• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PERJANJIAN JUAL BELI PADA UMUMNYA

D. Macam-macam Perjanjian

Hukum perjanjian memberikan suatu kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menganut azas kebebasan berkontrak. Bunyi Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua orang

atau lebih, yang saling berjanji untuk memenuhi suatu hal,

maka bentuk parjanjian bisa bermacam-macam yaitu:

1. Perjanjian Formil

Bahwa perjanjian itu harus dilakukan dengan bentuk tertentu dan biasanya harus tertulis agar dianggap sah, misalnya perjanjian perdamaian. Menurut Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, kalau tidak, maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah.

Samuel F.R. Sinaga : Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor Dengan Jaminan Secara Kredit (Studi PT. Indako Medan), 2007.

USU Repository © 2009

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru atau sah pada saat penyerahan benda yang bersangkutan. Contoh penitipan barang, perjanjian penitipan barang itu baru terjadi pada saat pemberi titipan itu menyerahkan barang kepada penerima titipan, sebab penyerahan itu bukan merupakan perbuatan sebagai akibat perjanjian, tetapi perbuatan yang menyebabkan terjadinya perjanjian.

3. Perjanjian Konsensuil.

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang sudah dianggap sah dan mengikat sejak adanya konsensus atau kata sepakat antara pihak-pihak mengenai unsur-unsur pokok dari perjanjian.Contoh, perjanjian jual-beli. Menurut Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, maskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Subyek perjanjian adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua sudut yakni sudut kewajiban (obligation) yang dipikul oleh satu pihak sudut hak atau manfaat yang diperoleh lain pihak, yakni hak-hak untuk menuntut dilaksanakan sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian.

Untuk suatu janji yang selalu diperjanjikan berlaku ketentun Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan :

Hal –hal menurut kebiasaan selalu diperjanjikan, dianggap secara diam-diam termasuk didalam perjanjian yang bersangkutan, hanya saja harus dipenuh syarat bahwa debitur tahu bahwa kreditur dalam perjanjian seperti itu selalu memperjanjikan

Samuel F.R. Sinaga : Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor Dengan Jaminan Secara Kredit (Studi PT. Indako Medan), 2007.

USU Repository © 2009

klausula seperti itu atau dalam perjanjian-perjanjian yang sebelumnya telah ditutup dengannya selalu memperjanjikan janji seperti itu. 5

a. Ketidak mungkinan yang subyektif, ketidak mungkinan hanya didasarkan pada anggapan subyektif debitur. Ketidak mungkinan subyektif tidak menyebabkan batalnya perjnjian, melainkan perjanjian tetap sah.

Namun ada suatu pembatasan yang penting yang perlu diperhatikan yaitu bahwa peristiwa seperti itu, janji yang dianggap termasuk dalam perjanjian yang bersangkutan, hanya bisa meliputi bangunan dan tanaman milik debitur atau pemberi jaminan itu sendiri.

Obyek perjanjian pada umumnya adalah setiap benda yang dikenai perjanjian itu sendiri. Kalau demikian intisari atau hakikat perjanjian tiada lain daripada prestasi. Tentang obyek atau prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis. Tidak akan ada perjanjian jika Undang-Undang menentukan hal demikian. Itulah sebabnya Pasal 1320 angka 3 (tiga) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa obyek atau prestasi perjanjian harus menentukan syarat yaitu obyeknya harus tertentu, atau sekurang-kurangnya obyek itu mempunyai jenis tertentuseperti yang dirumuskan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena obyek atau jenis obyek merupakan prasyarat dalam mengikat perjanjian dengan sendirinya perjanjian demikian tidak sah jika seluruh obyek tidak tertentu. Misalnya memeperjanjikan seseorang untuk membangun sebuah rumah tanpa suatu petunjuk apapun, baik mengenai letak, besarnya dan jenis bangunannya. Perjanjian semacam ini tidak mempunyai kekuatan yang mengikat agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat prestasi yang menjadi obyek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya jenis obyek yang diperjanjikan itu harus tertentu.

Persetujuan yang diikat oleh kedua belah pihak tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kepentingan umum dan kesusilaan. Setiap perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, kesusilaan adalah batal demi hukum. Prestasi yang harus dilakukan pada debitur harus benar-benar suatu yang memungkinkan harus dapat dilaksanakan. Adalah suatu hal yang bertentangan dengan hukum dan kepatutan untuk membebani seorang debitur dengan suatu prestasi yang tidak mungkin dilaksanakan, misalnya menyuruh seseorang untuk membunuh. Hal yang demikian sudah sangat bertentangan dengan hukum. Atau dengan kata lain kreditur menyuruh debitur untuk mengerjakan lahan persawahan dengan tangannya sendiri dalam tempo dua hari dengan luas 4 (empat) hektar.

