• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH

BAB III. REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS

B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH

Pokok dalam subbab ini adalah tanah, yang melahirkan pertentangan kelas.

Sengketa tanah menjadi masalah utama dalam bahasan cerpen-cerpen yang terpilih

dalam subbab ini. Kenapa persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah di daerah

16

pedesaan dianggap layak untuk diperhatikan? M.M. Billah dkk17 mengemukakan

beberapa alasan yang dirangkum dari beberapa pendapat.

Pertama, telah diketahui secara umum bahwa penduduk Jawa berkembang dengan cepat. Di segi lain areal tanah pertanian nyaris tidak bertambah, ataupun pertambahan itu jauh lebih sedikit daripada pertambahan penduduk. Hal ini menimbulkan banyak akibat, salah satu diantaranya adalah makin kecilnya pemilikan dan proses penyempitan pemilikan itu pun berkelanjutan. Terjadilah kemudian suatu cara yang dipergunakan oleh masyarakat pedesaan untuk bereaksi terhadap gejala, yang oleh Geertz disebut dengan shared poverty (Geertz, 1956).

Kedua, pengaruh perekonomian uang yang mulai merembes ke daerah pedesaan disusuli oleh berbagai akibat dalam hubungan sosial. Di samping itu, lewat proses jual-beli dan sewa-menyewa tanah terjadilah pula di satu pihak proses pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah di tangan beberapa orang, sedang di pihak lain makin banyak orang yang tidak memiliki dan atau menguasai tanah lagi. Hal ini sudah terjadi sebelum perang. (Ranneft, 1923)

Ketiga, masalah dan penguasaan tanah di daerah pedesaan ternyata menjadi salah satu sumber ketegangan sosial dan politik di daerah pedesaan, bahkan menurut beberapa penulis masalah ini menjadi akar dari pertentangan-pertentangan sosial-politik di tingkat nasional. Puncak ketegangan di tingkat nasional tersebut lebih terasa saat-saat sekitar diundangkannya UUPA oleh pemerintah. Suhu ketegangan itu terus meningkat dan akhirnya meledak menjadi peristiwa berdarah di dalam sejarah republik ini (Lyon, 1970)18

Sebab-sebab di atas menjadikan adanya pengisapan tuan tanah terhadap

penggarap tanah dengan sistim yang sama sekali tidak adil. Sebab itulah berita

tentang tani nyaris setiap hari muncul dalam lembaran koran Harian Rakjat,

bahkan secara khusus diberi rubrik spesial untuk petani dengan nama Ruang

Gerakan Tani. Sejak munculnya wacana landreform akhir tahun 1959 dan

penetapan UUPA dan UUPBH pada 1960, kaum tani memiliki posisi yang amat

17

M.M. Billah bersama Loehoer Widjajanto dan Aries Kristyanto menulis artikel berjudul Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah). Lihat dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang disunting oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. Diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Obor, 1984.

18

terhormat. Tak ayal jika kemudian karya-karya sastrawan Lekra turut

mengkapanyekan tuntutan terhadap tanah yang merata, bahwa petani harus

memiliki tanah sendiri.

Melalui landreform, D.N. Aidit19 menjelaskan konsepnya mengenai

peranan penting kaum tani dalam Revolusi Indonesia. Kaum tani adalah mayoritas

dari seluruh penduduk Indonesia dan sebagai tenaga produktif yang paling

menentukan dan paling penting dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan.

Konsep Aidit ini tidak terlepas dari Kongres 1954 yang menyatakan bahwa

―Revolusi Indonesia terutama sekali adalahrevolusi agrarian‖. Artinya, PKI telah

menciptakan suatu perumusan yang membuka kemungkinan bahwa sampai saat

tertentu partai bisa meningkatkan perjuangan dari reformasi petani dasar ke tingkat

strategi yang lebih besar. Dalam masa satu dasawarsa perumusan ini menjadi

kenyataan, PKI melancarkan ofensif besar-besaran di tingkat desa di bawah

semboyan ―tanah untuk penggarap‖.20

Karena merasa frustasi atas lambannya pelaksanaan UUPA dan UUPBH,

PKI dan organisasi-organisasi massanya, terutama Barisan Tani Indonesia (BTI)

memobilisasi kaum tani untuk melakukan apa yang disebut sebagai ―Aksi

Sepihak‖. Akan tetapi, PKI dan BTI mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan

hanya sekadar merespon apa yang dilakukan tuan tanah dan

19

Pandangan D.N. Aidit tentang revolusi dikemukakan dalam buku Revolusi Indonesia, Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja (kumpulan kuliah D.N. Aidit yang disampaikan pada Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora, September-November 1964, di Jakarta).

