• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

E. Tata Cara Penelitian

8. Perhitungan statistik

Data kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag dari tiap kelompok uji selanjutnya diolah dan dilakukan analisa statistik menggunakan

SPSS 17.0. Data dinilai normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika distribusi data dinilai normal maka dilanjutkan ke uji hipotesis dengan uji one way analysis of variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Post hoc. Apabila distribusi data dinilai tidak normal maka uji hipotesis dilakukan menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann- Whitney.

Batas nilai yang dianggap signifikan dalam penelitian adalah jika p<0,05 dengan interval kepercayaan 95%.

30 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan khasiat dari ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) sebagai imunomodulator pada tikus jantan yang diinduksi doksorubisin melalui pengamatan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis. Kemampuan fagositosis makrofag dapat dilihat dari jumlah makrofag yang mampu memfagositosis partikel lateks selain itu ditunjukkan pula dari jumlah lateks yang dapat difagositosis oleh makrofag. Data yang diperoleh dari uji fagositosis dianalisis secara statistik menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas data, selanjutnya dilakukan analisis one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.

A. Hasil Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan bertujuan menetapkan kebenaran sampel yang digunakan berkaitan dengan ciri-ciri morfologis tanaman berdasarkan kepustakaan dan menghindari kesalahan dalam proses pengumpulan bahan. Bagian tanaman yang digunakan dalam determinasi adalah bagian buah. Menurut Stephens (2009), deskripsi buah labu air:

1. Berwarna hijau muda atau hijau tua, warna hijau tua dapat berupa warna hijau pekat dengan garis-garis tidak beraturan dan bercak yang tidak beraturan.

2. Ukuran buah beragam mulai dari diameter 2 inci hingga 12 inci dan panjang 4 hingga 40 inci.

3. Buah dapat memiliki bagian leher yang steril (tidak berbiji) dangan panjang hingga 15 inci dan lebar 1 hingga 2 inci. Bagian leher yang lebih lebar biasanya berbiji dan memiliki tonjolan. Biji bervariasi mulai dari pipih hingga bundar, silinder, atau panjang dan sempit.

Dari hasil determinasi dinyatakan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar buah labu air (Lagenaria siceraria) dengan ciri – ciri berwarna hijau muda, panjang 14 inci, diameter leher 3 inci, diameter badan buah 5 inci, dan biji berbentuk pipih dengan panjang 12 mm (Lampiran 1).

B. Penetapan Kadar Air Serbuk Kering dan Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Labu Air (Lageneraria siceraria)

Pembuatan ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) menggunakan metode maserasi. Pertimbangan menggunakan metode maserasi karena sterol dan flavonoid yang akan disari mudah larut dalam etanol 80% serta proses serta peralatan yang digunakan sederhana. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam cairan penyari. Pada penelitian ini akan dilakukan penyarian terpenoid dan flavonoid dari simplisia dimana senyewa-senyawa tersebut mudah larut dalam etanol 80%. Pada proses ekstraksi ini pelarut yang digunakan adalah etanol 80%. Penggunaan etanol 80% sebagai pelarut karena etanol memiliki perbedaan kepolaran yang kecil dengan metanol 80% yang merupakan pelarut universal. Perbedaan kepolaran antara etanol dan metanol hanya 0,05, sehingga diharapkan etanol dapat menyari

senyawa terpenoid dan flavonoid yang terkandung di serbuk simplisia. Proses maserasi yang dilakukan merupakan proses remaserasi. Proses remaserasi ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kondisi jenuh saat penyarian sehingga proses penyarian senyawa dalam serbuk simplisia menjadi maksimal.

