• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Merupakan bab yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang berlaku pada masa Belanda di Indonesia Tahun 1927, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2010, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2011, Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya, Peraturan Menteri Kesehatan No. 80 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam Proses Penyidikan, Penuntutan, dan Persidangan atau telah mendapatkan Penetapan/Putusan Pengadilan, Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI dan BNN RI tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

BAB III : PERATURAN BERSAMA ANTAR LEMBAGA NEGARA DAN PERANAN LEMBAGA REHABILITASI DALAM

PENANGANANPECANDU DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA

Merupakan bab yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung No. 01/PB/MA/III/2014, Menteri Hukum dan HAM No. 03 Tahun 2014, Menteri Kesehatan No. 11/Tahun 2014, Menteri Sosial No. 03 Tahun 2014, Jaksa Agung No. PER-005/A/JA/03/2014, Kepala Kepolisian Negara RI No. 1 Tahun 2014, Kepala Badan Narkotika Nasional No. PERBER/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasidan Peranan Lembaga Rehabilitasi dalam Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat beberapa kesimpulan dan saran dari keseluruhan permasalahan yang ada yang dibuat peneliti sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian di dalam penelitian ini.

BAB II

PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun

2009

1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda di Indonesia Tahun 1927

Sejarah awal penggunaan narkotika dimulai kurang lebih sekitar tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. Cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi Cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya Cina ditaklukan dibawah penguasaan kerajaan Inggris dengan harus merelakan Hong Kong.51

Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim Sertuner menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morphin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian tahanan-tahanan tersebut "ketagihan" disebut sebagai "penyakit tentara". Tahun

20.30 WIB. 37

1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morphin dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur) campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada anjing yaitu: anjing tersebut tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah. Namun tahun 1898 pabrik obat "Bayer" memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer). Tahun 60-an sampai 70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah "Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika dan Amerika.52

Selain morphin dan heroin ada lagi jenis lain yaitu kokain (ery throxylorcoca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 70-an ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta teknologi mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat-obatan. Obat-obatan yang dimaksud pada masa sekarang ini sering disebut dengan sebutan narkotika.53

Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., peraturan tentang obat bius Nederland Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda (asas konkordansi). Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indie mengeluarkan Staatsblad 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 tentang Verrdovende Middelen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang-Undang Obat bius. Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu

52 Ibid 53

undang tentang ketentuan-ketentuan mengenai candu dan obat-obat bius lainnya yang tersebar dalam berbagai ordonantie.54

Pada zaman prasejarah, manusia telah mengenal zat psikoaktif (termasuk didalamnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat lain yang memabukkan). Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran dan bunga-bungaan dari berbagai jenis tanaman telah lama diketahui manusia purba akan efek farmatologinya. Sejarah mencatat, ganja telah digunakan manusia sejak 2.700 SM, sedangkan opium telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk menenangkan bagi mereka yang sering menangis ataupun sakit. Selain zat-zat tersebut dipakai untuk pengobatan, tidak jarang pula digunakan untuk mendapat kenikmatan bagi pemakainya.55

Seiring dengan peralihan zaman yang ditandai dengan kemajuan peradaban manusia dalam bidang teknologi, maka manusia pun dapat mengolah zat-zat psikoaktif tersebut dengan cara yang begitu canggih pula. Pada sekitar tahun 800 manusia telah menemukan proses cara penyulingan, yang dampaknya juga berpengaruh pada proses penyulingan narkotika di kemudian hari. Opium yang telah digunakan sekitar 5.000 SM, ternyata pada tahun 1805 telah dapat dimurnikan dan kemudian disebut dengan morphin. Pada tahun 1834 jarum suntik ditemukan, yang juga telah mempengaruhi cara manusia mengonsumsi narkotika dengan cara menyuntikkan bahan tersebut ke jaringan darah pada tubuh dan tentunya lebih mempercepat proses penggunaannya.56

Di Indonesia perkembangan hukum narkotika dan psikotropika secara historis, diawali dengan perkembangan peredaran narkotika yang diatur dalam

54

Hari Sasangka, Op. Cit, hal 163.

55

Mardani, Op. Cit, hal 90.

56

M.Arief Hakim, Narkoba Bahaya dan Penanggulangannya, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 28.

