• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KREDIT

C. Perjanjian Kredit

Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan atau kalimat- kalimat yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dibuat dalam tulisan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan perikatan karena perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hak yang konkrit atas suatu peristiwa.44

Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian . Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat menjadi KUH Perdata) menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu ;45

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. cakap untuk membuat suatu perjanian c. mengenai hal atau obyek tertentu d. suatu sebab (causa) yang halal

44

S.B. Marsh dan J. Soulby Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 93 45

Syarat pertama dan kedua adalah syarat subyektif karena menyangkut orang orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Orang-orang atau pihak ini sebagai subyek yang membuat perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena menyangkut mengenai obyek yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subyek yang membuat perjanjian.46 Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi termasuk perjanjian bernama di luar KUH Perdata, meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata. Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam (verbruiklening) yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata. Dalam pemberian kredit sebenarnya terjadi beberapa hubungan hukum, yaitu tidak saja berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam akan tetapi terjadi juga hubungan hukum berdasarkan perjanjian pemberian kuasa, perjanjian pertanggungan (asuransi), dan lain-lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit, khususnya perjanjian kredit perbankan di dalam pelaksanaannya tidaklah sama (identik) sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjam-meminjam (verbruiklening) dalam KUHPerdata47

46

S.B. Marsh dan J. Soulby Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 93 , namun bersumber dari sana untuk pengaturan umumnya.

47

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan undang- undang perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit.

“Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/10 tangaal 3 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, Bank- bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit.” 48

Mariam Darus Badrulzaman, berpendapat bahwa “perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (vooroverenkomst) dari penyerahan uang.”49

Menurut hukum perjanjian, kredit harus tertulis dan memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari sudut pembuktian, perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.

Perjanjian pendahuluan merupakan hasil dari permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan antara keduanya (kreditor dan debitor). Penyerahan uangnya adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uangnya dilakukan, barulah ketentuan yang tertuang dalam model perjanjian kredit bank tersebut berlaku untuk kedua belah pihak.

48

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Jakarta : Alfabeta, 2003), hal.97 49

Mariam Darul Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 28

Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, pengertian kredit adalah sebagai berikut :

“Kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.

Dari pengertian tersebut terlihat kontra prestasi yang akan diterima berupa bunga. Berkaitan dengan perjanjian pinjam-meminjam ini, tentunya para pihak telah mempunyai kesepakatan terlebih dahulu. Berbicara mengenai kesepakatan, Sutan Remy berpendapat bahwa kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam definisi pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut :50

1. Pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam, sehingga dalam hal ini hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang Perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam-meminjam) KUHPerdata khususnya.

2. Adanya keharusan dari pembentuk Undang-Undang bahwa hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Karena apabila kita melihat dari bunyi ketentuan saja, maka akan sulit untuk menafsirkan bahwa ketentuan

tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis.

Berdasarkan ketentuan Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/649 UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, menentukan bahwa dalam pemberian kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan / membuat akad perjanjian kredit.

Dalam memberikan kredit bank harus menggunakan akad perjanjian sehingga memiliki kekuatan pembuktian, maka bank biasanya menggunakan kontrak/perjanjian kredit yang bentuknya sudah baku sehingga tidak perlu untuk selalu membuat perjanjian kredit setiap saat, karena apabila bank akan memberikan kredit kepada nasabah debiturnya perjanjiannya telah siap sehingga hanya diperlukan tanda tangan nasabah debitur.

Pengertian nasabah sendiri menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”51

Dalam praktek Bank ada dua bentuk perjanjian kredit, yaitu : 1. “Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

51

Indonesia (B), Undang-Undang tentang Perbankan Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790, ps. 1.

Dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debit untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank suda menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standard form) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan.

Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon debitor untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-sayarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut.

2. perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Perjanjian ini di siapkan dan dibuat oleh seorang notaris, namun dalam praktik semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberkan lebih dari satu kreditor atau lebih dari satu bank).” 52

52

Berbagai pengertian kredit tersebut dapat memungkinkan diperolehnya gambaran mengenai apa itu kredit, dan dari pengertian-pengertian kredit itulah dapat disimpulkan adanya beberapa unsur yang terdapat dalam kredit, yaitu53

b. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur yang disebut perjanjian kredit.

:

c. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank, dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman atau barang atau jasa.

d. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur mau dan mampu membayar atau mencicil kreditnya.

e. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak-pihak debitur. f. Adanya pemberian sejumlah uang atau barang atau jasa oleh pihak kreditur

kepada pihak debitur.

g. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang atau barang atau jasa oleh pihak debitur, disertai dengan pemberian imbalan atau bunga atau pembagian keuntungan.

h. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur.

i. Adanya risiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi. Semakin panjang waktunya, semakin besar risiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit.

53

Unsur-unsur tersebut merupakan ciri-ciri yang ada pada kredit yang secara garis besar dapat digolongkan kembali menjadi empat pokok unsur kredit, yaitu 54

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

:

b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan saat pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. c. Degree of rist, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat adanya

jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dengan kontraprestasi. Semakin lama jangka waktunya, semakin tinggi tingkat risikonya, karena unsur ketidaktentuan kemampuan hari depan yang tidak dapat diperhitungkan. Dengan adanya risiko ini maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi, atau obyek kredit yang dapat berupa uang, barang, atau jasa.

Namun kehidupan ekonomi modern sekarang lebih banyak menyangkut uang.

Dokumen terkait