Dengan demikian didalam mempersoalkan masalah prestasi yang tidak mungkin, harus dibedakan antara prestasi yang ada pada dirinya sendiri benar-benar mutlak tidak mungkin dari pandangan debitur.

Harus dibedakan ketidak mungkunan yang melekat secara mutlak pada prestasi itu sendiri dengan ketidak mungkinan dari segi debitur, secara teoritis dan praktis harus dibedakan antara :

5

Samuel F.R. Sinaga : Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor Dengan Jaminan Secara Kredit (Studi PT. Indako Medan), 2007.

USU Repository © 2009

b. Ketidak mungkinan yang obyektif, dalam hal ini prestasi tidak mungkin dapat dilaksanakan debitur sekalipun dengan alat dan perhitungan yang benar-benar cermat.6

Perjanjian yang prestasinya sama sekali tidak mungkin dilakukan sejak hari semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian sendirinya dianggap tidak berharga dan tidak ada kewajiban debitur untuk memenuhinya. Sebab ketidak mungkinan itu telah menghapuskan kewajiban itu sendiri. Hal ini telah menjadi prinsip umum dalam kehidupan hukum.

Perlu diperhatikan, bahwa ketidak mungkinan yang mengakibatkan perjanjian sejak dari semula tidak sah dan tidak mengikat ialah ketidak mungkinan untuk melaksanakanprestasi yang dijanjikan. Apabila saat dibuat perjanjian prestasi semula memang benar-benar mungkin, kemudian karena sesuatu hal yang menjadi tidak mungkin, maka perjanjian seperti ini tetap sah dan berharga.

Jika persetujuan benar-benar secara mutlak absolut tidak dapat dilaksanakan prestasinya, maka debitur tidak dapat dianggap kreditur jika hal itu terjadi karena keadaan memaksa. Jika dalam keadaan memaksa ketidak mungkinan melaksanakan prestasi bukan hal yang melekat sejak semula perjanjian itu dibuat. Tetapi ketidak mungkinan itu baru terjadi terjadi pada saat sebelum atau pada waktu hendak melakukan pemenuhan prestasi. Tentu tidak begitu saja debitur dapat mengadakan terjadinya sesuatu keadaan yang memaksa. Oleh karena itu Undang-Undang dalam hal ini telah memberi beban kepada kreditur untuk membuktikan kebenaran dari keadaan memaksa. Pembuktian dari debitur tersebut merupakan pertanggung jawaban secara moral dan hukum bahwa dia benar-benar tidak dapat memenuhi prestasinya.

J. Satrio mengatakan :

“Pada umumnya harus dibedakan keadaan memaksa absolut dan keadaan memaksa relatif. Pada memaksa absolut pelaksanaan parjanjian sama sekali sungguh- sungguh tidak mungkin dilaksanakan oleh debitur. Pada memaksa relatif pelaksanaan perjanjian masih mungkin dilakukan tetapi dengan cara memikul kerugian yang sangat berat bagi pihak debitur, sehingga kerugian baik perongkosan pelaksanaan benar-benar merupakan penderitaan yang besar bagi debitur.”7

6

M. Yahya Harahap, Op. cit. , h. 12. 7

J. Satrio, Hukum Perikatan, PT. Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 144.

Keadaan memaksa yang menimbulkan kerugian besar bagi debitur tidaklah dapat menjadi alasan baginya membebaskan pelaksanaan prestasi. Sebab kerugian yang seperti itu dianggap merupakan suatu resiko dalam setiap perikatan, bahwa setiap orang yang membuat perjanjian sejak semula harus sudah siap memperkirakan segala resiko yang akan terjadi. Berdasarkan faktor resiko ini ada yang berpendapat kebakaran dan pencurian atas barang yang terjadi, dipandang sebagai hal yang melekat pada barang itu sendiri. Dengan demikian dianggap bukan merupakan keadan yang memaksa.

Samuel F.R. Sinaga : Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor Dengan Jaminan Secara Kredit (Studi PT. Indako Medan), 2007.

USU Repository © 2009

Dalam hal ini memperhitungkan resiko yang terjadi, dalam prakteknya selalu dibebankan kepada kedua belah pihak antara kreditur dan debitur jika benar-benar keadaan yang menimbulkan memaksa tadi tidak dapat diperhitungkan sejak semula.

Dokumen terkait