• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Perjanjian Pengangkutan Udara

Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu

8

kelain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.9 Sebelum dipaparkan mengenai perjanjian pengangkutan udara terlebih dahulu dijelaskan mengenai hukum Pengangkutan Udara. Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan (kaidah, norma) yang mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan udara (Air Transportation) adalah merupakan bagian daripada hukum penerbangan (Aviation Law) dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum udara(air Law). Hukum udara adalah sekumpulan peraturan yang menguasai ruang udara serta penggunaannya di lingkungan penerbangan. Hukum penerbangan adalah kumpulan peraturan yang secara khusus mengenai penerbangan, pesawat udara, ruang udara dan peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan. Dengan demikian, hukum udara lebih luas cakupannya dari pada hukum penerbangan atau hukum pengangkutan udara.

Peraturan perUndang-Undangan juga dijelaskan beberapa defenisi yang berkenaan dengan kegiatan pengangkutan udara, yaitu antara lain: dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, menentukan beberapa ketentuan umum, yaitu antara lain :

a. Penerbangan adalah satu kesatuan system yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandara udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

b. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu

9

perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.

c. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.10 Menurut G Kartasapoetra, perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara pengangkut dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau prestasi lain.

Berdasarkan rumusan perjanjian pengangkutan udara di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur diantaranya adanya para pihak atau subjek hukum, adanya alat atau sarana pengangkut, adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian adanya kewajiban membayar ongkos atau biaya pengangkutan. Perjanjian pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.11

10

Ningrum, Lestari. Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis,Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004

11

2. Subjek dan Objek Perjanjian Pengangkutan Udara a. Subjek dalam perjanjian Pengangkutan Udara

1. Penumpang

Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini ia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.12 Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata). Ada beberapa criteria penumpang menurut Undang-Undang Pengangkutan Indonesia, yaitu: a) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan

b)Pihak tersebut adalah penumpang yang wajib membayar biaya pengangkutan.

c) Pembayaran biaya pengangkutan dibuktikan oleh karcis yang dikuasai oleh penumpang.

E.Suherman menyatakan bahwa dalam penerbangan teratur (schedule) definisi penumpang adalah setiap orang yang diangkut dengan pesawat udara oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian angkutan udara dengan atau tanpa bayaran.13

Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan

12

Abdulkadir Muhammad, 2013,Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti hlm.65

13

atas dirinya yang diangkut. Draft convention September 1964 dirumuskan tentang defenisi penumpang di mana disebutkan bahwa penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara, kecuali orang yang merupakan anggota awak pesawat, termasuk pramugara atau pramugari.

Dengan defenisi tersebut, maka jelaslah semua yang termasuk awak pesawat sebagai pegawai pengangkut tidak tergolong sebagai penumpang, sedangkan pegawai darat pengangkut yang turut serta atau diangkut dengan pesawat udara baik untuk keperluan dinas pada perusahaan penerbangannya maupun untuk kepentingan pribadi dianggap sebagai penumpang biasa.

2. Pihak Pengangkut

Pengangkut pada umumnya adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Menurut Abdulkadir Muhammad14 pengangkut memiliki dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkutan pada arti yang pertama masuk dalam subjek pengangkutan sedangkan pada arti pengangkut yang kedua masuk dalam kategori objek pengangkutan.

Pengangkut memiliki arti yang luas yaitu tidak hanya terbatas atau dipertanggungjawabkan kepada crew saja, melainkan juga

14

Abdulkadir Muhammad, 2007, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia, Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi,Penerbit Genta Press, Yokyakarta

perusahaan yang melaksanakan angkutan penumpang atau barang. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan tersebut. Pengangkut dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapatditinggalkan antara lain, yaitu sebagai berikut:

1. menyelenggarakan pengangkutan dengan aman, selamat dan utuh; 2. pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat pada waktunya: 3. diselenggarakan dengan tidak ada perubahan bentuk.

Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang. Pengangkut dapat berstatus Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Badan Usaha Miliki Swasta, Badan Usaha Koperasi, atau Perseorangan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan niaga. Ada beberapa ciri dan karakteristik pengangkut yaitu sebagai berikut:

a) perusahaan penyelenggara angkutan; b) menggunakan alat angkut mekanik; c) penerbit dokumen angkutan.

Pengangkut udara

Dalam Konvensi Guandalajara 1961, ada dua macam pengangkut, masing-masing pengangkut yang membuat perjanjian (contracting carier) dan pengangkut yang benar-benar mengangkut (actual carrier). Contracting Carrier adalah orang yang membuat perjanjian untuk transportasi dengan penumpang atau pengirim atau seorang yang

bertindak sebagai penumpang atau pengirim barang yang diatur oleh Konvensi Warsawa 1929. Actual carrier adalah orang selain pengangkut yang, berdasarkan kuasa dari pengangkut yang membuat perjanjian, melakukan seluruh atau sebagian pengangkutan, tetapi yang tidak termasuk bagian pengangkutan berturut-turut sebagaimana dimaksudkan dalam Konvensi Warsawa 1929.15

E. Suherman mendefenisikan pengangkut udara yaitu setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim atau penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang/pengirim barang.16 Dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan udara niaga atau komersial, pengangkut adalah perusahaan-perusahaan penerbangan atau biasa disebut juga dengan maskapai penerbangan, ada juga menyebutnya operator penerbangan. Pengangkutan udara dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha pengangkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha pengangkutan udara niaga.17 Pengangkutan udara niaga adalah perusahaan pengangkutan udara yang mendapat izin dari pemerintah menggunakan pesawat udara niaga dengan memungut bayaran. Perusahaan badan hukum boleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT.Garuda Indonesia Airways (Persero) dan PT.Merpati Nusantara Airlines (Persero). Boleh juga Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) seperti Sriwijaya Airlines, dan PT.Lion Airlines.