Verrdovende Middelen Ordonantie (Staatsblad No. 278 jo No. 536). Dalam kehidupan masyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat bius. Sejak tahun 1909, tercatat bahwa Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt memprakarsai pembentukan Komisi Opium Internasional (KOI) di Shanghai, untuk mencari langkah-langkah terbaik mengatasi demam opium (candu) di beberapa belahan dunia. Karena pada tahun 1909, peredaran opium telah meluas di berbagai negara.57

Sesudah terbentuknya KOI tersebut, beberapa negara di dunia telah berkali-kali mengadakan pertemuan dan menyempurnakan Konvensi Opium Internasional yang intinya mengatur dan membatasi secara ketat peredaran di sebuah negara, terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan dengan tujuan pengobatan. Di luar dari tujuan tersebut, memproduksi opium di golongkan tindak kejahatan dan kriminalitas, dan bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum internasional.58

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Pada waktu

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. 57 Ibid hal 19. 58 Ibid

tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan Instruksi No. 6 Tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama Badan Koordinasi Pelaksanaan (BAKOLAK) INPRES No 6 Tahun 1971, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing. Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi.

Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan berdasarkan Verrdovende Middelen Ordonantie (Staatsblad No. 278 jo No. 536), materi hukumnya hanya

mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, dianggap tidak dapat mengikuti perkembangan lalu lintas dan alat-alat transportasi yang mendorong terjadinya kegiatan penyebaran dan pemasokan narkotika di Indonesia.

2. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1976

Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang mengubahnya, yang merupakan hasil dari United Nations Conference for Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug, selanjutnya Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Lembaran Negara R.I Tahun 1976 No. 37.59

Berlakunya Undang-Undang baru ini, menyebabkan beberapa perubahan yang cukup mendasar dalam pengaturan mengenai narkotika. Dengan berlakunya undang-undang ini maka di buka kemungkinan untuk mengimpor, mengekspor, menanam, memelihara narkotika bagi kepentingan pengobatandan atau tujuan ilmu pengetahuan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pada dasarnya narkotika masih sangat dibutuhkan bagi pengobatan.

Setelah ada Undang-undang ini, ordonansi obat bius tahun 1927 dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini mengatur lebih luas cakupannya, lebih lengkap serta lebih berat ancaman pidananya. Undang-undang ini diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1976.

60

a. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah :

b. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut.

59

Siswanto S, Op. Cit, hal 9.

60

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 1990, hal 8.

c. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya. d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman,

peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika.

e. Acara pidananya bersifat khusus.

f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan narkotika.

g. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika. h. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.

i. Ancaman pidananya lebih berat.61

Politik hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah:

a. Bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan.

b. Bahwa sebaliknya narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama.

c. Bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan manusia dan kehidupan negara dibidang politik, ekonomi,

61

sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun.

d. Bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan penggobatan dan/atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu narkotika perlu ditetapkan dalam undang-undang tentang narkotika yang baru, sebagai pengganti dari Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 jo. No. 536) yang telah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan ilmi perkembangan zaman.62

UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dalam Bab I diatur beberapa ketentuan, disamping ketentuan umum, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut. Dalam Bab II diatur tentang ketentuan mengenai narkotika untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.Dalam pasal 3 ayat (1) undang-undang ini, ditetapkan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.63

Bab III mengatur tentang pengangkutan narkotika, dimana diwajibkan kepada pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nahkoda, kapten penerbang, atau pengemudi, tentang jenis dan jumlah narkotika yang akan diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun di transit.Dalam Bab IV diatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang meliputi:

62

Siswanto S, Op. Cit, hal 9. 63

1. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menuasai tanaman papaver, tanaman koka, atau tanaman ganja.

2. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.

3. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan, untuk memiliki ayau untuk persediaan atau menguasai narkotika.

4. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika.

5. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.

6. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.

7. Dilarang secara tanpa hak menggunakan bagi dirinya sendiri.64

Dalam Bab V diatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan didepan pengadilan. Dalam pasal 25 ayat (1) undang-undang ini disebutkan bahwa perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain, untuk diajukan ke pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya dalam pasal 28 undang-unang ini, disebutkan bahwa di depan pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut

64

nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

Undang-undang ini juga menganut sistem ganjaran (premi), diatur dalam Bab VI pasal 31 yang menyebutkan bahwa kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Bab VII diatur tentang ketentuan pengobatam dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika dan usaha penanggulangannya.Dalam Bab VIII diatur tentang ketentuan pidana, dimana barangsiapa yang melanggar pasal 23 ayat (1), s.d. ayat (7) di pidana dengan pidana penjara dan denda, pidana seumur hidup, pidana mati, terhadap pelanggaran pada perbuatan-perbuatan yang di larang.

