• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. Perilaku Nyeri

Respon terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi dua bagian yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan perilaku yang dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang bersifat subjektif. Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut dengan perilaku nyeri (Fields, 1987).

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi (Wall, 1991). Menurut Fordyce (1976), pembelajaran memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan perilaku nyeri yang membantu perawatan nyeri kronis. Menurut Fordyce (1976), perilaku nyeri dapat berupa :

2.1.1 Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami yang dialami.

2.1.2 Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar.

2.1.3 Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai.

2.1.4 Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat dan berbaring secara berlebihan.

Pendekatan perilaku yang dilakukan terhadap jenis pengobatan pada nyeri kronis dibuat berdasarkan dua jenis perilaku nyeri : respondent behavior dan operant behavior (Kast, 1998).

2.2.1 Respondent Behavior (Respon Reflektif)

Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya stimulus yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan antara stimulus dan respon. Respon reflektif merupakan respon yang secara otomatis dapat terjadi walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini dikontrol oleh stimulus nociceptif yang spesifik. Contoh perilaku nyeri reflektif ini adalah sensasi terbakar yang berhubungan dengan injuri pada kulit ataupun pada otot (Kast, 1998).

2.2.2 Operant Behavior (Respon Instrumental)

Operant behavior adalah respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Penghargaan dan hukuman merupakan kunci dari pendekatan operant dan perilaku sering dihubungkan dengan tidak adanya reaksi terhadap nyeri dan lebih sering dihubungkan dengan faktor afektif atau lingkungan (Niven, 1994).

Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk penghargaan (sesuatu yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan perilaku nyeri, seperti pasangan hidup atau kompensasi finansial) (Niven, 1994). Kadang- kadang perilaku nyeri melibatkan penghindaran dari sesuatu yang tidak diinginkan (keluar dari pekerjaan yang menimbulkan

stress atau menghindari kontak dengan individu yang mengancam) (Niven, 1994). Tampaknya sebuah respon yang sesuai untuk seseorang dalam keadaan nyeri adalah dengan menunjukkan dukungan atau perhatian dan bersikap menenangkan. Menurut pendekatan operant hal ini akan menjadi penghargaan karena tindakan tersebut memberikan penghargaan bagi pasien, dengan memberinya perhatian setiap saat ia mengeluh adanya nyeri (Niven, 1994).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri 2.3.1 Jenis kelamin

Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal atau perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara pada laki-laki hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983).

2.3.2 Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.3 Budaya

Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969, dalam Niven 1994), ekspresi perilaku

berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok etnik tersebut.

2.3.4 Ansietas

Menurut Racham dan Philips (1975, dalam Niven 1994), ansietas mempunyai efek yang besar terhadap kualitas maupun terhadap intensitas pengalaman nyeri. Ambang batas nyeri berkurang karena adanya peningkatan rasa cemas dan ansietas menyebabkan terjadinya lingkaran yang terus berputar, karena peningkatan ansietas akan mengakibatkan peningkatan sensivitas nyeri (Melzack, 1973).

2.3.5 Pengalaman Masa Lalu

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.6 Pola Koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan

mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.7 Dukungan Sosial dan Keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi akan menurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2005).

2.4 Pengukuran Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri dapat diobservasi dan dapat diukur. Perilaku yang timbul sebagai manifestasi dari nyeri seperti perubahan postur, ekspresi wajah dan penurunan aktivitas (Turk dkk, 1985 dalam Taylor, 1995). Oservasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi pengkajian yang standar (Keefe & Smith, 2002 dalam Branner & Feist, 2007).

Fordyce mengembangkan self observations untuk mengukur perilaku nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta untuk mengidentifikasi seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu: duduk, berdiri atau berjalan, dan berbaring. Pasien setiap saat juga diminta untuk mendokumentasikan pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode self observation ini mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri (Keefe, 2002 dalam Harahap 2007). Bagaimanapun juga validasi dari self observation perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat (Turk & Flor, 1987 dalam Harahap 2007) karena kebanyakan pasien

tidak selalu mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan wawancara dan kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa pertanyaaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik (Harahap, 2007).

Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara langsung, perilaku nyeri dinilai berdasarkan pertimbangan dan keterampilan pengobservasi. Sedangkan metode tidak langsung biasanya berdasarkan sebuah video tape recording. Setiap metode ini memiliki keutungan dan kerugian (Harahap, 2007).

Menurut Simmond (1999 dalam Moores & Watson, dalam Harahap 2007) metode pengukuran nyeri yang berguna tinggi adalah yang berguna, realibel, dapat diterima pasien, efektif biaya dan menyediakan umpan balik instan.

Instrumen yang digunakan peneliti dalam mengobservasi perilaku nyeri adalah Pain Behavior Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh Keefe dan Block pada tahun 1982 (Harahap, 2007). PBOP ini terdiri dari lima perilaku nyeri dengan menggunakan skala likert yang diberi tiga nilai yaitu 0= tidak ada, 1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Protokol Keefe dan Block merupakan serangkaian aktivitas selama 10 menit yang kemudian disesuaikan. Perilaku nyeri tersebut adalah : (1) Terjaga, mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa terganggu atau pergerakan yang kaku, (2) Menahan nyeri,

mengacu pada pergerakan yang statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin meluas dan distribusi berat yang tidak normal, (3) Menggosok bagian yang nyeri, mengacu pada menyentuh atau memegang bagian tubuh yang terpengaruh nyeri, (4) Meringis, mengacu pada ekspresi wajah yang dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit, merapatkan bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) Mendesah, mengacu pada ekhalasi yang berlebihan (Keefe & Block, 2002 dalam Harahap, 2007).

3. Self Efficacy

3.1 Pengertian Self efficacy

Menurut Bandura (1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik. Self efficacy merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Self efficacy dapat berupa bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, motivasi diri, dan keinginan memiliki sesuatu.

Individu dengan self efficacy tinggi akan berusaha lebih keras dan mempunyai daya yang kuat dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan dengan individu yang memiliki self efficacy yang rendah. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya. Pentingnya self efficacy akan berpengaruh pada usaha yang diperlukan dan akhirnya terlihat dari outcome kerja. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih ulet dan tahan menghadapi situasi sekitarnya (Brannon & Jeist, 2007).

Menurut Bandura, individu dengan self efficacy yang tinggi cenderung tidak memiliki rasa cemas dalam mengerjakan tugas. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai kontrol yang baik terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Adanya kontrol yang baik dalam diri mereka menyebabkan mereka jarang membuat kesalahan dalam mengerjakan sesuatu (Brannon & Jeist, 2007).

Menurut Bandura (1994), keberadaan self efficacy pada diri seseorang akan berdampak pada empat proses, yaitu:

3.1.1 Proses Kognitif

Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam berbagai format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan. Pengaturan tujuan individu dipengaruhi oleh penaksiran individu terhadap kapabilitas yang dimilikinya.

3.1.2 Proses Motivasi

Kepercayaan diri terhadap self efficacy memainkan peranan dalam pengaturan diri terhadap motivasi. Seseorang memotivasi dirinya sendiri dan mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan. Mereka percaya terhadap apa yang mereka lakukan dan selalu mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif.

3.1.3 Proses Afektif

Seseorang percaya terhadap pengaruh kapabilitasnya dalam mengatasi stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi yang

sulit. Dengan adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu mengatasi segala persoalan yang mengancam keberadaannya.

3.1.4 Proses Selektif

Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya, maka seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan pemilihan terhadap pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan memilih pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

3.2 Indikator self efficacy

Indikator self efficacy menurut Bandura (1994), adalah: 3.2.1 Orientasi pada tujuan

Perilaku seseorang dengan self efficacy tinggi adalah positif, mengarahkan pada keberhasilan dan berorientasi pada tujuan. Penetapan tujuan pribadi dipengaruhi oleh penilaian diri seseorang pada kemampuannya. Semakin kuat self efficacy yang dirasakan, semakin tinggi tujuan yang ingin dicapai dan semakin mantap komitmen pada tujuan. 3.2.2 Orientasi Kendali Kontrol

Letak kendali individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Beberapa orang percaya bahwa mereka menguasai takdir mereka sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi atas apa yang terjadi pada mereka. Mereka membangun rasa keyakinan bahwa dirinya bisa berprestasi dalam suatu situasi.