20

Rex Mortimer, 1974, hal. 276. Dikutip dari Mematahkan Pewarisan Ingatan karya Budiawan 2004, hal 120.

perusahaan perkebunan, yaitu ―memprovokasi‖ dan menghalangi pelaksanaan

program redistribusi tanah.21

Menurut Sean Reardon,22 Aksi Sepihak biasanya dilaksanakan oleh BTI

(Barisan Tani Indonesia). Aksi sepihak dilakukan dengan beramai-ramai

mendatangi tanah atau sawah dan langsung menggarap tanah tersebut secara

paksa, yaitu tanpa izin dan tanpa diketahui pemiliknya. Seringkali, tanah yang

menjadi sasaran ini dimiliki oleh tuan tanah yang Muslim dan santri atau AD. Aksi

Sepihak merupakan suatu cara untuk memberi tekanan kepada birokrasi yang

lambat, karena ada banyak orang di birokrasi yang lebih suka status quo.

Dalam analisa Reardon,23 Aksi Sepihak menjadi faktor yang paling penting

di tingkat lokal dan menyebabkan konflik-konflik yang dianggap konflik kelas

atau konflik golongan. Aksi Sepihak ini menjadi salah satu strategi PKI yang

paling menakutkan dan membuat marah musuh-musuh PKI karena merugikan

―golongan atas‖. Konflik kelas ini tak hanya terjadi secara vertikal, antara tuan tanah dan buruh tani, melainkan juga horizontal antara buruh tani derngan buruh

tani. Buruh tani yang besebrangan dengan aksi PKI dan BTI ini sudah terlalu

nyaman bekerja pada tuannya sehingga merasa ketakutan jika pemilik berikutnya

tak memberinya kesempatan bekerja di tanah yang sama. Tak hanya itu, konflik

yang muncul atas sengketa tanah ini juga kerap dianggap sebagai sebagai konflik

agama, yaitu konflik di antara santri dan abangan. Misalnya di Kediri, Jawa

Timur, terjadi benturan antara Nadhatul Ulama dan PKI. Kedua kelompok ini

21

Ibid.

22

Lihat dalam hasil penelitiannya berjudul Peristiwa 65/66 (Pembunuhan Massal PKI),

Universitas Muhammadiyah Malang kerja sama dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies. Tahun 2002. Hal 4.

23

saling bermusuhan. Konflik ini menjadi runcing pada tahun enam puluhan melalui

Aksi Sepihak atau landreform. Serangan balasan oleh tuan tanah Muslim pada

tahun 1963-64 menjadi semakin keras dan dipenuhi dengan kebencian.

Dalam persoalan ini, lembaga yang berafiliasi PKI tak lepas tangan. Lekra

juga menerjunkan anggotanya untuk secara khusus menyaksikan dan menyerap

aspirasi kaum tani ke dalam sebuah karya sastra. Dengan metode turba, sastrawan

dan seniman Lekra mencermati berbagai persoalan tani di berbagai daerah.

Persoalan yang mengemuka umumnya berkisar tentang persengketaan tanah yang

merupakan imbas dari disahkannya UUPA dan UUPBH. Dalam sengkata tanah

tersebut, terjadi tarik-menarik antara tuantanah feodal dan tani miskin.

Dari turba tersebut, lahirlah cerpen-cerpen yang mengangkat tema di atas,

seperti cerpen Boyolali karya Amarzan Ismail Hamid, cerpen Paman karya L.S.

Retno, cerpen Lelaki itu Datang Lagi karya L.S. Retno, cerpen Ketika Padi Mulai

Menguning karya T.B. Darwin Effendie, cerpen Tetap Bertahan karya Sesongko,

cerpen Pak Guru karya Marapisingga. Selain tema besar ini, tema perempuan tani

juga menarik untuk diperhatikan. Tema ini diwakili oleh cerpen Dua Kemenangan

karya Dwijono dan cerpen Bibi Kerti karya Putu Oka.

