• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN

2.2. Perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian

Pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan definisi klausula eksonerasi dalam Undang-undang perlindungan konsumen oleh karena itu untuk selanjutnya dipandang perlu menelusuri berbagai pandangan dari penulis. Untuk membedakan kedua istilah baku dan eksonerasi , perjanjian yang mengandung syarat-syarat baku adalah meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, sedangkan dalam perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi adalah menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan.14

Sebagaimana diuraikan diatas perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa

14

penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab. Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut.15

Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi yaitu :16

a. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi,

b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri.

c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu piahk misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada pihak ketiga yang terbutki mengalami kerugian.

Oleh karena itu syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/ penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban tetapi membebankan pihak lain.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas maupun tersurat tidak ada mencantukam istilah syarat eksonerasi tersebut.17

Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 di dalamnya hanya mengatur tentang klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih

15

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, ”Hukum Perlindungan Konsumen”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 115.

16

Ibid, hal 116. 17

dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dlm suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.

Selanjutnya Bab V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 menentukan sebagai berikut :

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Menurut Henri .P. Panggabean, klausula eksonerasi adalah perjanjian-perjanjian yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang akibatnya dapat merugikan konsumen.18

18

Ahmadi miru&sutarman yodo,Hukum Perlindungan Konsumen, raja grafindo persada, Jakarta, 2008, hal 117.

Dari batasan yang diberikan tersebut dapat disimpulkan bahwa klausula eksonerasi itu adalah isinya mengalihkan tanggung jawab, jadi klausula eksonerasi tidak sama dengan perjanjian standar.

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajibannya untuk membayar gantu rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji ataupun perbuatan melawan hukum.19

Dengan memaknai pandangan dari para pakar diatas maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen.

Dengan memaknai pandangan dari para pakar diatas maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen.

Shidarta yang memperhatikan dengan cermat serta memaknai secara seksama Pasal 18 ayat (1) huruf a khususnya yang berisi tentang pengalihan tanggung jawab dihadapkan pada pasal 18 ayat (2) dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berisi tentang larangan pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang sulit dimengerti, letaknya sulit dilihat, tidak dapat dibaca secara jelas ataupun pengungkapannya sulit dimengerti. Dikatakannya lebih lanjut makna yang dikandung dalam kedua ketentuan diatas

19

tersebut mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Oleh karena itulah penulis berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, merupakan syarat-syarat eksonerasi yang digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya melalui syarat-syarat pengalihan tanggung jawab ataupun mengurangi tanggung jawabnya terhadap konsumen.20

Dari hasil data pada perjanjian jual beli perumahan pada pasal 6 ayat (3) dan pasal 9 ayat 2 huruf (b) belum memenuhi kriteria pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 Pasal 18.

Pada pasal 6 ayat (3) perjanjian jual beli perumahan tersebut sangatlah membebani pembeli dikarenakan pengembang hanya memberikan masa pemeliharaan selama 90 hari dan setelah itu dengan sendirinya segala tanggung jawab beralih kepada pembeli. Hal ini bertentangan dengan pasal 18 ayat 1 huruf (a) yang menentukan bahwa, pelaku usaha dilarang membuat klausula baku pada dokumen atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Pada perjanjian jual beli perumahan pasal 9 ayat 2 huruf (b) tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang No.8 Tahun 1999 yang isinya adalah menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secaea langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Dari hasil data pada surat pengaduan Ibu lien menunjukkan

20

Shidarta,” hukum perlindungan konsumen Indonesia”,PT. grasindo , Jakarta, 2000, h.123.

bahwa perjanjian baku berklausula eksonerasi berupa tindakan sepihak tersebut adalah berat sebelah yaitu bahwa developer terlalu tinggi mencari keuntungan, pengembang memanfaatkan konsumen yang sangat terdesak kebutuhannya terhadap rumah, pembeli tidak ada diberikan kesempatan untuk merubah syarat-syarat baku dalam perjanjian dan posisi konsumen sangat lemah berhadapan dengan pengembang/ developer.

