KAJIAN PUSTAKA
2.2 Kajian Teori
2.2.8 Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedangang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunkan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer dan Agustina 2010:47).
Dell Hymes (1972 dalam Chaer 2010) mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah.
S : Setting and scene P : Participants
E : Ends : purpose and goal A : Act sequences
K : Key : tone or spirit of act I : Instrumentalities
N : Norm of interaction and interpretation G : Genres
Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau siatuasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. berbicara di lapangan sepak bola akan berbeda dengan berbicara di dalam perpustakaan.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar. Berbeda jika ada di dalam suasana khotbah masjid atau gereja, pendeta sebagai pembicara dan jemaat sebagai pendengar, peran ini tidak bisa ditukar.
Ends, merrujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu
kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kuliah linguistik, ibu dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya; namun, barangkali di antara para mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk memandang wajah bu dosen yang cantik itu.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.
Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Dari yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompleksnya terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Komponen tutur yang diajukan Hymes itu dalam rumusan lain tidak berbeda dengan yang oleh Fishman disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik, yaitu “ who speak, what language, to whom, when, and, what end”.
2.2.9 Interferensi
Weinreich (dalam Chaer dan Agustina 2010: 120) menyebutkan bahwa interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang mampu menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multilingual adalah penutur yang mampu menggunakan lebih dari dua bahasa
Hartman dan Stork (1972:115 dalam Chaer 2010: 121) menyebutkan interferensi merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai
akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Kesimpulan dari paparan Hartman dan Stork bisa dikatakan bahwa bahasa tidak akan pernah lepas dari budaya. Terbawanya bahasa ibu dalam ujaran dikarenakan budaya awal yang dipelajari merupakan bahasa ibu, dan kebiasaan-kebiasaan itu terkadang masih sering terjadi.
Interferensi dalam bidang fonologi, Weinreich (1953, dalam Chaer 2010: 122) dalam bahasa Indonesia interferensi pada sistem fonologi dilakukan misalnya, oleh para penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Tapanuli. Fonem // pada kata seperti <dengan> dan <rembes> dilafalkan menjadi [dngan] dan [rmbs]. Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homorgan di muka kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata [mBandung], [nDepok], [ngGombang], dan [nyJambi]. Interferensi dalam bidang morfologi, antara lain, terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain.
2.2.10 Kata
Tarigan (1985: 6) Kata ialah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain, setiap satuan bebas merupakan kata. Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai
satuan gramatik, kata terdiri dari satu atau beberapa morfem (Ramlan, 1983 dalam Tarigan 1985: 6)
Kata adalah bentuk bebas yang paling kecil, yaitu kesatuan terkecil yang dapat diucapkan secara berdikari. (Bloomfield, 1933 dalam Tarigan 1985: 6). Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kata adalah satuan terkecil dan dapat berdiri sendiri.
2.2.11 Frasa
Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih dan hanya menduduki satu fungsi jabatan kalimat. Frasa biasa didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari dua suka kata dan tidak memiliki unsur predikat (Chaer, Abdul, 1994), dengan kata lain frasa merupakan satuan linguistik yang lebih besar dari kata tetapi lebih kecil dari klausa dan kalimat.
2.2.12 Klausa
klausa dijelaskansebagai satuan gramatik yang terdiri dari S P baik disertai O, PEL, dan KET ataupun tidak. Dengan ringkas, klausa ialah S P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada boleh tidak (Ramlan, 1987: 92).
Unsur inti klausa ialah S dan P. Namun demikian. S sering dihilangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat penggabungan klausa dan dalam kalimat jawaban, misalnya :
(1) Tengah Karmila menangis menghadap tembok. Bapak daud masuk diantar suster Meta.
(2) Sedang bermain-main. (sebagai jawaban pertanyaan Anak-anak itu sedang mengapa?).