• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.3 Perkembangan adaptasi dan perilaku R margaritifer d

Kandang pemeliharaan atau terrarium yang digunakan harus menjamin kebutuhan dan keberlangsungan hidup R. margaritifer. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penangkaran yaitu kondisi terrarium, sumber dan kualitas air, pencahayaan, suhu, kelembaban, pakan, perilaku alami, dan pemeliharaan kesehatan (Poole & Grow 2012). Pengayaan terrarium diperlukan agar individu dapat berperilaku biasa seperti di alam sehingga individu terbebas dari rasa stres dan penyakit. Selama pengamatan, lampu terrarium dimatikan. Hal

ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas R. margaritifer karena tidak sesuai dengan kondisi di habitat alaminya.

Ukuran terrarium yang disediakan oleh TSI belum cukup mendukung kebutuhan gerak individu jika dilihat dari segi fisik. R. margaritifer merupakan satwa arboreal yang jarang ditemukan beraktivitas di lantai hutan. Oleh karena itu, terrarium yang disediakan harus bisa mendukung perilaku alami katak yang sering berada di ketinggian tertentu. Firdaus (2011) menemukan bahwa pergerakan vertikal individu R. margaritifer berkisar antara 0–337 cm. Kedua bentuk terrarium yang digunakan memiliki dimensi tinggi 50–100 cm. Meskipun belum cukup mendukung kebutuhan gerak R. margaritifer, kondisi ini diharapkan sudah bisa mewakili pergerakan vertikal katak di terrarium.

Komponen dalam terrarium juga penting untuk diperhatikan. Beberapa komponen yang digunakan oleh Pramuk dan Gagliardo (2012) dalam penangkaran ek-situ amfibi yaitu pengatur air (rain chamber), pengukur parameter kualitas air (spectrophotometers), lampu UVB dan UVA, pengatur kelembaban (sistem misting), autoclave, dan reverse osmosis (RO). Apabila dibandingkan dengan desain penangkaran Pramuk dan Gagliardo (2012), komponen terrarium yang disediakan TSI masih sangat sederhana. Meskipun biaya yang dikeluarkan kecil, tetapi peluang terbebasnya katak dari rasa stres, luka, dan penyakit juga rendah.

Umumnya amfibi merupakan satwa nokturnal yang aktif di malam hari. Hal serupa terjadi pada individu R. margaritifer dalam terrarium. R. margaritifer di habitat alami umumnya aktif pada malam hari dari pukul 19.00–23.00. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda ketika individu R. margaritifer dipindahkan ke kandang pemeliharaan (terrarium). Katak ini aktif pada malam hari dan tidur di siang hari. Kebiasaan ini terjadi untuk mengantisipasi terjadinya dehidrasi melalui penguapan di siang hari pada tubuh katak (Duellman & Trueb 1986). Katak akan terbangun dan melompat mencari tempat untuk bersembunyi ketika ada gangguan dari luar seperti aktivitas pengamat. Amfibi tidak memiliki bentuk pertahanan aktif sehingga mereka akan melompat atau berenang untuk melarikan diri jika merasa terancam. Perilaku berenang pernah dijumpai sekali selama pengamatan.

Katak yang bersembunyi akan kembali lagi ke lokasi tidur mereka setelah merasa aman. Beberapa katak memilih lokasi tidur yang berbeda dari lokasi awal. Lokasi kedua yang dipilih oleh katak merupakan lokasi yang tersembunyi dan dekat dengan batuan. Hal ini bisa disebabkan katak mengantisipasi adanya gangguan lain yang akan datang. Meskipun begitu, keesokan harinya katak ini tetap memilih lokasi tidur awal untuk beristirahat.

Di awal penangkaran, katak memilih tidur di kaca terrarium. Kondisi ini menandakan bahwa individu belum bisa beradaptasi dengan lingkungan buatannya. Hal ini terjadi selama 3–4 hari hingga akhirnya individu memiliki lokasi tidur masing–masing. Beberapa individu khususnya betina memilih lokasi tidur di atas lampu neon. Saat siang hari, lampu neon dinyalakan sebagai pengganti sinar matahari di alam. Perilaku yang tidak biasa pada individu betina R. margaritifer tersebut terjadi karena individu membutuhkan panas dalam proses metabolisme tubuhnya. R. margaritifer betina memanfaatkan jumlah pakan yang lebih besar dari R. margaritifer jantan (Rahman 2009). Oleh karena itu, kebutuhan individu betina akan panas dalam mencerna makanannya lebih besar dari jantan.