Sebelum dilakukan maserasi, simplisia dibuat serbuk terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran partikel simplisia labu air sehingga memiliki luas permukaan partikel yang besar. Luas permukaan partikel yang besar ini akan memudahkan kontak dengan pelarut sehingga ekstraksi dapat lebih maksimal. Luas permukaan yang besar ini juga memudahkan partikel serbuk kontak dengan lembab di udara. Adanya lembab dapat memicu tumbuhnya mikroba dan kapang serta menyebabkan senyawa aktif mudah terhidrolisis. Oleh karena itu, serbuk terlebih dahulu dihitung kadar airnya menggunakan metode gravimetri dan dilakukan sebanyak tiga replikasi hingga didapatkan rerata kadar air sebesar 7,86%. Menurut Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan (1999), persyaratan kadar air dalam serbuk simplisia yang baik adalah kurang dari 10%. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa serbuk kering buah L. siceraria telah memenuhi persyaratan serbuk simplisia yang baik.

Ekstrak cair yang didapatkan dari proses maserasi kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator. Penguapan pelarut dengan menggunakan rotary evaporator ini dilakukan sampai tidak ada lagi tetesan pelarut. Untuk lebih memastikan ada atau tidaknya pelarut yang terkandung dalam esktrak kental, dilakukan pengeringan di oven sampai bobot tetap. Penyimpanan ekstrak kental dilakukan di dalam desikator agar terhindar dari lembab.

C. Penetapan Dosis dan Lama Perlakuan Ekstrak Etanol Buah Lageneraria siceraria

Penelitian yang dilakukan bersifat preventif dimana hewan uji diberikan ekstrak dengan berbagai dosis terlebih dahulu sebelum dipejani dengan doksorubisin. Hewan uji dibagi menjadi lima kelompok sebagai kelompok kontrol pelarut (CMC Na 1%), kontrol doksorubisin, dan perlakuan berupa variasi dosis ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) sebesar 1000 ; 750 ; dan 500 mg/KgBB. Dosis doksorubisin yang digunakan sebesar 4,5 mg/KgBB. Tidak digunakan kontrol ekstrak etanol buah labu air karena menurut hasil orientasi, nilai kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis ekstrak etanol buah labu air dosis 1000 mg/kgBB hampir sama dari kontrol pelarut, namun menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dari kontrol doksorubisin (Lampiran 3.). Hal ini menunjukkan ekstrak etanol buah labu air tidak memberikan pengaruh penurunan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis pada tikus sehingga dapat diartikan kondisi sama seperti normal.

Dikarenakan belum adanya penelitian sejenis, maka dipilih dosis ekstrak etanolik buah labu air adalah sebesar 500 mg/kgBB, 750 mg/kgBB, dan 1000 mg/kgBB yang bertujuan sebagai skrining awal dosis efektif ekstrak etanol labu air sebagai imunomodulator yang sebelumnya telah diinduksi dengan doksorubisin. Peringkat dosis ekstrak etanol buah labu air ini diperoleh dengan penambahan dosis, yaitu sebanyak 250 mg/KgBB. Dengan penambahan dosis ini tidak dapat ditentukan dosis efektif (ED) ekstrak etanol buah labu air. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan dosis ekstrak menggunakan kelipatan dosis

agar dapat ditentukan dosis efektif ekstrak etanol buah labu air dalam meningkatkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag.

Lama pemberian ekstrak etanolik buah labu air adalah 10 hari. Penelitian bersama ini bersifat eksploratif sehingga dapat mengetahui pemberian ekstrak etanol buah labu air selama 10 hari dapat menimbulkan efek imunomodulator, hepatoprotektor serta kardioprotektor akibat pemejanan doksorubisin. Menurut hasil penelitian Gangwal, Parmar, and Sheth (2010) pemberian ekstrak metanolik

Langenaria siceraria selama 5 hari sudah dapat meningkatkan kemampuan fagositosis pada tikus melalui pengamatan carbon clearance. Pada penelitian selanjutnya lebih baik dilakukan orientasi lamanya pemejanan ekstrak etanol buah labu air yang dapat menaikan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag paling maksimal.

Pengambilan cairan intraperitonium dilakukan 4 hari setelah induksi doksorubisin. Pengambilan sampel pada hari ke-4 setelah pemberian doksorubisin terakhir dilakukan karena menurut hasil penelitian Kasianningsih (2011) sistem imun hewan uji mengalami penurunan 4 hari setelah pemberian doksorubisin terakhir.