BAB III

AKIBAT HUKUM KLAUSULA BAKU YANG MEMUAT KLAUSULA EKSONERASI

Sebagaimana halnya telah diuraikan dalam Tinjauan Pustaka Bab II, adapun syarat umum setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak didasarkan pada terpenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif. Pelaku usaha dalam dunia bisnis dalam mewujudkan efisiensi kerja sering kali membuat perjanjian yang sudah tertulis dalam bentuk perjanjian pengikatan jual beli yang sudah disiapkan jauh sebelum terjadinya transaksi. Dalam praktek ditemukan berbagai pembakuan dalam setiap dokumen ataupun perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak terutama yang lebih dominan dari pihak yang lainnya. Perjanjian atau dokumen yang sudah baku tersebut tidak mungkin diadakan tawar menawar oleh pihak yang posisi ekonomi lemah sehingga baginya ada dua pilihan yaitu menerima atau menolak. Dalam perjanjian baku jual beli perumahan juga tidak sulit ditemukan adanya klausula eksonerasi yang tentunya sangatlah merugikan konsumen. Melalui penandatanganan sebuah perjanjian jual beli yang dilakukan oleh PT.Pakuwon Darma dengan konsumen Ibu lien sudah terbukti secara fakta bahwa konsumen yang posisi tawarnya lemah pun dianggap oleh pelaku usaha menyepakati segala isi perjanjian dimaksudkan. Menerima berarti bersedia untuk memenuhi segala syarat-syarat yang cenderung hanya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan kerugian bagi yang posisi tawarnya lemah. Melihat hubungan konsumen yang lemah di satu pihak dengan pelaku usaha yang kuat dipihak lain, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 membuat aturan-aturan yang berkaitan

dengan klausula baku yang memuat klausula eksonerasi dalam setiap dokumen ataupun perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. Undang-undang memberikkan kesempatan kepada pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula tersebut tetapi dari hasil data menunjukkan pelaku usaha belum melakukan penyesuaian sebagaimana diwajibkan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap klausula baku yang memuat klausula eksonerasi terdapat dua klausul dalam perjanjian pengikatan perjanjian jual beli perumahan PT. Pakuwon Darma yaitu pada pasal 6 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 huruf (b).

3.1 Akibat Hukum Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pada perjanjian jual beli PT.Pakuwon Darma pada pasal 6 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 huruf (b) melanggar syarat obyektif pada pasal 1320 ayat 4 yaitu “suatu sebab yang halal”. Pada pengertian suatu sebab yang halal tersebut dapat ditemukan dalam pasal 1337 KUHPerdata yang berbunyi “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,atau apabila berlawanan dengan hukum.

Dalam lahirnya perjanjian pengikatan jual beli perumahan PT. Pakuwon Darma tersebut, pelaku usaha juga melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sehingga konsumen perumahan mau tidak mau harus menandatangani perjanjian pengikatan jual beli rumah tersebut. Penyalahgunaan keadaan itu berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam kondisi tidak bebas untuk meyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu cacat kehendak juga.21.

Sebenarnya, penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebiasaan baik. Atas dasar itu, suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian tertentu saja. Dengan demikian, ada anggapan, sebab yang terlarang sama dengan isi perjanjian yang tidak dibenarkan. Padahal penyalahgunaan tidak semata-mata berkaitan dengan isi perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang, tetapi ada sesuatu lain, yang terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Inilah yang dinamakan penyalahgunaan keadaan.22

Data pada surat pengaduan tersebut menunjukkan bahwa konsumen menandatangani perjanjian jual beli yang telah dibakukan dan memuat klausula eksonerasi tersebut karena terpaksa melakukan penandatanganan dikarenakan apabila menolak untuk menandatangani perjanjian jual beli berarti dianggap melakukan pembatalan sepihak dan akan dikenakan sanksi berupa biaya

21

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen indonesia,Grasindo,jakrta, 2006, h.85 22

pembatalan pada pasal 10 perjanjian jual beli sebesar 20 %(dua puluh persen) dari harga jual beli.

Dengan demikian ada kecenderungan konsumen yang menandatangani kontrak tersebut dalam keadaan terpaksa menerima segala isi syarat-syarat dalam perjanjian baku yang ditetapkan secara sepihak oleh pengembang, inipun dapat dijadikan bukti bahwa adanya penyalahgunaan keadaan ekonomi yaitu ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar atau perundingan antara pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Kondisi ini membuat ada salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya, dan juga penyalahgunaan keadaan dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebiasaan yang baik (goede

zeden). Maka klausula eksonerasi tersebut bertentangan dengan syarat subyektif

perjanjian sehingga akibat hukumnya dapat dibatalkan.

3.2 Akibat Hukum ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam pasal 6 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 huruf (b) ini juga melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen pasal 18 ayat 1 huruf (a) dan (d), akibat hukum atas pelanggaran ini adalah batal sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 18 ayat 3 yang berbunyi “Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Jika membaca ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya pelanggaran

terhadap ketentuan klausul baku tidak membatalkan (demi hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausul baku tersebut, melainkan hanya membatalkan (demi hukum) klausul baku tersebut.23 Pelanggaran terhadap pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan tindak pidana menurut ketentuan pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi,

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a,huruf b, huruf c, huruf e ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) lima tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).’’

Jelas bahwa pelanggaan terhadap pasal 18 berakibat hukum dipidan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah dan menurut pasal 63 UUPK, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran atau pencabutan izin usaha.

Dalam hal klausula baku yang memuat klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan yang merugikan konsumen, maka Undang-Undang perlindungan Konsumen pasal 45 ayat (2) memberikan hak kepada konsumen untuk menggugat pihak pengembang atau pelaku usaha melalui 2 cara penyelesaian sengketa konsumen yaitu:

1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan atau; 2. Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan.

