juga ditarikan oleh penari putri adalah seorang pria yaitu Bapak Supanto (Bupati Purworejo) karena memang peminat menonton sebuah tarian memang ketika ditarikan oleh penari putri dan juga secara tidak langsung mengundang perhatian masyarakat untuk ikut serta melestarikan tarian Dolalak. Secara garis besar tarian Dolalak sendiri memiliki pergeseran dari penari Putra ke penari Putri namun setelah dianalisis dengan Roland
75
Barthes memang adanya kepentingan dari pemilik modal atau pemilik grup dari Dolalak yang lebih condong ke versi Mlaranan ini lebih mementingkan bagaimana keuntungan dan nilai estetika dalam Dolalak, tanpa mengubah makna aslinya hanya saja penari nya bergeser dan versi Kaligesingan kurang diminati dan masyarakat Purworejo kini lebih condong ke penari Dolalak Putri versi Mlaranan.
2. Alat Musik Pengiring
Dari alat musik tradisional dengan membawa misi berdakwah menjadi alat musik elektronik yang lebih praktis. Letak pergeseran maknanya adalah ketika makna “tradisional” yang ingin disampaikan dengan memakai alat musik tradisional telah bergeser persepsi menjadi sebuah alat musik elektronik yang lebih “modern”. Tradisional dan modern ini sebenarnya dapat berjalan sesuai dengan perkembangan zaman, dan suatu kesenian itu sifatnya juga tidak kaku. Namun jika dilihat dari fungsi utamanya dan juga dilihat dari latarbelakang Dolalak yang diprakasai oleh tiga santri yaitu Rejo Taruna, Duliyat, dan Ronodimejo dari alat musik tradisional Islam seperti bedug, kendhang, kemprang, dan jidur, tentu saja akan menjadi suatu kesalahan dalam memaknai ketradisionalan yang semula untuk berdakwah menjadi mengikuti musik popular yang tengah berkembang pada masyarakat tahun 1960-an. Dan disaat mengikuti festival diInternasional ke 10 di Jogjakarta mendapat teguran dari panitia penyelenggara, karena secara tidak langsung Dolalak sendiri telah bergeser maknanya.
3. Syair Lagu
Dalam tarian Dolalak tidak dipungkiri adanya syair atau teks lagu yang bersifat jenaka, pantun, dan romantika. Tetapi yang menjadi sorotan adalah ketika tarian Dolalak untuk sarana berdakwah, syair lagu mengandung unsur-unsur Islami dengan nada shalawatan yang diambil dari kitab Berzanzi, namun, syair lagunya diganti menjadi bahan “guyonan” untuk diperdengarkan kepada penonton Dolalak.
76
Fenomena perubahan lirik Mustofangilon menjadi lirik yang jenaka, dilatarbelakangi dari penari Dolalak putri versi Mlaranan yang dianggap “sexy” dan
“menarik”. Syair lagu memang mewakili cirri-ciri fisik dari penari Dolalak putri versi
Mlaranan. Dari fenomena tersebut terjadilah pergeseran makna, Mustofangilon dan lirik yang jenaka (Aja Dumeh rambut ireng dawa ndadi; Sesuk tua uwan mabluk kaya medi) tentu saja telah mengalami pergeseran secara makna.
4. Busana
Fenomena perubahan busana yang secara eksplisit terlihat lebih menonjolkan sisi kefeminimannya membuat tarian Dolalak ini ramai diperbincangkan
di social media, berikut komentar dari pengguna social media facebook:
77
Gambar diatas menerangkan bahwa social media facebook menjadi jembatan dimana adanya masyarakat kecil yang risih dengan adanya busana Dolalak dengan mengangkat adanya emansipasi wanita namun dalam hal bebusana tidak menunjukkan tata susila yang baik untuk dipertontonkan kepada masyarakat kota Purworejo, mengingat Dolalak sebagai ikonik kota Purworejo menununjukkan adanya pergeseran makna dari busana yang mulanya mencirikan budaya Indonesia yang diwujudkan dalam tata cara berpakaian, namun tata cara berpakaian dalam busana yang dikenakan oleh penari putri Dolalak saat ini tidak mencerminkan bahwa busana yang dikenakan tidak lagi mencirikan tarian Dolalak pada dasarnya namun busana penari Dolalak saat ini mencerminkan budaya barat .
5. Gerakan
Gerakan Dolalak saat pertama kali dipentaskan tahun 1915 memiliki gerakan yang dinamakan sebagai gerakan adeg, gerakan sawan, dan jalan ngedol. Sebenarnya, pada Dolalak saat ini yang ditarikan oleh penari putri tidak memiliki gerakan yang berbeda. Tetap ada gerakan adeg, gerakan sawan, dan jalan ngedol namun diikuti gerakan bebas karena Dolalak saat ini cenderung mengadakan saweran disetiap pementasan. Sehingga gerakan tarian Dolalak yang dahulunya diakrabi dengan gerakan-gerakan yang menjadi sentuhan dalam suatu tarian kini maknanya hanya sekedar penari berbusana ala Dolalak namun dengan gerakan yang bebas dan gerakan yang cenderung gerakan untuk joged pada saat dangdut. Saweran dalam Dolalak diikuti dengan cara bermusik dalam tarian Dolalak yang cenderung mengarah kepada musik popular dan musik dangdut. Secara makna pergeseran dari yang semula tarian Dolalak memiliki makna estetika dalam sebuah gerakan tarian, saat ini hanya bisa dimaknai sebagai gerakan yang tidak jelas karena diperuntukan untuk mengambil perhatian penonton.
78 6. Tata Urutan Pementasan Tari Dolalak
Tata urutan untuk tarian Dolalak saat ini sudah tidak begitu diperhitungkan karena biasanya tarian Dolalak akan dilakukan pada sore hari. Dikarenakan para penanggap tarian Dolalak adalah masyarakat pekerja, saat ini Dolalak kebanyakkan ditanggap. Karena jika hanya mengandalkan event-event tertentu, para pemilik sanggar tidak dapat menjamin upah penari Dolalak yang ikut kedalam sanggar. Dan waktu-waktu yang dahulu ditentukan jika siang hari tarian akan dimulai pada pukul 11.00 WIB dan malam hari pukul 21.00 WIB dengan durasi sekitar 8 jam, namun saat ini hanya berdurasi 10-15 menit untuk ditampilkan untuk acara saat ada tamu yang datang ke Purworejo, hajatan, dan di pernikahan. Pergeseran makna dalam tata urutan tarian Dolalak ini merupakan pergeseran makna yang bergeser karena adanya konsep-konsep dari pemikiran masyarakat modern dan konsumenrisme. Adanya konsep-konsep modern dan konsumenrisme telah menggantikan konsep-konsep kesakralan dalam menentukkan jam dan durasi dalam pementasan tari Dolalak.