15

H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2013 hlm. 78

16

E.Suherman.Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara.Bandung:Alumni.1984 hlm.79

17

b. Objek dalam Perjanjian Pengangkutan Udara

Objek hukum adalah isi perjanjian atau pokok perjanjian, yaitu keseluruhan kewajiban dan hak yang menyebabkan terjadinya perjanjian atau lebih dikenal sebagai prestasi. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat obejektif untuk sahnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata bahwa untuk sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah : 1) Dapat diperdagangkan;

2) Dapat ditentukan jenisnya; 3) Dapat dinilai dengan uang, dan

4) Memungkinkan untuk dilakukan/ dilaksanakan.18

Perjanjian pengangkutan udara yang menjadi objek perjanjian adalah barang dan penumpang, sampai proses pengangkutan berakhir.

1. Hak dan Kewajiban Penumpang dan Pihak Pengangkut a. Hak Penumpang

Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan.19 Perjanjian angkutan udara yang dimaksud yaitu tiket penumpang dan pas masuk pesawat udara (Boarding pass). Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk

18

Elly Erawati dan Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian. Jakarta: Nasional Legal Reform Program,2010 hlm 9

19

Hadisuprapto, Hartono Dkk. Pengangkutan Dengan Pesawat Udara. Yogyakarta: UII Press.1987 hlm 26

menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain. Penumpang berhak menggunakan tiket penumpang yang dimilikinya sesuai dengan nama yang tercantum dalam tiket tersebut dengan dibuktikan oleh dokumen identitas diri.

b. Kewajiban Penumpang

Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

a) Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebaliknya

b) Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu

c) Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta

d) Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya

e) Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barangbarang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.

Apabila penumpang tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka sebagai konsekuensinya pengangkut udara berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan udara itu. Disamping itu juga apabila penumpang yang melalaikan kewajibannya itu kemudian menimbulkan kerugian sebagai akibat perbuatannya itu, maka ia sebagai penumpang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

c. Hak Pengangkut

Secara umum hak pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos angkutan dari penumpang atau pengirim barang atas jasa angkutan yang telah diberikan. Akan tetapi di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 ditentukan hak pengangkut, yaitu sebagai berikut:

1) Pada Pasal 7 ayat (1), Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara". Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut agar menerima surat tersebut. 2) Pasal 9, Bila ada beberapa barang, pengangkut berhak meminta

kepada pengirim untuk membuat beberapa surat muatan udara. 3) Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk

menerima barangbarang atau untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak. Dan pada ayat (2) Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan, juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram

atau telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya.

Disamping hak-hak yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara tersebut di atas, masih ada hak-hak yang lain dari pengangkut seperti hak untuk menolak pelaksanaan atau mengangkut penumpang yang tidak jelas identitasnya. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam tiket pesawat yang menyatakan bahwa hak pengangkut untuk menyerahkan penyelenggaraan atau pelaksanaan perjanjian angkutan kepada perusahaan penerbangan lain, serta mengubah tempat-tempat pemberhentian yang telah disetujui.

d. Kewajiban Pengangkut

Secara umum kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang beserta bagasinya dan menjaganya dengan sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan. Pengangkut juga wajib :

- menyerahkan tiket penumpang kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif;

- menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksudkan Pasal 150 huruf b UURI No.1 Tahun 2009 kepada penumpang; - menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada penumpang.

3. Akibat Hukum Perjanjian Pengangkutan Udara

Setiap perjanjian akan menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Hubungan hukum adalah hubungan antara

dua atau lebih pihak yang menimbulkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak20.

Menurut perspektif hukum, sengketa dapat berawal dari adanya suatu wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum. Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan ”prestasi”, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi (kelalaian).

Menurut PNH Simanjuntak wanprestasi adalah keadaan di mana seorang debitur(pihak yang berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagai mana mestinya sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.21 Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitur sendiri itu sendiri dan karena factor adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeur). Adapun yang menjadi kreteria seorang debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila:

a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;

20

R.Suroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.2001. hlm 269

21

c) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya dan

d) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak diwajibkan dalam perjanjian.

Prinsip-prinsip dari wanprestasi di atas dapat terjadi dalam perjanjian pengangkutan udara. Dengan demikian, pihak pengangkut wajib untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata, debitur yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :

1) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata)

2) Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata)

3) Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 Ayat(2) KUH Perdata)

4) Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 HIR).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, dalam hal debitur melakukan wanprestasi, maka debitur dapat memilih tuntutan-tuntutan haknya berupa:

a. Pemenuhan perjanjian

b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi c. Ganti kerugian saja

d. Pembatalan perjanjian

Dokumen terkait