D. Uji Fagositosis Makrofag

Pada penelitian ini sel makrofag diisolasi melalui cairan intraperitonial karena menurut Rosanti (2005), sel makrofag pada cairan intraperitonial jumlahnya lebih banyak (70%-95%) dibanding dengan organ limfa. Makrofag dapat ditemui antara lain di paru-paru, hati, dan permukaan sinusoid limpa.

Makrofag biasanya tergantung di dalam jaringan yang ditempati, oleh karena itu biasa disebut fixed macrophage, tetapi pada cairan intraperitonial berada dalam bentuk bebas dalam cairan intraperitonium sehingga memudahkan dalam isolasi makrofag (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Isolasi sel makrofag dari cairan intraperitonium dilakukan dengan cara menyuntikan medium RPMI dingin ke dalam rongga peritoneal kemudian dipijat-pijat agar sel makrofag terbawa dalam RPMI kemudian cairan diaspirasi ke dalam spuit. Digunakan medium RPMI dingin agar sel makrofag yang diisolasi tidak rusak, karena makrofag lebih stabil pada suhu rendah (dingin). Medium RPMI merupakan medium pertumbuhan sel yang mengandung asam amino, vitamin, dan garam-garam organik. Pada penelitian ini juga digunakan medium komplit yang terdiri dari campuran medium RPMI, FBS (Fetal Bovine Serum) yang merupakan serum untuk memacu pertumbuhan sel dan membuat sel bertahan lebih lama. Selain itu adanya penisilin-streptomisin (penstrep) dan fungison yang berfungsi sebagai antimikroba. Pada cairan peritoneum yang diisolasi, selain terdapat sel makrofag juga ditemukan sel-sel lain seperti limfosit dan sel granulosit yang saling berdekatan sehingga sulit dibedakan antara sel makrofag dengan sel lain. Kemampuan sel makrofag untuk menempel pada coverslip membedakan sel makrofag dengan sel yang lain. Oleh karena itu, dalam percobaan digunakan coverslips sebagai tempat penempelan makrofag.

Perbedaan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dapat dilihat dari kemampuan sel makrofag memfagositosis partikel lateks secara in vitro (Leijh, Furth and Zwet, 1986). Pengamatan aktivitas makrofag yang memfagositosis latex bertujuan untuk

mengetahui sejauh mana kemampuan ekstrak etanolik Lagenaria siceraria

sebagai imunomodulator sehingga dapat digunakan sebagai agen ko-kemoterapi pada penggunaan doksorubisin. Makrofag merupakan salah satu sel fagosit yang berperan penting pada saat terjadi invasi oleh bakteri atau parasit. Latex tersebut berfungsi sebagai antigen, sehingga diharapkan makrofag tersebut dapat memfagositosis latex. Setelah itu, dilakukan penghitungan makrofag yang memfagositosis latex berdasarkan hasil pengamatan mikroskop, yaitu mengamati makrofag yang menempel atau sudah memakan latex (Hutomo, Sutarno, Winarno, Kusmardi, 2005).

Dilakukan pengecatan Giemsa untuk memberikan warna pada sel makrofag sehingga sel makrofag tampak berwarna keunguan sehingga mudah diamati di bawah mikroskop. Sebelum diwarnai dengan Giemsa, sel difiksasi dengan metanol absolut sehingga membran makrofag lebih terbuka dan zat warna Giemsa lebih mudah masuk. Latex merupakan polystyrene yang tidak bereaksi dengan Giemsa sehingga partikel lateks tidak berwarna, penambahan metanol memperkecil pori-pori latex sehingga akan mengkerut. Pengamatan menggunakan mikroskop memperlihatkan makrofag yang berwarna ungu dan latex yang berwarna putih (Gambar 5) sehingga dapat dibedakan antara latex dan sel makrofag yang difagositosis dan latex yang tidak difagositosis (Nie, Perry, Zhao, Huang, Kincade, Farrar, and Sun 2008). Kemampuan fagositosis sel makrofag dapat dilihat dari kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag dimana tahap paling awal untuk memfagositosis latex dimulai dengan pembentukan pseudopodia dan pembentukan fagosom. Berikut merupakan perbandingan

morfologi sel makrofag yang memfagositosis latex setelah dilakukan pengecatan Giemsa pada masing-masing kelompok perlakuan.