Firdaus (2011) mengelompokkan data pergerakan katak kedalam beberapa perilaku yaitu berjalan, melompat, bergerak tidak berpindah, dan diam. Katak dalam terrarium aktif pada pukul 18.00. Katak aktif didefinisikan sebagai individu dengan posisi mata terbuka tetapi belum melakukan perpindahan. Katak mulai melakukan pergerakan berpindah sekitar pukul 19.00–19.30. Perilaku berpindah terbagi dua yaitu melompat dan berjalan. Perilaku tersebut berulang-ulang hingga pukul 23.00.

Selama pengamatan, perilaku bersuara, makan, dan kawin tidak dijumpai pada katak. Menurut Duellman dan Trueb (1986), suara yang dikeluarkan oleh anura terbagi atas advertisement call, reciprocation call, release call, dan distress call. Keempat tipe suara tersebut menandakan respon untuk kawin dan respon terhadap gangguan. Tidak ditemukannya perilaku bersuara saat pengamatan dikarenakan saat pencatatan data (bulan Agustus–September) bukan merupakan musim kawin bagi R. margaritifer. Selain itu juga, jarang terjadi gangguan dari pengamat saat pengamatan sehingga tidak dijumpai distress call. Saat

pengamatan, pengamat menggunakan headlamp (red mode) dalam pencatatan agar tidak mengganggu aktivitas indukan.

Katak biasanya menggunakan strategi diam dan menunggu dalam mencari mangsa. Mereka memilih mangsanya terlebih dahulu, mendekati, menangkap, lalu menelannya (Duellman & Trueb 1986). Proses menangkap dan menelan mangsa terjadi dengan cepat. Kondisi ruangan penangkaran yang gelap dan penggunaan headlamp dalam red mode menyulitkan pengamat untuk mengamati perilaku makan katak. Kecermatan pengamat dalam pengamatan sangat dibutuhkan untuk memperoleh data mengenai perilaku makan R. margaritifer dalam terrarium.

Waktu kawin amfibi khususnya R. margaritifer terjadi saat musim hujan. Aritonang (2010) menyatakan bahwa pada pengecekan saat bulan Juli–Oktober di Gunung Gede Pangrango, perjumpaan dengan R. margaritifer sangat sedikit dan sangat jarang pula ditemukan telurnya. Hal ini yang mendasari tidak ada perilaku kawin yang dijumpai selama pengamatan. Selain itu, individu betina dalam memilih jantan sebagai pasangan kawin juga ditentukan oleh kecocokan frekuensi suara, ukuran tubuh, umur, dan kondisi fisik jantan (Eggert & Guyetant 1999; Schiesari et al. 2003; Morrison et al. 2001). Katak betina dalam setiap terrarium bisa saja merasa tidak puas dengan katak jantan yang dipasangkan. Tingkat interaksi antar individu dalam terrarium juga sangat jarang terjadi.

Setiap makhluk hidup pasti berinteraksi dengan lingkungannya. Tingkat interaksi yang jarang terjadi antar individu disebabkan oleh kebutuhan pakan yang terpenuhi sehingga meminimalkan terjadinya persaingan antar individu. Selain itu, keberadaan pemangsa adalah salah satu ancaman yang dapat dikontrol dalam kegiatan penangkaran.

