• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sedangkan di masa Jepang, pemerintah sipilnya dilakukan oleh Penguasa Militer (Gunseikan). Kemudian pada 1 September 1943 dilakukan oleh Seikosikikan. Peraturan yang dikeluarkan oleh

Gunseikan disebut Osamu Kanrei, sedangkan peraturan yang

di-keluarkan oleh Seikosikikan disebut dengan Osamu Serei. Pada masa ini kedua peraturan tersebut diundangkan ke dalam Lem-baran Kanpo.95

Pendeknya, pada zaman Jepang ini ketatanegaraan di Indo-nesia dapat dikatakan tidak mengalami perubahan dari yang di-lakukan zaman Hindia Belanda. Sebab Jepang yang masuk Indo-nesia pada tahun 1942 hanya mengeluarkan satu undang-undang yaitu UU No.1 Tahun 1942. Undang-undang ini berisi pember-lakuan terhadap ketatanergaraan Hindai Belanda yang telah ada. Penggantian pada umumnya hanya terbatas pada istilah-istilah saja dari Belanda ke bahasa Jepang. Para Gubernur dan Bupati tetap dihidupkan di era ini cuma lebih ketat.96

Era penjajahan Inggris dan Jepang yang relatif singkat di nu-santara cukup memiliki pengaruh yang signifikan dalam sejarah

95 . Yulinadri, 2009, Asas-Asas...Ibid., hal, 52. 96

perkembangan hukum di Indonesia terutama jika dikaitkan de-ngan perkembade-ngan politik hukum (legal policy) masa depan hu-kum Indonesia terutama gerakan politik menuju kemerdekaan dari kolonialisme Barat dan hubungan antara negara dan hukum Islam (Syariah) di kemudian hari.

B.J Boland setidaknya mencatat terdapat tiga hal yang meng-untungkan bagi Indonesia atas kebijakan politik hukum

(legal policy) era Jepang ini.97

Pertama, dibentuknya Kantor Urusan Agama (Shumubu) untuk menggantikan Kantoor voor het Inlandshe Zaken di Kolonial Be-landa. Shumubu ini dianggap merupakan kantor spesifik yang mengurusi persoalan agama Islam. Dimana dulu di era Belanda lembaga yang mengurusi masalah agama tidak dibuat lembaga khusus oleh Belanda, namun tugas ini tersebar di tiga lembaga, yaitu Urusan Dalam Negeri (Binnenlandsce Bestuur), Urusan Ke-hakiman (Justitie) dan Urusan Pendidikan dan Peribadatan Umum (Onderwijs en Eerediens). Shumubu didirikan Jepang pada Maret 1942 ini untuk pertamakali dijabat oleh tentara Jepang Kolonel Hori. Barulah pada 1 Oktober 1943 jabatan ini diserah-kan kepada Hoesein Djajadiningrat. Pada 1 April 1944 dimulailah pembentukan Kantor Jawatan urusan Agama di tingkat Propinsi dan daerah-daerah. Pada 1 Agustus 1944 ditunjukan kepala Kan-tor Urusan Agama ini kepada K H. Hasjim Asj’ari pimpinan pesan-tren Tebu Ireng dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), namun seha-ri-hari jabatan ini dijalankan oleh putranya Wahid Hasjim.

Kedua, dibentuknya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indone-sia) pada 1 Desember 1943 sudah mulai aktif. Masyumi ini diben-tuk belanda sebagai pengganti organisasi Dewan Islam Tertinggi di Indonesia era Belanda yaitu MIAI (Madjlisul Islaamil A’al

97

. B.J. Boland, 1982, The Stunggle of Islam in Modern Indonesia, diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar dan Djohan Effendi (Penyunting), 1985, Pergumulan Islam di Indonesia

Indonesia) yang telah terbentuk pada tahun 1937 yang

merupa-kan hasil kongres Al-Islam pada tahun 1921. Masyumi ini diben-tuk Jepang agar dapat mengakomodasi organisasi NU dan Muhammadiyah dapat tergabung di dalamnya karena MIAI ini belum mengakomodasi NU dan Muhammadiyah padahal kedua organisasi ini sangat besar dan cukup berpengaruh ketika itu.

Ketiga, dibentuknya angkatan bela negara Hizbullah pada ta-hun 1944 yang konon merupakan sayap pemuda dari Masyumi yang diketui oleh Zainul Arifin tokoh NU dan pengurus Masyumi. Banyak tokoh muda ketika itu menjadi anggota Hiszullah ini an-tara lain, Mohamad Roem, anwar Tjokroaminoto, Jusuf Wibisono dan Prawoto Mangkusasmito yang kelak dikemudian menjadi po-litisi-politisi handal di era Masyumi menjadi partai politik. Hizbullah bentukan Jepang ini dikemudian hari sangat berpe-ngaruh pada pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ka-rena banyak kaum muda anggota Hizbullah yang tergabung da-lam TNI.

Di era Jepang yang singkat ini memberi warna bagi perkem-bangan Islam politik sebagai sebuah gerakan untuk berpolitik karena diakomodasikannya kepentingan Islam melalui lembaga khusus Shumubu, Masyumi dan Hizbullah. Hal ini berbeda de-ngan era Kolonial Belanda yang cenderung bersikap netral terha-dap agama sehingga agama tidak ditempatkan secara khusus da-lam wadah gerakan politik. Bahkan Belanda mengutus seorang C. Snouck Hurgronje sebagai ahli masalah-masalah Timur ke Indo-nesia untuk mempelajari Islam untuk ditundukkan sebagai mo-dal untuk pelanggengan kolonialisme.