Pidana atau pidana penjara diancam bagi yang melanggar pasal 23 ayat (4), yakni dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika. Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) di pidana penjara yang sama dengan pidan apenjara bagi tindak pidananya.Ketentuan tentang pemberatan hukuman, diancam dengan pidana dam ditambah dengan sepertiganya. Pemberatan hukuman ini diberikan kepada tindak pidana pembujukan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana, jika terpidana ketika melakukan kejahatan belum lewat 2 tahun sejakmenjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, maka pidana tersebut dapat ditambah dengan sepertiga.

Dalam ketentuan pidana ini ditetapkan juga bahwa terhadap pelanggaran pidana tambahan yang berupa pencabutan hak seperti diatur dalam pasal 35

KUHP ayat (1) ke-2 dan ke-6.Disamping itu, bagi barangsiapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara. Demikian pula dalam pasal 46 bahwa setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar kepada penyidik, dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika dipidana dengan pidana penjara.65

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini mengatur ketentuan bahwa semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut digolongkan ke dalam kejahatan dan pelanggaran. Undang-undang ini juga mengatur tentang tindak pidana korporasi (pasal 49) yakni jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suau perseroan, suatu periksaan orang yang lainnya atas suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib di jatuhkan.66

3. Pengaturan Psikotropika Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997

Psikotopika pertama kali diatur dalam Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerkendegeneesmiddelen Ordonantie yang kemudian diterjemahkan dengan Ordonansi Obat Keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur tersendiri tetapi masih disatukan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras. Pada tanggal 2 April 1985 keluar Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 213/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang obat keras tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mencabut Keputusan Menteri

65

Ibid, hal 12

66 Ibid

Kesehatan RI Nomor 983/A/SK/1971 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 10381/A/SK/1972. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1993 di keluarkan lagi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/Men.Kes/Per/II/1993 tentang Obat Keras Tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan Peraturan Menteri Kesehatan RI terdahulu.67

Pada tanggal 11 Maret 1993, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika di undangkan dalam lembaran negara RI Tahun 1997 nomor 10 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3671. Sebelum terbitnya undang-undang ini, sudah banyak kasus-kasus yang menyangkut psikotropika yang berupa peredaran dan penyalahgunaan ekstasi dan sabu-sabu, akan tetapi kasus-kasus tersebut tidak mudah ditanggulangi karena perangkat undang-undangnya yang lemah. Selain undang-undangnya memang belum ada, masalah psikotropika juga mengalami kesulitan untuk ditangani dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, karena psikotropika tidak diatur di dalam kedua undang-undang tersebut.68

a. Konvensi Psikotropika 1971 (Convention on Psychotropic Subtances 1071). Pembentukan Undang-Undang Psikotropika tidak dapat dilepaskan dari adanya konvensi-konvensi sebagai berikut:

b. Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988).69

Dengan dua konvensi tersebut sebenarnya telah terbuka bagi Indonesia untuk mengakui dan meratifikasi konvensi tersebut serta melakukan kerjasama

67

Hari Sasangka, Op. Cit, hal 122.

68

Gatot Supramono, Op. Cit, hal 15.

69

penanggulangan, penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap psikotropika baik secara bilateral maupun multilateral.

Didalam UU No. 5 Tahun 1997 pengertian psikotropika terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum, yaitu:Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1997).

Undang-Undang Psikotropika membedakan jenis-jenis psikotropika menjadi 4 golongan yaitu:70

a. Psikotropika golongan I

Yang dimaksud dengan psikotopika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: LSD, MDMA dan mascalin.

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

70

pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: dari kelompok hipnotif sedatif seperti barbiturat.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam, nitrazepam.

Adanya penggolongan tentang jenis-jenis psikotropika tersebut, karena yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 hanyalah psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Sedangkan di luar penggolongan psikotopika diatas masih terdapat psikotopika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma seperti itu, yang peraturannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras.

4. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika berlaku hampir seperempat abad lamanya. Undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dengan lahirnya Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Narkotika ini berlaku pada saat diundangkan, yaitu pada tanggal 1 September 1997. Salah satu latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah karena kejahatan narkotika telah bersifat transnasional dan dilakukan dengan modusoperandi dan teknologi yang canggih, sementara perundang-undangan yang ada, sudah kurang dapat menanggulangi hal tersebut.

Selain itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini dipicu oleh adanya United Nation Convention Against Ilicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substance tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika lahir karena didorong dengan berbagai tuntutan keadaan

Dokumen terkait