Penggunaan habitat untuk beristirahat R. margaritifer berbeda–beda tiap terrarium dan individu. Terdapat 7 komponen terrarium yang sering dimanfaatkan katak yaitu daun hanjuang, kaca terrarium, batuan, dan di atas lampu neon. Perilaku istirahat di kaca terrarium dan lampu neon menunjukkan bahwa beberapa individu katak belum sepenuhnya beradaptasi. Firdaus (2011) menyatakan bahwa pada siang hari R. margaritifer biasanya berada di daerah yang terlindung seperti di sela daun, batang yang terlindung, dan bahkan ada yang berlindung di dalam serasah. Berdasarkan penggunaan habitat untuk beristirahat, terdapat 4 dari total

12 katak yang telah berhasil beradaptasi dengan memanfaatkan substrat yang ada dalam terrarium. Lainnya sebanyak 8 individu menggunakan kaca terrarium dan lampu neon. Batuan merupakan lokasi tidur pilihan beberapa individu setelah mendapatkan gangguan. Penggunaan lokasi istirahat yang tetap oleh katak selama 30 hari merupakan perwujudan dari adaptasi struktural indukan tersebut, respon fisiologi, dan perilaku spesifik yaitu perilaku asli dan/atau hasil belajar (Odum 1965).

Individu R. margaritifer aktif mulai pukul 19.00–23.00. Saat aktif melakukan pergerakan berpindah, individu akan menjelajahi semua komponen– komponen terrarium. Menurut Duellman dan Trueb (1986), wilayah jelajah adalah suatu kawasan yang digunakan oleh suatu individu untuk melakukan seluruh aktivitas hariannya. Wilayah jelajah biasanya mencakup tempat berlindung dan tempat mencari makan. Selama masa aktifnya, katak sangat aktif bergerak. Perilaku ini diduga sebagai suatu tanggapan terbatasnya tempat perlindungan.

Substrat yang dimanfaatkan oleh katak terdiri dari batuan, batang kayu, daun hanjuang, kaca terrarium, papan sekat, lampu neon, dan air. Presentase pemanfaatan substrat daun hanjuang dan kaca terrarium mencapai 100%. Berturut–turut disusul substrat batang kayu dengan presentase pemanfaatan 90%, batuan 73,33%, lampu UV 36,67%, papan sekat 30%, dan air 3,33%. Air merupakan substrat yang paling jarang dimanfaatkan. R. margaritifer merupakan satwa arboreal yang aktivitasnya tidak pernah berada di lantai hutan (Rahman 2009). Katak ini hanya akan turun ke air untuk berbiak pada kolam atau genangan air semi permanen (Inger & Stuebing 1997).

Dalam suatu usaha penangkaran, makanan merupakan salah satu komponen produksi yang membutuhkan biaya besar, yaitu dapat mencapai 65– 70% dari seluruh total produksi (Thohari et al. 1991). Oleh karena itu, penyediaan makanan perlu mendapat perhatian khusus serta penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang diberikan mampu menghasilkan produktivitas optimum individu yang ditangkarkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumanto (2006) dimana pakan yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pengelola dapat menunjang suksesnya suatu usaha penangkaran satwa. Terkait dengan penyediaan pakan, terdapat beberapa faktor yang perlu

diperhatikan, yaitu jenis dan bahan pakan, jumlah dan frekuensi pemberian pakan, dan teknik penyajian pakan (Sumanto 2006).

Terpenuhinya kebutuhan pakan berarti juga telah memenuhi kebutuhan energi yang dapat digunakan oleh spesies tersebut untuk melakukan berbagai aktivitas terutama untuk bereproduksi. Kebiasaan makan amfibi di alam dipengaruhi oleh beberapa faktor luar diantaranya keberadaan makanan musiman dan keberadaan pesaing. Sedangkan faktor dalamnya seperti toleransi ekologi dan komposisi morfologi, pada setiap spesies memiliki perbedaan ukuran yang signifikan dari jenis dan jumlah mangsa yang dimakan pada habitat berbeda.

Dalam penangkaran di TSI, pakan yang disediakan untuk R. margaritifer adalah jangkrik. Jangkrik berasal dari ordo Orthoptera yang merupakan salah satu anggota dari kelas Insekta dengan jumlah konsumsi tertinggi oleh R. margaritifer di alam (Rahman 2009). Terdapat perbedaan antara konsumsi pakan individu jantan dan betina. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan morfologi katak. Menurut Hodgkinson dan Hero (2003), perbedaan ukuran tubuh berpengaruh pada kemampuan lambung dalam menampung pakan yang digunakan. Ukuran jangkrik yang diberikan juga berbeda. Katak jantan diberikan jangkrik dengan ukuran yang lebih kecil dari katak betina. Menurut Stebbins dan Cohen (1997), ukuran pakan, pergerakan (orientasi dan kecepatan), palatabilitas, dan nutrisi berpengaruh pada pemilihan pakan.