3.2.3 Banyaknya Usaha yang Dikembangkan dalam Situasi

Keyakinan seseorang terhadap kemampuannya menentukan tingkat motivasi sesorang dengan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya, menunjukkan usaha yang lebih besar untuk menhadapi tantangan. Keberhasilan biasanya memerlukan usaha yang terus menerus.

3.2.4 Lama Seseorang akan Bertahan dalam Menghadapi Hambatan

Semakin kuat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya, semakin besar dan tekun usaha mereka. Ketekunan yang kuat biasanya menghasilkan outcome yang diharapkan.

3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Steers dan Porter (1992), keyakinan sesorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

3.3.1 Mastery Experience (Pengalaman Keberhasilan)

Keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya. Sedangkan kegagalan menyebabkan seseorang cenderung untuk lebih berhati-hati. Bagaimanapun jika pengalaman seseorang merupakan keberhasilan yang dicapai dengan mudah, maka mereka cenderung mengharapkan hasil dengan cepat dan lebih mudah putus asa bila menemui kegagalan. Untuk mendapatkan self efficacy, seseorang harus mempunyai pengalaman mengatasi hambatan dengan usaha yang tekun. Beberapa pengalaman dan hambatan yang dialami seseorang bermanfaat mengajarkan bahwa kadang kesuksesan itu diikuti dengan adanya keinginan untuk berusaha. Setelah seseorang memiliki keyakinan

akan kemampuannya yang diikuti dengan pengulangan kesuksesannya, maka ia dapat mengatur kembali strategi dan kegagalan masa lalu sehingga tidak mengalami kegagalan lagi.

3.3.2 Modeling (meniru)

Sosok model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan kemampuan dengan meyakini pengamatan strategi yang efektif untuk mengatur situasi yang berbeda. Modeling juga menyebabkan kepercayaan akan self efficacy yang diikuti dengan proses pembandingan sosial. Sebagian orang menilai kemampuan mereka dengan cara membandingkan dengan orang lain.

3.3.3 Social Persuasions

Social Persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

3.4 Sumber Self efficacy

Bandura (1994) menyebutkan tiga sumber dari self efficacy, yaitu: 3.4.1 Pencapaian Prestasi

Menurut Bandura (1994), sumber yang paling penting dan efektif dari self efficacy adalah perjalanan keberhasilan dan kegagalan di masa lalu dalam mencapai hasil yang diinginkan. Bila seseorang dapat menguasai pengalaman-pengalaman pribadinya maka ia cenderung menciptakan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya kegagalan dalam

menguasai pengalaman-pengalaman sebelumnya cenderung menghasilkan harapan-harapan yang rendah.

3.4.2 Pengalaman yang Dialami Orang Lain

Pengalaman yamg dialami orang lain dapat menjadi sumber harapan self efficacy yaitu dengan melihat orang lain sukses mencapai suatu prestasi dapat membangkitkan persepsi yang kuat akan self efficacy dalam diri orang tersebut.

3.4.3 Kebangkitan Emosi

Metode yang mengurangi timbulnya emosi akan meningkatkan harapan-harapan self efficacy. Seseorang yang merasakan adanya emosi yang timbul dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh dengan stress dan ancaman, akan jauh lebih memiliki harapan bila mereka tidak tegang dan tidak timbul emosi.

3.5 Dimensi dan Aspek dari Self efficacy

Dimensi self efficacy menurut Bandura (1994), yaitu:

3.5.1 Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh individu dapat diselesaikan.

3.5.2 Strengh menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy yang rendah mudah ditiadakan oleh pengalaman yang sulit, sedangkan orang yang mempunyai keyakinan yang kuat akn mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.

3.5.3 Generality menunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya berlangsung dalam domain tertentu atau berlaku dalam berbagai macam aktivitas dan perilaku.

3.5.4 Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya. 3.5.5 Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya

dapat menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu melakukan tindakan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa dirinya mampu melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.

3.6 Pengukuran Self efficacy

Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ). Kuesioner ini menggunakan skala differensial semantik dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien diminta untuk menunjukkan pada skala seberapa yakin pasien mampu melakukan hal yang disebutkan dalam setiap pernyataan pada kuesioner. Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat melakukan hal-hal tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat melakukannya walaupun ia mengalami nyeri.

Dokumen terkait