• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Kualitas Pendidikan Masyarakat Indonesia

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Perkembangan Kualitas Pendidikan Masyarakat Indonesia

Kualitas pendidikan masyarakat dapat dilihat dari indikator bidang pendidikan. Terdapat banyak sekali indikator bidang pendidikan yang dapat dijadikan indikasi bagi kualitas pendidikan, diantaranya adalah angka partisipasi sekolah dan angka buta huruf.

Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Sehingga, naiknya persentase jumlah murid tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat pula dipengaruhi oleh semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan ditambahnya infrastruktur sekolah serta

peningkatan akses masuk sekolah sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau malah semakin rendah.

Usia sekolah tersebut dibagi ke dalam usia 7 – 12 sebagai murid sekolah dasar atau yang sederajat, usia 13 – 15 sebagai murid sekolah menengah pertama atau yang sederajat, dan usia 16 – 18 sebagai murid sekolah menengah atas atau yang sederajat. Semakin tinggi angka partisipasi sekolah mengindikasikan semakin tinggi pula kualitas pendidikan masyarakat.

Gambar 4.1 memperlihatkan angka partisipasi sekolah usia 7 – 12. Angka partisipasi sekolah kelompok usia ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Begitupun dengan angka partisipasi sekolah usia 13 – 15 (Gambar 4.2). Hanya pada tahun 1998 tingkat sekolah usia 7 – 12 dan usia 13 – 15 mengalami penurunan. Hal ini merupakan dampak dari krisis yang terjadi, anggaran belanja menurun sehingga ini berdampak pada penurunan anggaran untuk sektor pendidikan.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 4.2. Angka Partisipasi Sekolah Usia 13-15

Angka partisipasi sekolah usia 16-18 cenderung berfluktuatif (Gambar 4.3). Tingkat sekolah usia 16-18 tidak termasuk ke dalam Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sehingga partisipasi sekolah di kelompok usia sekolah ini lebih bergantung kepada masyarakat. Ada kalanya masyarakat memiliki pendapatan dan kesadaran untuk menyekolahkan anak-anak mereka di tingkat ini, namun ada kalanya juga masyarakat tidak memiliki pendapatan yang cukup atau lebih memilih menggunakan pendapatannya untuk keperluan lain serta tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan pentingnya pendidikan. Selain itu, masyarakat berekonomi rendah menganggap usia 16-18 sudah cukup matang untuk bekerja untuk membantu menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, pemerintah dapat menambah jenjang pendidikan sekolah gratis hingga usia 16-18 sehingga masyarakat berekonomi rendah dapat terus melanjutkan pendidikannya.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 4.3. Angka Partisipasi Sekolah Usia 16-18

Angka partisipasi sekolah usia 7 – 12 dan usia 13 – 15 lebih tinggi dibanding angka partisipasi sekolah usia 16 – 18. Hal ini dikarenakan adanya program sekolah gratis pada tingkat sekolah kelompok usia tersebut. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang kini menjadi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pada tingkat sekolah usia 7 – 12 diberikan bantuan sebesar Rp. 235.000,-/siswa/semester dan usia 13 – 15 diberikan bantuan sebesar Rp. 324.500,-/siswa/semester.

Ditinjau dari pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, Indonesia menghadapi masalah serius di sektor pendidikan, terutama di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan tingkat selanjutnya. Dalam kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia, pendidikan sekolah menengah di Indonesia yang masih rendah akan menyebabkan angkatan kerja yang kurang berpendidikan di masa yang akan datang.

Indikator yang kedua adalah angka buta huruf. Angka ini untuk melihat perbandingan antara jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas. Semakin rendah angka buta huruf maka menunjukkan kualitas pendidikan masyarakat yang semakin meningkat.