Pada awal pemeliharaan, tidak ada katak yang mengkonsumsi pakan yang diberikan. Katak mulai menyentuh pakannya saat hari keempat. Kondisi ini umum terjadi pada awal masa penangkaran dimana satwa harus beradaptasi dengan pakan yang diberikan. Hal serupa juga diungkapkan Takandjandji et al. (2010) dimana satwa memerlukan proses untuk dapat menerima atau beradaptasi dengan pakan yang belum biasa dikonsumsi di habitat yang baru sehingga semakin lama satwa akan menjadi terbiasa. Meskipun begitu, 4 ekor jangkrik yang diberikan tidak langsung habis pada hari pertama mereka makan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bangkai jangkrik dalam terrarium. Penghitungan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh R. margaritifer dilihat dari sisa pakan yang ditemukan. Kondisi terrarium yang dihuni oleh sepasang katak menyebabkan penghitungan

tidak dilakukan per individu tetapi per terrarium. Ukuran nyata individu dalam mengkonsumsi pakan dapat dilihat dari perubahan bobot tubuh dan SVL.

Grafik jumlah konsumsi pakan menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi dari hari keempat pemberian pakan sampai hari ke-10. Katak tidak memanfaatkan pakan secara rutin. Kondisi lingkungan terrarium dan kondisi katak yang stres bisa menjadi penyebab hal tersebut terjadi. Kurangnya pencahayaan dari lampu neon sehingga panas yang dibutuhkan untuk proses metabolisme tidak cukup. Proses metabolisme yang tidak lancar menyebabkan katak tidak menghabiskan pakan yang diberikan. Meskipun jumlah pakan yang diberikan tidak dihabiskan, dalam sehari katak tetap mengkonsumsi minimal 1 jangkrik. Konsumsi pakan suatu individu akan berpengaruh terhadap perubahan bobot tubuh dan SVL individu tersebut.

Selama 30 hari masa pemeliharaan di terrarium, grafik untuk pengukuran bobot tubuh menunjukkan terjadinya naik turunnya bobot tubuh katak jantan dan betina di masing–masing terrarium. Tingkat fluktuasi bobot tubuh lebih terlihat pada katak betina daripada katak jantan. Hanya satu katak betina yang terus mengalami penambahan bobot tubuh dari pengukuran awal sampai hari ke-30 yaitu individu pada Terrarium 5. Rata–rata penambahan bobot katak ini adalah 0,25 g/hari. Hal berbeda terjadi pada katak betina di terrarium lain dimana pada pengukuran kedua dihari ke-10, semua katak mengalami penurunan bobot tubuh. Dalam 10 hari, rata–rata penurunan bobot tubuh katak tersebut berkisar antara 0,1–0,45 g/hari. Pengukuran ketiga dihari ke-20 terlihat peningkatan bobot tubuh pada katak betina di terrarium 2 sebesar 0,28 g/hari dan terrarium 6 sebesar 0,05 g/hari. Sedangkan pada terrarium 1 dan 3 terus mengalami penurunan bobot tubuh. Bobot tubuh katak betina di terrarium 4 konstan. Pengukuran terakhir di hari ke-30, katak betina di terrarium 2 dan 4 mengalami penambahan bobot tubuh sedangkan katak lainnya menurun.

Berdasarkan hasil perhitungan bobot tubuh, katak betina di terrarium 1 dan 3 tidak berhasil beradaptasi dengan baik terhadap pakan yang diberikan. Selain itu, ruang gerak yang terbatas menyebabkan katak tersebut mengalami stres dan luka sehingga tidak menyentuh pakan yang diberikan secara rutin. Katak tersebut

terus mengalami penurunan bobot tubuh dari pengukuran awal sampai akhir sebesar 0,12 g/hari.