23

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata,Grafindo,2007,h.279.

Kedua cara penyelesaian tersebut dapat dipilih secara alternatif oleh para pihak dengan pilihan sukarela. Cara-cara penyelesaian sengketa konsumen ini tidak boleh dilakukan seenaknya saja tetapi ada limitatif yang diberikan oleh undang-undang perlindungan konsumen yaitu pada pasal 45 ayat 4 undang undang nomor 8 tahun 1999 yaitu “apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau pihak yang bersengketa.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa apabila para pihak yang bersengketa yaitu konsumen dengan pengembang memilih cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui kesepakatan sebelum terjadinya sengketa maupun sesudah terjadinya sengketa maka harus dilakukan terlebih dahulu melalui jalur penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan yaitu melalui mediasi,konsiliasi maupun arbitrase. Selanjutnya apabila upaya tersebut tidak mendapat tanggapan dari pihak pengembag, barulah konsumen melanjutkan upaya hukumnya dengan mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pengembang melalui jalur pengadilan.

Jadi dapat disimpulkan bila terjadi sengketa antara ihak konsumen dengan pengembang maka konsumen sebaiknya mendahulukan jalur penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu dengan cara damai atau melalui BPSK,barulah kemudian menempuh jalur penyelesaian sengketa melalui pegadilan. Selain itu apabila konsumen memilih mengajuan gugatan ganti ruginya melalui jalr pengadilan terlebih dahulu maka konsumen tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi melalui jalur lainnya. Jadi intinya adalah jalur penyelesaian sengketa

konsumen apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan baik secara damai maupun melalui BPSK.

Khusus mengenai gugatan ganti rugi yang diajukan oleh pihak konsumen perumahan terhadap pihak pengembang melalui pengadilan, ggatan tersebut dapat diajukan secara sendiri-sendiri,bersama-sama dengan para konsumen yang punya kepentingan sama (class action ), maupun melalui lembaga swadaya masyarakatyang bergerak dibidang perlindungan konsumen. Hal ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

1. “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;  Sekelompok konsuen yang memiliki kepentingan yang sama;

 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;  Pemerintah dan/instansi terkait apabila barang dan/jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.”

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian jual-beli perumahan PT.Pakuwon Darma dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Klausula eksonerasi yang dicantumkan oleh pengembang dalam perjanjian jual-beli perumahan yang berisi ketentuan pengalihan tanggung jawab dan yang isinya adalah menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secaea langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran adalah melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen.Pasal 18 ayat (1) huruf a dan d Klausula eksonerasi menurut Kitab Undang-undang hukum perdata yang tidak memenuhi syarat subyektif adalah dapat dibatalkasn dan yang tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian maka perjanjian tersebut berakibat batal demi hukum. Dengan demikian secara yuridis materiil perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.

2. Pada akibat hukum menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, klausula baku yang memuat klausula eksonerasi tersebut melanggar pasal 18 ayat (1) huruf a dan d sehingga akibat hukum dari perjanjian menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang

3. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi tersebut tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.

4.2. Saran

1. Perlunya peningkatan pengawasan pemerintah yang optimal terhadap perjanjian yang ditetapkan oleh pengembang perumahan sehingga dapat melindungi konsumen secara menyeluruh serta adanya undang-Undang. 2. Perlunya adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

klausula eksonerasi yang merugikan konsumen yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar hukum oleh pemerintah untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa pencekalan badan usaha yang dijalankan sehingga adanya efek jera bagi pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli yang dilakukannya.

3. Mengingat Undang-undang Perlindungan Konsumen telah berlaku secara efektif semenjak tanggal 20 April 2000 maka pelaku usaha yang bergerak di bidang pemukiman dan perumahan harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen sehingga pelaku usaha wajib melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap klausula-klausula yang ditetapkannya harus sesuai dengan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,2000

Ahmadi Miru,Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Raja Grafindo Persada,Jakarta,2004

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar harapan,Jakarta,1995 Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia, Gramedia,

Jakarta,1990

Kansil. ChristineST Kansil, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 08 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta,Pradnya

Paramita,1999

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2001

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,2000 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT Intermasa, 2005

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005 Subekti,Aneka Perjanjian,Alumni,Bandung, 1981

Surisno,Hukum Bisnis, Dian Samudra,Surabaya,2010

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perlindumgan Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,2003

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah

Pedoman Standart Interprestasi Undang-undang Perlindungan Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, 2003

C. WEBSITE

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/11105327/Penduduk.Indonesia.236. 7. Juta.Jiwa, tanggal 08 Agustus 2010

www.Wikipedia.com, Ensiklopedia Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggal 8 September 2010

Dokumen terkait