Gambar 5. Perbandingan morfologi makrofag tikus dengan pengecatan Giemsa perbesaran 100x

(a) : Latex berwarna putih

(b) : Sel makrofag berwarna ungu

(c) : Partikel latex yang difagositosis oleh sel makrofag

Kontrol pelarut : kelompok tikus yang diberi CMC Na 1%, menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagososom.

Kontrol doxo : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

EELA 1000 mg/kgBB : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

+ ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagosom. EELA 750 mg/kgBB : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

+ ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagosom EELA 500 mg/kgBB : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

+ ekstrak etanolik buah labu air dosis 500 mg/kgBB menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagosom

E. Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Buah Labu Air (Lagenaria siceraria)Terhadap Tikus Jantan Galur Sprague dawley yang Dipejani

Doksorubisin

Pada penelitian ini dilakukan pembuktian terhadap efek imunomodulator dari ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) sebagai agen ko-kemoterapi akibat induksi doksorubisin. Efek imunomodulator diamati melalui peningkatan kapasitas dan indeks fagositosis setelah pemberian ekstrak etanol labu air peringkat dosis tinggi, sedang dan rendah dibandingkan dengan kontrol doksorubisin dan kontrol pelarut.

Tabel II. Purata ± SE Kapasitas Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis

Kelompok perlakuan n Purata ± SE (%) P

Kelompok I 5 50,08 ± 4,47 0,004B Kelompok II 5 37,79 ± 3,19 Kelompok III 5 57,86 ± 2,54 Kelompok IV 5 51,54 ± 4,73 Kelompok V 5 39,71 ± 2,78 Ket. Kelompok I : CMC Na 1%

Kelompok II : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB

Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB

Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 500 mg/kgBB

Tabel III. Purata ± SE Indeks Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis

Kelompok perlakuan n Purata ± SE P

Kelompok I 5 1,26± 0,27 0,028B Kelompok II 5 0,66± 0,05 Kelompok III 5 1,28± 0,10 Kelompok IV 5 1,05± 0,14 Kelompok V 5 0,76± 0,07 Ket. Kelompok I : CMC Na 1%

Kelompok II : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB

Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB

Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 500 mg/kgBB

B : Berbeda bermakna

Kontrol pelarut dibuat untuk mengetahui nilai kapasitas fagositosis normal dan indeks fagositosis normal sebelum diinduksi doksorubisin. Dari percobaan (Tabel II dan III) diketahui rata-rata nilai kapasitas fagositosis kelompok kontrol pelarut sebesar 50,08± 4,47 % dan rata-rata indeks fagositosis kelompok kontrol pelarut sebesar 1,26 ± 0,27. Nilai kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis ini yang dijadikan patokan nilai normal untuk penelitian ini selanjutnya.

Doksorubisin merupakan salah satu agen kemoterapi yang dapat menyebabkan penurunan sistem imun seluler sehingga digunakan kontrol doksorubisin untuk mengetahui pengaruh penggunaan doksorubisin sebagai imunosupresan melalui pengamatan penurunan nilai kapasitas dan indeks fagositosis makrofag. Selain itu, kontrol doksorubisin juga digunakan sebagai patokan dalam menganalisa efek imunomodulator dari ekstrak etanol labu air. Menurut Herwandhani, Nagadi, dan Saktiningtyas (2011) dosis doksorubisin sebesar 9,35 mg/KgBB dapat menginduksi penurunan sistem imun namun bersifat