Sementara Sugiarti Siswadi memposisikan cerpennya dalam dua tema

tersebut, yaitu pada cerpen Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Satu sisi ia

sebagai sastrawan revolusioner, di sisi lain ia sebagai perempuan. Keduanya

nampak dalam dua cerpen tersebut yang menyoroti sengketa tanah di daerah

Di Klaten, pada Juli 1964, banyak terjadi aksi sepihak para petani merebut

tanahnya kembali dari tangan tuan tanah. Gerakan ini dipicu oleh UUPA dan

UUPBH. Seorang petani mengadu kepada pengadilan bahwa tanah miliknya telah

dirampas secara beramai-ramai oleh para petani petani penggarap. Namun yang

terjadi di pengadilan justru hal yang terbalik.

Peristiwa tersebut digambarkan oleh Sugiarti Siswadi dalam cerpen

Pengadilan Tani, dimuat di Harian Ra’jat pada 12 Juli 1965. Cerpen ini berkisah tentang pemilik tanah bernama Sanusi, melaporkan 130 petani yang bekerja

padanya telah merampas kekayaannya. Namun sial bagi Sanusi, apa yang

dituduhkannya para petani berbalik padanya. 130 petani itu justru membongkar

kejahatannya, bagi hasil yang merugikan petani, memalsukan surat tanah, menjadi

rentenir dan lain sebagainya. Pada akhir persidangan, hakim membebaskan para

petani dan berbalik mendakwa Sanusi.

Gerakan kesadaran para petani tersebut dipicu oleh Pemuda Rakyat dan

Barisan Tani Indonesia (BTI), yang merupakan organisasi di bawah PKI. Bermula

dari kedatangan Mas Darmo ke rumah Mbok Karti. Rumah perempuan itu tak ada

isinya, tak ada yang bisa dimakan, dan nyaris bunuh diri. Kepada lelaki ketua BTI,

Mas Darmo, Mbok Karti memberikan penjelasan bahwa dirinya berhutang pada

Sanusi dengan menggadaikan sawahnya. Sanusi memberikan syarat mertelu,

dibagi tiga. 2 untuk sanusi, satu untuk penggarap, dan masih ditambah angsuran

hutang tiap kali panen. Sudah bertahun-tahun hutang tak lunas, kira-kira 20 tahun.

Mas Darmo yang lebih berpendidikan mencoba mengkalkulasikan jumlah

sudah lunas 12 tahun yang lalu dan justru Sanusi berbalik hutang padanya. Lalu

Mas menantang, beranikah Mbok Karti merebut sawahnya kembali? Bersama

dengan petani lainnya, Mbok Karti berani mendatangi pengadilan atas tuduhan

nyolong padi Sanusi.

Seorang pemuda lainnya bernama Sanusi, untuk membedakan dua Sanusi,

dipakai Sanusi R.I. untuk penggarap dan Sanusi D.I. untuk tuan tunah.

Pembedaan ini tentu memiliki arti tersendiri. Sanusi R.I. dimaksudkan sebagai

sanusi yang nasionalis, sementara Sanusi D.I. sebagai tuan tanah yang merujuk

pada pemborantakan Darul Islam.

Sebagai pemuda terpelajar, Sanusi R.I. menjelaskan dengan gagah, bahwa

tanah yang dimiliki Sanusi sudah melebihi kapasitas, yaitu dua puluh lima belas

hektar dan sudah seharusnya dilaporkan kepada panitia landerform, tetapi Sanusi

tidak melakukannya. Dengan alasan yang sama pula, petani lainnya,

Kromosentono menuduh Sanusi tidak menjalankan perintah Bung Karno, dan

harus dilawan dengan hukuman yang ditentukan oleh Pak Presiden.

Melihat keterangan dalam cerpen tersebut, ―…Sukro sudah mati, Pak, sepuluh tahun yang lalu, tahun 1954,‖ diduga peristiwa dalam cerpen ini terjadi

pada tahun 1964, dan dituliskan tahun 1965. Kejadian dalam cerpen ini merupakan

tindakan sepihak para petani dalam merebut haknya. Peristiwa aksi sepihak ini

marak terjadi pada tahun 1964. Di halaman depan, Harian Ra’jat melangsir berita pada 1 Juli 1964 dengan judul Aksi Sepihak Kaum Tani Karena Lambatnja

Pelaksanaan Landreform, Instruksi Pd. Presiden Tepat, Tempuh Musjawarah. Di

bahwa aksi sepihak yang dilakukan oleh kaum tani bisa dimengerti. Ia

menjelaskan bahwa aksi tersebut terjadi di beberapa daerah karena lambatnya

pelaksanaan landreform.24 Ia juga menyetujui instruksi Presiden untuk

mengadakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah ini.