Rendahnya angka buta huruf pun menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam program pemberantasan buta huruf.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 4.4. Angka Buta Huruf

Dari Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa angka buta huruf semakin menurun, maka ini menunjukkan kualitas pendidikan masyarakat yang semakin meningkat dan menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam program pemberantasan buta huruf. Namun, jika dibandingkan secara internasional, kemampuan membaca masyarakat Indonesia masih di bawah rata-rata. Berdasarkan survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organization for Economic Co- operation and Development (OECD) pada tahun 2003, Indonesia memiliki angka sebesar 381,59 dari rata-rata sebesar 480,22. Finlandia menempati urutan tertinggi, yaitu 543,46. Kemudian disusul oleh Korea Selatan sebesar 534,09, Kanada sebesar 527,91, Australia sebesar 525,43, dan Tunisia sebesar 374,62. Di bawah Indonesia terdapat Meksiko sebesar 399,72, Brazil sebesar 402,80, dan Serbia sebesar 411,74. Meskipun angka buta huruf masyarakat Indonesia cenderung semakin menurun setiap tahunnya, namun program pemberantasan huruf masih harus terus digalakan, mengingat masih

rendahnya kemampuan membaca masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negara- negara lain.

Kualitas pendidikan masyarakat Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini diindikasikan oleh meningkatnya angka partisipasi sekolah dan menurunnya angka buta huruf. Meskipun demikian, namun disparitas kualitas pendidikan masyarakat antarwilayah masih terjadi. Hal ini dikarenakan pemerintah belum bisa menjangkau masyarakat yang berada di pelosok desa. Masyarakat yang berada dekat dengan kota dapat mengakses pendidikan lebih mudah dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal jauh dari kota. Pemerintah belum banyak membangun fasilitas pendidikan di desa dikarenakan untuk membangun fasilitas pendidikan di sana membutuhkan juga pembangunan sarana prasarana pendukung sehingga membutuhkan biaya yang besar.

4.4. Pengaruh Alokasi Anggaran Belanja Negara untuk Sektor Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan Masyarakat

Belanja negara dibagi atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Begitupun dengan anggaran untuk sektor pendidikan, anggaran ini dibagi atas anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin untuk sektor pendidikan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Sedangkan anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan digunakan untuk membiayai program pembangunan, seperti Program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Berikut Tabel 4.4 menyediakan jumlah anggaran rutin dan pembangunan untuk sektor pendidikan dari tahun 1995 hingga tahun 2007 :

Tabel 4.4. Anggaran Rutin dan Anggaran Pembangunan Untuk Pendidikan

Tahun Anggaran Rutin

(dalam milyar rupiah)

Anggaran Pembangunan (dalam milyar rupiah) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2857,38 3366,38 4053,205 4740,03 6045,23 6454,36 4425,10 4561,90 5377,70 6290,10 8634,04 14838,00 17623,40 3359,21 3970,65 4722,945 5475,24 8381,26 5396,81 9186,70 11307,50 15058,10 15338,70 12951,10 22257,10 26435,00 Sumber : Departemen Keuangan

Besarnya anggaran rutin lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pembangunan. Anggaran pembangunan lebih besar jumlahnya dikarenakan anggaran ini digunakan untuk berbagai macam proyek-proyek pembangunan. Sedangkan anggaran rutin digunakan untuk tugas-tugas umum pemerintahan dan kegiatan operasional.

Anggaran rutin tidak berpengaruh nyata terhadap angka partisipasi sekolah usia 7-12 dan usia 13-15. Hal ini dikarenakan anggaran rutin untuk sektor pendidikan merupakan dana pemerintah yang diperuntukkan bagi tugas-tugas pemerintahan dan kegiatan operasional. Dana tersebut tidak langsung diberikan untuk siswa, sehingga anggaran rutin tidak mampu secara langsung meningkatkan partisipasi sekolah siswa. Selain itu, karena anggaran rutin tidak langsung diperuntukkan bagi siswa, tingkat kemungkinan moral hazard lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran pembangunan.

Sedangkan anggaran pembangunan tidak berpengaruh nyata terhadap angka partisipasi sekolah usia 16-18. Hal ini dikarenakan kelompok usia ini tidak termasuk ke dalam Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang sekarang dikenal dengan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Anggaran pembangunan yang dikeluarkan untuk kelompok usia ini pun tidak seperti pada dua kelompok usia di bawahnya. Anggaran pembangunan untuk dua kelompok usia di bawahnya ditentukan langsung berapa jumlah anggaran tiap anak per semester sehingga angka partisipasi sekolah dapat dipengaruhi secara nyata.

Dokumen terkait