toksik bagi tikus uji apabila diberikan dalam dosis tunggal, sehingga doksorubisin diberikan dalam 2 kali pemberian yaitu 4,67 mg/KgBB. Penelitian bersama ini digunakan dosis yang dapat menginduksi ketiga efek imunosupresan, hepatotoksik, maupun kardiotoksik sehingga digunakan dosis yang lebih tinggi berupa 3 kali pemberian yaitu 4,5 mg/KgBB. Rata-rata nilai kapasitas fagositosis kelompok kontrol doksorubisin sebesar 37,79± 3,19% dan rata-rata indeks fagositosis kelompok kontrol doksorubisin sebesar 0,66± 0,05. Dibandingkan dengan kapasitas fagositosis kontrol CMC Na 1% sebesar 50,08 ± 4,47 % maka terlihat terjadi penurunan kapasitas fagositosis lebih kurang 0,75 kalinya dibandingkan dengan kontrol pelarut. Indeks fagositosis bila dibandingkan dengan indeks fagositosis kontrol CMC Na 1% sebesar 1,26 ± 0,27 maka terlihat adanya penurunan indeks fagositosis lebih kurang 0,52 kalinya dibandingkan dengan kontrol pelarut. Hal ini menunjukkan pemberian doksorubisin dalam 3 kali pemberian yaitu 4,5 mg/KgBB dapat menimbulkan efek imunosupresan melalui penurunan nilai kapasitas dan indeks fagositosis. Meskipun pemberian doksorubisin dalam 3 kali pemberian yaitu 4,5 mg/KgBB dapat menimbulkan efek imunosupresan, dikhawatirkan penurunan sistem imun lebih baik pada 2 kali pemberian dibandingkan dengan 3 kali pemberian. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan orientasi dosis doksorubisin yang dapat menurunkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag yang paling maksimal.

Tabel IV. Hasil Analisis Uji Post-hoc LSD Kapasitas Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis Kelompok Perlakuan I II III IV V I - BB BTB BTB BTB II BB - BB BB BTB III BTB BB - BTB BB IV BTB BB BTB - BB V BTB BTB BB BB - Ket. Kelompok I : CMC Na 1%

Kelompok II : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB

Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB

Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 500 mg/kgBB

BB : Berbeda bermakna; BTB : Berbeda tidak bermakna

Tabel V. Hasil Analisis Uji Post-hoc LSD Indeks Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis

Kelompok Perlakuan I II III IV V I - BB BTB BTB BB II BB - BB BTB BTB III BTB BB - BTB BB IV BTB BTB BTB - BTB V BB BTB BB BTB -Ket. Kelompok I : CMC Na 1%

Kelompok II : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB

Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB

Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB

Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 500 mg/kgBB

BB : Berbeda bermakna; BTB: Berbeda tidak bermakna

Dari hasil analisis statistik (Tabel IV dan V), adanya penurunan kapasitas fagositosis maupun indeks fagositosis makrofag kelompok kontrol doksorubisin

yang berbeda bermakna (p<0,05) terhadap kelompok kontrol pelarut (CMC Na 1%) menandakan doksorubisin dapat menyebabkan penurunan jumlah makrofag yang aktif memfagosit lateks. Hal ini dikarenakan pemberian doksorubisin akan berefek pada sel-sel yang mengalami pembelahan sel secara cepat seperti sumsum tulang (Phillip et al., 2006). Di antara sel sumsum tulang belakang, prekusor hemopoetik merupakan sel yang paling sensitif terhadap sitotoksisitas dari doksorubisin (Uspenkaya et al, 2004). Oleh karena itu, pada penggunaan doksorubisin banyak dijumpai leucopenia (jumlah sel darah putih yang terlalu rendah) serta penurunan interleukin-2 (IL-2) dan produksi interferon-γ (IFN-γ) yang merupakan komponen penting dalam sistem imun. Hal ini dapat menurunkan jumlah sel sitotoksik natural killer (NK), proliferasi limfosit serta ratio limfosit T CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005) yang juga menurunkan jumlah makrofag aktif dalam sistem imun.

Doksorubisin dapat menyebabkan penurunan jumlah makrofag yang aktif memfagosit lateks, namun tidak diketahui seberapa besar penurunan kapasitas dan indeks fagositosisnya akibat tidak adanya patokan nilai kapasitas dan indeks fagositosis yang mengalami penurunan akibat doksorubisin. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan pengkajian ulang obat kemoterapi lain yang dapat menimbulkan efek penekanan nilai kapasitas dan indeks fagositosis makrofag yang lebih baik dari doksorubisin.