Penyebab lain terjadinya aksi sepihak ini karena kaum tani tidak sabar

dengan pelaksanaan landreform. Macetnya pelaksanaan landreform disebabkan

beberapa panitia landreform sendiri memiliki tanah yang harus dikenakan

aturan-aturan dan undang-undang yang berlaku, seperti UUPA dan UUPBH.

Dalam berita tersebut, dilampirkan juga instruksi Presiden berjudul ―Setiap

Petani Penggarap Harus Memiliki Tanah‖.25

Presiden Sukarno menjelaskan dalam

Amanat Pembangunan yang disampaikan pada 28 Agustus 1959, bahwa beberapa

hal tentang industrialisasi Indonesia yang tidak mungkin bergantung pada pasar

global. Untuk itu, masyarakat Indonesia perlu hidup mandiri. Salah satu cara yang

ditempuh kemudian adalah setiap petani penggarap harus memiliki tanah sendiri.

Cerpen Sugiarti Siswadi ini, selain menyampaikan persoalan rakyat, juga

mendukung instruksi presiden di atas. Tanah merupakan masalah pokok bagi

petani, oleh karena itu negara maupun partai dan organisasi yang memperjuangkan

kelas bawah harus memikirkannya dengan serius. Jalan yang ditepuh Presiden

Sukarno untuk melepaskan petani dari cengkraman tuan tanah adalah landreform

demi kehidupan rakyat yang makmur dan adil. Seluruhnya telah diatur dalam

UUPA dan UUPBH.

24

Lihat berita di Harian Ra’jat, Jumat 18 September 1964 - Di NTB Panitia Landreform Kemasukan Tuantanah; Kamis, 3 September 1964, Tuntutan Rakyat Riau: Nasakomkan Panitia Landreform Riau! Selain, dua berita ini masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang sama dari berbagai daerah.

25

Presiden Soekarno menekankan pada rakyat Indonesia akan arti penting

landreform ini. Ia mengemukakan bahwa landreform tidak identik dengan tuntutan

PKI.26 Landreform banyak dilakukan di negara-negara yang nonkomunis, seperti

Pakistan, Mesir, dan Iran. Presiden Soekarno juga mengemukakan pandangan

PBB bahwa keburukan-keburukan tata pertanahan di dunia telah menjadikan kaum

tani kecil dan buruh tani mengalami keterpurukan ekonomi.

DN. Aidit27 mengemukakan bahwa landreform yang dilaksanakan secara

radikal akan turut membantu petani dalam untuk bebas secara radikal pula dari

cengkraman feodal. Aidit menguraikan pendapatnya seperti berikut ini.

… berarti membebaskan kaum tani dari rasa takut karena kekuasaan sewenang-wenang dari penguasa-penguasa feodal. Untuk ini kaum tani harus mempunjai miliktanah garapannja sendiri. Dengan demikian mereka bisa bebas dari pologoro, tidak lagi harus bekerdja rodi untuk tuantanah, tidak perlu lagi takut karena belum membajar sewatanah, tidak perlu lagi takut karena belum dapat mengangsur hutangnya jang sudah puluhan tahun tidak pernah lunas. Hanja djika kaum tani telah mendjadi tuan atas tanahnja sendiri maka akan lahir kegembiraan untuk meningkatkan produksi dan ini berarti mereka dengan sukarela melaksanakan sebagian dari azas ―mentjiptakan ekonomi jang beridi diatas kaki sendiri‖.

Tindakan yang dikenal sebagai aksi sepihak itu, banyak diperbincangkan

dalam Harian Rakjat selama kurun Juli 1964. Ada kemiripan peristiwa dalam

cerpen tersebut dengan aksi sepihak di terjadi di Klaten. Meski nama-nama yang

disebutkan dalam cerpen tersebut tidak sama dengan yang nama-nama yang

disebutkan dalam berita, hal ini kiranya wajar karena cerpen sebagai karya sastra

mengandung imaji rekaan dari pengarangnya yang berangkat dan pengamatan di

lapangan. Artinya, wilayah estetika juga tidak ditinggalkan di samping mengejar

26

Di Bawah Bendera Revolusi, hal 420.

27

fungsi praktis karya sastra. Meski demikian, alur cerita dalam cerpen tersebut

mirip dengan berita yang dilansir oleh Harian Rakjat. Demikian pula dengan

tahun peristiwa itu terjadi, 1964.