Naik turunnya bobot tubuh selama 30 hari juga dialami katak jantan pada terrarium 1, 2, dan 5. Penurunan bobot tubuh jantan di terrarium 2 dan 5 terjadi pada pengukuran kedua dihari ke-10. Hal ini menandakan bahwa pada masa awal pemeliharaan, katak jantan di terrarium tersebut belum beradaptasi dengan lingkungan terrarium sehingga belum menyentuh pakannya. Sedangkan penurunan bobot tubuh katak di terrarium 1 terjadi dihari ke-20 pengukuran ketiga. Katak jantan lain yaitu pada terrarium 3 dan 4 terus mengalami peningkatan dari awal pemeliharaan sebesar masing–masing 0,05 g/hari dan 0,1 g/hari. Bobot tubuh katak pada terrarium 6 konstan selama 20 hari dan meningkat pada hari ke-30 sebesar 0,15 g/hari.

Hasil pengukuran bobot tubuh masing–masing katak berbeda dengan pengukuran SVL yang dilakukan. Berdasarkan grafik pengukuran SVL, panjang tubuh katak jantan dan betina selama 30 hari mengalami peningkatan. Hasil pengukuran yang konstan ditemukan pada beberapa katak seperti pada jantan di terrarium 1 dan betina di terrarium 2 dan 3. Meskipun begitu, pada pengukuran SVL selanjutnya panjang tubuh katak tersebut mengalami peningkatan. Rata–rata penambahan SVL individu R. margaritifer selama 30 hari berkisar antara 0,01– 0,15 mm/hari.

Berdasarkan perbandingan hasil pengukuran bobot tubuh dan SVL diperoleh kesimpulan bahwa nilai pengukuran bobot tubuh suatu individu tidak selalu berhubungan lurus dengan nilai pengukuran SVL. Beberapa katak yang diamati hanya mengalami pertumbuhan panjang tubuh, sedangkan bobot tubuhnya tidak. Persaingan dalam mencari makan terlihat jelas pada katak di terrarium 3. Dari hasil pengukuran bobot tubuh, katak jantan terus mengalami peningkatan sedangkan katak betina sebaliknya. Kemampuan mencari makan katak jantan lebih baik daripada katak betina. Salah satu penyebabnya adalah faktor morfologi. Bentuk dan ukuran tubuh katak jantan yang lebih kecil dari betina sangat memungkinkan jantan untuk lebih aktif bergerak mencari mangsa (Rahman 2009).

R. margaritifer merupakan satwa oportunis. Meskipun begitu, terdapat perbedaan tingkat oportunis dari keduanya. Katak jantan memiliki tingkat

oportunis yang lebih tinggi dalam memanfaatkan mangsa disekitarnya. Hal ini menandakan katak betina lebih memiliki sifat pemilih dalam pemanfaatan pakan (Rahman 2009). Alasan ini pula yang mendasari adanya perbedaan yang jelas antara rata–rata pengukuran bobot tubuh katak betina dengan katak jantan. Hasil pengukuran pada beberapa katak betina mengalami penurunan bobot tubuh per hari selama 30 hari sedangkan jantan tidak.

Katak merupakan satwa eksoterm yaitu memiliki suhu tubuh yang dekat dengan lingkungannya, terutama substrat (Duellman & Trueb 1986). Pengukuran suhu terrarium dan suhu tubuh R. margaritifer dilakukan pada pagi, siang, dan malam hari. Rata–rata suhu harian tertinggi diperoleh pada pengukuran di terrarium 1 dengan kisaran suhu 19,7–20,6oC. Pengukuran suhu tubuh pada katak jantan dan betina juga menunjukkan bahwa suhu tubuh katak di terrarium 1 merupakan suhu tertinggi diantara terrarium lain masing–masing dengan kisaran rata–rata suhu harian 18,9–19,2oC dan 18,8–19,8oC.

Apabila diperhatikan, semua hasil pengukuran suhu tubuh katak selalu mengikuti suhu terrarium. Suhu tubuh yang dihasilkan selalu berada 1 tingkat dibawah suhu terrarium. Kondisi terjadinya pengukuran nilai suhu tubuh yang sama dengan nilai suhu terrarium pernah terjadi, tetapi jarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muliya (2010) dimana suhu tubuh R. margaritifer selalu berubah–ubah tergantung lingkungannya.