1. Pengaruh Ekstrak Etanol Buah Labu Air (Lagenaria siceraria) Dosis 1000 mg/kgBB0 750 mg/kgBB0 dan 500 mg/kgBB terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag pada Hewan Uji Tikus Jantan Galur Sprague Dawley yang Dipejani Doksorubisin

Kapasitas fagositosis menunjukkan persentase jumlah sel makrofag yang aktif dari 100 sel makrofag (Jensch-Junior, et al., 2006). Semakin tinggi persentase kapasitas fagositosis makrofag maka kemampuan fagositosis sel makrofag semakin baik. Berikut merupakan hasil penelitian yang disajikan dalam diagram batang.

Gambar 6. Diagram batang kapasitas fagositosis tikus perlakuan ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) pada berbagai peringkat dosis

Ket. Mean KF: rata-rata kapasitas fagositosis setiap kelompok; Kontrol pelarut: CMC Na 1%; Kontrol doxo: doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB; EELA 1000 mg/KgBB: doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB; EELA 750 mg/KgBB: doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB; EELA 500 mg/KgBB: doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu air dosis 500 mg/kgBB

Uji normalitas dan homogenitas varian data dilakukan menggunakan uji Kolmogorov-Smironov dan Levene Test (Lampiran 4). Hasil uji

Kolmogorov-Smironov menunjukkan bahwa p = 0,565 ( p> 0,05) artinya data terdistribusi normal. Dan hasil Levene Test menunjukkan nilai p = 0,297 ( p> 0,05) yang artinya varian dari data sama. Data tersebut selanjutnya diuji dengan one way ANOVA taraf kepercayaan 95%. Hasil uji one way ANOVA (Tabel II) menunjukkan bahwa nilai p = 0,004 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna setidaknya pada 2 kelompok uji. Selanjutnya dilakukan uji LSD untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol buah labu air pada jumlah sel makrofag yang memfagositosis lateks antar kelompok perlakuan, antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pelarut, serta antara kelompok perlakuan dan kelompok doksorubisin

Kelompok III adalah kelompok perlakuan ekstrak etanol buah labu air dosis 1000 mg/kgBB. Kapasitas fagositosis pada kelompok ini sebesar 57,86 ± 2,54 % (Tabel II). Dibandingkan dengan kontrol doksorubisin, terjadi peningkatan sebesar 1,53 kalinya dan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada uji statistik (Tabel IV). Dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol buah labu air dosis 1000 mg/kgBB memiliki efek imunomodulator melalui peningkatan kapasitas fagositosis yang terinduksi doksorubisin. Nilai kapasitas fagositosis pada kelompok III ini menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05) dengan kelompok kontrol CMC Na 1% pada uji

statistik. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol buah labu air pada dosis 1000 mg/kgBB dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag hingga keadaan normal (sama dengan kontrol pelarut) meskipun sebelumnya telah dipejani doksorubisin.

Kelompok IV adalah kelompok perlakuan ekstrak etanol buah labu air dosis 750 mg/kgBB. Kapasitas fagositosis pada kelompok ini sebesar 51,54 ± 4,73% (Tabel II). Dibandingkan dengan kontrol doksorubisin, terjadi peningkatan sebesar 1,36 kalinya dan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada uji statistik (Tabel IV). Dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol buah labu air dosis 750 mg/kgBB memiliki efek imunomodulator melalui peningkatan kapasitas fagositosis yang terinduksi doksorubisin. Nilai kapasitas fagositosis pada kelompok IV ini menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05) dengan kelompok kontrol CMC Na 1% pada uji statistik. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol buah labu air pada dosis 750 mg/kgBB dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag hingga keadaan normal (sama dengan kontrol pelarut) meskipun sebelumnya telah dipejani doksorubisin.

Kelompok V adalah kelompok perlakuan ekstrak etanol buah labu air

Dokumen terkait