Belanda justru lebih mengakomodasi kelompok-kelompok pri-yayi dan elit dalam masyarakat yang nasionalis untuk menyo-kong kekuasaan kolonail. Bahkan kebijkan memanjakan para

pri-yayi dan elit ini telah menyebabkan Belanda dapat bertahan hingga berabad-abad lamanya menjajah Indonesia.

Jika dianalis secara cermat sesungguhnya akomodasi Islam politik di era Jepang ini juga bukan tanpa tujuan, Jepang memiliki tujuan politik khusus, yaitu menjadi kelompok Islam yang selama era Belanda terpinggirkan coba dinaikkan kelasnya menjadi kekuatan politik penting bagi Jepang dalam rangka untuk meraih simpati umat Islam dalam menyokong ambisius Jepang menjadi pemimpin Asia terutama dalam perang Pasifik yang tengah ber-kecamuk. Bagi Jepang umat Islam yang mayoritas ini harus di-rangkul terutama melalui tokoh-tokoh sentralnya (NU dan Mu-hammadiyah) untuk dapat melakukan internalisasi nilai-nilai kejuangan Jepang menjadi pemimpin Asia yang dalam pandang-an Jeppandang-ang melalui pintu umat Islam maka cita-cita Jeppandang-ang akpandang-an terwujud. Walaupun di kemudian hari gagal karena Jepang akhir-nya hengkang dari Indonesia karena kalah dalam Perang Pasifik dan di bomnya Hirosima dan Nagasaki.

Menurut Harry J Benda, strategi Jepang yang mengakomodasi umat Islam dalam gerakan politik ini menjadi bukti bahwa Je-pang memahami karakter masyarakat Indonesia pasca heng-kangnya Belanda dari Indonesia, dimana masyarakat Indonesia terbelah dalam tiga golongan, yaitu Pertama, golongan bangsa-wan (Priyayi di Jawa, Uleebalang di Aceh), (Raja-Raja dan ketua Adat di semua pulau nusantara). Kedua, kaum nasionalis sekuler yang mulai tumbuh degan keatifan gerakan muda dan pedagang berpendidikan yang mendirikan berbagai organisasi. Ketiga ka-um Nasionalis Muslim (Ulama tradisional dan Muslim terdidik) yang jumlahnya relatif banyak.98

Sejarah mencatat kelompok yang pertama telah menikmati prevelase dan keistimewaan-keistimewaan khusus di era kolo-nial Belanda sehingga bertahannya Belanda di Indonesia karena ditopang para bangsawan ini. Karena itu era peran Bangsawan ini berakhir sejak Belanda hengkang dari Indonesia. Straregi paling jitu Belanda untuk bertahan lama di Indonesia adalah kuat akomdasi kaum Bangsawan ini.

Sebaliknya Jepang tidak lagi mengistimewakan kaum Bangsa-wan ini dan lebih memilih kelompok kedua dan ketiga, yakni Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim untuk menyokong kekuasaan Jepang di Indonesia.

Strategi menempat umat Islam sebagai kekuatan politik cukup dominan ini di Era Jepang ini kelak dikemudian hari telah meng-ilhami kesadaraan umat Islam untuk berpolitik dan menjadi ak-tor-aktor penting dalam dinamika politik di Indonesia. Bahkan di belakang hari pertentangan tajam antara kaum Nasionalis Seku-ler dan Nasionalis Muslim sangat kentara saat membicarakan tentang konsep negara Indonesia (staatesidee) menjelang kemer-dekaan RI pada sidang BPUPKI dan PPKI yang difasilitasi oleh Jepang.

Dengan demikian dapat dipahami dari rentetan sejarah ini secara politik hukum (legal policy) kehadiran Jepang yang singkat ini telah mengilhami pula adanya dua faksi (Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim) yang tumbuh dan berkembang sama kuatnya di Indonesia. Dua faksi ini diawal kemerdekaan memainkan peran masing-masing yang sangat ideologis. Sejarah mencatat Masyumi bentukan Jepang dikemudian hari menjadi Partai Politik yang cukup berpengaruh dan berlawanan secara diametral dengan Partai Nasionalis Indonesia yang merupakan dua corak yang berbeda. Tak pelak lagi perbedaan ini merupakan

warisan Jepang secara politik yang telah mengakomodasi dalam kebijakan-kebijakannya.

Sesungguhnya Islam yang bercorak politik, yakni Islam se-bagai gerakan politik dan kekuasaan di Indonesia mulai tumbuh secara kuat dan subur sejak di era Jepang ini. Sebelumnya Islam di era Belanda merupakan Islam yang bercorak sufistik dan kon-servatif yang tidak berpolitik, selain karena kebijakan Kolonial Belanda yang tidak memfasilitasi terhadap tumbuhnya organi-sasi Islam politik yang kuat juga karena tidak terdapat gerakan politik yang dapat menyatukan kekuatan-kekuatan-kekuatan po-litik Islam semacam Masyumi di era Jepang.

Itulah sebabnya corak Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Mus-lim di era Jepang ini hingga hari ini terus mewarnai dinamika po-litik di Indonesia. Sehingga pengelompokan partai-partai popo-litik di era Orde Baru dan Orde Reformasi selalu terbelah dalam dua faksi yang berbeda ini sebagai ikon kompetisi politik Indone-sia yang menarik.