Secara runut, Harian Rakjat menyiarkannya dari tanggal 2 juli hingga 14

juli 1964.28 Pada 12 Juli 1965 cerpen ini dimuat, berarti setahun setelah peristiwa

tersebut. Agaknya pemuatan cerpen ini dimaksudkan untuk memperingati

peristiwa tersebut. Dugaan kemiripan ini dikuatkan lagi dengan kedekatan kota

asal pengarang, Solo, dengan tempat terjadinya peristiwa aksi sepihak, Klaten.

Selain itu, pada bulan sebelumnya, tepat pada Kamis, 30 April 1964,

Harian Rakjat29 memuat ulasan panjang mengenai sengketa tanah di Klaten ini.

Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa aksi sepihak tersebut sebelumnya telah

melalui prosedur yang jelas, yaitu musyawarah. Pihak petani bersama BTI

sebelumnya telah melapor kepada kelurahan, kecamatan dan selanjutnya kepada

Panitia Landreform, tetapi mengalami kebuntuhan sehingga jalur satu-satunya

yang dapat ditempuh adalah aksi sepihak.

Dalam berita tersebut, Klaten menjadi pelopor atas terjadinya aksi sepihak

di berbagai daerah di Indonesia. Terutama sekali di Kecamatan Wonosari. Tak

28

Selasa, 7 Djuli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (I): Aksi Bebas Gadai di Wedi Manang Mutlak. Berita kedua tidak berhasil penulis dapatkan. Dari keterangan berita, persidangan dilaksanakan mulai 2 juli 1964. Data yang didapatkan mulai dari berita persidangan ketiga. Kamis, 9 Juli 1964 - Berita Dari Ruang Pengadilan Klaten (III): Semua Jalan Telah Ditempuh, Tapi Gagal; Jumat, 10 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (IV): Tuantanah Mengaku Menolak Berunding - Bagaimana Tuantanah Melakukan Tindakan Sepihak; Sabtu, 11 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (V): Lurah yang Aktif Lansanakan UUPA/UUPBH Diskros; Senin, 13 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (VI): Tanah-Tanah Kembali Kepada Pemilik/Penggarap; Selasa, 14 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (VII): Jaksa Hartono SH; Aksi Kaum Tani Ditujukan Agar UUPBH Dilaksanakan; Rabu, 15 Djuli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (VIII); Panitia Landreform Djogonalan Belum Pernah Bersidang.

29

Lihat lampiran, Harian Rakjat, Kamis, 30 April 1964. Kaum Tani Merebut Kembali Tanahnya Secara Sefihak, laporan wartawan Antara dari daerah Klaten

disangka sebelumnya bahwa dari gerombolan tani di kota tersebut di pelopori oleh

petani wanita, yaitu Karti, nama yang sama digunakan Sugiarti Siswadi dalam

cerpen Pengadilan Tani ini. Karti, ibu beranak lima, ditinggal suaminya merantau

ke Banjarmasin dan hanya meninggalkan tanah 1 patok (1 Ha). Sementara kondisi

tanah tersebut dalam penguasaan tuan tanah yang berinisial D. Mulanya tanah

tersebut hanya disewakan selama 5 tahun. Tetapi tuan tanah tak mau

mengembalikan ketika masanya telah habis. Alih-alih ingin mengambil tanahnya

kembali, Karti justru dilaporkan ke polisi oleh D, dengan tuduhan hendak

merampas tanah bersama petani lainnya. Lalu terjadilah Pengadilan Tani.

Selain Harian Rakjat, koran Ibu Kota lainnya yang gencar menyuarakan

aksi sepihak ini adalah Duta Masjarakat dan Bintang Timur.30 Dengan demikian,

kasus ini sebenarnya telah menjadi kasus nasional. Meski aksi sepihak ini

dilaporkan sebagai aksi kriminal, namun DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia

menganggapnya sebagai aksi yang demokratis dan tidak melanggar hukum.31

Mereka menganggap bahwa aksi sepihak yang dilakukan kaum tani itu ―secara

konsekwen melaksanakan landreform—bagian mutlak revolusi Indonesia—dan melaksanakan undang-undang negara UUPA dan UUPBH.

Dari perlaksanaan UUPA dan UUPBH itu, di Boyolali terjadi peristiwa

yang lebih mengerikan. Pada November 1964, pelaksanaan undang-udang tersebut

telah memakan korban sebanyak 3 jiwa. Tiga petani ditembak mati karena

berjuang mempertahankan haknya. Mereka adalah Djumari, Partodikromo, dan

30

Lihat Harian Rakjat, Sabtu 27 Juni 1964 - Pers Ibukota Terus Membicarakan Aksi Sepihak Kaum Tani.

