• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Dana Perimbangan

Kuncoro (2004) mendefinisikan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam UU No. 33 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa, perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas perbantuan.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.

2.4.1 Dana Bagi Hasil (DBH)

DBH adalah pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam seperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota dan kabupaten (Kuncoro 2004). Dalam UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa DBH adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang tersebut merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang- Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. Sumber-sumber DBH berasal dari :

a. Pajak

Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

b. Sumber daya alam

Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

2.4.2 Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya (Kuncoro 2004). Sedangkan Sidik (2003) mengatakan bahwa DAU dapat diartikan sebagai salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN. Pengalokasian DAU didasarkan atas konsep

kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Instrumen DAU ini ditujukan untuk mengatasi

horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah. DAU sebagai equalization grant yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah.

UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH.

Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan juga bahwa batasan minimal untuk alokasi DAU adalah sebesar 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Secara umum kriteria formula DAU harus meliputi beberapa aspek, antara lain :

a. Menggunakan pendekatan kesenjangan fiskal (celah fiskal) b. Dapat dipertanggungjawabkan secara akademis

d. Perhitungan dapat dilakukan oleh daerah e. Mudah dimengerti publik

f. Formula DAU Propinsi dapat berbeda dengan Kabupaten/Kota

2.4.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)

Kuncoro (2004) berpendapat bahwa DAK adalah dana yang ditransfer dan ditujukan untuk daerah khusus yang dipilih untuk tujuan khusus, dimana alokasi dana yang didistribusikan ini sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan untuk tujuan nasional. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi :

a. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;

b. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang menampung transmigrasi;

c. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana yang memadai;

d. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa, DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.

PP No. 55 Tahun 2005 lebih rinci mengatur tentang kriteria-kriteria daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK, yaitu meliputi :

a. Kriteria umum,

Kriteria ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD.

Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan dan karakteristik Daerah.

c. Kriteria teknis.

Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis.

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 41 menyatakan bahwa daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

Dokumen terkait