Pada grafik pengukuran suhu, terlihat bahwa rataan suhu pada siang hari selalu lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya pencahayaan dari lampu neon sehingga panas yang berasal dari lampu mempengaruhi suhu terrarium. Energi panas dari lampu neon juga sangat berguna untuk katak. Kondisi suhu dan kelembaban di terrarium yang tidak jauh berbeda dari habitat alaminya memudahkan katak dalam beradaptasi terhadap lingkungan buatannya. Katak membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Tingkat kelembaban mencapai 91% dalam terrarium cukup tinggi sehingga katak terbebas dari ancaman kekeringan. Nilai kualitas air yang diukur juga menunjukkan bahwa kualitas air dalam terrarium bersih dan normal.

Habitat merupakan tempat dimana suatu makhluk hidup dapat melangsungkan kehidupannya dan sangat penting bagi individu agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan naungan (Bismark et al. 2011). Penangkaran katak yang baru pertama kali dilakukan di TSI ini harus bisa menjamin kesejahteraan satwa yang ditangkarkan dengan cara manipulasi habitat buatan semirip mungkin dengan kondisi alaminya. Individu yang kebutuhan fisik dan biologinya terhadap habitat buatan terpenuhi, tentunya akan meningkatkan peluang keberhasilan penangkaran.

Selama 30 hari masa pemeliharaan dalam terrarium, beberapa katak mengalami luka pada bagian moncong. Hal ini diduga karena katak berusaha keluar dari terrarium atau ruang gerak yang terbatas dalam terrarium sehingga katak selalu terbentur kaca atau kayu penutup terrarium. Muliya (2010) menyatakan bahwa pergerakan vertikal individu jantan R. margaritifer terjauh adalah 5,2 meter sedangkan pergerakan horizontal terjauh dari badan air mencapai 3,5 meter. Lain halnya dengan individu betina R. margaritifer, dimana pergerakan vertikal terjauh mencapai 4,9 meter sedangkan pergerakan horizontal terjauh dari badan air mencapai 4,64 meter. Terrarium yang disediakan belum memiliki dimensi yang memenuhi kebutuhan ruang untuk pergerakan indukan di dalamnya. Terdapatnya luka pada R. margaritifer memerlukan perawatan untuk menjamin kesejahteraan satwa selama masa pemeliharaan. Akan tetapi, tidak ada penanganan yang diberikan untuk katak tersebut. Terbatasnya pengetahuan mengenai teknik pengobatan amfibi dan kurangnya jenis obat-obatan yang tersedia menjadi kendala.

Luka yang terdapat pada tubuh katak terjadi akibat katak sering terbentur kaca terrarium atau kayu penutup terrarium. Umumnya, dalam mengobati luka yang terdapat pada katak digunakan berbagai macam antibiotik seperti obat salep (Poole 2006). Obat salep yang digunakan harus aman untuk katak karena diketahui katak memiliki kulit seperti spons yang dapat menyerap bahan kimia yang berada di sekitarnya. Salah satu obat salep yang aman adalah F10 Germicidal Barrier yang digunakan Barrows (2007) untuk mengobati luka yang terdapat pada moncong kodok Amietophrynus gutturalis.

Pemeliharaan kesehatan R. margaritifer juga mencakup aspek terrarium. Perawatan terrarium dilakukan sebagai tindakan preventif agar katak terbebas dari jamur atau penyakit yang berasal dari terrarium yang kotor. Desinfektan yang dapat digunakan untuk terrarium amfibi adalah 3-4% sodium hypochlorite dan 70% ethanol (Poole & Grow 2012).

Dasar keberhasilan usaha penangkaran terletak pada keberhasilan reproduksinya (Sumanto 2006). Selama masa pemeliharaan dan pencatatan data, tidak terlihat adanya perilaku kawin pada R. margaritifer. Perilaku amplexus pada katak terjadi diluar waktu pencatatan data (30 hari). Katak jantan pada terrarium 2 berada di punggung katak betina dengan posisi axillary. Perilaku amplexus terjadi hanya sampai pada tahapan percumbuan. Tidak ditemukan adanya selubung busa berisi telur saat katak jantan dan betina terlepas.

Dokumen terkait