31

Harian Rakjat, Kamis, 25 Juni 1964 - DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia: Aksi Sepihak Demokratis dan Tidak Melanggar Hukum.

Sonowirejo. Kematian mereka telah mengundang pejuang revolusioner pada masa

itu untuk turut bersuara. Tidak terkecuali Sugiarti Siswadi, ia menyuarakan bentuk

keprihatinannya dalam Upacara Pemakaman.

Cerpen Upacara Pemakaman berkisah tentang kesetiakawanan para petani

ketika ada petani yang dihukum mati. Para petani dari berbagai daerah mengusung

keranda berisi mayat, mendatangi alun-alun di tengah kota dengan membawa

bendera berwarna merah. Petani yang hanya tinggal bangkainya di dalam keranda

itu dijatuhi hukum mati tanpa alasan yang jelas. Dalam deskripsi cerpen, hanya

dijelas bahwa petani itu mencoba mempertahankan tanahnya sendiri sehingga

mendapatkan hukuman tersebut. Hukuman dijatuhkan tanpa melihat latar belakang

bahwa petani itu, dulu juga ikut andil berjuang melawan Belanda dan D.I. serta

menyelamatkan geliryawan dan aktif dalam kegiatan revolusi.

Dari segi peristiwa, cerpen Upacara Pemakaman ini ditemukan adanya

kesamaan dengan cerpen Boyolali yang ditulis oleh Amarzan Ismail Hamid.

Dengan judul yang sama Amarzan juga menuliskannya dalam bentuk puisi,

reportase dan cerita bersambung. Dalam bentuk puisi juga dilakukan oleh Putu

Oka dengan judul Mereka Matahari.32

Cerpen Boyolali mengangkat tema sengketa tanah, mendeskripsikan

tentang perlawanan kaum tani di Ketaon (Boyolali) terhadap tuan tanah. Tiga

petani mati dalam perlawanan tersebut dan petani yang lain melakukan protes

keras atas nasib yang diderita kawannya.

32

Kesimpulan sederhana adalah kedua pengarang ini melakukan turun ke

bawah (Turba) secara bersamaan dan menuliskan dengan sudut pandang berbeda.

Keduanya bertitik tolak dari pemahaman dan pandangan terhadap realitas,

misalnya dengan menulis tanggal peristiwa gugurnya tiga orang petani (18

November 1964). Di samping itu, pengarang juga mendeskripsikan data

kepemilikan tanah dan menganalisanya sesuai dengan UUPBH.

Dari ketiga pengarang di atas (Sugiarti Siswadi, Amarzan Ismail Hamid

dan Putu Oka), dapat dirasakan nada yang sama dari karya mereka yang mengakar

pada satu persoalan, penembakan tiga petani di Ketaon. Kesamaan tersebut dapat

ditemukan pada penggambaran tiga petani yang mati sebagai pahlawan. Amarzan

menggunakan diksi ―teladan‖ untuk menggambarkan sikap kepahlawanan mereka.

Bojolali!/kembali teladan indah/dinukilkan dalam sejarah/barisan tani/dan pahit bagai empedu/angin menjampaikan kabar berita kekota dan desa Nusantara‖. Bahwa memang orang disebut sebagai pahlawan selain untuk dikenang jasanya,

juga untuk diteladani kaum berikutnya. Kabar tentang mereka akan menyebar

dengan cepat menjadi pengobar semangat bagi yang lain.

Putu Oka menggunakan diksi ―matahari‖ untuk mengungkapkan

kekagumannya pada tiga petani tertembak itu. “o, mereka matahari revolusi/o, mereka kaum tani barisan masadepan”. Sementara Sugiarti tak menggunakan simbol karena bentuknya yang prosa. Bentuk ini lebih memudahkan pengarang

untuk mendeskripsikan latar belakang kenapa ia menyebut tiga petani tertembak

mati itu sebagai pahlawan. Sugiarti menjelaskan bahwa mereka dulu adalah juga

pemberontakan D.I. Kemudian ketika ketiga petani itu dijatuhi hukuman mati

tanpa melihat jasa mereka terhadap revolusi merupakan tindakan yang gegabah.

Didadanya tidak disematkan bintang, tetapi dimata kita merekalah gugur sebagai pahlawan. Kita semuanya masih ingat, dahulu pada awal revolusi, mereka telah mengasah golok dan meruncingkan granggang, mereka